Share

Gara-gara Mie Ayam

last update Last Updated: 2021-12-06 23:51:02

"Pagi, Pak .... " sahutku masih tidak percaya.

Tertera nama Ikbal di papan nama yang mengait di bajunya. Bagaimana bisa kami bertemu di sini. Aku berusaha kembali fokus bekerja, tak kuhiraukan senyuman tipis Mas Ikbal berdiri di sana, masih terus menatap. Andi Susi tahu kalau laki-laki itu hampir saja menjadi suamiku. Ah, kenapa dunia begitu sempit. Mereka sempat berbincang sebentar, lagi Mas Ikbal naik ke lantai atas. 

"Ai itu namanya Pak Ikbal."

"Oh, iya." Hanya itu yang bisa kukatakan.

"Cakep, ya!" Susi senyum-senyum mengatakan semua itu.

"Oh, iya," sahutku lagi, masih sibuk mengelap atalase dalam ruangan ini.

"Ai! Kok oh iya terus sih. Jangan jangan nanti berubah jadi oh yes oh no, oh yes oh no."

"Susi! Kamu apaan sih?!" Aku mulai terusik, candaannya pagi ini sungguh tidak lucu bagiku.

"Becanda, Ai. Kamu kenapa sih, baru juga masuk kerja dah sensitif aja bawaannya. Jangan bilang kamu lagi Pe em es, jadi sensi gitu." 

Aku diam saja. Masih sibuk membersihkan semua bagian ruangan ini. Tidak berapa lama Pak Renaldi datang. Ia adalah pemilik konter ini. Pria berkumis tipis itu mendekati kami. 

"Ada yang dateng nggak? Dari pihak ponsel, mau mengamati cara kerja kita di sini." 

"Ada, Pak. Namanya Pak Ikbal kan?" 

"Oh, ya. Berarti udah dateng. Ai, apa kabar?" 

Aku menoleh dan tersenyum mendengar namaku disebut. 

"Baik, Pak. Alhamdulillah ... bapak sendiri apa kabar?" 

"Tidak baik-baik saja kalau nggak ada kamu." 

"Ciee Uhuy!" 

Susi mengulum senyum, Ia menyikut lenganku. Aku hanya tersenyum samar membalas gombalan Pak Renaldi. Bosku ini memang pria humoris, dia suka menggoda aku dan susi. Anehnya Susi sering menanggapinya dengan serius. Katanya, kalau padaku Pak Renaldi sering menggombal semacam merayu, tapi jika dengannya hanya main-main biasa yang tak mengarah ke sana.

"Apaan, sih!" Aku menggeser tubuhku menjauh dari Susi. Wanita bertubuh kurus itu terus saja mengulas senyum.

"Dah, ah. Saya naik ke atas dulu, ya! Ai, nanti kalau SPG bagian konter yang biasa nunggu di depan sudah datang, jangan lupa ada kenaikan hanya untuk setiap voucher. Kalau mereka kurang jelas minta naik ke atas menemuiku. Nanti biar saya yang jelaskan."

"Iya, Pak." 

Pak Renaldi juga naik ke atas. 

"Ai, Pak Bos dah kasih sinyal tuh. Kamu kok nggak paham-paham sih?" 

"Susi, dia cuma becanda, udahlah ... " 

Tidak berapa lama datang 3 wanita cantik berbaju sexy. Mereka para SPG yang dimaksud bos tadi. Aku langsung menyampaikan pesan dan langsung saja mereka naik ke atas untuk menemui Pak Renaldi.

Pagi beranjak siang. Satu persatu banyak orang yang datang. Ada yang beli ponsel baru, ada yang benerin ponselnya, ada yang beli charger hape, ada juga yang hanya beli pulsa atau kartu perdana. Bahkan, ada yang hanya nanya-nanya. 

