Aida bingung harus bersikap bagaimana. Dia pikir pria itu hanya bercanda, nyatanya Faaz tidak berbohong. Ya, dia benar-benar seorang pria penghibur, dan itu membuat Aida kaget luar biasa. Mengapa kami bisa dipertemukan seperti ini? tanyanya dalam hati.“Mbak, ini takdir. Mungkin hidayah itu Allah turunkan melalui Mbak. Aku tidak takut meninggalkan kemewahanku. Aku datang ke sini menggunakan kendaraan umum. Mobil milik tante itu sudah aku kembalikan, karena itu memang bukan milikku. Terima kasih atas pencerahannya selama ini.”Aida masih kebingungan harus bersikap bagaimana. Selama ini, dia kenal dan hidup di lingkungan orang-orang baik. Paling parah orang yang dia temui adalah Mbak Retno dan Husna, kakak iparnya sendiri. Itu pun hanya sebatas ribut-ribut kecil, karena sifat mereka yang suka usil. Aida berjalan mundur, hanya saja tatapannya tidak lepas dari pria itu.Semenjak tinggal di kota, hidupnya semakin kacau. Bertemu dengan papanya Ikbal yang mengancam akan mencelakai Zaka, bert
“Aku tidak akan percaya. Tidak, Aida bukan wanita seperti itu,” katanya dengan pandangan yang nanar sambil mengalihkan pandangan. “Sebelum melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak akan percaya.” Ikbal duduk di kursi kerjanya sambil meremas semua foto yang ada, dan melemparnya ke kotak sampah begitu saja. “Demi Allah, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, Papa. Maka dari itu, stop memfitnah istri salihahku.”“Hah, kita lihat saja, Ikbal. Suatu saat nanti, kamu akan mengakui kalau Aida itu bukan wanita yang baik. Kamu akan bersujud di kaki Papa untuk meminta maaf, karena sudah menentang Papa demi wanita itu.” Kemudian Aji Wijaya berdiri, dan keluar dari ruangan Ikbal. Ikbal masih diliputi rasa cemas. Dia berusaha terus berpikir positif, tapi foto-foto itu. “Astagfirullah,” ucapnya lirih, kemudian menunduk seraya meremas kepala.***“Masak apa, Ai?” tanya Ikbal, saat mereka sudah duduk di kursi meja makan.Aida menuangkan air putih ke dalam gelas keramik berwarna putih, lal
Melihat sikap tak acuh Ikbal, membuat hati wanita itu bertanya-tanya. Niatnya ingin bercerita soal Zaka diurungkan olehnya. Apa Mas Ikbal sedang banyak masalah?' “Mas, aku udah masak makanan kesukaan kamu.” Aida berusaha mencairkan suasana.“Kenyang.” Ikbal berdiri, menuang air putih dan menenggaknya hingga habis, setelah itu langsung masuk ke kamar. Aida mengamati, hingga punggung pria itu hilang dari pandangan. Dibukanya kantung berwarna hitam berisi bakso yang dibeli oleh Ikbal. Wanita itu membukanya satu, lalu menuangnya ke mangkuk. Awalnya Aida berusaha bersikap biasa saja memakan bakso itu sendirian, tapi semakin lama ... rasa sedih mendera jiwa sehingga membuat wanita itu terisak. Aida terus berusaha tegar, menghapus tetes air mata yang jatuh ke pipinya. Bukankah ini bagus, sebulan bukan waktu yang lama. Entah apa alasan Mas Ikbal bersikap demikian, tapi bukankah dia akan baik-baik saja saat nanti aku meninggalkannya? Aida terus saja berkata sendiri dalam hati. Meskipun jauh
Aku kembali menoleh, dan menatap wajah pria muda ini dengan tajam. Pengakuan soal Aida dan kejujurannya soal perasaannya, membuat hatiku tersayat-sayat. “Kakak tahu? Karena Mbak Aida, pandangan saya tentang wanita berubah. Dulu, saya pikir, wanita baik-baik itu hanya ada dalam novel dan film, ternyata di dunia nyata ada, dan wanita itu adalah istri Anda.” Pandangan pria bernama Faaz ini menerawang, seperti membayangkan, kemudian lengkungan kecil tercetak di sisi bibirnya.Apa mungkin dia membayangkan istriku? Makin panas rasa hati.“Lalu, aku menemui Anis untuk membatalkan perjanjian kami. Di sana, aku mendengar dia menelepon papanya. Katanya, mereka akan menculik Zaka, dan menggunakan anak itu supaya Mbak Aida mau menuruti semua kata-kata mereka. Satu yang ada dalam pikiranku, aku harus menolong anak itu. Karena jujur, aku pun sudah menyayanginya seperti adik, atau bahkan anakku sendiri.”Emosiku tidak terkendali. Aku mendorong dada Faaz dan memegang kerah bajunya, kudekatkan wajah d
