Du Shen, seorang anak muda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin.
Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan. Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera berubah menjadi mimpi buruk, situasi yang tak pernah Du Shen bayangkan seumur hidupnya. Saat Du Shen tiba di tepi hutan, suara angin mendadak terasa berbeda. Ada rasa gelisah yang merayapi dirinya. Ia menoleh ke arah desa Yaocun yang terlihat dari kejauhan. Di sana, ia melihat asap tebal membubung tinggi ke langit. Hatinya berdebar kencang. Ia segera menjatuhkan kayu bakar yang baru saja dipotong dan berlari secepat mungkin. Semakin dekat dengan desa, perasaan khawatir berubah menjadi ketakutan. Du Shen melihat sesuatu yang tak bisa ia percayai. Desa yang selama ini damai dan tenang, kini dilalap api. Rumah-rumah yang sebelumnya berdiri kokoh, kini hancur menjadi abu. Asap hitam pekat menggelayuti langit, dan suara ledakan api terdengar menggema di telinganya. "Ayah! Ibu!" Du Shen berteriak sekuat tenaga. Ia berlari menuju rumahnya, namun hatinya sudah dipenuhi oleh firasat buruk. Sesampainya di rumah, ia mendapati rumahnya hanya tinggal puing-puing hitam gosong. Bara api masih berkobar di beberapa tempat, namun tak ada tanda kehidupan. Du Shen merosot ke tanah, tubuhnya lemas. Ia memanggil nama kedua orang tuanya lagi, namun tak ada jawaban. Ia berlari ke setiap sudut desa, mencoba mencari mereka, berharap bisa menemukan satu jejak yang menunjukkan bahwa mereka masih hidup. Namun, usahanya sia-sia. Desa itu kosong. Tidak ada siapapun. Air mata Du Shen mulai mengalir, namun ia mencoba menepisnya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa kedua orang tuanya masih selamat. 'Mungkin mereka sedang bersembunyi di suatu tempat,' batinnya. "Aku harus mencari lagi. Ayah, ibu, dimana kalian?" panggilnya dengan nada khawatir dan gelisah. Dengan langkah yang gemetaran, Du Shen berkeliaran di sekitar desa Yaocun yang dilalap api. Ia telah berjalan beberapa waktu, tapi tak satupun penduduk terlihat di matanya. Namun, kenyataan itu terlalu berat untuk diterima. Di tengah hancurnya desa dan kehancuran hatinya, Du Shen mendengar suara jeritan yang berasal dari hutan di belakang desa. Suara itu mengerikan, penuh dengan rasa sakit dan ketakutan. Du Shen bergegas menuju hutan, jantungnya berdegup kencang. Berharap tak terjadi sesuatu yang buruk pada orang tuanya dan penduduk desa. Dengan langkah ragu Du Shen tiba, ia mengintip dari balik pepohonan. Apa yang ia saksikan membuat seluruh tubuhnya membeku. Sekelompok bandit berkuda tengah bersenang-senang di sekitar tumpukan tubuh warga desa Yaocun yang tak berdaya. Tawa mereka terdengar mengerikan, semakin memekakkan telinga Du Shen. Suara jeritan memecah keheningan. Du Shen bisa mendengar dengan jelas, suara ayahnya, Du Liong, yang terdengar tercekik oleh penderitaan. "Ayah!" Du Shen berteriak—dalam hati. "Tidak, ini tidak mungkin!" Matanya yang besar terbeliak. Dalam kebisuan hutan, ia menyaksikan ayahnya dipukuli tanpa ampun oleh para bandit. Mereka tidak hanya menyiksanya, tetapi juga mempermainkan nyawanya dengan sangat kejam. Du Shen merasa tubuhnya gemetar hebat, seolah otot-ototnya tak mampu lagi menahan rasa sakit emosional yang mendera batinnya. "Tidak! Tidak!" Du Shen hampir berteriak, namun tubuhnya seolah tak bisa digerakkan, mulutnya seakan disumbat. Ia hanya bisa diam, mematung, menyaksikan sosok ayahnya yang tercinta diperlakukan seperti itu. Air mata mengalir deras, namun ia