Deras hujan menari-nari di atas atap Menara Lonceng, memercik di atas bebatuan yang dingin dan licin. Udara malam yang basah dan dingin terasa menyesakkan, seperti ikut menindih dada Shin Tian yang sudah penuh luka.
Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena udara dingin yang menusuk kulit, tapi juga karena kemarahan yang membuncah dalam dadanya. Ia berdiri dengan susah payah, darah menetes dari sudut bibirnya, mencampur air hujan di pipi.
"Beraninya... kalian memukulku!" desisnya, mencoba menegakkan tubuh dan suaranya yang bergetar. Mata hitamnya menatap tajam meski mulai memerah. "Kalau Ayah tahu... ia akan menghukum kalian... dengan seberat-beratnya!"
Ia merasa terhina dengan perlakuan mereka. Ia adalah pewaris pimpinan Keluarga Shin tapi ia tidak dihargai sama sekali oleh sekelompok pemuda yang masuk kasta rendah dalam Keluarga Shin.
Suara tawa mengejek membelah udara, kasar dan penuh hinaan. Seorang pemuda berambut acak-acakan melangkah maju, sorot matanya dingin bagai binatang buas yang mencium aroma darah.
"Ayahmu?" katanya sambil menyeringai. "Hah! Masih juga kau berlindung di balik bayangannya? Kau pikir dia masih peduli? Dia bahkan tak pernah menengokmu lagi sejak kegagalanmu di ujian klan!"
Shin Tian mengepalkan tangannya, buku-bukunya memutih. Kata-kata itu menancap lebih tajam dari pedang. Tapi ia tidak akan tunduk. Tidak sekarang. Tidak di hadapan mereka.
"Kurang ajar... kalian sudah kelewat batas!" raungnya, lalu melompat dengan sisa tenaga, melayangkan tinju ke wajah pemuda yang menghina ayahnya.
Namun...
Tinju itu hanya mengenai angin dann tidak bertenaga.
Tanpa aliran Qi yang dulu mengalir deras dalam tubuhnya, serangannya tak ubahnya seperti bayangan yang lewat.
PLAAAK!
Tamparan keras meledak di wajahnya, dan dunia seolah berputar. Tubuhnya terlempar seperti boneka kain, membentur pilar batu Menara Lonceng. Rasa nyeri menjalar tajam dari pipi ke leher, dan cairan hangat mengalir dari bibir yang pecah.
"Hhh—hahh..." napasnya tersengal, dadanya turun naik.
Langkah berat mendekat, bergema di antara denting hujan dan dentuman petir di kejauhan. Sosok bertubuh kekar—pemimpin dari kelompok itu—berdiri di hadapannya, tatapannya seperti palu yang siap menghancurkan harapan.
"Aku akan menghancurkan mesin iblismu itu," ucapnya dingin. "Dan aku sendiri yang akan melaporkan semua ini ke ayahmu. Kita lihat siapa yang benar-benar akan dihukum."
Shin Tian langsung membelalak, panik merayap naik ke tenggorokannya. Ia menggeleng cepat, kakinya lemas.
"Ja-jangan!" teriaknya. "Tunggu! Jangan sentuh itu!"
Namun tangan pemuda itu sudah terjulur menuju Mesin Waktu—alat yang Shin Tian bangun dengan cucuran keringat, darah, dan tekad selama bertahun-tahun.
Lalu...
BRATAKKK!!!
Petir menyambar! Tombak logam yang tertancap di atas menara menggelepar diterjang kilat. Kilasan cahaya putih membelah langit dan menyambar ujung Mesin Waktu, menyalurkan energi gila yang langsung meledak dalam semburan cahaya.
"AAAARGHH!"
Semua orang di sekitar terhempas oleh gelombang energi yang liar dan tidak terkendali. Tanah bergetar. Udara seperti terkoyak.
Dari pusat mesin, sebuah lingkaran cahaya biru muncul—berputar pelan, lalu semakin cepat, membentuk pusaran seperti mata badai. Cahaya dari pusaran itu menyilaukan, dan udara di sekitarnya berdesing tajam.
Shin Tian menatapnya, tubuhnya gemetar, bukan oleh ketakutan, tapi oleh campuran adrenalin dan harapan yang menyala kembali.
