Kehidupan itu selalu berputar. Manusia tidak akan berjalan di tempat sekalipun dia hanya tiduran, asal selama nyawa masih dikandung badan.
Begitu juga dengan nasib hidupku setelah memutuskan menjadi TKI ke Jepang. Dulu aku tidak banyak memiliki apapun, kini berubah perlahan.
Gaya hidup teman-teman asrama yang kerap membeli sepatu dan pakaian bagus, turut mempersuasi isi dompetku. Hingga memiliki koleksi empat sepatu dari merk ternama.
Kesejahteraan keluargaku di kampung naik perlahan. Bapak sudah bisa berjalan lagi sejak dua tahun lalu. Kini, mengolah lahan kecil yang kubeli dengan uang tabungan.
Ibu membuka toko peracangan depan rumah. Dan kedua adik angkatku membantu usaha dagangnya.
Ini sudah tahun ketiga aku bekerja di Jepang. Bertemu keluarga hanya lewat sambungan Skype.
"Mau kemana Rin?"
"Biasa, sing song." Ucapnya sambil menaikturunkan alis.
Aku sudah tahu kebiasaan anak-anak TKI selepas menerima gaji. Kalau tidak makan-makan, minum sake hingga teler, pergi karaoke ditemani gadis-gadis muda Jepang, bahkan pergi ke club hingga pulang lewat tengah malam.
"Ayo Jak, masak kamu di kamar mulu. Kapan kenalnya sama bishojo-bishojo."
Bishojo, sebutan gadis cantik Jepang yang masih belia. Mereka kerap di tempat hiburan untuk bersenang-senang.
Aku menggeleng ingat nasehat bapak ibu.
"Ya elah Jak. Nggak apa-apa kok. Ada Matsumoto dan yang lain."
Aku sudah memiliki teman asli Jepang. Kami sama-sama bekerja di bagian gudang.
"Baiklah. Tunggu bentar."
Akhirnya aku mengikuti teman-teman menghabiskan malam minggu di club untuk pertama kalinya.
Memakai hoodie biru matang, celana jeans, dan sepatu. Kami menuju tempat hiburan menggunakan Shinkansen. Sebuah kereta api peluru di Jepang berkecepatan tinggi.
Sesampainya di stasiun Ebisu kami bergerak menuju pub and bar terkenal bernama Hay the Dickens!
Bar ini sangat luas dengan panggung utama penuh cahaya lampu sorot yang mudah terlihat dari bar, sudut lantai dasar, dan balkon atas. Sehingga menghasilkan tempat visual musik terbaik.
Takjubnya aku menatap gemerlapnya dunia malam di klub ini. Orang-orang berlonjak gembira saat musik hip hop mengalun keras.
Rinto, teman asramaku, menarik tanganku menuju dance floor untuk menikmati musik dan mencari bishojo.
Seorang DJ laki-laki dengan gaya keren, meracik lagu-lagu hip hop yang membangkitkan semangat. Jemarinya begitu lincah menggesek gesek bulatan hitam dan segala tombol yang ada di DJ Player.
Aku seperti menemukan duniaku.
Lalu meminta bantuan Matsumoto untuk mengenalkanku dengan sang DJ. Tapi sayang, dia orang sibuk yang tidak bisa ditemui sembarangan.
"Kenapa kawan?" Matsumoto bertanya saat aku tengah murung duduk di sofa club. Dimeja berjejer minuman alkohol.
"Sedih karena DJ Palka tidak menerima orang sepertimu?"
Aku mengangguk.
"Maklum dia artis sibuk dan sedikit pilih-pilih."
Sesampai di asrama, aku merenungkan kembali keinginan besar di hati. Ingin menjadi seorang DJ.
Apakah pilihanku ini salah?
Aku rasa tidak karena DJ bukan pekerjaan haram atau dilarang agama. Itu hanya profesi meracik lagu-lagu energik.
Dengan tekat membara, kubuka laman di website tentang apa itu DJ dan segala tetek bengeknya hingga menemukan satu situs yang membuat bibirku tersenyum.
