Tanaka dan Laras akhirnya menoleh ke belakang. Dia terkejut melihat seorang prajurit datang padanya dengan menaiki kuda.
“Aku mendapat pesan dari Putra Mahkota. Beliau mengatakan jika kamu ingin menjadi prajuritnya, silakan datang ke istana,” ucap Prajurit itu.
Tanaka ingin meludah mendengar itu. Namun dia menahannya khawatir membuat prajuritnya panah hati melihatnya.
“Ucapkan rasa terima kasihku atas tawaran Putra Mahkota. Aku akan berembuk dulu dengan keluargaku,” jawab Tanaka.
“Kami tunggu di istana,” pinta prajurit itu lalu bergegas memutar arah kudanya lalu pergi meninggalkan mereka di sana.
“Aku tidak mau menjadi prajurit istana, Ibu,” kesal Tanaka.
“Ibu juga tidak akan mengizinkanmu,” sahut Laras. “Ayo kita pergi!”
Tanaka pun mengangguk. Dia pun kembali memacukan kudanya dengan kencang menuju pasar.
***
Malam itu, Tanaka sedang makan malam bersama ayah, ibu dan ketiga pamannya. Mereka menikmati jagung rebus dan ayam bakar dengan lahap.
“Apa malam ini ayah akan berburu lagi?” tanya Laras pada suaminya.
Sa terdiam mendengar itu. Tanaka dan yang lainnya pun terdiam. Selama ini Laras tidak pernah tahu kalau suaminya dan adik-adiknya itu bukan berburu melainkan merampok. Laras hanya tahu kalau suaminya mencari uang dengan berburu lalu menjual hasil buruannya ke pasar atau ke pengurus dapur istana.
“Sebaiknya jangan melibatkan Tanaka dulu. Dia juga perlu istirahat,” lanjut Laras.
“Malam ini kita harus berburu, istriku. Kalau jerat-jeratku di dalam hutan sana dibiarkan begitu saja, nanti rusa-rusa itu akan diambil oleh pemburu lain,” jawab Sa berbohong.
“Iya, Ibu,” tambah Tanaka. “Ibu tenang saja. Aku tak akan kenapa-napa.”
Akhirnya Laras mengalah lalu menatap wajah Sa dengan terpaksa mengalah.
“Tapi jangan membuat Tanaka seperti tadi! Aku tak akan memaafkan ayah kalau terjadi apa-apa pada Tanaka,” pinta Laras.
“Ibu tenang saja! Setiap lelaki kalau sedang bertarung akan lupa saudara! Tapi di luar pertarungan dia tetap anakku, aku tetap ayahnya dan mereka ini tetap menjadi paman-pamannya,” jawab Sa.
Si, Su dan Se angguk-angguk sambil tersenyum. Tanaka tersenyum melihat tingkah ketiga pamannya. Dia tahu semua orang di sana sangat menyayanginya. Akan tetapi mendengar itu telah membuat dirinya merasa bersalah. Tanaka terpaksa ikut berbohong pada ibunya atas permintaan Sa. Sejak Tanaka tahu, bahwa mereka berasal dari Nusantara dan sengaja merantau ke sana untuk merampas kembali harta benda yang dicuri oleh kerajaan Manggala, Tanaka menjadi semangat ikut merampok dengan mereka. Dan dia pun bersedia merahasiakan itu pada ibunya karena memiliki alasan yang kuat.
Seusai makan malam itu, Laras pamit ke dalam mau tidur duluan. Dan saat Laras sudah tidur pulas, Sa mengajak semuanya untuk berunding di pondok kecil yang tak jauh dari rumah kayu mereka. Tempat biasa yang sering mereka gunakan untuk berbagi tugas ketika aksi perampokan hendak dijalankan.
Mereka semua sudah duduk bersila saling menghadap.
“Malam ini kita akan merampok di kediaman Tuan Kepala Wilayah,” ucap Sa.
Si, Su dan Se terbelalak mendengarnya.
“Apakah itu tidak bunuh diri?” tanya Si tak percaya.
“Kenapa harus bunuh diri? Kan ada aku, yang terhebat diantara ayah dan paman-paman semuanya,” sahut Tanaka dengan sombongnya.