Tepat pukul 11 siang, Mas Ikbal turun ke bawah bersama Pak Renaldi. Mereka terlihat membahas sesuatu dengan santai. Lalu duduk di dekat meja kasir di mana Susi duduk. Aku menunduk saat tanpa sengaja beradu pandang dengan Mas Ikbal, ia mengulas senyum tipis padaku. Apa ini tidak terlalu kebetulan? Baru saja kami bertemu beberapa hari yang lalu di hajatan adik ipar, kini kami bertemu lagi di sini. 

"Ai, bentar lagi jam makan siang, kamu makan pulang ke rumah?" tanya Pak Renaldi.

Aku biasanya pulang ke rumah, hanya saja sepertinya aku tidak akan pulang hari ini. Soalnya ngirit bensin. Pengeluaran tak terduga untuk ongkos pulang ke rumah Ibu mertua saat hajatan kemaren cukup lumayan.

"Saya nggak pulang, Pak," sahutku sambil menyusun beberapa kartu perdana dalam etalase kaca.

"Jadi makan di luar sana Susi?" lanjutnya lagi.

"Eh, saya masih kenyang. Sepertinya akan menunggu saja di sini. Siapa tahu nanti ada pembeli datang." 

"Oh ya udah. Nanti saya beliin aja makan di luar." 

"Nggak perlu Pak. Beneran saya masih kenyang." Aku meyakinkan.

"Nggak boleh nolak rejeki, Ai," sambung Mas Ikbal yang membuat Pak Renaldi dan Susi langsung menoleh ke arahnya. "Kalau ada yang nawarin dengan tulus, terima aja itu namanya rejeki." 

"Bener kata Pak Ikbal. Dia emang suka gitu, Pak. Ditawarin apa aja nolak. Nggak pernah mau nerima." Pak Renaldi curhat terselubung sepertinya.

Memang, apa pun yang dia tawarkan aku selalu menolak.

"Ai, Bapak mau ke kantor pajak. Mau titip makanan? Nggak apa-apa biar bapak yang traktir."

"Ai, besok Bapak mau keluar kota. Katanya di sana terkenal dengan kain adatnya, nanti Bapak bawain."

"Ai, kemaren Bapak lihat kamu pucet. Ini bapak bawain vitamin." 

Dan lain-lain. Sebanyak apa pun dia menawarkan, sebanyak itu pula aku manolaknya. Tak ada 1 kalipun aku menerima. Aku hanya mau menerima uang gajiku setiap bulan. Itupun kalau lebih besar dari Susi aku kembalikan.

Mendengar cerita Pak Renaldi Mas Ikbal hanya tersenyum. Dia mengenalku lama, sudah pasti dia paham kebiasaanku yang tak mau menyusahkan dan memiliki utang budi dengan orang lain. Aku hanya diam mendengarkan mereka membicarakanku. 

[Denger, Ai? Para bos lagi nasehatin kamu nih!]

Chat w* dari Susi. Aku mengabaikannya dan kembali memeriksa catatan di buku panjang hari ini. Pas jam makan siang konter jadi sepi, termasuk Pak Renaldi dan Mas Ikbal sudah keluar dari sini. Karena konter sedang tak ada pengunjung, aku memutuskan menghidupkan musik dengan mendengarkan lagi melalui headset.

Saat sedang asik mendengar lagu yang berjudul sempurna dari Andra And The BackBone tiba-tiba di hadapanku seseorang meletakkan kotak nasi. Di sana tertulis : Ayah Geprek Mbak Yani. Aku mendongak dan mendapati Mas Ikbal tersenyum padaku. Aku melepas headset dari telinga.

"Makan dulu, Ai." 

"Mas, aku bilang aku masih kenyang." 

"Jangan anggap ini hutang Budi."

"Anggap aja hutang Ani," celetukku dan kami sama-sama tertawa.

Kata-kata itu masih terekam jelas di tempurung kepalaku.

Setiap kali ia membelikanku air minum, atau beberapa Snack ke kelas karena aku enggan keluar, malah memilih duduk dan membaca buku. 