tetap tidak bisa berbuat apa-apa... "Ugh!" rintih Du Liong, "t-tolong... ampuni kami." katanya lirih, rasa sakit yang luar biasa menyengat seluruh tubuhnya. "Hah? Orang ini cukup tahan pukul. Tapi, ini jadi semakin menyenangkan!" seru seorang bandit di hadapan Du Liong. Tangan bandit itu terkepal erat, dilapisi sebuah rantai besi yang membuat pukulannya semakin mengerikan. "Rasakan ini! Lagi! Lagi! Lagi!" serunya sambil melancarkan pukulan bertubi-tibi ke sekujur tubuh pria paruh baya itu. Jeritan keras memekik di dalam hutan, cukup menghibur bagi komplotan para bandit Kapak Merah. Dengan setiap jeritan ayahnya yang menggemuruh di telinga, tubuh Du Shen semakin lemah. Hatinya penuh dengan kebencian yang mendera. Tiba-tiba, tubuh ayahnya terjatuh, tak bernyawa lagi. Du Shen melihat dengan jelas, menyadari betapa kejamnya dunia ini, dan betapa lemahnya dirinya. Ia ingin berlari, berteriak, melawan para bandit itu. Namun, tubuhnya tetap tidak bisa bergerak. Seakan-akan, dunia ini menjadi sangat sempit, penuh dengan kegelapan yang menenggelamkan dirinya. 'Kenapa aku tidak bisa berbuat apa-apa?' ucapnya dalam hati, air matanya terus mengalir. 'Kenapa aku tidak bisa menyelamatkan mereka?' Dengan satu jeritan dalam hati, Du Shen berlutut di balik pohon, tubuhnya rapuh, tergeletak di tanah. Kebencian yang mendalam mulai tumbuh dalam dirinya. Ia tidak tahu bagaimana, tetapi ia berjanji dalam hati—suatu saat, ia akan membalas perbuatan para bandit itu. Dengan kekuatan yang lebih besar, ia akan membuat mereka merasakan penderitaan yang lebih buruk dari yang ia rasakan saat ini. "Aku akan membunuh kalian semua!" gumam Du Shen dengan penuh kebencian. "Aku akan membuat kalian merasakan apa yang aku rasakan. Aku akan membalas kalian seribu kali lebih menyakitkan!" Ketika kebencian itu merasuk ke dalam jiwanya, tubuh Du Shen akhirnya tidak bisa lagi menahan beban mental dan fisiknya. Ia jatuh pingsan di tempat, tubuhnya terkulai lemah, sementara dunia sekitarnya tetap dalam kesunyian yang menyakitkan. *** Beberapa waktu berlalu, Du Shen perlahan membuka matanya. Sensasi yang dirasakannya begitu asing. Ia berada di sebuah ruangan yang gelap dan kasar. Tak ada suara, hanya ketenangan yang menekan. Tiba-tiba, sosok tua muncul di sampingnya. Seorang pria berjenggot putih lebat dengan mata yang tampak penuh kebijaksanaan. Dia tersenyum lemah, namun ada sesuatu yang dalam dari tatapannya. "Bangunlah, nak. Kau tak bisa terus-terusan tidur," kata sosok tua itu dengan suara yang dalam namun penuh kasih. Du Shen menatap sosok itu dengan bingung. "Siapa... siapa kau?" tanyanya, suara seraknya nyaris tak terdengar. "Aku hanya kakek tua yang tak sengaja menemukan berlian di tumpukan kerikil," jawab sosok itu, senyum lemah lembut tetap terukir di wajahnya. Du Shen menatap sosok itu, dan dalam hatinya yang hancur, ia merasakan bahwa sosok tua itu tak berbahaya sedikitpun, walaupun ia merasa agak sedikit bingung dengan ucapannya. "Dimana... aku, kek?" tanya Du Shen setelah mencoba untuk duduk. Si kakek tua yang tampak lemah itu tersenyum lagi, wajahnya yang keriput menunjukkan belas kasih yang dalam. "Ini tempat tinggalku," balasnya. Tiba-tiba, Du Shen teringat akan kejadiian terakhir yang menyulut kebenciannya. Wajah Du Shen mengeras seketika, jauh dalam hatinya ia mengutuk dengan benci atas perlakukan para badit itu pada keluarganya. Sosok kakek tua yang duduk tak jauh darinya memperhatikan perubahan ekspresi Du Shen. "Siapa namamu, nak?" tanya sang kakek. Du