"Belajar DJ online."
Meski harga DJ Player tidak murah, namun keinginan mengalahkan logika. Berbekal tabungan dan kenekatan, akhirnya aku memutuskan mengambil satu kursus singkat.
Satu, tiga, lima bulan.
Setiap pulang kerja aku berlatih menggunakan DJ Player dan ilmu yang kudapat dari pelatihan online. Kesulitan yang muncul kujadikan tantangan untuk berkembang lebih baik.
Uang tabunganku terkuras demi meraih mimpi menjadi DJ terkenal.
Teman-teman asrama banyak yang mendukung juga banyak yang mencibir. Aku tetap konsisten dengan minat baruku ini. Siapa tahu bisa membawa kehidupan lebih baik selain menjadi buruh pabrik.
Aku kerap mengunjungi club-club malam untuk mendengarkan kreasi para DJ. Menyaring kelebihan yang mereka miliki untuk kukembangkan di asrama.
"Aku ingin bertemu dengan pemilik club. Mau melamar sebagai DJ." Ucapku pada manager club, Matsushima.
Bukannya bertemu pemilik club, aku malah digiring menuju DJ Player. Ia memintaku mendemonstrasikan satu kebolehan yang kubisa.
'Aku harus berhasil.'
Begitulah sugesti pada diri sendiri.
Lagu hip hop racikan sendiri yang sempat kukirim pada guru kelas DJ online, kini kulantunkan secara perdana di club ini.
Semua terasa begitu memacu adrenalin. Aku gemetaran sekaligus kepanasan karena gugup. Para pengunjung club malah lompat lompat menikmati karyaku.
Setengah jam kemudian Matsushima membawaku menuju ruangannya.
"Aku beri kontrak untuk manggung seminggu 2x. Beri pertunjukan yang energik dan luar biasa. Paham?"
Senyum mengembang dibibirku.
"Poles penampilanmu agar lebih keren. Aku mau semua pengunjung yang datang menyukaimu."
Berbekal tabungan yang masih ada, aku mengunjungi salon, membeli pakaian yang cocok untuk manggung, dan terus berlatih.
Inilah impianku. Inilah duniaku. Tidak akan kubiarkan siapapun menghalangi.
"Kalau bapakmu curiga gimana Jak?" Tanya Rinto yang mengenal baik karakter agamis bapakku.
"Semuanya ayo melompat!!!!" "Yow yow!!!!" Gemerlap ampu sorot yang mengarah ke dance floor Yokoha Club menambah riuh kegilaan pengunjung. Deretan perempuan cantik berpakaian minim dan seksi melonjak-lonjak riang di sana. Dengan gerombolan lelaki macho dan keren yang ikut menggoda. Kepulan asap rokok, aroma minuman beralkohol, dan kegiatan sensual yang terjadi di dalam club seakan menjadi hal yang lumrah kupandangi setiap hari. Begitu musik hip hop yang kubawakan semakin keras, mereka semakin menggila. Bahkan ada yang berciuman di tengah lantai dansa lalu disambut riuh tepuk tangan dan umpatan. "Mereka gila!" Pekik Matsushima yang tengah berdiri di sebelahku. Aku menggeleng. "Sebentar lagi mereka akan menuju hotel depan club." "Lalu membuat anak!" Aku terkekeh melihat kedua sejoli itu. Kemudian mereka pergi entah kemana. One night stand, adalah hal yang biasa terjadi di club-club malam ketika menemukan seseorang yang tepat untuk dikencani. Menginap semalaman untuk mele
