Sayangnya hati Deline begitu sulit mengeluarkan apa yang sudah terlanjur terpahat di dalamnya. Untuk menerima Bryan si baik hati itu pun sulit.
Padahal, apa kurangnya Bryan? Sikap lembutnya pada perempuan, cara memperlakukan Deline dengan istimewa, Bryan seperti sang kakak, Diego. Senantiasa melindungi apa yang menurut mereka istimewa dan berharga.
Namun, perasaan terhadap Bryan tetap hanya rasa nyaman dan tenang belaka, belum ada cinta. Arya seakan-akan menguasai sisi terdalam hatinya. Hanya dengan mendengar suara, sentuhan, tatapan, atmosfer di sekitar Deline langsung berubah. Dapat dirasakan tetapi sulit dijelaskan.
"Aku menyesal dahulu terlalu mencintainya, Kate. Sehingga sekarang tersiksa dengan hatiku sendiri," lirih Deline. Matanya sudah sembab.
"Kau akan bisa jika kau mau memberi sedikit ruang untuk orang lain, El. Bryan misalnya, dia lebih baik dari Arya," ujar Katerin.
Terlalu lelah menangis, membuat Deline tertidur dan akhirnya menginap di rumah sang sahabat. Sampai-sampai sebuah notifikasi ponselnya tidak dihiraukan hingga pagi tiba.
***
Katerin sengaja tidak membangunkan Deline kamis pagi itu. Mereka libur bekerja, jadi gadis itu bisa tidur sampai jam berapapun. Sementara Deline tak kunjung bangun, Katerin sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.
Sudah selesai Katerin mandi dengan kepalanya masih dibungkus handuk, tiba-tiba gadis yang sedang bermain ponsel di ruang makan itu terkejut dengan suara sendal rumahan yang Deline pakai beradu kencang dengan lantai keramik. Gadis yang masih berantakan itu berlari menuruni anak tangga. Duduk di samping sang tuan rumah yang keheranan.
"Why? Kau seperti anak yang akan terlambat sekolah saja," gerutu Katerin.
"Semalam ada pesan dari Bryan. Dia bilang hari ini akan mengajakku mencari baju."
"Ya sudah ayo sarapan sekarang. Lalu pulang sana, kau tidak membawa pakaian ganti, bukan? Jam berapa kalian pergi?" ujar Katerin diiringi pertanyaan.
"Jam sepuluh, Kate. Oh! Kau yang siapkan semua ini?"
Deline menatap beberapa makanan di meja makan. Gadis itu memilih roti tawar yang diolesi selai kacang.
"Ini sudah jam delapan lewat, El. Kalau begitu cepatlah! Tapi ... dia mengajakmu mencari baju untuk apa?"
Gadis yang tengah memotong-motong roti tawar menjadi beberapa bagian itu menggeleng.
"Entahlah. Saat kutanya, dia bilang nanti aku akan tahu sendiri."
***
Mobil mewah hitam dengan kecepatan sedikit kencang berhasil memasuki pekarangan rumah mewah, setelah gerbang dibuka dengan cekatan oleh beberapa satpam. Memarkirkan kedaraan di parkiran khusus tamu. Lelaki bersetelan jas biru tua, kemeja biru muda, serta celana senada dengan jas yang dihias ikat pinggang cokelat susu kesukaannya membuat setiap gadis terpikat akan ketampanannya.
Bryan membuka pintu mobil dan langkah lebarnya segera menuju ke pintu berukiran indah rumah tersebut. Melirik arloji di tangan, menunjukkan jam sembilan lewat. Saat masuk lelaki tampan itu langsung disambut oleh wanita yang sangat ia kenal.
"Bryan, ayo duduk dulu. Bukankah ini jam kerjamu, Nak?"
"Aku ada janji pergi bersama El, Bibi."
Alina menganggung-angguk paham. Pantas saja sang putri tadi saat sampai ke rumah langsung berlari ke kamarnya.
"Kau tunggu di sini, ya. El baru saja pulang dari rumah temannya, semalam menginap di sana. Bibi akan buatkan minum," ujar sang wanita berwajah sendu.
"Tidak usah, Bibi. Belum haus." Bryan menolak sembari berdiri dan tersenyum. Alina kemudian mengangguk dan meninggalkan lelaki itu ke dapur.
Tak lama menunggu, suara gadis dari tangga membuat lelaki yang masih memakai kacamata itu mengarahkan pandangan ke sumber suara. Kali ini Deline mamakai dress abu-abu sedikit kembang di atas lutut.
"Dari kantor langsung saja ke mari?" tanya gadis itu sembari menghampiri.
Bryan membuka kacamatanya. "Ya."
Setelah berpamitan pada sang ibu, mereka langsung berangkat. Bryan menggandeng bahu Deline dengan santai, sedangkan gadis tersebut tidak menolak. Ia tidak merasakan getaran aneh apa pun saat bergandengan dengan Bryan, tidak juga risih.