"Aku masih kenyang, Mas. Beneran." 

"Ai, udahlah. Makan dulu, baru kerja lagi." 

"Aku simpen aja." 

Aku mengambilnya dan meletakkannya di meja, dekat ranselku. Melihat itu Mas Ikbal menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bandel banget. Dari dulu keras kepalanya nggak ilang-ilang." 

Ia naik ke atas masih dengan wajah kesal. Sementara aku tak mau terlalu ambil pusing dan kembali melanjutkan mendengarkan lagu kesayangan. Baru selesai lagu Andra and the BackBone tiba-tiba Pak Renaldi datang. Ia mengangsurkan sebungkus mie ayam padaku.

"Mie Ayam Pakde Karso. Cicipin deh Ai, rasanya enak banget. Itu kalau nggak kamu makan, bakal ngembang terus terbuang sia-sia. Itu sama aja kamu bikin mubazir makanan." 

Ah, pusing kepala. Akhirnya aku bergerak ke belakang mengambil mangkuk dan memakannya. Jika makanan ini tidak mudah mengembang sudah pasti akan kubawa pulang. Saat baru akan menyuapkan makanan Mas Ikbal turun lagi ke bawah. Ia mendekati Pak Renaldi yang duduk di meja kasir. Tiba-tiba aku merasa tidak enak, baru saja Mas Ikbal memberikan makanan, dan aku tidak memakannya.

Sekarang aku sedang memakan mie ayam pemberian Pak Renaldi. Padahal ini terpaksa karena tidak enak saja kalau makanan ini akan terbuang sia-sia nantinya. Aku berusaha tetap santai memakan mie ayam ini, toh dia juga tak tahu kalau mie ini pemberian Pak Renaldi. Mas Ikbal melewati tubuhku dengan mata terus tertuju pada mangkuk berisi mie. 

"Aku telat! Ya ampun!" Tergesa Susi memasuki konter. 

Terengah-engah ia meletakkan tas dalam loker, lalu duduk di sampingku.

"Telat, Sus?" tanya Pak Renaldi.

"Iya, Pak. Maaf. Padahal udah buru-buru tadi."

"Kamu lewat Jl. Jendral Sudirman?"

"Bener, Pak." 

"Ada orang baru jual mie ayam ya di sana." 

Mataku membulat, jangan sampai Pak Renaldi mengatakan ini pemberian darinya.

"Oh iya, Pak. Mie Ayam Pakde Karso ya? Mantep banget itu. Bapak udah nyobain?" 

Aku semakin deg degan, takut kata-kata itu terucap.

"Belum sih, tapi tadi lewat situ beli sebungkus." 

"Udah beli tapi belum icip-icip?" tanya Susi penasaran.

Tenggorokanku semakin sulit menelan. 

"Beliin Aida. Tuh dia lagi makan, kayaknya dia suka." 

Bahuku yang tadinya tegak, jatuh seketika. Akhirnya terucap juga. Aku tersenyum saat mereka memperhatikanku makan. Kemudian tatapanku berhenti di wajah Mas Ikbal. Ia tersenyum tipis lalu berkata.

"Enak, Ai?" 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lelaki Masa Lalu yang Hadir Setelah Kepergian Suamiku   Aku Memang Bodoh

    Aku kembali menoleh, dan menatap wajah pria muda ini dengan tajam. Pengakuan soal Aida dan kejujurannya soal perasaannya, membuat hatiku tersayat-sayat. “Kakak tahu? Karena Mbak Aida, pandangan saya tentang wanita berubah. Dulu, saya pikir, wanita baik-baik itu hanya ada dalam novel dan film, ternyata di dunia nyata ada, dan wanita itu adalah istri Anda.” Pandangan pria bernama Faaz ini menerawang, seperti membayangkan, kemudian lengkungan kecil tercetak di sisi bibirnya.Apa mungkin dia membayangkan istriku? Makin panas rasa hati.“Lalu, aku menemui Anis untuk membatalkan perjanjian kami. Di sana, aku mendengar dia menelepon papanya. Katanya, mereka akan menculik Zaka, dan menggunakan anak itu supaya Mbak Aida mau menuruti semua kata-kata mereka. Satu yang ada dalam pikiranku, aku harus menolong anak itu. Karena jujur, aku pun sudah menyayanginya seperti adik, atau bahkan anakku sendiri.”Emosiku tidak terkendali. Aku mendorong dada Faaz dan memegang kerah bajunya, kudekatkan wajah d

