Langit di atas kediaman Keluarga Shin menghitam, menggantung berat seperti pertanda kutukan yang hendak turun. Awan bergulung-gulung seperti naga kelabu, dan rintik hujan mulai menari di udara, menciptakan irama lembut yang menghantam genting tua menara tua keluarga. Udara terasa lembap dan bergetar oleh energi yang belum meledak—seperti napas yang ditahan semesta.
Di puncak menara itu, Shin Tian berdiri sendiri, tubuhnya kaku, jantungnya berdebar seolah ingin memberontak keluar dari dadanya. Nafasnya berat, mengembuskan uap tipis yang menyatu dengan hawa dingin. Di depannya, sebuah mesin aneh berbentuk silinder perunggu berdiri diam, kabel-kabel berserakan bagai akar tanaman yang mencari tanah. Ia mendongak, menatap langit dengan mata penuh harap.
"Hanya tinggal menunggu petir menyambar," gumamnya, nyaris seperti doa yang ditelan angin. Wajahnya basah—entah karena hujan atau keringat—namun matanya bersinar dengan tekad yang tak bisa dipadamkan.
Jika petir itu datang, jika rencananya berhasil, maka bukan hanya mesin waktunya yang akan hidup kembali. Harga dirinya, yang telah dihancurkan berkali-kali oleh hinaan dan pengabaian, akan menyala sekali lagi. Ia akan membuktikan pada dunia—dan terutama pada keluarganya—bahwa ia bukan sekadar "sampah" yang tak bisa berkultivasi. Ia adalah Shin Tian, si jenius yang berani menantang hukum waktu.
Namun, sebelum langit menyahut dengan kilatnya, suara langkah tergesa memecah keheningan malam. Suara itu menggema di tangga batu menara seperti pertanda buruk. Shin Tian menoleh cepat.
"Aku kira siapa yang nekat memasuki bangunan suci ini..." Suara kasar itu disertai langkah kaki yang makin dekat. Seorang pemuda bertubuh kekar muncul dari balik bayangan, senyum sinis mengoyak bibirnya. "Ternyata hanya kau, Shin Tian si pecundang."
Tawa mengejek menyusul dari belakangnya. Beberapa pemuda lain dari Keluarga Shin menyusul naik, mengepung Shin Tian seperti kawanan serigala mengendus mangsanya.
Ekspresi mereka jelas—mata merendahkan, senyum meremehkan. Mereka menatapnya seolah ia adalah noda di atas lukisan leluhur mereka, sesuatu yang seharusnya disembunyikan, atau lebih baik, dihapus.
"Apa yang kau lakukan di sini?" hardik salah satu dari mereka, matanya menajam melihat tombak logam yang menjulang dari puncak menara, terhubung langsung ke mesin. "Kau ingin membunuh kami semua dengan alat gila ini?"
Shin Tian menarik napas dalam. Ia ingin berteriak. Ingin menjelaskan. Tapi suaranya keluar pelan, nyaris tenggelam oleh guntur yang bergemuruh di kejauhan. "Kasih aku sedikit waktu, Kak... Aku hanya ingin membuktikan... kalau aku masih berguna bagi Keluarga Besar Shin."
Seketika, gelak tawa meledak. "Berguna? Kau?" Seorang pemuda melangkah maju dengan tatapan mengejek. Ia mengangkat kakinya—dan menendang mesin waktu itu.
BRANGG!
Mesin itu terguling, menghantam lantai batu dan memercikkan percikan api. Bunyi logam yang berderak seperti jeritan harapan yang hancur. Shin Tian terlonjak, matanya membelalak saat melihat satu tabung utama penyok.
"Jangan berkhayal terlalu tinggi, Tian," ujar pemuda itu dingin, menatapnya dari atas. "Ini zaman kultivasi, bukan zaman mainan teknologi murahan."
Shin Tian mengepalkan tangannya. Kuku-kukunya menancap di telapak tangan, tapi ia tidak peduli. Amarah mendidih di dadanya, panas seperti bara, tapi ia menahan. Ia tahu—kata-kata tidak cukup untuk menjawab mereka.
Ia hanya butuh satu hal.
Petir.
Rintik hujan mulai turun perlahan, membasahi tanah keras dan rumput liar yang tumbuh liar di pojokan halaman. Di bawah remang cahaya lentera yang temaram, seorang pemuda berdiri dengan tubuh gemetar. Rambutnya basah, menempel di wajahnya yang pucat. Bajunya lusuh, penuh bercak lumpur dan sobekan di sana-sini.
