Dua bulan sudah bayi mungil itu menghuni dunia kecilnya di balik kaca inkubator. Dikelilingi alat-alat yang menopang kehidupannya. Sudah ratusan juta juga biaya yang dihabiskan olehnya. Setiap hari Shankara menghitung gram demi gram kenaikan berat badan putrinya. Dan hasilnya dari hari ke hari bobot tubuhnya terus bertambah. Kini bahkan anak itu sudah bisa menyusu sendiri. Mengutip kata dokter, keadaan Thalia sudah semakin baik. Dan sebentar lagi diizinkan untuk pulang ke rumah. Semestinya Shankara merasa bahagia. Tapi yang terjadi batinnya terasa pilu. Pikirannya kacau. Setiap detik bersama Thalia kini terasa seperti detik-detik terakhir yang ia lalui sebagai sebuah keluarga utuh. Senyum Calista yang begitu bahagia saat melihat perkembangan anak mereka justru membuat hatinya seperti diremas. Shankara menghela napasnya dalam-dalam. Tidak ada seorang pun yang boleh tahu, bahkan Calista pun tidak. Semua akan terungkap pada waktunya. Dan ia hanya bisa berharap waktu itu tidak dat
Andara tertegun berdetik-detik lamanya. Tidak tahu harus melakukan apa. Kakinya seperti dipaku di tempat.Aroma sabun yang berasal dari kamar mandi samar-samar menusuk indera penciuman Andara. Wanginya segar dengan sentuhan kayu, rempah dan citrus. Bukan wangi sabun biasa, tapi aroma khas sabun mahal Terre d’Hermes, yang hanya tercium dari tubuh lelaki mapan seperti Ananta. Seketika aroma itu membuatnya sadar bahwa suaminya memang berada di rumah dan hanya berjarak beberapa langkah darinya. Ia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat.Andara bergegas keluar kamar lalu setengah berlari menuju ruang tamu, tempat di mana koper dan barang-barangnya berada.Dengan gerakan kilat Andara memindahkan semua itu ke kamar 'penyekapannya' dulu. Ia membongkarnya di sana kemudian memasukkan pakaian kotor ke kantong laundry.Setelah dirasa aman Andara mengatur napasnya sambil mencari alasan.Andara keluar dari kamar itu setelah keberaniannya terkumpul untuk menemui Ananta. Andara berusaha untuk tid
Andara tidak pernah membayangkan dirinya akan menginap di Marina Bay Sands, apalagi di sebuah kamar mewah. Ia terpaksa menggunakan uang yang diberi Ananta. Dari balkon kaca, panorama kota Singapura terbentang tanpa batas. Lampu-lampu malam berkilau bagai lautan bintang. Sejak tadi Ananta rajin mengirim foto aktivitasnya. Mulai dari bersantai sambil menyesap secangkir kopi hitam di coffe shop. Menyantap sepiring sashimi di restoran hotel, bahkan selfie singkat di depan infinity pool. Ia juga menunjukkan foto bersama seseorang laki-laki beserta dokumen yang penuh dengan grafik dan angka-angka. Ananta mengatakan lelaki itu adalah partner kerjanya. Semua dikirim seolah untuk meyakinkan Andara bahwa ia tidak melakukan hal lain selain yang ia tunjukkan. Andara sampai tidak bisa menahan diri. Ia hampir saja mengaku pada Ananta mengenai keberadaannya saat ini. Saat sedang termenung ponselnya yang berbunyi membuat Andara nyaris terlonjak. Namun, yang membuatnya lebih kaget adalah ketika A
Taksi yang membawa Andara meluncur dari Changi Airport menyusuri East Coast Parkway. Setelah itu, mereka bergeser ke Pan Island Expressway, menembus padatnya kehidupan kota, dan akhirnya keluar menuju pusat Orchard. Lalu berakhir di Mount Elizabeth road. Mobil yang membawa Ananta berbelok memasuki Mount Elizabeth Hospital. "Rumah sakit?" Andara mengerutkan keningnya. Kenapa Ananta ke rumah sakit? Setahu Andara dia baik-baik saja walau memang sedikit pilek. Andara lalu berbicara pada supir taksi. "Excuse me, sir. Do you know if this hospital is open 24 hours?" Sang supir menatapnya melalui spion tengah dan menjelaskan pada Andara. "Yes, ma’am. Mount Elizabeth Hospital operates around the clock. Emergency and outpatient services are available all day." "Oh, I see. Thank you. Do you think it’s common for someone to come here for just a mild cold?" "Well, ma’am, sometimes people prefer to get checked here because the facilities are top-notch. Even for minor issues, better s
Empat belas hari mungkin waktu yang lama bagi orang lain. Namun, bagi Andara rentang waktu segitu masih terlalu singkat untuk merangkai tawa, senyum dan kebahagiaan di bumi asing itu.Mereka harus pulang karena sudah saatnya. Kembali ke rutinitas sehari-hari.Sambil menanti pesawat yang akan membawa mereka kembali ke Indonesia di Changi Airport, Andara melihat-lihat foto yang mereka ambil selama liburan. Ananta yang duduk di sebelahnya ikut memiringkan tubuh, menyandarkan siku di sandaran kursi, dan menatap layar ponsel di tangan Andara. “Delete yang ini,” ujarnya sambil menunjuk salah satu foto candid dirinya yang sedang makan es krim.Andara tersenyum tipis. “Kenapa? Lucu kok.”“Lucu untuk kamu, memalukan untuk aku,” balas Ananta sambil menyandarkan kepala ke belakang.Andara menggeleng pelan. Ia justru menyukai foto-foto yang tampak apa adanya, yang merekam momen tanpa dibuat-buat. Baginya, itulah yang kelak lebih berharga dibanding potret dengan pose sempurna.Di luar kaca besar
Setelah makan malam keduanya masuk ke dalam tenda. Mereka berbaring di atas ranjang sambil memandangi taburan bintang di langit melalui atap tenda yang transparan. Rasanya seperti tidur tepat di bawah bintang."Indah banget ya, Mas," puji Andara penuh kekaguman."Kamu tahu nggak?""Tahu apa, Mas?" Andara memandang suaminya, meminta menjelaskan lebih jauh."Langit di New Zealand ini termasuk salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan masuk ke dalam daftar UNESCO sebagai Dark Sky Reserve.”"Apa itu, Mas?"“Dark Sky Reserve artinya kawasan yang dilindungi dari polusi cahaya, jadi langitnya benar-benar gelap dan bintang-bintang bisa terlihat dengan jelas,” terang Ananta menjelaskan."Ooo." Mulut mungil Andara membulat.Bibir mungil yang terlihat menggemaskan itu membuat Ananta lantas mengecupnya.Yang dicium tersipu malu-malu. "Jadi yang indah malam ini cuma langitnya ya, Mas?" Andara bertanya menggoda."Dua-duanya. Bedanya adalah kalau langit indahnya cuma malam ini. Tapi kalau kamu sela