  • Lelaki Masa Lalu yang Hadir Setelah Kepergian Suamiku   Ikbal VS Faaz

    Melihat sikap tak acuh Ikbal, membuat hati wanita itu bertanya-tanya. Niatnya ingin bercerita soal Zaka diurungkan olehnya. Apa Mas Ikbal sedang banyak masalah?' “Mas, aku udah masak makanan kesukaan kamu.” Aida berusaha mencairkan suasana.“Kenyang.” Ikbal berdiri, menuang air putih dan menenggaknya hingga habis, setelah itu langsung masuk ke kamar. Aida mengamati, hingga punggung pria itu hilang dari pandangan. Dibukanya kantung berwarna hitam berisi bakso yang dibeli oleh Ikbal. Wanita itu membukanya satu, lalu menuangnya ke mangkuk. Awalnya Aida berusaha bersikap biasa saja memakan bakso itu sendirian, tapi semakin lama ... rasa sedih mendera jiwa sehingga membuat wanita itu terisak. Aida terus berusaha tegar, menghapus tetes air mata yang jatuh ke pipinya. Bukankah ini bagus, sebulan bukan waktu yang lama. Entah apa alasan Mas Ikbal bersikap demikian, tapi bukankah dia akan baik-baik saja saat nanti aku meninggalkannya? Aida terus saja berkata sendiri dalam hati. Meskipun jauh

  • Lelaki Masa Lalu yang Hadir Setelah Kepergian Suamiku   Perubahan Sikap Ikbal

    “Aku tidak akan percaya. Tidak, Aida bukan wanita seperti itu,” katanya dengan pandangan yang nanar sambil mengalihkan pandangan. “Sebelum melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak akan percaya.” Ikbal duduk di kursi kerjanya sambil meremas semua foto yang ada, dan melemparnya ke kotak sampah begitu saja. “Demi Allah, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, Papa. Maka dari itu, stop memfitnah istri salihahku.”“Hah, kita lihat saja, Ikbal. Suatu saat nanti, kamu akan mengakui kalau Aida itu bukan wanita yang baik. Kamu akan bersujud di kaki Papa untuk meminta maaf, karena sudah menentang Papa demi wanita itu.” Kemudian Aji Wijaya berdiri, dan keluar dari ruangan Ikbal. Ikbal masih diliputi rasa cemas. Dia berusaha terus berpikir positif, tapi foto-foto itu. “Astagfirullah,” ucapnya lirih, kemudian menunduk seraya meremas kepala.***“Masak apa, Ai?” tanya Ikbal, saat mereka sudah duduk di kursi meja makan.Aida menuangkan air putih ke dalam gelas keramik berwarna putih, lal