"Akhirnya..." bisiknya. "...kesempatanku. Satu-satunya jalan keluar dari Keluarga Shin... Aku harus mencari jawaban!"
Tanpa ragu, ia berlari. Langkahnya tidak sempurna—terbata, tapi mantap. Ia lompat ke dalam pusaran energi, membiarkan tubuhnya diseret oleh kekuatan besar yang tak bisa ditahan.
Namun...
Saat cahaya mengelilingi tubuhnya, sensasi aneh menjalar ke seluruh syarafnya. Ruang seolah terbalik, waktu terasa mengalir mundur dan maju sekaligus. Detak jantungnya tak beraturan. Dunia di sekelilingnya membias dan bergetar.
Lalu, semuanya sunyi.
Ketika ia membuka mata, bukan masa depan yang ia kenali yang menyambutnya.
Tanah di bawah kakinya kasar dan berdebu, langitnya merah saga, dan udara membawa aroma asing yang tajam. Ia berdiri di tempat yang belum pernah dilihatnya.
Shin Tian terdiam, matanya membulat.
"Aku... di mana ini?"
Ia telah terbawa ke waktu yang salah.
Langit Quilin malam itu tampak sangat kelam. Awan kelabu menggantung rendah di atas menara-menara kuno, dan rembulan, yang seharusnya bersinar penuh, tampak pecah seperti cermin retak di langit. Suasana kota begitu sunyi, seakan waktu sendiri enggan bergerak.Shin Tian berdiri di atap Biara Senja Laut, mengenakan jubah baru berwarna kelam dengan lambang Dewa Alkemis tersulam samar di dada. Jubah itu terasa berat, tidak hanya oleh kainnya, tapi oleh beban perjalanan yang akan ia tempuh.Kael Chronis muncul dari balik bayangan, membawa gulungan kulit tua yang memancarkan hawa dingin yang bukan berasal dari dunia ini. Ia membentangkannya di atas lantai batu, memperlihatkan peta rahasia yang menunjukkan jalur tersembunyi menuju Reruntuhan Menara Jam, tempat Gerbang Retakan tersembunyi.“Ini hanya bisa terbuka saat jarum waktu melewati titik mati,” ujar Kael. “Dan malam ini… hanya tersisa satu putaran detik sebelum celah itu muncul kembali.”Shin Lin berdiri di sisi mereka, matanya tajam m
Angin laut berdesir pelan, menyusup di antara tiang-tiang batu Biara Senja Laut. Tapi di aula utama, keheningan terasa seperti pusaran—menarik semua suara, semua keraguan, dan semua pilihan ke tengah ruang.Kael Chronis berdiri tenang. Sorot matanya menusuk Shin Tian seperti cahaya yang mampu mengurai waktu itu sendiri.“Aku tahu ini membingungkan. Tapi aku tidak datang membawa teka-teki, Shin Tian. Aku datang membawa pilihan.”Shin Tian melangkah pelan ke depan, jubahnya menggesek lantai batu. Pandangannya tidak lepas dari Kael. “Apa maksudmu dengan ‘Retakan Waktu’? Apa itu tempat … atau sesuatu yang terjadi?”Kael menatapnya dalam-dalam. “Retakan Waktu adalah luka di arus waktu … sebuah celah tempat takdir masa depan dan masa lalu saling tarik menarik. Kau berasal dari masa depan yang—percayalah—telah pecah berantakan. Tapi retakan itu tidak hanya menarikmu kemari. Ia mulai mempengaruhi banyak garis waktu lain.”Tabib Tao berjalan perlahan ke sisi mereka, menggenggam tongkat kayu hi
Shin Tian masih terduduk di lantai dingin ruangan itu, tubuhnya sedikit gemetar. Jantungnya berdegup keras, seperti genderang perang yang belum berhenti ditabuh. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menusuk kulit seperti tetesan es. Tangannya yang sempat bergetar perlahan terangkat, menyeka pelipisnya dengan punggung tangan—gerakan kecil, tapi penuh tekad untuk mengembalikan ketenangan yang nyaris lenyap.Nafasnya belum stabil. Tapi ia memaksa dirinya berdiri.Lantai batu di bawahnya terasa kasar, dan debu dupa serta lingkaran garam masih memancarkan aroma hangus dan pahit yang menggantung di udara, seolah mencoba menahan siapa pun yang hendak melangkah keluar dari ruangan setengah lingkaran itu.***Langkah mereka bertiga menggema di lorong batu yang sunyi, hanya ditemani oleh bunyi lembut kain jubah yang bergesekan dan napas mereka yang mulai berat. Dinding-dinding tua Biara terasa dingin, seolah menyerap ketegangan yang mulai menggumpal di udara. Saat mereka tiba di aula depan B