Shen buru-buru menenangkan diri, lalu menoleh ke arah lelaki tua itu. "Saya Du... Du Shen, kek." ucapnya. "Aku mengerti perasaanmu, nak. Jangan biarkan kebencian menguasai dirimu, kau harus mengendalikannya sebaik mungkin... Karena jika itu terjadi, kau tak hanya akan kehilangan sesuatu yang berharga, tetapi juga segala hal yang kau miliki... termasuk hidupmu." ucap sang kakek menenangkan Du Shen. Anak muda itu sendiri merasa terkejut, ia tak pernah mengira jikalau kakek tua itu mengetahui perasaan yang tumbuh jauh di dalam lubuk hatinya. "T-tapi, kek. Apa yang harus kulakukan, mereka semua, para bandit itu telah merenggut nyawa orang tuaku! Aku jelas tidak bisa mengampuni mereka!" ujar Du Shen, terlihat jelas amarah di wajahnya. "Nak, tak ada yang melarangmu untuk balas dendam. Tapi, kau haru tahu, kebencian hanya akan menghambat jalanmu sendiri." ucapnya, "kalau kau mau, jadilah muridku. Aku melihat potensi besar dalam dirimu, dan sepertinya kita memang telah ditakdirkan bertemu." senyum sang kakek. Du Shen menatap dengan mata bulatnya, ia perlahan mengerti ucapan kakek tua itu dan perlahan melangkah bangun dari tempat tidur yang terbuat dari tumpukan jerami. "Mulai saat ini, aku, Du Shen. Akan menjadi muridmu, kek. Aku bersedia melakukan apapun asal aku bisa menjadi kuat dan membalaskan dendam itu." seru Du Shen sambil berlutut di atas tanah gua. "Ya, begitulah seharusnya, muridku." balas sang kakek dengan senyum hangat.Di salah satu puncak gunung sekte Azure Dragon, kabut tipis bergelung pelan di antara pepohonan pinus tua yang berdiri tegak menghadap langit. Udara di sana begitu tenang, seakan waktu sendiri enggan bergerak. Di atas sebuah batu besar yang rata seperti altar kuno, Du Shen duduk dalam posisi bersila, tubuhnya tegak namun santai, napasnya teratur, dan auranya mengalir lembut, nyaris tak terdeteksi.Angin berhembus pelan, membawa guguran bunga kelopak plum yang jatuh dari pohon-pohon sekitarnya, melayang seperti serpihan mimpi. Bunga itu menari dalam diam, lalu mendarat tenang di atas permukaan tanah berumput.Du Shen tampak tak bergeming. Matanya terpejam, ekspresi wajahnya terlihat tenang, namun di balik ketenangan itu pikirannya terus bekerja, menggali misteri dunia yang sukar dimengerti."Hukum ruang dan waktu… terlalu misterius untuk dipahami," gumamnya pelan. "Sejauh ini, aku hanya bisa menyentuh permukaan dari hukum ruang. Bahkan petunjuk yang ditinggalkan oleh Leluhur Dewa Keka
Du Shen terdiam. Sorot matanya yang biasanya dingin kini tampak terguncang, seolah terjadi badai di dalam dirinya yang tak terlihat dari luar. Keningnya berkerut dalam, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menunduk, membiarkan pikirannya tenggelam dalam pusaran rasa frustrasi dan kegelisahan."Sepuluh tahun ya..." gumamnya lirih, hampir tak terdengar. "Apa tak ada cara lain? Waktu selama itu terlalu panjang bagiku. Aku... tak bisa menunggu selamanya."Nada suaranya merendah, tapi tak kehilangan keteguhan. Ada banyak hal yang harus ia lakukan di Benua Yang. Hal-hal yang menuntut penyelesaian. Orang-orang yang menunggunya, bukan dengan sambutan, melainkan dengan darah dan pedang.Lu Yan memandang pemuda itu dengan tatapan tenang, wajahnya masih tetap anggun meski dilingkupi ketegangan yang perlahan menyusup ke udara di antara mereka. Setelah jeda yang seakan membentang panjang, ia berkata pelan, "Sebenarnya... ada satu cara lain. Tapi jalannya tidak mudah dan terlalu beresiko. Bah
