Share

JILID 2 | DUEL

last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-23 14:11:37

Berita tentang pertarungan antara si Raja Iblis dan Jiu Long cepat menyebar ke seluruh penjuru. Pertarungan yang akan berlangsung pada bulan dua hari ketujuh di Puncak Gunung Agung Barat, Huà Shān itu, benar-benar menggemparkan rimba persilatan!

Hampir seluruh tokoh-tokoh persilatan baik dari golongan putih maupun golongan hitam, berdatangan menuju Puncak Gunung Agung Barat, Huà Shān. Mereka ingin menyaksikan pertarungan yang sangat jarang terjadi pada masa itu. Di mana dua orang tokoh sakti dari aliran yang berbeda akan mempertunjukkan ilmu-ilmu tingkat tinggi yang jarang ada duanya di dunia persilatan.

Boleh dikatakan, tidak ada seorang pun tokoh persilatan yang rela melewatkan kesempatan itu. Baik pendekar-pendekar ternama maupun orang-orang yang hanya memiliki ilmu pas-pasan. Semuanya ingin menimba pengalaman dari kedua tokoh sakti yang sudah pasti akan mengeluarkan ilmu-ilmu tingginya. Beberapa hari sebelum waktu yang ditentukan tiba, desa-desa yang berada di sekitar Puncak Gunung Agung Barat, Huà Shān sudah banyak dikunjungi orang.

"Wah...! Pertarungan itu pasti akan seru sekali. Ini benar-benar sebuah tontonan yang sangat menarik," ujar seorang berkepala botak kepada teman seperjalanannya. Wajah orang itu kelihatan berseri-seri. Sepertinya ia lupa bahwa pertarungan itu adalah sebuah pertarungan antara hidup dan mati.

"Tentu saja akan ramai dan seru! Eh, menurutmu siapakah yang akan menang?" tanya temannya juga gembira.

"Apakah kau ingin mengajak bertaruh?" tanya orang itu lagi. Rupanya orang berkepala botak itu termasuk orang yang gemar berjudi. Tak mengherankan kalau ia selalu menggunakan setiap kesempatan atau apa saja untuk berjudi.

"Huh! Dasar otak judi!" bentak temannya yang mengenakan ikat kepala hitam sambil mencibir. "Eh, memangnya apa yang hendak kau pertaruhkan?" biarpun semula mencemooh, tapi akhirnya ia tertarik juga pada usul kawannya.

Salah seorang dari tiga laki-laki yang berjalan di belakangnya melangkah maju. Wajahnya yang bulat menjadi merah ketika mendengar perkataan kedua orang didepannya. "Hei! Apakah tidak ada pikiran lain dalam otak kalian selain judi?" bentak laki-laki itu sambil menuding ke arah dua laki-laki yang hendak bertaruh itu.

Tentu saja dua orang itu menjadi marah mendengar teguran lelaki itu yang terdengar kasar dan menyakitkan itu. Keduanya menggeram penuh kemarahan.

"He, muka bakpau! Apa pedulimu dengan urusan kami? Kalau kau tidak suka mendengarnya, ya sudah! Urus saja wajahmu yang seperti bakpau itu!" bentak orang yang berkepala botak tak mau kalah gertak. Sambil berkata demikian, tangannya meraba gagang golok yang tersembul di balik bajunya.

"Keparat! Kau kira aku takut melihat golok dapurmu!" sahut lelaki yang merasa tersinggung karena digertak lawan bicaranya itu. Tangan kanannya tahu-tahu sudah terulur menjambret leher baju orang itu.

Krep!

"Hekh...!" Entah karena gerakan tangannya yang terlalu cepat, atau memang orang berkepala botak tidak memiliki kepandaian, tahu-tahu tubuh orang itu sudah terangkat. Sepasang tangannya telah mencekik lehernya.

"Hm..., tikus busuk! Rupanya kau mau bertingkah di hadapanku!" geramnya yang sudah siap meremukkan batang leher orang berkepala botak itu.

"Adik, tahan!" tiba-tiba saja kakak seperguruannya yang sudah berdiri di sampingnya. Tangan Ranjalu segera mencekal tangan adik seperguruannya. "Sabarlah, jangan turuti emosimu."

