"Enak, Ai?" tanyanya seraya tersenyum.
Aku tak menjawab, hanya mejawab pertanyaannya dengan senyum tipis. Sumpah, rasanya mie ini nyangkut di tenggorokan. Semoga Mas Ikbal tidak berpikir yang tidak-tidak. Kemudian mereka kembali terlibat obrolan soal pekerjaan.
"Kenapa, Ai? Dari pagi sikap kamu agak aneh deh," protes Susi. Ia kemudian menoleh ke belakang. "Wah, ada ayam geprek! Punya siapa ini, Ai?" teriak Susi girang yang membuat dua laki-laki yang terlibat obrolan serius itu menoleh seketika.
"Pu ... punyaku."
"Wahh kebetulan! Aku belum makan, Ai. Tadi di rumah pas masak nasi lupa tekan tombol merahnya, jadi nggak masak. Ai minum air putih aja. Boleh ya Ai, kamu kan dah makan mie ayam. Please .... " Wajah Susi memelas persis seperti anak kucing yang minta ikan asin. "Please .... "
Bismillahh. "Ya."
"Horee!! Makasih ya, Ai. Sahabat aku paling baik sedunia."
Aku menoleh ke arah Mas Ikbal, ia mengalihkan pandangan, tersenyum sendiri dan menggelengkan kepala. Apa dia marah?
Selesai makan aku langsung salat, karena konter ada Susi yang menunggu. Saat naik ke atas, menuju ruangan yang biasa dijadikan tempat untuk salat, aku bertemu tiga SPG yang sedang di ajak rapat Mas Ikbal di atas. Meskipun aku lewat mereka tak terusik sama sekali. Nampak salah satu SPG yang paling cantik di antara mereka sangat antusias mendengarkan Mas Ikbal menjelaskan. Bahkan sangat terlihat kalau dia tertarik dengannya.
Aku memasuki ruangan dan melaksanakan salat zuhur. Selesai salat aku berdoa cukup lama. Memohon pengampunan dan mendoakan kedua orang tua, tidak lupa mengirim alfatihah untuk almarhum Mas Dwi. Aku menggantung mukena dan sajadah lalu keluar ruangan. Terdengar tawa diantara mereka. Aku sempat menoleh, tapi hanya sesaat, selanjutnya langsung turun ke bawah.
Jam 5 sore konter tutup. Aku dan Susi segera berbenah bagian dalam, sementara para SPG berbenah bagian luar. Turun Pak Renaldi dan Mas Ikbal sambil berbincang.
"Pak!" panggil Diana pada Mas Ikbal.
Dia adalah salah satu SPG yang menurut kami paling cantik diantara yang lain. Diana gadis yang cekatan, luwes dan selalu target setiap akhir bulan. Dia ramah dan mudah berkomunikasi dengan orang lain.
"Ya?"
Gadis itu mendekat.
"Kita pulangnya satu arah, bolehkah saya ikut sama bapak?" tanya Diana.
Susi menyikut lenganku, aku diam saja sibuk membereskan etalase.
"Ehh, tapi saya mau ke pasar dulu untuk beli makanan."
"Nggak masalah kok, Pak."
"Oke, kamu tunggu di luar aja ya."
"Siap, makasih ya Pak!"
Mas Ikbal tersenyum tipis, ia sempat melirik ke arahku, dan aku pura-pura tidak tahu. Setelah mengobrol dengan Bos ia melangkah mendekat.
"Susi, hati-hati di jalan. Abis gerimis jalanan licin."
"Pasti, Pak!"
Kemudian dia menoleh ke arahku. "Kamu juga, Ai. Jalanan licin, hati-hati di jalan."
"Makasih, Pak." Aku terus menunduk.
"Ai, jalanan licin loh. Apalagi nanti kamu bakal ngelewatin jalan yang ada tanah liatnya. Duh, kok saya jadi khawatir ya? Kalau sepeda motor kamu titip di sini saja, terus kamu pulang sama saya gimana?"
Susi berlagak batuk beberapa kali. Dia memang seperti itu, dari dulu sering meminta aku menerima kabaikan Pak Renaldi.