“Sudah bisa mengalahkan kami belum berarti kau bisa mengalahkan prajurit penjaga di sana. Tuan Kepala Wilayah juga memiliki banyak pendekar yang menjaganya!” kesal Si.
“Sudah-sudah!” teriak Sa.
Si pun terdiam.
“Saya sudah punya strategi untuk melumpuhkan semua prajurit dan para pendekar di sana,” ucap Sa.
Semua tampak penasaran.
“Strategi bagaimana ayah?” tanya Tanaka penasaran.
Sa pun meminta semuanya mendekat padanya. Semua pun mendekatkan telinganya pada Sa. Sa langsung berbisik pada semuanya lalu setelah itu dia tersenyum.
“Bagaimana?” tanya Sa.
“Aku setuju, Ayah!” teriak Tanaka duluan. “Dan untuk menghadapi Tuan Kepala Wilayah itu, serahkan saja padaku! Biar aku yang menebas lehernya!”
Semua melotot pada Tanaka. Kali ini Sa geram mendengarnya.
“Turunkan sedikit kesombonganmu itu anakku! Kau tidak tahu siapa Tuan Kepala Wilayah? Dia itu pendekar sakti! Makanya diangkat istana menjadi Tuan Kepala Wilayah!” teriak Sa.
“Sesakti apapun itu aku tidak takut, ayah! Bukan kah jurus-jurus warisan dari Nusantara yang kalian ajarkan padaku sudah banyak melumpuhkan para pendekar hingga kita bisa menyimpan harta benda di dalam gua itu?” ujar Tanaka.
Sa menghela napas mendengar itu.
“Biar ayah saja yang menghadapi Tuan Kepala Wilayah! Kau membantu paman-pamannmu saja,” tegas Sa.
Akhirnya Tanaka mengalah.
“Yasuah, terserah ayah saja,” ucap Tanaka menahan sebalnya.
Sa pun berdiri.
“Kita bergerak sekarang juga! Dan kau anakku, jangan lupa mengganti topengmu!” pinta Sa.
Tanaka pun mengangguk. Mereka pun segera beranjak dari sana untuk bersiap menyergap kediaman Tuan Kepala Wilayah. Tanaka pun diam-diam memasuki kamarnya untuk mengganti topengnya. Setelah dia selesai mengganti topengnya, dia pun mengambil pedang di bawah ranjangnya lalu membawanya keluar.
Semua sudah berkumpul di hadapan pondok perundingan. Sa memberikan bambu kecil dan jarum-jarum bambu yang ujungnya sudah diolesi racun katak pada Tanaka dan ketiga sekawan.“Sekali saja mereka terkena jarum-jarum bambu ini, racun diujung jarum ini akan langsung menyebar ke tubuh mereka semuanya dengan cepat,” ucap Sa.Semua memandangi bambu kecil dan jarum-jarum yang sudah dimasukkan ke dalam kantong kain kecil.Sa melanjutkan ucapannya. “Ingat, gerakan kita jangan sampai ada yang tau,” pinta Sa.Semua mengangguk.“Tujuan kita membunuh Tuan Kepala Wilayah lalu curi pedang emas yang disimpan di bawah kasurnya, setelah itu kita harus segera pergi dari sana,” lanjut Sa.Semua mengangguk. Terdengar suara-suara tak jauh dari mereka. Tanaka langsung memasukkan jarum bambu ke dalam bambu lalu meniupnya dengan tenaga dalam. Tak lama kemudian terdengar suara rusa yang kesakitan.Sa melotot marah ke Tanaka.“Kenapa kau gunakan itu?” tanya Sa geram.“Aku ingin mencobanya ayah! Siapa tahu mereka
