MasukBeberapa jam sebelum konferensi pers."Elian." Yang empunya nama langsung menoleh dengan ekspresi kesal ketika namanya dipanggil. Padahal tadinya Elian sangat buru-buru karena hari ini dia terlambat bangun, bahkan sampai membuat Sebastian harus berangkat duluan. Tapi sekarang langkahnya malah dihalangi."Ada apa sih?" tanya Elian pada perempuan yang menghampirinya."Ini ada kiriman untukmu.""Hah? sepagi ini?" tanya Elian kini dengan kening berkerut bingung."Iya, aku juga bingung. Soalnya waktu aku datang, ini sudah ada di atas meja resepsionis," ucap perempuan yang menghampiri tadi. "Tapi yang penting sekarang sudah aku berikan padamu."Tanpa banyak bicara lagi, Elian langsung mengambil paket itu. Dia lagi buru-buru, jadi tidak banyak bertanya. "Apa yang kau bawa itu?" Leo menyambut Elian. "Aku sudah tunggu dari tadi loh.""Aku terlambat bangun dan mengacau di rumah," ucap Elian membanting kotak yang dia bawa ke atas meja."Jadi, itu kiriman dari mana?" Leo kembali ber
"Hei, Nona. Butuh tumpangan?"Elian hanya bisa menggeleng, ketika mendengar suara yang sudah sangat dia kenali. Dia juga tidak perlu mencari arah datangnya suara, karena mobil Sebastian sudah terparkir di depannya dengan jendela terbuka."Aku tidak butuh tumpangan, tapi aku butuh makan," jawab Elian yang akhirnya membuka pintu mobil dan masuk."Bagaimana pertemuanmu dengan Sandy?" Sebastian langsung bertanya, setelah yakin istrinya sudah duduk dengan nyaman."Tidak terlalu buruk, tapi tetap saja menyebalkan." Elian mengedikkan bahu dengan santai. "Dia mengancam.""Mengancam seperti apa?" Sebastian yang kaget, tidak sengaja menaikkan intonasi suaranya.Tadi, Elian memang memberi tahu Sebastian soal ajakan Sandy. Itu pun dia lakukan saat sudah dalam perjalanan menunjuk ke tempat janjian. Biar bagaimana, Elian tetap mau suaminya tahu, tanpa perlu ikut campur. Untung Sebastian mau menjemput dan menunggu dengan tenang."Katanya kalau aku menolak permintaan dia hari ini, dia tidak b
Elian menatap Leo yang melangkah dengan canggung, sambil mengangguk kepala. Pembicaraan mereka sudah selesai dan kini Elian hanya bisa menatap lelaki yang sebenarnya adalah saudara kembarnya itu. "Kau yakin dengan keputusanmu itu?" Ariana bertanya dengan tangan terlipat di depan dada, sambil bersandar di pintu. "Yakin." Elian mengangguk pelan. "Tidak usah ditanya lagi." Sebastian ikut membela sang istri. "Elian juga pasti sudah berpikir dengan baik, sebelum memutuskan untuk tidak memberi tahu Leo." "Biar bagaimana, Leo mengenaliku sebagai Elian Vollen. Bukan Leonie Moretti, saudara kembarnya," lanjut Elian kini memilih untuk melanjutkan pekerjaan. "Lagian, dia sama sekali tidak kenal aku kan?" "Iya sih." Ariana mengangguk pelan. "Padahal tidak terlalu banyak yang berubah darimu, tapi dia masih tidak sadar juga. Apalagi sekarang kau sudah mulai berpenampilan sebagai perempuan." "Dalam pikiran Leo, adiknya Leonie sudah mati," balas Elian diikuti dengan embusan napas pelan. "
"Wah, coba lihat dia." "Apa itu benar Elian?" "Kalau diperhatikan lagi, dia kelihatan seperti Cara Delevingne ya." "Tampan dan cantik." "Sejak dulu dia memang begitu, tapi sekarang jadi lebih gila lagi." Elian berdehem pelan, saat dia masuk ke dalam lift. Itu dia lakukan karena dirinya bisa mendengar semua celotehan orang-orang di sekitar. Bahkan di dalam lift yang tidak banyak orang pun masih ada yang menatapnya dari atas sampai bawah sambil berbisik. "Kau kenapa?" Sebastian bertanya, sambil menatap sang istri. "Apa tenggorokanmu gatal? Gejala batuk?" "Tidak apa-apa kok." Elian dengan cepat menggeleng. "Mungkin kurang minum air." "Oh, aku bawa tumbler." Sebastian segera mengambil ransel yang tersampir di bahunya. "Minum saja dulu ini, lalu nanti aku akan belikan obat pelega tenggorokan." "Wah, kau lihat itu?" "Sebastian manis sekali ya." "Perhatian banget. Aku juga mau suami seperti itu." Mendengar suara bisikan di sekitarnya, Elian yang sedang minum itu sampa
"Dasar jalang." Setelah berhasil memisahkan Elian dan Sebastian, perempuan tadi malah menampar Elian. "Hei, apa yang kau lakukan?" Tentu saja Sebastian akan menarik perempuan yang memakai topi itu menjauh dari istrinya. "Kau tidak apa-apa?" Sang produser kini bertanya pada Elian. "Tidak apa-apa, tapi siapa kau?" Tentu saja pertanyaan yang terakhir itu ditujukan pada si penyusup. "Aku ini pacarnya Sebastian," hardik perempuan itu melepas topi dan kacamata hitam yang dia pakai. "Tidak ada satu orang pun yang bisa mengambil dia dariku. Mau itu kau atau si banci Elian." "Lexi?" Kening Sebastian berkerut melihat perempuan muda yang pernah bekerja sama dengannya itu. "Kenapa kau ada di sini?" "Ini masih kantorku," hardik Lexi melempar topinya ke sembarang arah. "Lagi pula, apa yang kau lakukan dengan pelacur ini? Bagaimana bisa kau peluk dia? Kau selingkuh di belakangku?" Sebastian mendengus pelan mendengar pertanyaan itu. Sumpah demi apa pun dia merasa jijik. Padahal, selama
"Aku tidak pernah suruh Elian pergi ketemu klien," ucap Ariana dengan kedua mata berkedip bingung. "Tapi tadi Elian bilang kau suruh dia untuk pergi ketemu klien." Sebastian langsung protes. Sesampainya di kantor, Sebastian memang langsung mencari Ariana. Namun, karena pemilik perusahaan itu terlambat datang dan juga sibuk, alhasil Sebastian baru ketemu dengan Ariana setelah jam makan siang dan itu adalah sekarang. "Justru tadi Elian yang telepon aku dan minta untuk datang terlambat, karena katanya ada urusan keluarga." Ariana tentu saja akan menjelaskan, karena dia tidak mau dituduh sembarangan. "Dia bilang begitu?" tanya Sebastian dengan kedua alis yang terangkat. "Kau mau aku telepon dia sekarang juga?" Ariana mulai terlihat kesal, karena sepertinya Sebastian masih ragu. "Mari kita tanya saja dia, apa yang sebenarnya terjadi." "Eh, jangan dong." Sayangnya, Sebastian harus menolak. "Nanti Elian marah padaku karena tidak percaya sama dia." "Masalahnya, kau juga tidak p