"Saya sudah biasa kok, Pak. InshaAllah saya akan baik-baik saja."
"Bener?"
"Iya, Pak."
"Ya udah, tapi kalau ada apa-apa jangan sungkan telepon saya, ya."
"Iya, Pak."
Pak Renaldi kembali naik ke atas, mungkin ada sesuatu yang tertinggal. Aku melihat ke arah Mas Ikbal, ia hanya melirik sekilas dengan raut tak bersahabat, kemudian keluar lebih dulu. Susi menarik sebelah pintu, sehingga konter tertutup separuh. Terdengar sorak sorai dari luar. Susi langsung memanggilku. Aku pikir apa, ternyata aku harus melihat pemandangan di mana Diana naik ke atas sepeda motor ninja milik Mas Ikbal.
Cie cie terlontar dari beberapa temannya. Mas Ikbal lagi-lagi hanya tersenyum tipis tanpa berkata apa-apa. Detik berikutnya sepeda motor itu sudah berjalan pelan meninggalkan halaman.
"Cocok ya, Ai mereka," bisik Susi sedikit berbisik.
"Kayaknya, iya," jawabku singkat.
***
Perjalanan pulang aku terus kepikiran kejadian di konter tadi. Bagaimana bisa kami bertemu lagi di sini? Lalu melihat kedekatannya dan Diana, menagapa aku merasa sedikit keberatan ya? Bukankah mereka sama-sama single, jadi seharusnya tak ada yang salah.
Sampai di rumah aku disambut oleh tawa riang Zaka. Ia bercerita banyak hal, sehingga aku masuk diiringi celotehnya yang lucu. Rasa lelah karena seharian bekerja hilang melihat tingkahnya.
"Jadi, Bun tadi Zaka main sama teman baru di sekolah."
"Oh ya? Namanya siapa?"
"Namanya Tedi. Dia lucu, Bund. Mainan banyak banget."
"Emang boleh bawa mainan ke sekolah?"
"Boleh, soalnya hari ini emang di suruh bawa mainan."
"Zaka bawa mainan apa tadi?"
Zaka berlari ke arah kamar, lalu membawa serta tasnya ke dekatku. Dibukanya resleting tas dan mengeluarkan sebuah mobil-mobilan.
"Ini yang Zaka bawa, Bun. Soalnya mainan lainnya sudah rusak. Ini aja udah nggak bisa jalan, soalnya ban sebelahnya hilang."
Ya Allah, hatiku terenyuh mendengarnya. Aku memang jarang membelikannya mainan. Kuamati anak itu, tak ada raut sedih sedikitpun. Kini ia malah duduk berjongkok sambil memainkan mobilannya di meja. Aku mengusap ujung mata melihatnya. Dulu, Ayahnya yang rajin membelikannya mainan.
"Nak." Aku memanggilnya saat ia sedang asik bermain dengan mobilannya.
"Ya bunda?"
"Maaf ya ...," ucapku dengan suara serak.
Anak itu terpaku melihatku. Kemudian tangan kecilnya terangkat menghapus air mataku. "Bund, jangan nangis."
"Bunda, terlalu sibuk sampai lupa memenuhi kebutuhan Zaka. Bahkan bunda lupa membelikan Zaka mainan. Maaf ya, Nak." Aku memeluknya.
"Bunda jangan nangis, Zaka jadi ikut sedih."
"Bunda janji besok beliin Zaka mainan yang bagus untuk dibawa ke sekolah."
"Zaka masih suka kok Bund dengan mainan ini."
Aku memeluknya semakin erat. Beruntung Ibu tidak mendengar tangisan kami berdua karena ibu sibuk di dapur. Jika beliau tahu, bisa-bisa kami menangis bertiga di sini.
"Bund, Zaka kangen sama Ayah."
Sudah lama sekali aku tak mendengar anak ini mengatakan ini, tapi malam ini, saat kami akan tidur kata-kata terdengar lagi.
"Ayah, juga pasti kangen sama Zaka. Hanya saja, Ayah sudaj bahagia di surga Allah sayang."