Tanaka berjalan mengendap-endap menuju pintu kamar Tuan Kepala Wilayah. Dia melihat dua prajurit penjaga sedang berjalan ke arahnya karena heran dengan suara pertarungan di ruangan lain. Tanaka pun terpaksa meniupkan jarum-jarum bambu itu hingga dua prajurit itu langsung menggelepar mengeluarkan busa dimulutnya.Tanaka pun langsung memasuki kamar Tuan Kepala Wilayah. Tanaka terkejut mendapati Tuan Kepala Wilayah sedang turun dari atas ranjangnya.“Siapa kamu?!” teriak Tuan Kepala Wilayah. Wajahnya berkumis tebal dengan kepala botak.Tanaka pun langsung meniupkan jarum bambu beracun itu ke arah tubuh Tuan Kepala Wilayah, namun dengan sigap Tuan Kepala Wilayah menggunakan jurusnya hingga menendang jarum yang melesat cepat itu ke arah Tanaka. Jarum itu berhasil ditendangnya hingga berbalik melesat ke arah Tanaka. Tanaka terbelalak lalu dengan cepat menghilang dari sana.Tuan Kepala Wilayah tampak heran melihat lelaki bertopeng itu menghilang dari hadapannya. Dia pun mengitari kamarnya ta
Pagi sekali terdengar teriakan Laras di depan pintu kamar Tanaka.“Tanaka! Bangun Tanaka!” teriak Laras di luar sana.“Iya, Ibu! Ini aku sudah bangun!” teriak Tanaka.Tanaka pun turun dari kasur. Dia meraih topengnya lalu menggunakannya. Kemudian dia berjalan membuka pintu kamarnya. Takana terkejut melihat Laras sudah membawa guci besar.“Ambilkan air di sungai,” pinta Laras sambil menyerahkan guci besar itu pada Tanaka.“Sekarang?” tanya Tanaka dengan wajah malas.“Iya, sekarang! Kalau tidak, ibu tak akan membuatkan sarapan untuk kalian,” ancam Laras.Tanaka menghela napas.“Baik, Ibu,” ucap Tanaka tampak malas. Tanaka pun keluar dari kamarnya sambil membawa guci itu keluar rumah.Laras menarik napas lalu menghembuskannya sambil geleng-geleng. Dia pun kembali ke arah dapur.Tanaka pun tiba di pinggir sungai yang tampak jernih itu. Dia meletakkan guci di atas batu lalu membuka topengnya. Tanaka melihat wajahnya di permukaan air sungai yang tampak tenang. Dia menatap lekat-lekat wajahn
Tanakan meletakkan guci berisi air di tempatnya. Laras tampak sedang menyiapkan sarapan untuk semuanya. Laras tampak heran melihat sorot mata anak lelakinya tampak sayu dan bingung. Sejak Tanaka sering menggunakan topeng, Laras semakin tahu perasaan anak lelakinya itu melalui sorot matanya.“Kau baik-baik saja?” tanya Laras.Tanaka hanya mengangguk. Dia pun pergi begitu saja menuju kamarnya. Setiba di kamarnya dia membaringkan tubuhnya di atas kasur jeraminya. Dia membuka topengnya hingga terlihat jelas wajah buruk rupanya. Tanaka menatap langit-langit kamarnya. Dia masih terpana menatap wajah gadis cantik itu tadi. Bersamaan dengan itu juga dia merasa bersalah telah membunuh ayahnya semalam.Tanaka gelisah. Dia membolak-balikkan tubuhnya tak menentu. Sesaat kemudian dia duduk sambil memegangi bibirnya.“Aku sudah menciumnya,” gumam Tanaka tak percaya. “Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku telah membunuh ayahnya.”Tanaka bingung sendiri. Laras yang sengaja mengintipnya karena pena
“Dia kerasukan, Nyi. Dia harus kita kurung ke dalam kandang. Kita sudah lima bulan tidak mengirim sesajen ke batu besar itu.Laras terbelalak mendengarnya.“Jadi hal aneh tadi itu karena Tanaka kerasukan?” tanya Laras dengan terkejutnya.Sa mengangguk. Laras pun pasrah melihat anak lelakinya digotong mereka menuju kandang. Sementara Tanaka tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan untuk bergerak, berbicara saja dia tidak bisa.Tanaka digotong empat sekawan menuju kandang yang dulu dibuat untuk mengurung Se ketika kerasukan. Ketika Tanaka sudah di masukkan ke dalam kandang, Sa langsung menggunakan ajian penguat dinding kandang. Ajian yang tak akan bisa ditembus siapapun meskipun harus menggunakan tenaga dalam untuk merusak kandang. Setelah Sa selesai membacakan ajiannya, dia pun menggunakan jurusnya untuk melepas ajian totokannya pada Tanaka.Tanaka pun kembali bisa bergerak dengan lemas.“Aku... tidak... kerasukan,” ucap Kantata lemah. Ajian totokan memang sangat berbahaya. Siapapun yang