"Eh, lihat deh si Aida. Anaknya mecing terus. Padahal dia kan janda, kerja juga cuma di konter hape biasa, tapi lihat tuh si Zaka. Udah kayak sultan, pakaian dan barang-barang nya bagus semua. Harusnya lihat keadaan lah kalau mau banyak gaya," celetuk Mbak Husna, istri dari Mas Teguh, kakak iparku."Terus lihat tuh dia. Bajunya juga bagus-bagus. Sok nya kelewatan nggak sih?" sambung Mbak Retno kemudian. Dia adalah istri dari Kak Wijaya yang juga kakak iparku.Mereka adalah istri-istri dari saudara iparku. Aku datang ke sini untuk menghadiri acara hajatan adik ipar yang bungsu, saudara Mas Dwi yang ke 3. Suamiku meninggal satu tahun yang lalu, yang membuat aku jadi single parent. Beruntung kami sudah memiliki rumah dan satu kendaraan roda 2. Semenjak Mas Dwi meninggal aku mengajak ibu dari kota untuk tinggal di desa bersamaku.Sejak dulu istri-istri dari para saudara iparku memang seperti i
"Mas, Ikbal .... "Waktu seolah melambat, ingat kejadian waktu kami di SMA. Saat itu Mas Ikbal sudah menyatakan perasaannya padaku, hanya saja kukatakan kalau dia serius langsung saja datang ke rumah untuk bicara dengan orang tuaku. Tanpa kuduga, hari di mana kami menerima ijazah ia datang. Benar-benar bicara pada Bapak, aku pikir bapak akan setuju, nyatanya bapak menentang keras niat baiknya."Mau kamu kasih makan apa anakku? Baru aja lulus sok sok an mau serius, kerja dulu yang bener.""Saya akan kuliah di luar kota, Pak. Maksud saya akan mengajak serta Aida bersama saya. Karena itu saya berniat menikahinya.""Nggak ada, sekolah dulu yang bener, kalau sudah lulus cari kerja yang bagus, baru kalau mau nikahin anak saya."Aku yang mendengar percakapan mereka dari balik pintu kamar hanya bisa menahan sesak. Aku pikir Bapak akan setuju, aku pikir kami akan bersama
Aku hendak mendekat, tapi terdengar suara Mas Teguh menegur mereka lebih dulu."Ini ngomong apa sih? Di dalem orang lagi sibuk buka kado rame-rame kok malah asik ngerumpi di sini? Masuk sana, Ma!""Baru juga mau cerita, Mas!" sahut Mbak Husna kesal.Aku langsung kembali masuk ke ruang tengah di mana semua orang sudah berkumpul untuk membuka semua kado yang di dapat. Sebelumnya kulihat Zaka yang ternyata sudah terlelap di kamar Ibu bersama Ika, anaknya Mbak Retno, padahal aku sudah membawakan segelas air putih karena tadi ia sempat mengeluh haus. Setelah yakin mereka sudah nyenyak, aku langsung bergabung bersama yang lainnya.Aku duduk di dekat Prista dan Ganang. Mereka berdua nampak bahagia dan semringah. Jadi ingat saat pertama kali aku menikah. Aku pun merasa kan demikian, lalu seketika duniaku hancur saat Mas Dwi pergi menghadap Sang Pencipta lebih dulu."Mbak, mau
"Pagi, Pak .... " sahutku masih tidak percaya.Tertera nama Ikbal di papan nama yang mengait di bajunya. Bagaimana bisa kami bertemu di sini. Aku berusaha kembali fokus bekerja, tak kuhiraukan senyuman tipis Mas Ikbal berdiri di sana, masih terus menatap. Andi Susi tahu kalau laki-laki itu hampir saja menjadi suamiku. Ah, kenapa dunia begitu sempit. Mereka sempat berbincang sebentar, lagi Mas Ikbal naik ke lantai atas."Ai itu namanya Pak Ikbal.""Oh, iya." Hanya itu yang bisa kukatakan."Cakep, ya!" Susi senyum-senyum mengatakan semua itu."Oh, iya," sahutku lagi, masih sibuk mengelap atalase dalam ruangan ini."Ai! Kok oh iya terus sih. Jangan jangan nanti berubah jadi oh yes oh no, oh yes oh no.""Susi! Kamu apaan sih?!" Aku mulai terusik, candaannya pagi ini sungguh tidak lucu bagiku."Becanda, Ai. Kamu kena