"Jak, bangun! Buruan mandi!! Hampir telat oey!!" Teriak Rinto. Semalam aku baru pulang lewat tengah malam sehabis berkencan dengan Harumi. Teriakan Rinto membuatku meloncat dari futon, kasur lantai yang biasa kupakai di Jepang. Semalam Harumi mengatakan perasaan cintanya padaku. Ini gila, aku ditembak seorang perempuan. Di Jepang, seorang perempuan menyatakan cinta pada lelaki idamannya bukanlah hal tabu. Tanpa banyak pertimbangan, aku menerima cinta Harumi. Meski masih bingung dengan perasaanku padanya. Tanpa mandi, hanya menggosok gigi lalu berganti seragam kerja pabrik, menyisir rambut asal, memakai sepatu, mengambil tas kerja, lalu berlari mengejar teman-teman menuju halte. "Keasikan jadi DJ lupa sama kerjaan pabrik." "Bukan, aku semalam habis kencan sama cewekku." Jawabku dengan nafas terengah-engah. Kepalaku di tonyor teman-teman karena mereka iri dengan kecantikan dan keseksian Harumi, kekasihku. Sedang mereka sampai hari ini belum mendapat kekasih padahal jauh lebi
Surrogate sexual partner, atau istilahnya pasangan pengganti adalah jasa pelayanan 'teman kencan' yang sedang tren di Jepang. Disana, ada lembaga yang menyediakan seorang traineer atau pelatih profesional yang bertugas menjalin hubungan dan kedekatan dengan pasien yang merasa 'lack in relationship'. Sudah bukan rahasia umum jika orang yang mengalami trauma susah mencari pasangan hidup lalu menarik diri. Juga, lembaga itu menyediakan ruang bagi mereka yang terlahir dengan keterbatasan fisik tapi memiliki organ reproduksi yang normal namun tidak tahu bagaimana menyalurkan gairah itu. Dan sudah menjadi tugas para traineer untuk membantu mereka mendapat kepuasan batin yang tidak mungkin bisa dipenuhi seorang diri. Herannya, mengapa Tuan dan Nyonya Tatsuo tidak menghubungi lembaga itu? Mereka malah memilihku yang tidak berpengalaman dalam hal seperti itu, apalagi membangun kedekatan intim dengan putri mereka. Aku tidak memiliki ilmu seperti itu sama sekali. Aku hanya pernah membaca art
"Boleh. Sarapan dimana?" "Di kamarku." Deg... Apa Minaki sudah tidak sabar ingin melakukan 'itu'? Jika iya maka jawabannya berbeda denganku yang akan menjawab 'aku belum siap'. Bagaimana bisa baru bertatap muka sudah melakukan 'itu'? Otakku tiba tiba blank dan kacau. Karena selama ini hubunganku dengan Harumi hanya sebatas ciuman dan saling memegang. Bahkan hanya sekedar mas***basi saja aku belum pernah. "Jayka?" Panggilnya lembut. Aku tersentak dari lamunan lalu tersenyum kikuk. "Kenapa?" Aku menggeleng. "Sarapan sekarang yuk?" Ajaknya. "Minaki?" "Ya?" "Kenapa...tidak...sarapan di...ruang makan?" Minaki terkekeh lalu menatapku lekat. Juga dengan satu tangannya menopang dagu. "Kamu sangat mengagumkan Jayka." Aku mengernyit heran. "Aku mau membahas sesuatu denganmu di kamar sambil sarapan." Oh...begitu rupanya. Ternyata aku salah paham dan berpikiran terlalu jauh dengan maksud Minaki. Setidaknya aku harus persiapan dulu bukan?! Persiapan memahami keinginan d
"Dengan siapa?" Sorot matanya memancarkan harapan. Apakah Minaki berharap dia ingin melihat konser itu suatu saat nanti denganku? Membayangkannya saja tidak berminat, apa lagi menjalani. "Ehm....aku kurang begitu suka K-Pop. Mungkin aku tidak akan menonton konsernya." Minaki mengangguk. Kembali ada kekecewaan di wajah rapuhnya itu. "Oh ya, kamu bisa melihatnya dengan temanmu kan?" Aku mencoba memberi saran. Minaki menaruh sumpitnya. Sepertinya ia ingin menyudahi acara sarapan ini meski nasi dan lauknya masih banyak. Aku pun mengikuti meski masih lapar. Begitulah budaya Jepang. "Kalaupun ada teman yang datang ke rumah, aku pasti senang sekali Jayka. Tapi sayangnya, aku tidak punya teman yang benar-benar tulus. Apa lagi mau menemaniku ke konser dengan kursi roda ini. Pasti akan sangat merepotkan mereka." Aku tidak menyangka ternyata hidup menjadi seorang Minaki Siraga begitu kesepian. Tidak ada satu pun teman yang sudi bersamanya meski ia memiliki banyak harta. "Satu pun? Ka