  • Lelaki Masa Lalu yang Hadir Setelah Kepergian Suamiku   Difitnah

    Aida bingung harus bersikap bagaimana. Dia pikir pria itu hanya bercanda, nyatanya Faaz tidak berbohong. Ya, dia benar-benar seorang pria penghibur, dan itu membuat Aida kaget luar biasa. Mengapa kami bisa dipertemukan seperti ini? tanyanya dalam hati.“Mbak, ini takdir. Mungkin hidayah itu Allah turunkan melalui Mbak. Aku tidak takut meninggalkan kemewahanku. Aku datang ke sini menggunakan kendaraan umum. Mobil milik tante itu sudah aku kembalikan, karena itu memang bukan milikku. Terima kasih atas pencerahannya selama ini.”Aida masih kebingungan harus bersikap bagaimana. Selama ini, dia kenal dan hidup di lingkungan orang-orang baik. Paling parah orang yang dia temui adalah Mbak Retno dan Husna, kakak iparnya sendiri. Itu pun hanya sebatas ribut-ribut kecil, karena sifat mereka yang suka usil. Aida berjalan mundur, hanya saja tatapannya tidak lepas dari pria itu.Semenjak tinggal di kota, hidupnya semakin kacau. Bertemu dengan papanya Ikbal yang mengancam akan mencelakai Zaka, bert

  • Lelaki Masa Lalu yang Hadir Setelah Kepergian Suamiku   Keputusan yang Sulit

    Mungkin aku tidak akan mendapatkan kesempatan kedua untuk bisa bicara dengan Mama. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Mama berjalan lebih dulu, sementara aku mengikutinya dari belakang.Kini kami duduk di sebuah kafe yang tertutup. Sepertinya tempat ini ruang privasi, karena tidak ada orang lain selain kami. “Apa kabar?” Mama membuka obrolan, setelah cukup lama bungkam.“Baik, Ma. Alhamdulillah.”“Anakmu?”“Baik juga.”Lalu dia mengangkat gelas teh, dan meminumnya dengan anggun. “Aku tahu apa yang sudah dilakukan suamiku padamu, Aida. Karena itu, atas nama keluarga besar, aku minta maaf.”“Saya paham, Ma. Mungkin, hubungan Bapak dan Papa kurang baik di masa lalu.”Mama kembali meletakkan gelas tehnya, lalu berkata, “Sebenarnya urusan masa lalu itu sudah selesai. Toh, sekarang aku sudah menikah dengan papanya Ikbal, bukan dengan bapakmu. Tapi entah mengapa, suamiku itu sulit sekali melupakan masa lalu. Dulu—jika dia ada di rumah, mungkin kamu akan dilarang main ke rumah kam

  • Lelaki Masa Lalu yang Hadir Setelah Kepergian Suamiku   Bertemu Mama

    “Gimana menurut kamu?” tanya Ikbal pada Aida, saat mereka melihat-lihat apartemen.“Bagus juga, Mas.”“Kalau menurut Jagoan Om ini, gimana?” tanya Ikbal menunduk, menatap Zaka yang ada di gandengannya.“Ini rumah siapa, Om?”“Rumah kita.”“Wah, bagus. Apa Bunda sama Zaka boleh tinggal di sini juga?”Aida dan Ikbal sama-sama tersenyum. “Boleh, dong, tapi ada saratnya.”“Apa Om?”“Zaka harus panggil Om, Papa.”“Sebentar, ya, Om. Zaka tanya Bunda dulu.” Zaka segera mendekati bundanya, dan meminta wanita itu untuk berjongkok. Aida menurut. Dia berjongkok, dan mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh buah hatinya.“Bunda, boleh nggak panggil Om Ikbal Papa?”“Boleh,” balas Aida berbisik di telinga anaknya.“Siap, Bunda.”Anak itu kembali mendekati Ikbal. “Gimana?” tanya Ikbal pura-pura tidak tahu.“Boleh, Papa.”“Hore!” Ikbal menggendong tubuh kecil Zaka, dan mencium pipi anak itu gemas. “Jadi, panggil apa?”“Papa.” Ikbal tertawa senang.Malam itu, mereka cukup lama melihat-lihat dan b