Seketika udara di dalam Biara terasa berubah. Tenang yang sebelumnya mendominasi berubah menjadi tegang dan penuh antisipasi. Angin tipis masuk dari lorong, membawa serta aroma asing—seperti asap logam dan debu kuno.Tabib Tao menurunkan botol ramuan dengan hati-hati. Cairan di dalamnya tiba-tiba berhenti mendidih, seolah ikut membeku oleh ketegangan situasi.“Kau yakin?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan, namun terasa berat.Shin Lin tak menjawab. Ia melangkah maju, pelan tapi pasti, pedangnya terangkat setengah. Wajahnya tetap tenang, tapi rahangnya mengeras. Di matanya, ada kilau bahaya. Ia tahu ... siapa pun yang bisa membuka gerbang Biara bukanlah orang biasa.Dan kunci dari masa yang sama—itu bukan sekadar benda. Itu adalah pengetahuan. Warisan. Sebuah bagian dari rahasia besar yang telah lama terkubur.Sebuah langkah terdengar dari kegelapan lorong. Satu. Dua. Pelan. Penuh keyakinan.Shin Lin mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, jari-jari menggenggam gagang pedang lebi
Kabut laut turun lebih tebal dari biasanya malam itu.Seperti selimut hantu yang menjulur dari langit ke laut, kabut itu menggulung perlahan, membungkus Biara Senja Laut dengan keheningan yang menggigit hingga ke tulang. Bau asin laut tercampur samar dengan aroma garam basah dan sesuatu yang lebih tua—bau waktu yang meluruh, seperti lembaran naskah tua yang terbakar perlahan.Biasanya, lentera biru yang tergantung di sepanjang dinding batu Biara akan berkelip riang, seolah menari mengikuti angin malam. Namun malam ini, cahaya mereka bergetar, surut dan redup seperti napas terakhir lilin yang kehabisan udara.Di kejauhan, suara kayuhan kayu pelan tapi mantap menyentuh permukaan air. Cekkk... cekkk... Suara itu datang dari arah laut terbuka, terdengar jelas di antara dengung ombak yang murung. Gelombang kecil menggulung perlahan, membawa bayangan hitam pekat—sebuah perahu kecil, ramping, dan tak bercahaya.Seolah ia tidak menantang malam, tetapi adalah bagian darinya.Seseorang berdiri
Langit Kota Quilin dipenuhi awan berat ketika Shin Tian, Shin Lin, dan Tabib Tao meninggalkan rumah yang telah hancur malam sebelumnya. Tidak ada waktu untuk pemulihan penuh. Jejak mereka sudah terendus. Sekte Ular Berkepala Dua takkan menyerah setelah gagal dua kali.“Biara Senja Laut,” ucap Tabib Tao sambil memberikan peta dari gulungan kulit rusa. “Tersembunyi di balik tebing kabut di selatan. Hanya bisa dicapai melalui jalur rahasia. Mereka bukan sekte, tapi mereka menampung para pelarian berbakat—selama kau tidak membawa masalah ke dalam dinding mereka.”Shin Lin menerima peta itu dengan sorot mata serius. “Kalau mereka bisa menyembunyikan aura Shin Tian, kita harus ke sana.”Mereka bergerak cepat. Tanpa kereta, tanpa tanda. Hanya langkah kaki di jalur belakang pasar Quilin, melalui gang-gang tua yang bau besi, jelaga, dan masa lalu.Sepanjang perjalanan, Shin Tian lebih banyak diam. Tatapannya kosong ke depan, kadang memandangi telapak tangannya sendiri seolah ingin mengingat se