"Aku setuju. Tapi ada syaratnya." "A...apa Jayka?" Tanyanya dengan wajah kami sedekat ini. Wajahnya gugup dan malu-malu. Astaga ternyata wajah merona malu itu benar-benar ada. Bukan sebuah deskripsi semata. "Janji kamu akan merahasiakan hal ini? Termasuk pada keluargamu?" Minaki mengangguk. "Janji." "Janji akan benar-benar membantuku?" Ia mengangguk lagi. Aku menyodorkan jari kelingking, tapi Minaki enggan menerimanya. Begitu aku memberi kode lewat mata barulah ia menautkan jari kelingkingnya. "Kamu siap mendengar ceritaku?" "Siap Jayka. Aku akan mendengarkannya." Aku harus membuat hati Minaki berbunga dan nyaman agar misi ini tersalurkan dengan lancar. Kata seorang seniman, cukup sentuh lah dia tepat di hatinya. Dia kan jadi milikku selamanya. Sentuh lah dengan setulus cinta, buat hatinya terbang melayang. Aku berusaha menyemangati diri agar fokus pada wajahnya, tidak menoleh ke arah kaki yang cacat itu. Jujur itu membuat suasana hatiku menjadi tidak bersemangat.
"Jayka, bisa bawa aku menuju taman depan teras rumah?" Pinta Minaki dengan memangku laptop mininya. "Tentu." Aku mendorong kursi roda miliknya menuju teras rumah. Melewati ruang tamu, di dinding ada sebuah pigora besar berisi foto keluarga besar Minaki. Hanya Minaki sendiri yang memakai kursi roda. Kedua kakak laki lakinya terlahir normal. Sampai taman, Minaki mengunci kursi rodanya agar tidak bergerak. Lalu aku duduk disebelahnya, di sebuah kursi kayu. Ia menatap ikan-ikan koi cantik yang berenang kesana kemari di kolam tidak besar itu. Namun cukup terawat. "Ini semua ikan-ikanku Jayka. Aku yang merawat dan memberi mereka makan. Kalau aku tidak punya teman curhat, aku berbicara dengan mereka." "Kenapa tidak bercerita pada mama papamu kalau punya masalah? Atau kedua kakakmu?" Minaki menggeleng. "Orang tuaku, mereka pasti sedih jika mendengar keluh kesahku. Aku tidak mau mereka sedih." "Dan kedua kakakku.... Aku tidak mau membahasnya." Dia sosok gadis cacat yang masih mem
Pagi harinya aku bersiap siap menuju pabrik bersama teman-teman TKI. Pikiranku masih membayangkan ajakan Minaki bertemu di hotel nanti malam. Kira-kira apa yang ingin dia lakukan? Apa nanti malam ia akan membawa alat pemuas itu? Apa dia akan menyuruhku membuka kancing bajunya satu demi satu? Lalu menanggalkannya dan menampilkan kaki cacatnya? Apa dia akan menyuruhku menyentuhnya? Membangkitkan gairahnya? Ya Tuhan, otakku tidak waras! Aku tidak masalah dengan isi kontrak pemuas itu, selama tidak memberatkan dan lebih banyak memberi keuntungan bagiku. Toh hubungan seperti ini lebih banyak menguntungkan laki-laki. Ahh.... Iya, Minaki sudah menjadi korban karena bersedia menyerahkan 120.000 Yen padaku di awal kontrak dengan catatan aku tidak menipunya. Tidak berselang lama ada telfon masuk dari kekasihku, Harumi. Aku harus membuat strategi agar dia tidak sampai mengetahui rahasia besar ini. Aku harus membuat alasan yang tepat agar dia percaya dengan semua aktifitasku. "Sayang