Semua sudah berkumpul di hadapan pondok perundingan. Sa memberikan bambu kecil dan jarum-jarum bambu yang ujungnya sudah diolesi racun katak pada Tanaka dan ketiga sekawan.
“Sekali saja mereka terkena jarum-jarum bambu ini, racun diujung jarum ini akan langsung menyebar ke tubuh mereka semuanya dengan cepat,” ucap Sa.
Semua memandangi bambu kecil dan jarum-jarum yang sudah dimasukkan ke dalam kantong kain kecil.
Sa melanjutkan ucapannya. “Ingat, gerakan kita jangan sampai ada yang tau,” pinta Sa.
Semua mengangguk.
“Tujuan kita membunuh Tuan Kepala Wilayah lalu curi pedang emas yang disimpan di bawah kasurnya, setelah itu kita harus segera pergi dari sana,” lanjut Sa.
Semua mengangguk. Terdengar suara-suara tak jauh dari mereka. Tanaka langsung memasukkan jarum bambu ke dalam bambu lalu meniupnya dengan tenaga dalam. Tak lama kemudian terdengar suara rusa yang kesakitan.
Sa melotot marah ke Tanaka.
“Kenapa kau gunakan itu?” tanya Sa geram.
“Aku ingin mencobanya ayah! Siapa tahu mereka orang lain yang mencuri dengar rencana kita,” jawab Tanaka.
“Jika kau menggunakan itu pada rusa, kita tak akan bisa memakan dagingnya! Tubuhnya dipenuhi racun dan kalau kita memakannya, racunnya akan menyebar ke tubuh kita!” geram Sa.
“Maaf, ayah,” ucap Tanaka merasa bersalah.
Tiga sekawan lainnya hanya bisa menghela napas.
Sa menahan geramnya. Dia tak mau Laras bangun mendengar dirinya memarahi anaknya.
“Yaudah! Kita berangkat sekarang!” pinta Sa.
Sa pun langsung terbang menuju atas pohon dengan jurus meringankan tubuhnya. Tanaka langsung menyusulnya. Tak lama kemudian ketiga sekawanpun menyusul mereka. Kini Tanaka dan empat sekawan melompati atas pohon satu ke atas pohon lainnya di bawah rembulan yang bersinar terang. Mereka melompat-lompat dengan cepat dari pohon satu ke pohon lainnya. Suara srigala dan burung hantu terdengar di kejauhan sana.
Setelah lama terbang menyusuri hutan dari atas pepohonan, mereka pun mendarat tanpa suara ke hadapan pagar kediaman Tuan Kepala Wilayah.
Sa menoleh pada Si, memberi tanda untuknya agar bergegar melihat situasi. Si pun langsung menghilang. Tak lama kemudian Si muncul kembali di hadapan mereka.
“Ada banyak prajurit yang menjaga tiap sudut pagar,” ucap Si. Sebagian tertidur dan sebagian sedang mabuk-mabukkan.”
Sa angguk-angguk.
“Apa aku sudah boleh langsung memasuki kamar Tuan Kepala Wilayah?” tanya Tanaka yang sudah tidak sabar.
Sa geram mendengarnya. “Kau harus mengikuti rencanaku yang sudah aku beritahu kepadamu,” ucap Sa geram. “Kau tidak bisa bergerak sendiri. Kau harus mengikuti apa kataku.”
“Maaf, ayah,” ucap Tanaka.
Tiga sekawan lagi-lagi hanya bisa menghela napas.
“Sekarang ayo bergerak sesuai rencana,” pinta Sa.
Semua pun mengangguk. Mereka pun bersamaan menghilang dari tempat itu. Tak berapa lama kemudian satu persatu prajurit penjaga terkena tiupan jarum bambu hingga dengan cepat kulit wajah mereka menghitam lalu menggelepar tanpa suara karena racun itu membuat tenggorokan mereka menjadi sempit.
Setelah semuanya bergerak di berbagai sudut pagar, akhirnya para prajurit penjaga berhasil mereka musnahkan. Kini semuanya memasuki rumah besar itu. Prajurit yang berjaga di dalam rumah itu tampak terkejut melihat kedatangan lima pendekar bertopeng. Belum sempat prajurit itu berteriak, jarum bambu sudah lebih dulu mendarat ke lehernya.
Tak lama kemudian lima prajurit datang dari belakang. Mereka semua terkejut ternyata masih ada prajurit tersisa. Suara ribut akhirnya terdengar. Sa, Si, Su dan Se terpaksa menghadapi lima prajurit itu. Tanaka menatap wajah ayahnya.
“Biar aku yang mengurus Tuan Kepala Wilayah,” pinta Tanaka.
Belum sempat Sa melarang, Tanaka sudah menghilang. Sa pun terpaksa membiarkan Tanaka karena dia sibuk bertarung melawan lima prajurit itu.