"Apa kau tahu cara agar aku bisa sampai ke tempat itu?" tanya Du Shen, suaranya datar, nyaris tanpa emosi. Namun, di balik nada acuh tak acuhnya, matanya memancarkan sinar tajam penuh rasa penasaran yang membara.Ia duduk diam di kursi batu, tubuhnya tegap dan tak bergerak, seperti patung dewa perang yang menunggu jawaban dari semesta. Di hadapannya, di seberang meja kayu panjang yang terpahat indah dengan motif naga langit, duduk seorang wanita berwajah lembut dan anggun, tak lain adalah ketua sekte Azure Dragon, Lu Yan.Angin sore bertiup pelan, menyapu halaman Paviliun Dao Langit yang dipenuhi bunga plum putih yang tengah gugur satu per satu. Di tengah ketenangan itu, Lu Yan menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir giok hijau, aroma melati halus terangkat bersama uapnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak Du Shen membantai habis sisa-sisa kelompok bandit Kapak Merah, tapi luka batinnya belum sepenuhnya sembuh. Kebencian itu masih menyala jauh di dalam hatinya, bagaikan bara yang b
Du Shen berdiri diam, tak terpengaruh oleh tatapan penuh amarah dari pria kekar di hadapannya itu. Sorot matanya dingin, tak menyiratkan sedikit pun rasa gentar atau simpati. Kebencian yang membara dalam dirinya tak meledak hanya lewat kata-kata belaka, melainkan dalam keheningan yang mengerikan. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Bibirnya terkunci rapat, seperti menahan gelombang emosi yang terlalu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Yang ada di benaknya kini hanya satu hal—menghancurkan sekte Kapak Darah sampai ke akar, hingga tak tersisa satu pun dari mereka yang bisa melihat hari esok. Wu Zhang, pemimpin sekte itu, mungkin mengira hanya dialah yang setara dan cocok melawannnya. Namun Du Shen bahkan tidak menoleh ke arahnya. Dalam sekejap mata, tubuhnya menghilang, dan sebelum siapa pun menyadari, ia telah berada di belakang Wu Zhang. Namun ia tak mengincar pria paruh baya itu, melainkan mengincar ke arah ratusan anggota sekte yang masih terpana di atas tanah. La
Energi Qi yang pekat dan suram mulai merembes dari tubuh ketujuh Tetua Agung sekte Kapak Darah. Masing-masing dari mereka dikelilingi aura kelam yang membentuk pusaran, seolah mereka menghidupkan kembali roh-roh terkutuk dari dunia bawah. Aura mereka tidak hanya menggetarkan tanah dan langit, tetapi juga menghantarkan hawa kematian yang membuat para anggota sekte lainnya mundur beberapa langkah, menggigil oleh rasa takut yang menancap langsung ke dalam jiwa mereka. Dalam sekejap, ketujuh tetua melesat ke langit, tubuh mereka membentuk pola melingkar sempurna dalam jarak puluhan meter. Tubuh mereka seolah menjadi penopang dari formasi iskripsi yang kini mulai terbentuk di udara. Garis-garis ungu gelap bersinar menyambung satu titik ke titik lainnya, membentuk lingkaran sihir raksasa dengan inskripsi kuno yang berdenyut seperti jantung iblis. Inskripsi-inskripsi itu berkilau, memancarkan kekuatan dari perpaduan teknik kuno. Wu Zhang berdiri gagah di belakang, senyum tipis teruk