  • Lelaki Masa Lalu yang Hadir Setelah Kepergian Suamiku   Rumit

    Dret! Dret! Dret!HP bergetar, saat Aida sedang sibuk merapikan kamar. Tertera nomor tidak dikenal di layarnya. Dia langsung menggeser tombol hijau, setelah memeriksa. Siapa tahu ini penting, batinnya berkata.“Halo. Saya sedang bersama anak Anda yang bernama Zaka. Kalau mau anak ini selamat, saya minta tebusan.”“Astagfirullah. Jangan macam-macam kamu! Kembalikan anak saya!” teriaknya ketakutan, lalu terdengar orang di seberang sana terkekeh. “Kenapa? Kenapa kamu tertawa?”“Ya ampun! Suara seksi gini, kok, dilupain, sih, Mbak?”“Ini siapa? Bukannya kamu culik anak saya?”“Hahaha. Mbak, aku Faaz!”Aida yang sejak tadi berdiri dengan tubuh menegang, kini duduk sambil memegangi dada. Hampir saja dia jantungan mendengar semua ini. Faaz terus berteriak memanggil namanya, sementara Aida masih terduduk lemas. “Maaf, Mbak. Aku bercanda. Tuh, kan aku dah bilang, Mbak jangan mudah percaya sama telepon begituan.” Aku masih diam.Faaz berteriak, “Mbak, Mbak! Masih di sana, kan? Sepadaaa!”“Iya

  • Lelaki Masa Lalu yang Hadir Setelah Kepergian Suamiku   Bertahanlah Untukku

    “Mbak, kenapa masuk?”“Kamu salah kiblatnya.”“Kiblat?”Aku mengangguk, dan menjelaskan semuanya. Akhirnya dia mengerti. “Niatkan dalam hati kamu untuk salat. Kamu orang baik, Faaz. Kebaikan kamu akan semakin sempurna, jika dilengkapi dengan salat. Jangan takut salah, kamu lagi belajar. Yang penting, niatnya dulu. Nanti aku bimbing soal yang lainnya. Kamu udah lihat gerakan-gerakan salat di gambar itu?”“Sudah, Mbak.”“Kamu paham?”“Paham, tapi aku belum bisa bacaannya.”“Nggak apa-apa. Pokonya utamakan niat. Sudah terlalu lama kamu meninggalkan Tuhan, kini saatnya kembali ke jalan-Nya, Faaz.”Pria itu menatapku, entah apa yang ada di pikirannya. Aku mengalihkan pandangan, karena cukup tidak nyaman ditatap lama-lama. “Aku tunggu di luar, Zaka sendirian.” Aku berbalik, dan melangkah keluar.Sampai di mobil, aku terus berpikir. Apa yang terjadi dalam keluarganya, sampai anak itu tidak bisa salat? Apa orang tuanya tidak pernah mengajarkan tentang pendidikan agama Islam?***Aku menyiapk

  • Lelaki Masa Lalu yang Hadir Setelah Kepergian Suamiku   Belajar Sholat

    “Bunda!” teriak Zaka, saat pulang dari sekolah.“Halo, Sayang.” Aku merentangkan kedua tangan, dan buah hatiku menghambur dalam pelukan. “Gimana sekolahnya?” tanyaku sambil mengusap pelan pucuk kepalanya, setelah melerai pelukan.“Zaka udah ada temen, Bun, Namanya Riki.”“Em, nama yang bagus. Orangnya gimana?” Kini kami jalan beriringan bergandengan tangan menuju taman di mana Faaz sudah menunggu.“Baik, Bun.”“Alhamdulillah.”“Bun, kita mau ke mana?” tanyanya bingung, karena aku mengajak Zaka ke taman.“Kita temui temen Bunda dulu, ya!”“Oke.”Dengan riang, Zaka bercerita soal teman-teman, guru, dan apa saja yang ada di sekolahnya. Aku mendengarkannya dengan antusias, dan sesekali bertanya. Hingga sampailah kami di taman tempat Faaz sudah menunggu. Entah apa jadinya, kalau tidak ada pria itu saat kejadian tadi. Aku sungguh berhutang budi padanya.“Assalamu’alaikum,” sapaku, karena Faaz sedang asyik dengan HP.“Oh, hai!” sahutnya spontan, dan langsung menyimpan HP. “Wah, ini, ya, jago

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status