Tanaka berjalan mengendap-endap menuju pintu kamar Tuan Kepala Wilayah. Dia melihat dua prajurit penjaga sedang berjalan ke arahnya karena heran dengan suara pertarungan di ruangan lain. Tanaka pun terpaksa meniupkan jarum-jarum bambu itu hingga dua prajurit itu langsung menggelepar mengeluarkan busa dimulutnya.Tanaka pun langsung memasuki kamar Tuan Kepala Wilayah. Tanaka terkejut mendapati Tuan Kepala Wilayah sedang turun dari atas ranjangnya.“Siapa kamu?!” teriak Tuan Kepala Wilayah. Wajahnya berkumis tebal dengan kepala botak.Tanaka pun langsung meniupkan jarum bambu beracun itu ke arah tubuh Tuan Kepala Wilayah, namun dengan sigap Tuan Kepala Wilayah menggunakan jurusnya hingga menendang jarum yang melesat cepat itu ke arah Tanaka. Jarum itu berhasil ditendangnya hingga berbalik melesat ke arah Tanaka. Tanaka terbelalak lalu dengan cepat menghilang dari sana.Tuan Kepala Wilayah tampak heran melihat lelaki bertopeng itu menghilang dari hadapannya. Dia pun mengitari kamarnya ta
Pagi sekali terdengar teriakan Laras di depan pintu kamar Tanaka.“Tanaka! Bangun Tanaka!” teriak Laras di luar sana.“Iya, Ibu! Ini aku sudah bangun!” teriak Tanaka.Tanaka pun turun dari kasur. Dia meraih topengnya lalu menggunakannya. Kemudian dia berjalan membuka pintu kamarnya. Takana terkejut melihat Laras sudah membawa guci besar.“Ambilkan air di sungai,” pinta Laras sambil menyerahkan guci besar itu pada Tanaka.“Sekarang?” tanya Tanaka dengan wajah malas.“Iya, sekarang! Kalau tidak, ibu tak akan membuatkan sarapan untuk kalian,” ancam Laras.Tanaka menghela napas.“Baik, Ibu,” ucap Tanaka tampak malas. Tanaka pun keluar dari kamarnya sambil membawa guci itu keluar rumah.Laras menarik napas lalu menghembuskannya sambil geleng-geleng. Dia pun kembali ke arah dapur.Tanaka pun tiba di pinggir sungai yang tampak jernih itu. Dia meletakkan guci di atas batu lalu membuka topengnya. Tanaka melihat wajahnya di permukaan air sungai yang tampak tenang. Dia menatap lekat-lekat wajahn
Tanakan meletakkan guci berisi air di tempatnya. Laras tampak sedang menyiapkan sarapan untuk semuanya. Laras tampak heran melihat sorot mata anak lelakinya tampak sayu dan bingung. Sejak Tanaka sering menggunakan topeng, Laras semakin tahu perasaan anak lelakinya itu melalui sorot matanya.“Kau baik-baik saja?” tanya Laras.Tanaka hanya mengangguk. Dia pun pergi begitu saja menuju kamarnya. Setiba di kamarnya dia membaringkan tubuhnya di atas kasur jeraminya. Dia membuka topengnya hingga terlihat jelas wajah buruk rupanya. Tanaka menatap langit-langit kamarnya. Dia masih terpana menatap wajah gadis cantik itu tadi. Bersamaan dengan itu juga dia merasa bersalah telah membunuh ayahnya semalam.Tanaka gelisah. Dia membolak-balikkan tubuhnya tak menentu. Sesaat kemudian dia duduk sambil memegangi bibirnya.“Aku sudah menciumnya,” gumam Tanaka tak percaya. “Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku telah membunuh ayahnya.”Tanaka bingung sendiri. Laras yang sengaja mengintipnya karena pena
“Dia kerasukan, Nyi. Dia harus kita kurung ke dalam kandang. Kita sudah lima bulan tidak mengirim sesajen ke batu besar itu.Laras terbelalak mendengarnya.“Jadi hal aneh tadi itu karena Tanaka kerasukan?” tanya Laras dengan terkejutnya.Sa mengangguk. Laras pun pasrah melihat anak lelakinya digotong mereka menuju kandang. Sementara Tanaka tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan untuk bergerak, berbicara saja dia tidak bisa.Tanaka digotong empat sekawan menuju kandang yang dulu dibuat untuk mengurung Se ketika kerasukan. Ketika Tanaka sudah di masukkan ke dalam kandang, Sa langsung menggunakan ajian penguat dinding kandang. Ajian yang tak akan bisa ditembus siapapun meskipun harus menggunakan tenaga dalam untuk merusak kandang. Setelah Sa selesai membacakan ajiannya, dia pun menggunakan jurusnya untuk melepas ajian totokannya pada Tanaka.Tanaka pun kembali bisa bergerak dengan lemas.“Aku... tidak... kerasukan,” ucap Kantata lemah. Ajian totokan memang sangat berbahaya. Siapapun yang