Guntara berpaling sejenak memandang wajah kakak seperguruannya. Sinar matanya yang semula tajam, pelahan kembali lembut. Jari-jari tangannya mengendur. Tubuh orang berkepala botak itu lalu didorongnya hingga terjerembab di tanah. "Hm..., kali ini kau kuampuni. Tapi ingat! Sekali lagi kau membicarakan soal perjudian di depanku, akan kuremukkan batok kepalamu!" ancamnya bengis.

Setelah berkata demikian, ia pun berlalu. Tinggallah si botak dan kawannya terpaku dengan wajah pucat. Keduanya hanya dapat memandangi punggung ketiga tokoh persilatan yang telah melanjutkan perjalanannya.

"Untunglah orang itu dapat dijinakkan kawannya. Kalau tidak, kepala botakmu pasti sudah diremukkan orang galak itu," ujar kawan si botak seraya menarik napas lega.

"Ah, sudahlah!" sahut laki-laki yang berkepala botak sambil menggerakkan tangannya seperti orang mengusir lalat yang mengganggunya. Tanpa banyak cakap lagi, ia pun segera melanjutkan perjalanannya.

* * *

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Legenda Raja Pendekar   JILID 466

    Perempuan itu tampak cantik luar biasa, mataya berbinar- binar dan mulutnya merah merekah. Jiu Long tiba-tiba saja bergairah, ia memberi isyarat pada isterinya. Mayleen menggeleng. "Tak lama lagi kamu sudah harus bertarung, mana sempat lagi. Jiu Long kamu harus bertarung sungguh-sungguh supaya ibu bisa menetap bersama kita, kamu harus menang.""Kamu membela siapa, ayahmu atau suamimu?""Aku membela kamu suamiku, sebab jika kamu menang, aku tidak perlu pulang ke Himalaya selama-lamanya dan ibu bisa menemani kita sampai aku dan Gwangsin melahirkan. Kamu tahu Jiu Long, terkadang aku takut memikirkan saat melahirkan nanti, pasti sakit. Aku akan bahagia jika ibu ada di sampingku. Makanya kamu harus menang."Tidak lama berselang senja pun tiba. Seluruh anggota keluarga hadir, nonton di tepian danau. Tak seorang pun ketinggalan, termasuk Gan Nung, Gan Ning dan keluarga serta murid Partai Naga Emas.Yudistira melangkah santai di atas permukaan danau. Kakinya mela

  • Legenda Raja Pendekar   JILID 465

    "Boleh saja. Tetapi ada syaratnya. Kamu harus bisa mengalahkan aku dalam pertarungan seru, bagaimana bagus kan syaratnya?"Jiu Long terkejut, apalagi Mayleen. Keduanya berdiri dan memandang dua orangtua itu. "Ayah, apakah aku tidak salah dengar?"Yudistira menjelaskan pertarungan tersebut merupakan bagian dari janjinya pada ayahnya, pendekar Himalaya, Takadagawe. Bagaimanapun juga janji itu harus disempurnakan."Kamu mewakili kakek gurumu, Sun Jian dan aku mewakili ayahku, Takadagawe. Kita tarung, jika kamu menang maka aku akan menetap di sini bersama istriku sampai Mayleen dan Gwangsin melahirkan. Jika aku menang, aku akan tentukan apa yang kumau dan kamu sekeluarga tak boleh ingkar. Aku pikir ini cukup adil.""Tidak bisa begitu, bagaimana mungkin aku harus tarung melawan ayah mertua sendiri, tidak mungkin.""Kamu tidak bisa menghindar, Jiu Long. Ini bagian dari hidup yang sudah kamu jalani, dan bagian dari hidupku juga. Kita bertarung hanya sebat

  • Legenda Raja Pendekar   JILID 464

    Mendadak saja muncul Yudistira dan Satyawati "Ada kejadian apa? Siapa dua gadis cantik ini?" tanya Satyawati sambil mengamati Hwang Mi Hee dan Jia Li. "Oh kalau kamu, aku pernah melihatmu di Putuo," sambil ia menunjuk Hwang Mi Hee.Jiu Long diam serba salah. Jia Li yang lugu dan berani, menjawab meski sedikit malu-malu, "Kami adalah selir kak Jiu Long."Satyawati terkejut, menutup mulutnya dengan tangan. Tetapi sebelum ibu dan ayahnya mengucap sepatah kata, Mayleen berkata dalam bahasa Himalaya. "Ayah, ibu, aku setuju suamiku mengambil selir. Aku dan Gwangsin berdua tidak mampu melayaninya. Ayah tahu hampir setiap malam bahkan siang juga, suamiku maunya bercinta. Lagipula Jiu Long, Gwangsin dan aku sudah memberitahu mereka, kami berdua adalah isteri sedang mereka berdua hanya selir atau pembantu. Apalagi sekarang aku dan Gwangsin sedang hamil, sudah tentu kami bagaikan permaisuri yang harus dilayani. Sekarang ibu dan ayah mengerti?"Satyawati mengiyakan. "Kamu c