"Bund, kenapa sih Ayah ke surga sendirian? Nggak ngajak kita?"
Aku menunduk, menatap mata polosnya, kemudian berusaha tersenyum. "Karena Allah belum mengijinkan kita mendampingi Ayah."
"Kenapa harus ijin sama Allah. Kita susul saja Ayah sendirian, nggak usah ijin Allah."
Aku mengusap lembut pucuk kepalanya, lalu mencium keningnya. "Nggak bisa seperti itu, Nak. Allah itu pemilik jiwa dan raga kita."
"Begitu ya Bund? Zaka bingung."
Aku tersenyum, kemudian memeluknya. "Dah, tidurlah, sudah malam. Besok mau sekolah ya!"
"Iya, Bund. Kira-kira kapan kita bisa bertemu Ayah? Zaka pengen ditemani main sama Ayah, Bund." Aku hanya diam, memejamkan mataku sembari terus memeluknya. "Bund."
"Bunda, ngantuk Sayang .... "
Setelah itu dia tak lagi bertanya banyak hal. Hanya membalas pelukannya dan ikut memejamkan mata.
***
"Ai, tiga hari lagi ada rapat pertemuan para orang tua di TK nya Zaka."
"Tiga hari lagi ya, Bu?"
"Iya, katanya harus walinya. Ibu suka nggak konsen kalau ada rapat-rapat penting gitu. Kamu tahulah nanti pihak sekolah bilang apa ibu nangkepnya apa. Namanya sudah tua Ai."
"Iya, Bu. Nanti aku usahakan, ya! InshaAllah bisa."
"Alhamdulillah. Ya udah jangan lupa siang ini pulang. Kamu jangan sering nahan lapar. Suruh bawa bontot nggak mau, dasar bandel!" kata ibu kesal.
Aku hanya tertawa. Mengikat sepatu dan memakai ranselku, setelahnya pamit pergi bekerja.
"Ibu aku berangkat ya!"
"Iya, hati-hati di jalan."
"Iya, Bu. Sayang, Bunda pergi ya!"
Tergopoh Zaka berlari keluar dari kamar menemuiku.
"Iya, Bunda. Jangan lupa beliin mainan baru ya!"
"Siap Sayang!"
Kami tos sekilas dan aku mencium puncak kepalanya.
"Assalamualaikum, jagoan Bunda!"
"Waalaikumsalam, Bundaku sayang."
Ibu hanya tertawa melihat kami berdua. Setelahnya aku langsung berangkat ke konter. Saat ke konter kebetulan aku melewati toko mainana. Aku memarkir sepeda motor di halaman dan masuk ke dalam. Melihat-lihat sebentar beberapa mainan di dalamnya dan ada satu mainan yang menurutku bagus, juga awet, tapi sayang harganya cukup mahal. Sehingga aku kembali meletakkannya dan keluar dari sana. Mungkin awal bulan aku akan ke sini lagi.
Aku pamit pada pelayan dan minta maaf karena tidak jadi beli, selanjutnya melanjutkan perjalanan. Sampai di konter aku yang biasa datang paling pagi kali ini datang paling telat.
"Tumben banget, Ai?"
"Maaf, tadi mampir dulu ke suatu tempat."
"Ke mana?"
"Kepo!"
"Ish!" Bibir Susi mengerucut kesal.
Aku langsung sibuk mengeluarkan buku catatan penjualan dan merapikan tempat. Tidak berapa lama datang Mas Ikbal menenteng sebuah kantung berwarna hitam. Ia tersenyum pada semua ABG yang ada di luar sana, sialnya lagi-lagi aku tak suka sehingga mengalihkan pandangan.
"Pagi Susi," sapanya setelah ada di hadapan kami.
"Pagi, Pak."
"Pagi, Ai."
"Pagi."
"Ai bisa ikut saya sebentar ke atas?"
Aku dan Susi saling bertatapan, apa aku membuat kesalahan?
"Ada apa ya, Pak?"
"Ada yang ingin saya bicarakan."
Setelah itu ia berjalan lebih dulu. Sekali lagi aku menoleh pada Susi.