Di suatu tempat terpencil di Benua Yin, tersembunyi di antara barisan pegunungan terjal yang menjulang seperti dinding batu raksasa dan hutan belantara yang nyaris tak terjamah manusia, di sana berdiri sebuah paviliun megah nan gelap. Bangunan itu tampak seperti kota kecil yang dibangun dengan arsitektur kasar namun kuat, dihiasi lentera merah yang menggantung di setiap sisi atap dan menebar cahaya temaram ke seluruh lembah.Tempat itu dikenal oleh sebagian kecil kalangan dunia bawah sebagai markas dari Sekte Kapak Darah, sebuah kekuatan di balik bayang-bayang yang belum banyak menonjolkan diri di permukaan Benua Yin. Sekte ini bukanlah kelompok penganut tradisi seperti Sekte Pedang Bulan atau sekte Azure Dragon—melainkan sebuah aliansi tersembunyi yang yerdiri dari kelompok-kelompok bandit gunung yang dulunya tersebar tanpa arah dan kendali. Walaupun mereka kini membentuk aliansi dalam sebuah sekte, tetap saja mereka adalah bandit gunung.Semua bandit itu disatukan di bawah satu pa
Tiba-tiba, suara ketukan ringan menggema dari luar kediaman. Sebuah ketukan pelan namun jelas, menyela malam yang nyaris sunyi.Hao Jifeng membuka matanya perlahan. Alisnya mengernyit, bukan karena terganggu, melainkan karena merasa aneh. Ia tak bisa mengetahui dengan jelas siapa yang mengetuk pintu itu. Seolah kultivasinya terlalu rendah untuk mengetahuinya.Ia bangkit dan melangkah ke pintu tanpa suara. Begitu ia membukanya, sinar lentera di sekitar menyinari sesosok pemuda tinggi dengan rambut perak yang memantulkan cahaya samar. Pemuda itu berdiri tegak, mengenakan jubah hijau tua yang membuat auranya terkesan misterius dan kuat.Sejenak, mata Hao Jifeng menyipit tajam. Refleks pertahanan bangkit dalam benaknya. Siapa orang asing yang berani datang ke halaman utama kediamannya saat malam begini? Tapi… wajah itu. Ada sesuatu yang familiar.Begitu matanya fokus dan ingatannya berputar cepat, ia pun terkejut mengenali siapa itu."Tu-Tuan Muda Shen!?" serunya, suaranya memecah kesunyi
Malam itu terasa berat dan sunyi. Langit diselimuti awan pekat, mengaburkan cahaya bulan hingga hanya bias temaram samar yang menerangi. Angin dingin berhembus pelan, membawa serta aroma tanah basah dan ketegangan yang menggantung di udara. Jalanan berbatu yang tersusun rapi di pekarangan utama sebuah kediaman tampak lengang.Seorang pria berusia tiga puluhan melangkah dengan mantap di bawah cahaya lentera yang tergantung di tiang-tiang halaman. Jubah gelapnya berkibar pelan setiap kali angin berembus. Dengan wajah serius dan langkah yang berat, ia berhenti di depan sebuah pintu kediaman megah.Tangannya terangkat perlahan dan mengetuk pelan tiga kali.Tak berselang lama pintu terbuka. Di baliknya berdiri seorang pria paruh baya mengenakan hanfu kelabu yang elegan namun sederhana. Rambutnya yang sebagian telah memutih diikat rapi ke belakang, dan sorot matanya tampak tajam namun terlihat sedikit letih. Wajah Hao Jifeng, kepala klan Hao—memancarkan kekhawatiran yang mendalam, seperti
Sekte Azure Dragon merupakan salah satu dari tiga kekuatan terbesar di Benua Yin. Bukan hanya menjadi simbol kekuatan, tetapi juga tempat perlindungan bagi para kultivator yang menjunjung tinggi kehormatan di jalan mulia. Sekte ini berdiri megah di antara rangkaian Seribu Pegunungan Leluhur, dikelilingi lembah hijau dan danau jernih yang dipercaya terhubung langsung dengan aliran nadi spiritual bumi.Begitu kaki Du Shen menapaki wilayah sekte Azure Dragon, atmosfer di sekitarnya langsung berubah drastis. Udara menjadi lebih ringan namun padat dengan arus spiritual, seolah setiap helaan napas membawa ketenangan. Energi spiritual yang mengalir tenang menyapu tubuh dan pikiran, seolah setiap sudut di sekitar sekte itu mengandung arus spiritual yang dapat menenangkan jiwa, cocok sebagai tempat berlatih untuk para kultivator yang ingin mengembangkan diri.Di kejauhan, paviliun-paviliun tinggi dengan atap melengkung menjulang di antara kabut tipis yang mengambang. Arsitektur yang memaduka