  • Legenda Raja Pendekar   JILID 463

    Jiu Long berdiri dan menghampiri. Ia memberi hormat dengan menyentuh ujung kaki ayah mertuanya. Yudistira tertawa. Satyawati berdiri di sampingnya ikut tertawa. "Entah sudah berapa kali ia tertawa hari ini, perubahan yang luar biasa," gumam isterinya dalam hati.Sebelah tangan Yudistira memeluk Mayleen, tangan lainnya merangkul Jiu Long. Suara Mayleen terdengar riang, "Ayah, apakah suamiku sudah boleh Memanggil ayah mertua kepadamu?"Yudistira tertawa. "Jiu Long, pergilah memberi hormat pada ibu mertua dan kakak-kakak iparmu"Setelah memberi hormat dan menyalami keluarga isterinya, Jiu Long menghampiri isterinya. Mayleen melompat dan merangkul suaminya. "Aku bahagia sekarang, semua beres. Tak ada lagi ganjalan dalam hatiku, tak ada gundah, tak ada ketakutan, semua sudah selesai dan sesuai keinginanku." Suara Mayleen mesra. Kemudian dia lari menghambur memeluk Gwangsin. "Terimakasih kakak, kamu sudah banyak membantu aku."Keluarga besar itu berangkat kemba

  • Legenda Raja Pendekar   JILID 462

    Yudistira berkata dingin, "Kamu pintar bicara, apakah kamu sungguh-sungguh mau berkorban jiwa untuk isterimu?""Aku bersungguh-sungguh, aku tak akan melawan, seharusnya aku bunuh diri tetapi aku enggan melakukan perbuatan kaum pengecut. Aku bukan pengecut, aku laki-laki sejati. Inilah jalan yang kupilih, sebagai tanda cintaku kepada putrimu. Tetapi sebagai permohonan terakhir aku minta isteriku dibebaskan dari hukuman, sayangilah dia, cintailah dia." Jiu Long tersenyum pahit.Satyawati dan seluruh keluarga diam terpaku. Keringat dingin. Yudistira menoleh pada putrinya."Kamu mau bicara, bicaralah."Perempuan itu duduk bersanding suaminya, dia merangkul erat lengan suaminya. "Ayah, ibu dan kakak juga kakak ipar, aku ibarat Xionglue yang mencintai suaminya tanpa pamrih. Dalam hidup ini hanya satu kali aku dipilih dan memilih. Aku sudah tentukan pilihanku, dan aku tidak akan bergeser dari pilihanku. Jadi jika ayah membunuh suamiku, maka harus membunuh aku ju

  • Legenda Raja Pendekar   JILID 461

    Yudistira mendengar semua perkataan Jiu Long, ia tak begitu heran. Sesungguhnya dia tak pernah mengira Jiu Long bisa mengalahkan Wasudeva. Bukankah tadi, beberapa pukulan Wasudeva telak menerpa tubuhnya. Dia masih terpukau dengan jurus yang dimainkan Jiu Long, jurus yang mampu menciptakan pusaran angin topan dingin dan yang terasa sampai radius beberapa tongkat.Ayah Mayleen ini merasa kagum "Ilmu anak muda ini biasa saja, tetapi tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat kelas utama. Bagaimana mungkin seorang yang masih muda bisa memiliki tenaga dalam setinggi itu. Waktu aku seusia dia, tenaga dalamku tak sehebat dia," katanya dalam hati.Pada waktu itu, sang nakhoda perahu menghampiri Mayleen yang masih duduk di sisi suaminya. Ia membungkuk memberi hormat."Nona yang mulia, kami sudah terdesak waktu, harus berangkai secepatnya demi menghindari angin topan di laut dekat Malaka. Jika tidak berangkat hari ini, kami harus menunda tujuh hari dan semua pedagang ini akan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status