Share

Lelaki untuk Deline
Lelaki untuk Deline
Author: Nona Trisia

Bab 1. Kopi Tanpa Gula

Di saat hujan mengguyur bumi. Membasahi seluruh isinya bersamaan dengan suara deruh yang menenangkan, serta aroma khas tanah basah menjadi sebuah candu bagi beberapa insan di berbagai penjuru dunia. 

Suatu malam penetralisir lelah bagi seorang gadis yang pinggang rampingnya masih terikat kain cokelat bertuliskan 'Romantica Coffe'. Ia sedang disibukkan dengan beberapa gelas yang harus dilap. 

"Seharusnya saat ini aku sedang menikmati sup hangat buatan ibuku di rumah, tetapi lihat, hujan ini menyebalkan. Kita terkurung di kafe untuk waktu yang cukup lama." Seorang gadis lainnya muncul dari balik ruangan paling belakang, tempat berganti pakaian.

"Jangan salahkan hujan untuk apa pun yang membuatmu marah."

Mendengar ucapan rekannya, gadis tersebut menghampiri, tangan ia masukkan ke saku celemek. Membelakangi meja sambil mendengkus. Nampaknya malam ini hujan begitu bersalah, sebab menghalangnya pulang.

"Kau bisa bayangkan, El. Ini sudah jam sebelas, hampir jam dua belas, dan hujannya bahkan tak menunjukkan tanda-tanda mereda."

"Tunggu saja setangah jam lagi. Lagi pula, udara dinginnya menyenangkan," ujar gadis yang disebut El itu, kemudian berlalu sambil melepaskan celemeknya.

Deline, seorang perempuan penikmat hujan. Hatinya selalu bahagia ketika langit menumpahkan airnya. Di usia yang cukup matang, yakni dua puluh lima tahun, perempuan yang kerap dipanggil El tersebut bahkan belum merencanakan pekerjaan selanjutnya. Pekerjaan yang seharusnya ia lakukan sesuai dengan jurusan yang diambi semasa kuliah.

Namun, Deline lebih mencintai pekerjaannya yang sekarang, mungkin akan seterusnya begitu. Menjadi barista di sebuah kafe ternama di kotanya, sudah ditekuni sejak masih menjadi mahasiswi. Menurutnya, meracik kopi adalah suatu kegiatan termahal dalam hidup. Sesekali menyajikannya ke meja pelanggan dengan senyum ramah, membuatnya tahu, bahwa kenikmatan kedua setelah rasa adalah suasana.

Ia harus membangun suasana nyaman dengan pelanggan-pelanggan, agar cita rasa pada kopi yang diraciknya menjadi semakin memiliki kenikmatan setiap kali menghirup. Menciptakan kesan berbeda dari kafe lainnya. Hal tersebut pula yang membuat Deline dijuluki sebagai karyawan terbaik.

***

"El dan semuanya, aku akan pulang lebih dulu, okay. Badanku benar-benar sudah lengket."

Belum sampai setengah jam setelah mereka berganti seragam seperti target El tadi, hujan sudah perlahan mereda. Yuka yang terus saja mengeluh akhirnya bisa bernapas lega. Rekan perempuan El itu langsung bersemangat menyalahkan mesin kendaraan roda duanya.

"Entah sampai kapan sifat suka marah-marah dan tidak sabarannya bisa berkurang," ujar lelaki yang duduk di sofa khusus ruangan karyawan. 

Benar juga, Yuka itu tipe orang yang tidak suka menunggu. El ikut duduk, sudah pegal rasanya seharian bekerja. Terlebih, Romantica Coffe selalu ramai setiap harinya, membuat waktu istirahat berkurang. Namun, di tengah lelah ia juga senang tentunya.

"Kak Maxi, kau sendiri tidak ingin pulang? Sekalian bangunkan mereka berdua, malam sudah hampir larut."

"Biarkan saja, El. Mereka menginap dan terkunci di sini berduaan." Kak Maxi tertawa dengan rencana jahilnya. 

Heh, yang benar saja. Sepasang lawan jenis berduaan malam-malam, apa jadinya? Membiarkan teman akrabnya bersama Glen si perayu tingkat akut. Tidak bisa dibiarkan. El berdiri kemudian menarik tangan temannya yang terlelap di sofa dengan posisi tubuh membungku memeluk jaket. Bisa dipastikan, pinggang gadis satu itu akan sakit besok pagi.

"Kate, wake up! Ayo pulang."

Tak butuh waktu lama untuk Katerin membuka mata. Lehernya terasa sakit karena tidur dengan posisi menunduk. Dilihat semua teman-temannya sudah berganti pakaian, sedangkan dirinya masih memakai seragam biru tua. Sisa-sisa hujan masih meninggalkan kesejukan udara, membuat gadis berambut pendek itu ingin cepat-cepat pulang dan melanjutkan tidur.

 "Jam berapa ini, El?"

"Sebelas lewat lima puluh. Cepat berganti baju, aku akan tunggu di depan," jawab El sembari melangkah ke luar ruangan karyawan, sebelum itu ia sudah melempar kunci kafe pada Kak Maxi.