Mata itu... mata Shin Tian yang dulu bersinar penuh semangat kini tampak meredup, memancarkan lelah dan ketidakberdayaan.
"Aku mohon, Kak..." suaranya serak dan lirih, lebih mirip rintihan daripada permintaan. Tapi tak ada belas kasih di hadapan wajah-wajah itu.
Ia adalah putra dari pemimpin Keluarga Shin. Seharusnya, darah mulia mengalir di dalam dirinya. Tapi sejak dantiannya rusak, segalanya berubah. Statusnya menguap, harga dirinya diinjak-injak. Kini, ia tak lebih dari bayangan masa lalu—sampah yang tak layak disapa.
Tawa merendahkan menggema dari kerumunan pemuda yang mengelilinginya. Salah satunya, bertubuh tinggi besar dengan wajah bengis, maju dengan langkah penuh keyakinan.
"Sampah sepertimu... harus diajari batasan," katanya datar—dan tanpa aba-aba, tinju keras melesat ke arah perut Shin Tian.
BUGH!
Tubuh Shin Tian terhuyung ke belakang. Perih menyengat langsung menyebar dari perut ke seluruh tubuhnya. Lututnya hampir ambruk, dan rasa logam menyentuh lidahnya—ia hampir muntah. Tangan kirinya memegang perut, sementara tangan kanannya mencengkeram udara, seolah berusaha meraih sesuatu yang tak ada.
Namun ia tidak jatuh.
Di tengah rasa sakit, di balik hujan yang kini deras, Shin Tian menatap ke depan. Tatapan itu—meski lemah—masih menyimpan sisa-sisa api kecil yang belum padam.
Petir akan datang. Dan saat itu tiba...
Dunia akan tahu siapa dirinya sebenarnya.
Suara alarm masih meraung, memenuhi ruang bawah tanah ShinCorp dengan cahaya merah berdenyut. Mesin Tempus di tengah ruangan berputar semakin cepat, seolah merespons ancaman yang bahkan belum terlihat oleh mata telanjang.Abigail berdiri tegang di samping panel kendali, jemarinya bergerak cepat di atas permukaan holo, mencoba menstabilkan medan waktu. Shin Tian, dengan tatapan tajam, berjalan perlahan mengitari silinder energi itu, merasakan arus qi yang saling bertabrakan seperti dua sungai liar.“Apa yang kau lakukan?” Shin Tian menatap Abigail dengan nada waspada.“Mesin ini… bereaksi padamu,” jawab Abigail tanpa mengalihkan pandangan dari layar. “Saat kau mendekat, frekuensinya melonjak dan memicu temporal breach—celah waktu. Itu artinya darah kita memiliki keterkaitan.”Shin Tian menatap kristal ungu Chrono Essence yang berputar di pusat mesin, lalu kembali pada Abigail. “Bukan hanya keterkaitan. Darahmu… beresonansi dengan garis keturunan Shin Lin. Itu berarti—”“Aku adalah rein
Langit di atas Kota Shanghai saat itu berwarna kelabu—awan-awan menggantung berat seakan menekan puncak-puncak gedung pencakar langit yang diselimuti kabut elektronik. Di dalam ruang rapat eksklusif lantai 99 gedung pusat ShinCorp, sebuah pertemuan rahasia tengah berlangsung.Lantai kaca transparan memantulkan siluet lima orang berpakaian formal, duduk melingkar di depan layar melayang. Di tengah layar, wajah Shin Tian membeku dalam potret digital yang baru saja diambil dari kamera keamanan apartemen Abigail. Data biometrik dan sinyal qi anomali tertulis di sampingnya.Seorang pria tua dengan rambut putih keperakan menyipitkan mata. “Energinya… bukan dari dunia ini. Resonansi spiritualnya identik dengan pola-pola kuno dalam Kitab Darah Shin.”“Dan ia mengklaim sebagai sahabat Shin Lin,” ujar seorang wanita dengan suara dingin, mengenakan seragam militer bertuliskan ‘Divisi X : Dimensional Time Warfare’.“Ini bukan sekadar klaim,” jawab yang lain, “data DNA-nya cocok dengan garis darah