"Berdoa, Ai."
"Emang aku buat salah apa?" tanyaku sanksi.
Susi menggeleng. Aku langsung naik ke atas setelah tubuh Mas Ikbal tak terlihat lagi. Sampai di atas aku duduk di depannya.
"Kenapa, Pak?"
"Panggil biasa aja kalau lagi berdua."
"Ada apa, Mas?"
Ia meletakkan kantung berwarna hitam itu ke meja.
"Bawa itu pulang, berikan pada jagoan itu."
Dahiku berkerut bingung. Aku mengambil kantung itu dan memeriksa isinya. Ternyata mainan mobil-mobilan yang hendak aku beli barusan.
Aku kembali menoleh, dan menatap wajah pria muda ini dengan tajam. Pengakuan soal Aida dan kejujurannya soal perasaannya, membuat hatiku tersayat-sayat. “Kakak tahu? Karena Mbak Aida, pandangan saya tentang wanita berubah. Dulu, saya pikir, wanita baik-baik itu hanya ada dalam novel dan film, ternyata di dunia nyata ada, dan wanita itu adalah istri Anda.” Pandangan pria bernama Faaz ini menerawang, seperti membayangkan, kemudian lengkungan kecil tercetak di sisi bibirnya.Apa mungkin dia membayangkan istriku? Makin panas rasa hati.“Lalu, aku menemui Anis untuk membatalkan perjanjian kami. Di sana, aku mendengar dia menelepon papanya. Katanya, mereka akan menculik Zaka, dan menggunakan anak itu supaya Mbak Aida mau menuruti semua kata-kata mereka. Satu yang ada dalam pikiranku, aku harus menolong anak itu. Karena jujur, aku pun sudah menyayanginya seperti adik, atau bahkan anakku sendiri.”Emosiku tidak terkendali. Aku mendorong dada Faaz dan memegang kerah bajunya, kudekatkan wajah d
Melihat sikap tak acuh Ikbal, membuat hati wanita itu bertanya-tanya. Niatnya ingin bercerita soal Zaka diurungkan olehnya. Apa Mas Ikbal sedang banyak masalah?' “Mas, aku udah masak makanan kesukaan kamu.” Aida berusaha mencairkan suasana.“Kenyang.” Ikbal berdiri, menuang air putih dan menenggaknya hingga habis, setelah itu langsung masuk ke kamar. Aida mengamati, hingga punggung pria itu hilang dari pandangan. Dibukanya kantung berwarna hitam berisi bakso yang dibeli oleh Ikbal. Wanita itu membukanya satu, lalu menuangnya ke mangkuk. Awalnya Aida berusaha bersikap biasa saja memakan bakso itu sendirian, tapi semakin lama ... rasa sedih mendera jiwa sehingga membuat wanita itu terisak. Aida terus berusaha tegar, menghapus tetes air mata yang jatuh ke pipinya. Bukankah ini bagus, sebulan bukan waktu yang lama. Entah apa alasan Mas Ikbal bersikap demikian, tapi bukankah dia akan baik-baik saja saat nanti aku meninggalkannya? Aida terus saja berkata sendiri dalam hati. Meskipun jauh
“Aku tidak akan percaya. Tidak, Aida bukan wanita seperti itu,” katanya dengan pandangan yang nanar sambil mengalihkan pandangan. “Sebelum melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak akan percaya.” Ikbal duduk di kursi kerjanya sambil meremas semua foto yang ada, dan melemparnya ke kotak sampah begitu saja. “Demi Allah, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, Papa. Maka dari itu, stop memfitnah istri salihahku.”“Hah, kita lihat saja, Ikbal. Suatu saat nanti, kamu akan mengakui kalau Aida itu bukan wanita yang baik. Kamu akan bersujud di kaki Papa untuk meminta maaf, karena sudah menentang Papa demi wanita itu.” Kemudian Aji Wijaya berdiri, dan keluar dari ruangan Ikbal. Ikbal masih diliputi rasa cemas. Dia berusaha terus berpikir positif, tapi foto-foto itu. “Astagfirullah,” ucapnya lirih, kemudian menunduk seraya meremas kepala.***“Masak apa, Ai?” tanya Ikbal, saat mereka sudah duduk di kursi meja makan.Aida menuangkan air putih ke dalam gelas keramik berwarna putih, lal
