LOGINKini Vanka sudah telentang di tempat tidur dalam keadaan polos tanpa busana. Ia terlihat begitu gugup dan tegang. Kedua tangannya tersilang di depan dada menutupi payudaranya. Begitu juga dengan kakinya yang disilangkan. Kenapa harus malu? pikir Shankara. Bukankah malam itu mereka sudah melakukannya?"Kalau semuanya ditutupin gimana caranya Abang mau masuk?" Shankara tersenyum menggoda."Aku malu, Bang." Vanka semakin erat melindungi aset berharganya."Kenapa harus malu? Bukankah malam itu kita juga kayak gini?""Aku nggak tahu. Mungkin karena aku ngerasa ini terlalu nyata, sedangkan malam itu kita sama-sama nggak sadar.""Oh, gitu ya?""Iya, Bang.""Abang kira nggak ada bedanya."Vanka tidak menjawab. Ia memalingkan mukanya yang mendadak panas ketika Shankara melucuti seluruh pakaian tepat di hadapannya.Shankara mengambil posisi di sebelah Vanka. Pria itu berbaring miring dengan siku tertumpu di kasur. Tatapannya begitu intens.Ditatap seperti itu Vanka semakin grogi."Vanka, ma
Langit sore Monaco menyambut dengan hangat saat pesawat mereka mendarat di Bandara Nice Cote d’Azur. Dari jendela, Andara bisa melihat lautan biru Mediterania berkilauan disinari mentari yang condong ke barat. Monaco menyambut dengan pesonanya yang mahal, dan entah mengapa, jantung Andara berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya.Hotel tempat mereka menginap berdiri di pinggir pantai Monte Carlo. Bangunannya menjulang dengan arsitektur klasik Eropa yang megah.Kaivan berlari kecil ke arah jendela besar yang menghadap laut. "Mama, coba lihat! Ada kapal besar banget!" serunya kegirangan.Andara tersenyum lembut. "Itu kapal pesiar, Sayang.""Kai boleh naik kapal itu, Ma?"Andara tertawa kecil melihat mata anaknya yang berbinar penuh rasa ingin tahu. Ia mendekat, lalu mengusap rambut Kaivan yang legam. "Coba deh tanya Papa."Ananta yang baru saja menurunkan koper dari troli hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. “Baru sampai aja udah minta naik kapal,” gumamnya pelan. Tapi nada suaran
Shankara yang terperanjat atas aksi kurang ajar Calista dengan refleks mendorong wanita itu kuat-kuat hingga hampir terjatuh. “Gila kamu!” raungnya. Calista malah mengulum senyum tanpa merasa bersalah. Malahan wanita itu terlihat puas melihat Shankara kelabakan akibat ciumannya barusan."Sekali lagi kamu kayak tadi aku pastikan kamu nggak akan bisa ketemu sama Thalia selamanya!" ancam Shankara marah.Thalia mematung di sofa dengan mata membulat. Benaknya dipenuhi tanda tanya tentang apa yang dilihatnya tadi."Ayo pulang, Thalia." Shankara meraup sang putri ke dalam gendongannya.Thalia tidak menolak kali ini. Dalam gendongan Shankara, ia membalas lambaian tangan Calista yang menyeringai padanya.Shankara memasukkan Thalia ke kursi penumpang depan dengan cepat. Ia menggas mobilnya dengan sedikit kasar akibat marah pada Calista.Pikirannya berkecamuk. Dadanya bergemuruh. Ia marah pada Calista. Marah pada keadaan. Andai Calista tidak berubah menjadi wanita binal, mungkin Shankara akan
Waktu menunjukkan pukul delapan malam ketika suara mesin mobil terdengar di depan rumah. Vanka yang sejak maghrib sudah menunggu di ruang makan segera berdiri. Ia memerhatikan sekali lagi, memastikan meja sudah rapi terisi dengan hidangan lezat dan hangat.Begitu pintu terbuka, Shankara muncul dengan wajah lelah. Vanka tersenyum menyambut, mencoba sehangat mungkin.“Abang udah pulang,” sapanya lembut. “Mau langsung makan atau mandi dulu?”"Abang masih kenyang, Van," jawab lelaki itu sambil lalu dan melanjutkan langkah menuju kamarnya."Kenyang?" Vanka mengernyitkan dahi sambil mengikuti langkah Vanka menuju kamar. "Kenyang makan apa, Bang? Perasaan tadi aku ke sana sekitar jam dua belasan. Sekarang udah--" Vanka menjeda kata untuk melihat jam dinding. Sebelum ia melanjutkan, Shankara lebih dulu memotongnya."Thalia mana?" Shankara memandangnya lantaran tidak melihat sang putri di kamar."Tadi aku udah jemput Thalia, tapi dia nggak mau. Terus dia pulang sama Calista," jelas Vanka mene
Vanka datang ke bengkel Shankara sekitar setengah jam kemudian. Siang itu matahari begitu menyengat, tapi bengkel dua lantai itu tetap tampak adem.Beberapa mekanik terlihat sibuk memperbaiki motor di area servis. Di antara mereka ada Rendi, salah satu mekanik senior yang sudah lama bekerja untuk Shankara. Dia juga hadir saat Vanka dan Shankara menikah.Vanka turun dari taksi dengan membawa dua wadah besar berisi makanan. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap tersenyum saat disapa.“Siang, Vanka,” sapa Rendi ramah. “Abang lagi di atas. Mau aku panggilin?”Ya, semua orang di bengkel itu memanggil Shankara dengan sebutan 'Abang'.Vanka buru-buru menggeleng. “Oh, nggak usah, Mas. Aku cuma mau nitip makan siang buat Abang.” Ia membuka kantong kertasnya dan mengeluarkan wadah makan berbahan kaca yang masih hangat. Uapnya naik perlahan, membawa aroma iga bakar manis pedas yang menggoda.“Wah, enak banget nih baunya,” kata Rendi sambil tersenyum.Vanka tertawa kecil. “Iya, aku masak sendiri dar
"Gue rasa firasat gue nggak salah. Dia bohong. Malam itu nggak pernah terjadi apa-apa.""Gimana lo bisa seyakin itu? Udah unboxing ulang semalam?"Shankara tertawa getir. Ananta baru datang lima menit yang lalu. Shankara langsung bercerita padanya. "Mana ada yang namanya unboxing ulang, Ta. Kalo udah unboxing ya udah kebuka.""Lo tahulah apa maksud gue," balas Ananta. Di depannya ada sepiring mangga muda yang sudah dikupas bersih, diberi garam dan bubuk cabai. Ia mengambil satu potong, mencelupkannya ke garam, lalu menggigit dengan santai. Mangga muda itu persembahan khusus dari Shankara untuk Ananta."Dia haid katanya.""Terus?""Pas gue mau ngeliat, dia nggak mau. Mana haidnya lama, hampir sepuluh hari. Paling itu cuma akal-akalan," gerutu Shankara. Kemarin malam ia hanya ingin membuktikan mengenai kejadian one night stand di Milan. Bukan karena Shankara benar-benar ingin meniduri Vanka. Tapi rencananya gagal total.Ananta tertawa menanggapi gerutuan sahabat sekaligus kakak iparnya