Rumahnya dan Rumah Katerin memang tak searah, tetapi keduanya selalu kompak untuk pulang bersama. Di persimpangan rumah Katerin, mereka berpisah. Udara malam begitu dingin menusuk kulit, apa lagi El yang hanya menggunakan switer tipis. Rasanya tak tahan lagi lama-lama mengendarai motor hitamnya. Untung saja jarak kediamannya dan persimpangan tersebut tak terlalu memakan waktu.

***

"Morning, El," sapa Glen penuh semangat.

"Morning. Apa kau bermalam di sini semalam, Glen?"

Lelaki berwajah campuran Belanda Indonesia itu terkekeh. "Aku langsung terjaga saat Kate tak ada lagi di sampingku."

Sontak El memukul lengan kekarnya. "Buaya darat."

Semua karyawan bahkan bos pun tahu jika Glen sudah lama mendekati Katerin, berbagai cara dilakukan. Sayangnya, gombalan maut yang sering ia gunakan pada gadis-gadis di luar sana tak mempan sama sekali pada Katerin. Gadis itu nampak kesal kalau sudah berurusan dengan seorang Glen.

Deline tengah sibuk meracik kopi untuk pelanggan bersama Kak Maxi saat seorang lelaki berpakaian jaket kulit dengan menyandang kamera di bahu kiri datang menghampiri. Sorot matanya menatap malas pada sekeliling orang-orang yang ada di dalam ruangan. Berdiri angkuh menghampaskan tangan di meja kasir sehingga membuat suara yang cukup mampu mengagetkan Yuka si penjaga kasir.

"Kopi, tanpa gula." Dengan cekatan Yuka menulis pesanan tersebut, sementara lelaki itu sudah berlalu menuju bangku nomor tujuh. Paling sudut.

Yuka menempelkan kertas pesanan pada papan yang tersedia di depan meja tempat di mana karyawan meracik pesanan. Ia mengode pada Glen untuk menggantikan posisinya sebentar di kasir, kalau sudah seperti ini biasanya gadis pemarah dan sedikit cerewet itu pasti tengah ingin membahas sesuatu.

"Kalian lihat lelaki di bangku nomor tujuh itu? Aku tidak mengerti mengapa setiap kali dia datang, selalu saja menggebrak meja. Jika semua pelanggan seperti itu, mungkin aku sudah terkena penyakit jantung," celoteh Yuka disertai mimik wajah geram.

"Bisa jadi dia tak pernah dibuatkan kopi oleh istrinya. Itu sebabnya setiap datang kemari dengan wajah yang seperti itu." El menjawan asal. Lagi pula, siapa peduli? Ia bahkan tak berminat membahas tentang lelaki itu, meskipun sering datang ke Romantica Coffe untuk sekedar minum kopi hitam tanpa gula.

Yuka melebarkan matanya. "Apa dia sudah menikah?"

"El, tolong antar ini ke meja nomor tujuh itu," pinta Kak Maxi setelah pesanan tersebut jadi. Ya, tadinya El yang ingin membuatnya, tetapi Yuka malah sibuk mengajaknya mengobrol.

Gadis berkulit kuning langsat itu langsung mengambil alih nampan. Sebelum berlalu, ia sempatkan menjawab pertanyaan teman satu profesinya. "I don't know. Aku bahkan tak tahu dia berasal dari mana."

Setelah mendengar jawaban El, terlihat raut kecewa di wajah Yuka. Jelas sekali perempuan itu sebenarnya masih sangat penasaran dengan pelanggan tetap yang satu itu. Pria tersebut bahkan pernah datang pada saat mabuk berat, alhasil Kak Maxi dan Glen lah yang memapanya masuk. Lebih gilanya, dalam kondisi yang seperti itu pun dia masih ingin minum kopi. Dalam kondisi yang setengah sadar. Tentu itu cukup membuat penasaran.

"Ini kopimu, Tuan. Silahkan dinikmati."

Lelaki itu mengangkat kepalanya yang tadi menunduk sambil memijat pelipis. "Kau sungguh tak mengingatku?"

Mendengar itu, Deline yang tadinya hendak membalik badan sambil memeluk sebuah nampan hitam, langkahnya sontak terhenti. Raut tenang pada wajah wanita dua puluh lima tahun itu berubah datar. Kali ini menatap jalanan lewat dinding kaca lebih menarik dari pada harus beradu pandang dengan lelaki yang ikut berdiri di sampingnya.

"Kau benar-benar tak mau mengenalku lagi?" tanya lelaki itu untuk ke dua kalinya.

Jika ada orang yang memperhatikan, mereka akan mendapati mata jernih itu berkaca-kaca. Sayangnya, Deline berusaha menyembunyikannya, meskipun kenyataannya, lelaki itu lebih pintar. Tak ada yang menyadari bahwa kini Deline tengah berusaha menetralisirkan hati yang tak karuan, kecuali si lelaki.

"Aku harus kembali bekerja."

Belum sempat tubuh yang tingginya hanya sebahu pria di hadapannya pergi. Dirinya kembali dihentikan oleh sebuah pernyataan dalam bentuk pertanyaan. Menciptakan kecamuk di hati Deline.

"Bagaimana caranya melupakan semua tentangmu, El?" tanya lelaki itu. Hampir seperti berbisik. Meskipun ia sadar, pertanyaan itu tidak akan mendapatkan jawaban.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status