Aida bingung harus bersikap bagaimana. Dia pikir pria itu hanya bercanda, nyatanya Faaz tidak berbohong. Ya, dia benar-benar seorang pria penghibur, dan itu membuat Aida kaget luar biasa. Mengapa kami bisa dipertemukan seperti ini? tanyanya dalam hati.“Mbak, ini takdir. Mungkin hidayah itu Allah turunkan melalui Mbak. Aku tidak takut meninggalkan kemewahanku. Aku datang ke sini menggunakan kendaraan umum. Mobil milik tante itu sudah aku kembalikan, karena itu memang bukan milikku. Terima kasih atas pencerahannya selama ini.”Aida masih kebingungan harus bersikap bagaimana. Selama ini, dia kenal dan hidup di lingkungan orang-orang baik. Paling parah orang yang dia temui adalah Mbak Retno dan Husna, kakak iparnya sendiri. Itu pun hanya sebatas ribut-ribut kecil, karena sifat mereka yang suka usil. Aida berjalan mundur, hanya saja tatapannya tidak lepas dari pria itu.Semenjak tinggal di kota, hidupnya semakin kacau. Bertemu dengan papanya Ikbal yang mengancam akan mencelakai Zaka, bert
Mungkin aku tidak akan mendapatkan kesempatan kedua untuk bisa bicara dengan Mama. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Mama berjalan lebih dulu, sementara aku mengikutinya dari belakang.Kini kami duduk di sebuah kafe yang tertutup. Sepertinya tempat ini ruang privasi, karena tidak ada orang lain selain kami. “Apa kabar?” Mama membuka obrolan, setelah cukup lama bungkam.“Baik, Ma. Alhamdulillah.”“Anakmu?”“Baik juga.”Lalu dia mengangkat gelas teh, dan meminumnya dengan anggun. “Aku tahu apa yang sudah dilakukan suamiku padamu, Aida. Karena itu, atas nama keluarga besar, aku minta maaf.”“Saya paham, Ma. Mungkin, hubungan Bapak dan Papa kurang baik di masa lalu.”Mama kembali meletakkan gelas tehnya, lalu berkata, “Sebenarnya urusan masa lalu itu sudah selesai. Toh, sekarang aku sudah menikah dengan papanya Ikbal, bukan dengan bapakmu. Tapi entah mengapa, suamiku itu sulit sekali melupakan masa lalu. Dulu—jika dia ada di rumah, mungkin kamu akan dilarang main ke rumah kam
“Gimana menurut kamu?” tanya Ikbal pada Aida, saat mereka melihat-lihat apartemen.“Bagus juga, Mas.”“Kalau menurut Jagoan Om ini, gimana?” tanya Ikbal menunduk, menatap Zaka yang ada di gandengannya.“Ini rumah siapa, Om?”“Rumah kita.”“Wah, bagus. Apa Bunda sama Zaka boleh tinggal di sini juga?”Aida dan Ikbal sama-sama tersenyum. “Boleh, dong, tapi ada saratnya.”“Apa Om?”“Zaka harus panggil Om, Papa.”“Sebentar, ya, Om. Zaka tanya Bunda dulu.” Zaka segera mendekati bundanya, dan meminta wanita itu untuk berjongkok. Aida menurut. Dia berjongkok, dan mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh buah hatinya.“Bunda, boleh nggak panggil Om Ikbal Papa?”“Boleh,” balas Aida berbisik di telinga anaknya.“Siap, Bunda.”Anak itu kembali mendekati Ikbal. “Gimana?” tanya Ikbal pura-pura tidak tahu.“Boleh, Papa.”“Hore!” Ikbal menggendong tubuh kecil Zaka, dan mencium pipi anak itu gemas. “Jadi, panggil apa?”“Papa.” Ikbal tertawa senang.Malam itu, mereka cukup lama melihat-lihat dan b