Mobil Porsche berwarna silver itu meluncur pelan menembus malam kota yang basah oleh gerimis. Lampu-lampu jalan memantul di kaca jendela, menciptakan garis-garis cahaya yang seperti menggores waktu. Di dalam mobil, suasana terasa hening namun tegang.Abigail sesekali melirik ke pria aneh yang duduk di sampingnya. Jubah koyaknya kini dibalut mantel tebal yang ia berikan, tapi tatapan matanya… tatapan itu seperti milik orang yang telah melihat dunia terbakar dan bangkit dari abu.“Kau yakin tak perlu ke rumah sakit?” tanya Abigail dengan nada ragu.“Aku tidak terluka. Hanya… terguncang,” jawab Shin Tian pelan, suaranya dalam dan tenang. “Dunia ini… berbeda dari yang aku kenal. Tapi kau… dan nama yang kau bawa… itu menarik perhatianku.”Abigail mengernyit. “Kau masih belum menjelaskan apa maksudmu dengan ‘datang dari masa Shin Lin’. Kau bicara seolah itu bukan sejarah.”Shin Tian menoleh ke jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang seolah menusuk langit.“Karena bagiku… itu bukan sejara
WUSSSSHHHHH!Seketika segalanya lenyap.Cahaya ungu, biru, dan emas yang membentuk Gerbang Retakan menelan tubuh Shin Tian. Tubuhnya terasa seperti diurai menjadi serpihan roh dan daging, melayang-layang di antara jalinan waktu yang tak bisa dimengerti oleh akal manusia. Suara-suara masa lalu dan masa depan menyatu dalam gaung tak beraturan, membisikkan takdir yang belum dipilih dan kenangan yang belum terjadi.Namun lalu…BRAKKKK!!“YA AMPUN!!” teriak seorang wanita dari dalam mobil mewah berwarna perak metalik yang kini berhenti mendadak di tengah jalan kota.Tubuh Shin Tian terlempar ke udara dan jatuh menghantam trotoar keras. Jubah kelamnya robek di beberapa bagian, dan rambut panjangnya berantakan. Tapi anehnya, tidak ada darah. Tidak ada luka parah. Tubuhnya seakan menyerap benturan itu—efek sisa dari teknik pertahanan spiritualnya, yang entah bagaimana masih bertahan.Shin Tian menggeliat pelan, matanya beradaptasi dengan cahaya asing—lampu jalan kota, klakson mobil, udara yan
Langit Quilin malam itu tampak sangat kelam. Awan kelabu menggantung rendah di atas menara-menara kuno, dan rembulan, yang seharusnya bersinar penuh, tampak pecah seperti cermin retak di langit. Suasana kota begitu sunyi, seakan waktu sendiri enggan bergerak.Shin Tian berdiri di atap Biara Senja Laut, mengenakan jubah baru berwarna kelam dengan lambang Dewa Alkemis tersulam samar di dada. Jubah itu terasa berat, tidak hanya oleh kainnya, tapi oleh beban perjalanan yang akan ia tempuh.Kael Chronis muncul dari balik bayangan, membawa gulungan kulit tua yang memancarkan hawa dingin yang bukan berasal dari dunia ini. Ia membentangkannya di atas lantai batu, memperlihatkan peta rahasia yang menunjukkan jalur tersembunyi menuju Reruntuhan Menara Jam, tempat Gerbang Retakan tersembunyi.“Ini hanya bisa terbuka saat jarum waktu melewati titik mati,” ujar Kael. “Dan malam ini… hanya tersisa satu putaran detik sebelum celah itu muncul kembali.”Shin Lin berdiri di sisi mereka, matanya tajam m
Angin laut berdesir pelan, menyusup di antara tiang-tiang batu Biara Senja Laut. Tapi di aula utama, keheningan terasa seperti pusaran—menarik semua suara, semua keraguan, dan semua pilihan ke tengah ruang.Kael Chronis berdiri tenang. Sorot matanya menusuk Shin Tian seperti cahaya yang mampu mengurai waktu itu sendiri.“Aku tahu ini membingungkan. Tapi aku tidak datang membawa teka-teki, Shin Tian. Aku datang membawa pilihan.”Shin Tian melangkah pelan ke depan, jubahnya menggesek lantai batu. Pandangannya tidak lepas dari Kael. “Apa maksudmu dengan ‘Retakan Waktu’? Apa itu tempat … atau sesuatu yang terjadi?”Kael menatapnya dalam-dalam. “Retakan Waktu adalah luka di arus waktu … sebuah celah tempat takdir masa depan dan masa lalu saling tarik menarik. Kau berasal dari masa depan yang—percayalah—telah pecah berantakan. Tapi retakan itu tidak hanya menarikmu kemari. Ia mulai mempengaruhi banyak garis waktu lain.”Tabib Tao berjalan perlahan ke sisi mereka, menggenggam tongkat kayu hi