Semua pun kembali menggunakan jurus meringankan tubuhnya dengan melompat dari pohon satu ke pohon lainnya. Ketika mereka sudah tiba di depan kandang, mereka melihat Laras sedang menangis meraung-raung di hadapan kandang. Sa dan semua heran.“Kenapa istriku?” tanya Sa heran.“Roh jahat itu telah membawa Tanaka pergi, Suamiku!” isak Laras.Sa dan tiga sekawan menoleh ke dalam kandang. Mereka terkejut melihat Tanaka sudah tidak ada di dalam sana. Tanaka pun dengan rapihnya menutupi lubang itu dengan jerami yang ada di dalam kandang itu hingga tak terlihat oleh semuanya.“Arwah penunggu itu memang benar-benar hebat! Dia bisa meloloskan diri dari ajian pelindungku,” ucap Sa tak percaya.“Ayo kita cari Tanaka!” ajak Si dengan paniknya.Empat sekawan pun bergegas pergi mencari Tanaka ke arah batu besar pinggir lembah. Sementara Laras masih menangis sesenggukan di hadapan Kandang itu.***Tanaka yang berhasil meloloskan diri tampak berjalan menyusuri sungai dengan kesalnya. Dia sudah mengguna
Tanaka masih gelisah di dalam kamarnya. Matanya masih mengawang ke langit-langit kamarnya. Tak lama kemudian pintu kamarnya berderak. Tanaka menoleh, kaget melihat kedatangan Laras. Pemuda itu bergegas bangkit lalu duduk di tepi ranjang. Dia tidak mengenakan topengnya. Wajahnya terlihat jelas sebagaimana aslinya.“Ibu?” ucap Tanakan heran.“Kamu baik-baik saja kan?” tanya Laras heran.Tanaka tersenyum memangguk.“Maafkan atas kebodohan Ayah dan paman-pamanmu,” ucap Laras dengan wajah serius. Dia pun duduk di sebelah Tanaka.“Aku tidak marah sama ayah dan paman-pamanku, Bu,” ucap Tanaka menenangkan hati Ibunya.Laras memperhatikan mimik wajah anaknya dengan heran. Dia bisa melihat jelas ada sendu di kedua bola matanya.“Sebenarnya kamu lagi mikirin apa? Apa ada yang melihat wajahmu terus mengejekmu?” tanya Laras khawatir. “Ibu kan sudah bilang, kamu harus selalu menggunakan topengmu, biar tidak ada yang mengejekmu.”“Bukan karena itu, Bu,” jawab Tanaka.“Terus karena apa?” desak Laras
Laras sedang menyiapkan makan malam untuk semuanya. Sa datang duluan lalu duduk di atas lantai. Di hadapannya sudah tersaji berbagai hidangan.“Mana yang lainnya?” tanya Laras.“Mereka masih di sungai,” jawab Sa.“Tanaka?”“Ayah tidak tahu, Bu. Mungkin dia masih di kamarnya,” jawab Sa.Laras duduk di hadapan Sa. Lalu memperhatikan wajahnya yang tampak sedih.“Anak sama bapaknya kok sama,” ucap Laras tiba-tiba.Sa mengernyit heran mendengarnya.“Sama bagaimana?” tanya Sa heran.“Tanaka seharian ini tampak sedih, kamu juga sedih. Kalian sebenarnya kenapa?” tanya Laras heran.“Apa kita kembali ke Nusantara saja, Bu?” tanya Sa tiba-tiba.Laras terdiam.“Istriku?”“Bukankah saat ini Nusantara masih belum aman, Suamiku?” tanya balik Laras dengan heran.“Aku ingin mencari tabib untuk mengobati wajah Tanaka. Aku yakin ada tabib di Nusantara yang bisa menyembuhkannya,” ucap Sa.Laras terdiam mendengar itu.“Istriku?”“Tanaka tidak sedang terkena penyakit, suamiku. Tabib-tabib di negeri ini pun
Bimala melangkah sendirian sambil membawa buntalan kain. Matanya begitu awas. Jika mendengar sesuatu yang mencurigakan, dia langsung mencabut pedangnya dan kembali meletakkannya di tempat semula jika tidak menemukan yang ditakutkannya. Dia masih trauma dengan sikap Putra Mahkota selama ini. Ya, saat Putra Mahkota mengadakan pesta di istana, dia mengundang seluruh kepala wilayah di negeri Manggala. Saat itu ayahnya dan dirinya datang ke istana, sejak itulah Putra Mahkota tertarik padanya.Bimala heran, saat Putra Mahkota datang membawa pasukannya. Dia memberikan hadiah yang banyak kepada ayahnya dan juga untuk dirinya. Ayahnya menyambut baik kedatangannya. Dia merasa terhormat melihat Putra Mahkota datang mengunjunginya. Hal yang langka dan untuk pertama kalinya seorang Putra Mahkota mengunjungi Tuan Kepala Wilayah. Dan saat itulah Putra Mahkota terang-terangan menyatakan rasa sukanya kepada Bimala.“Aku tidak suka dengannya, Ayah,” ucap Bimala pada Gautam.“Kenapa kau tidak suka padan