Semua pun kembali menggunakan jurus meringankan tubuhnya dengan melompat dari pohon satu ke pohon lainnya. Ketika mereka sudah tiba di depan kandang, mereka melihat Laras sedang menangis meraung-raung di hadapan kandang. Sa dan semua heran.“Kenapa istriku?” tanya Sa heran.“Roh jahat itu telah membawa Tanaka pergi, Suamiku!” isak Laras.Sa dan tiga sekawan menoleh ke dalam kandang. Mereka terkejut melihat Tanaka sudah tidak ada di dalam sana. Tanaka pun dengan rapihnya menutupi lubang itu dengan jerami yang ada di dalam kandang itu hingga tak terlihat oleh semuanya.“Arwah penunggu itu memang benar-benar hebat! Dia bisa meloloskan diri dari ajian pelindungku,” ucap Sa tak percaya.“Ayo kita cari Tanaka!” ajak Si dengan paniknya.Empat sekawan pun bergegas pergi mencari Tanaka ke arah batu besar pinggir lembah. Sementara Laras masih menangis sesenggukan di hadapan Kandang itu.***Tanaka yang berhasil meloloskan diri tampak berjalan menyusuri sungai dengan kesalnya. Dia sudah mengguna
Tanaka masih gelisah di dalam kamarnya. Matanya masih mengawang ke langit-langit kamarnya. Tak lama kemudian pintu kamarnya berderak. Tanaka menoleh, kaget melihat kedatangan Laras. Pemuda itu bergegas bangkit lalu duduk di tepi ranjang. Dia tidak mengenakan topengnya. Wajahnya terlihat jelas sebagaimana aslinya.“Ibu?” ucap Tanakan heran.“Kamu baik-baik saja kan?” tanya Laras heran.Tanaka tersenyum memangguk.“Maafkan atas kebodohan Ayah dan paman-pamanmu,” ucap Laras dengan wajah serius. Dia pun duduk di sebelah Tanaka.“Aku tidak marah sama ayah dan paman-pamanku, Bu,” ucap Tanaka menenangkan hati Ibunya.Laras memperhatikan mimik wajah anaknya dengan heran. Dia bisa melihat jelas ada sendu di kedua bola matanya.“Sebenarnya kamu lagi mikirin apa? Apa ada yang melihat wajahmu terus mengejekmu?” tanya Laras khawatir. “Ibu kan sudah bilang, kamu harus selalu menggunakan topengmu, biar tidak ada yang mengejekmu.”“Bukan karena itu, Bu,” jawab Tanaka.“Terus karena apa?” desak Laras
Laras sedang menyiapkan makan malam untuk semuanya. Sa datang duluan lalu duduk di atas lantai. Di hadapannya sudah tersaji berbagai hidangan.“Mana yang lainnya?” tanya Laras.“Mereka masih di sungai,” jawab Sa.“Tanaka?”“Ayah tidak tahu, Bu. Mungkin dia masih di kamarnya,” jawab Sa.Laras duduk di hadapan Sa. Lalu memperhatikan wajahnya yang tampak sedih.“Anak sama bapaknya kok sama,” ucap Laras tiba-tiba.Sa mengernyit heran mendengarnya.“Sama bagaimana?” tanya Sa heran.“Tanaka seharian ini tampak sedih, kamu juga sedih. Kalian sebenarnya kenapa?” tanya Laras heran.“Apa kita kembali ke Nusantara saja, Bu?” tanya Sa tiba-tiba.Laras terdiam.“Istriku?”“Bukankah saat ini Nusantara masih belum aman, Suamiku?” tanya balik Laras dengan heran.“Aku ingin mencari tabib untuk mengobati wajah Tanaka. Aku yakin ada tabib di Nusantara yang bisa menyembuhkannya,” ucap Sa.Laras terdiam mendengar itu.“Istriku?”“Tanaka tidak sedang terkena penyakit, suamiku. Tabib-tabib di negeri ini pun