MasukCerita Elian dan Sebastian sampai sini saja ya. Semoga berkenan dan mohon maaf kalau banyak kurangnya.
"Sialan." Elian mendesis kesal di depan cermin kamar mandi, sambil memegang sesuatu di tangannya. "Eli, kau masih lama?" Sementara di luar kamar mandi, Sebastian mengetuk pintu. "Aku sudah harus pergi nih." "Aku sudah selesai," ucap Elian saat membuka pintu, tidak sampai satu menit kemudian. "Tapi aku rasa kita mendapat sedikit masalah." "Masalah?" Tentu saja Sebastian akan bertanya dengan kening berkerut. "Masalah seperti apa? Apa kau sakit?" "Bisa dibilang sakit, karena pada akhirnya aku harus mengajukan cuti tiga bulan lagi." Mau tidak mau, Elian mengangkat benda yang sejak tadi dia pegang. Benda gepeng yang terbuat dari plastik, sebanyak dua buah. Bentuknya yang seperti stik itu, langsung membuat kedua alis Sebastian langsung terangkat. "Apa kau hamil lagi?" tanya Sebastian dengan pelan. "Sepertinya Pierre sudah meramalkan adanya anak yang berikut." Elian menggaruk kepala dan membuat rambut pendeknya acak-acakan. "Kalau sampai ucapannya tentang Adrien dan Matt yang ak
Setelah melakukan sesi konsultasi singkat dengan Anna, Sebastian jadi merasa lebih baik. Apalagi, Elian selalu menguatkan dirinya dan begitu pula sebaliknya. Sebastian selalu berusaha membuat sang istri merasa nyaman dan merasa terlindungi.Lalu, waktu berlalu dengan cepat. Tiga tahun berlalu dalam sekejap dan setelah lebih dari tga tahun berjuang, akhirnya waktu Pierre di dunia ini berakhir juga."Dad, Pierre tidur?" Seorang bocah lelaki yang mirip dan digendong Sebastian bertanya, sambil menggigit jari telunjuknya dan menatap ke arah peti mati yang sudah siap dikubur. "Tidur dalam peti?""Bisa dibilang seperti itu." Sebastian mengangguk. "Tapi mungkin, dia tidak akan bangun lagi. Mungkin nanti kau akan merindukan dia.""Why?" Anak lelaki satunya yang mirip Elian dan juga digendong oleh Sebastian ikut bertanya. "Kenapa Pierre tidak bangun lagi?""Kalau sudah tua dan sakit memang begitu." Giliran Elian yang menjawab, sambil mengulurkan tangannya. "Lagian kenapa kalian berdua ha
"Serius?" tanya Leo dengan mata membulat. "Kau akan punya anak kembar?""Katanya sih begitu." Elian mengangguk dengan sangat pelan. "Walau ini masih harus dilihat lagi, karena kemarin sempat kena anemia berat. Janinnya harus diperhatikan lagi, sampai benar-benar tumbuh dengan baik.""Aku sebenarnya mau bilang selamat, tapi entah kenapa rasanya kesal juga." Ariana mendegus pelan. "Aku juga mau anak kembar.""Berusahalah lebih keras lagi," ucap Elian memberi senyum tipis."Tapi, kenapa sepertinya Sebastian tidak bersemangat?"Semua orang yang ada di dalam ruangan menoleh menatap ke arah lelaki yang dibicarakan. Sebastian sekarang ini lagi duduk di atas sofa, terlihat melamun dan menatap ke depan saja."Jangan-jangan, dia tidak siap punya anak kembar ya?" Ariana berbisik dengan sangat pelan."Untuk yang satu itu, aku tidak tahu." Sayangnya, Elian harus menggeleng. "Mungkin kami harus ke psikiater dulu untuk konsultasi.""Lah, kok ke psikiater?" Leo malah merasa bingung."Kenap
Sebastian menghela napas pelan, saat dirinya mulai sadar. Matanya masih terpejam, tapi kesadaran lelaki itu mulai bangun. Namun, karena kehangatan yang nyaman, rasanya Sebastian mau kembali tidur saja."Kalian serius tidur sambil berpelukan begini?"Suara bernada kesal yang terdengar, langsung membuat Sebastian membuka mata. Dia bahkan refleks bangun dari posisi tidurnya, untuk melihat siapa yang bersuara barusan."Aduh, Raphael." Pierre langsung mengeluh. "Harusnya kau itu tidak membangunkan mereka secepat itu. Kan lucu kalau banyak perawat yang lihat.""Hah?" Sebastian bergumam pelan, kemudian menoleh dan menemukan adiknya berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada."Kau tahu kalau ini bukan hotel kan?" tanya Raphael mengedikkan bahu ke arah ranjang.Tentu saja Sebastian akan mengikuti arah pandang adiknya, dan langsung terkejut ketika melihat Elian tertidur pulas sambil memeluknya. Bukan hal aneh karena mereka suami istri, tapi tempatnya yang kurang cocok. Mereka sed
Elian menatap Leo yang tersenyum cerah padanya. Jujur saja, itu terasa menyesakkan bagi Elian. Apalagi, lelaki itu sambil menyuapinya makanan. "Kau sudah telan semuanya?" Leo bertanya dengan senyum lebar. "Kalau sudah, buka mulut yang lebar lagi. Mau bubur, sup atau mash potato?" "Sup," jawab Elian dengan kedua alis terangkat. Mau tidak mau, Elian membuka mulutnya. Dia sempat melirik Sebastian untuk minta bantuan, tapi sang suami hanya bisa mengedikkan bahu. "Apa kau tidak marah?" tanya Elian dengan hati-hati. "Kenapa harus marah?" Leo balas bertanya. "Saudaraku sedang sakit dan mau manja, jadi tentu saja aku dengan senang hati mengurusimu. Mumpung suamimu memberi izin." Elian hanya meringis, kemudian kembali menatap suaminya. Dia juga memberi isyarat pada Sebastian agar mendekat. "Sejak kapan dia tahu?" Elian bertanya dengan suara berbisik. "Sepertinya dia sudah lama curiga, tapi baru yakin saat kau kena luka tusuk itu." Sebastian menjelaskan, juga dengan suara berb
"Kau terlambat," ucap Elian dengan bibir mencebik. "Tapi, Sayang. Aku cuma terlambat satu menit saja," ucap Sebastian tetap tersenyum semanis mungkin. "Satu menit, dan aku sudah coba egg benedict yang kau buat ini. Tapi, rasanya malah jadi aneh," jawab Elian masih dengan ekspresi yang tidak berubah sama sekali. "Rasa telur itu tidak mungkin berubah, Eli." Sebastian mencoba menjelaskan dengan sangat lembut. "Lagian, aku kan masak di rumah dan kau ada di rumah sakit. Tentu saja butuh sedikit waktu." "Masalahnya, aku baru makan sedikit dan rasanya sudah mual." Kali ini, Elian terlihat mengerutkan kening. "Kau mual hanya dengan satu suapan kecil?" Kedua alis Sebastian terangkat naik. "Apa telurnya bau?" "Tidak." Elian menggeleng. "Telurnya matang sempurna dan tidak bau, tapi sumpah aku butuh ke kamar mandi sekarang." Elian yang bergegas turun dari ranjang, membuat Sebastian tercengang. Lelaki itu sampai nyaris tidak sempat membantu istrinya turun dari ranjang, untung saja Pi