Dua puluh menit lebih kurang mobil hitam Bryan sudah terparkir di parkiran butik besar. Ia begitu setia membukakan pintu untuk Deline, bak sepasang kekasih yang sangat romantis. Lagi pun, gadis mana yang tak menginginkan lelaki seperti Bryan? Lelaki mana pula yang tak menginginkan gadis secantik Deline? Keduanya terlihat serasi.
Saat masuk mereka disambut oleh pelayan butik yang mengenakan serangam. Keduanya ditanyai ingin model pakaian seperti apa, tetapi raut wajah Deline bingung menjawab, sebab Bryan tidak memberitahunya ingin ke acara seperti apa mereka.
"Dress berwarna hitam, juga jas yang senada." Deline menoleh ketika Bryan bersuara.
"Mari ikut saya, Tuan. Kami menyediakan banyak dress hitam berbagai model," ajak pelayan wanita.
Karena tidak mengerti, Deline membiarkan saja Bryan yang memilihkan. Jika sebelumnya lelaki itu memberi tahu mereka akan ke pesta seperti apa, mungkin ia bisa memilih sendiri.
Sempat terkesima dengan keindahan dress mewah khusus warna hitam yang tersusun rapi. Ada berbagai model, sangat memanjakan mata. Beberapa baju sudah ditunjukkan pelayan, tetapi Bryan berulang kali menggeleng, kadang juga menggerakkan kedua jarinya pertanda minta tunjukkan yang lain.
Namun, ketika melihat dress hitam polos panjang dengan belahan sepaha sampai bawah pada bagian samping kiri. Serta memberi ruang untuk bahu terekspos. Membuat El hingga Bryan tertarik melihat dress tersebut.
Lelaki itu kemudian mengambilnya dari tangan pelanyan, lalu mengepaskan pada tubuh gadis di sampingnya. Setelah dikira pas, tanpa menyuruh mencoba, ia kembali memberikan dress tersebut pada pelayan.
"Saya pilih yang itu," katanya.
"Tuan bisa suruh kekasih Tuan untuk mencobanya di ruangan sana," ucap si pelayan mengarahkan tangan ke sebuah ruang ganti.
"Tidak perlu, saya yakin itu pas. Sekarang tunjukkan padaku pakaian yang senada untukku."
Sementara Deline masih terdiam ketika mendengar pelayan itu mengira bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Bryan bahkan tidak menggubris, ia terlihat santai.
"Ayo, El," ajak Bryan ketika melihatnya masih terdiam di posisi sebelumnya.
***
Sepulangnya dari butik, keduanya kini mampir ke sebuah restoran yang biasanya Bryan kunjungi ketika ada pertemuan dengan rekan bisnis. Bryan memilih duduk di bangku dekat dengan jendela, sebab ia tahu kalau Deline sangat suka duduk memandang ke luar.
"Bry, sebenarnya kau mau mengajakku ke acara apa nanti malam?" tanya Deline memecah keheningan.
"Pesta dansa teman bisnis baruku, El. Mereka bilang harus bersama pasangan," jawab Bryan.
Deline tergelak, apalagi melihat wajah Bryan yang polos saat mengatakan harus bersama pasangan. Ia tak tahan ingin mengatai lelaki tampan di hadapannya.
"Itulah sebabnya kau harus punya kekasih, Bry! Aku tidak tega mendengarmu berkata seperti itu, selalu single." Gadis itu kembali tertawa.
Namun, bukannya kesal, Bryan malah tersenyum hangat melihat gadis di hadapannya tertawa riang. Menertawainya single padahal Deline sendiri juga tidak punya kekasih.
"Lihatlah anak ini. Dia sendiri bahkan sama sepertiku," cibir Bryan.
Mereka lalu tertawa bersama, lupa dengan sekeliling yang tiba-tiba memperhatikan. Ada yang menatap sambil tersenyum, mereka mengira Deline dan Bryan adalah pasangan yang sedang bercanda gurau. Romantis sekali.
"Emm ... soal kekasih, kau ingin gadis yang seperti apa?" El mengakhiri saling ejek dengan sebuah pertanyaan.
"Sepertimu," goda Bryan.
"Kurasa gadis yang sepertiku di dunia ini hanya aku, tidak ada yang lain."
Bryan diam terlebih dahulu sebelum menjawab.
"Maka, kalau begitu kau saja," ujarnya enteng.
Makan siang hari itu sangat menyenangkan bersama Bryan. Terbukti gadis itu langsung ceria, bercerita pada sang ibu bahwa Bryan sangat pintar membuat orang tertawa. Lalu mengatakan nanti malam akan pergi bersama lelaki tersebut.
Di kamar, Deline membuka belanjaan. Ia melihat dress panjang indah nan elegant yang tentunya berharga fantastis. Pakaian itu begitu cantik dengan setiap lekuk, jahitan, serta bahan mewah. Membuatnya menjadi impian setiap wanita, terlebih pencinta fashion.
"Terima kasih, Bry," gumam Deline sembari tersenyum. Nanti malam ia akan menemani Bryan ke pesta dansa dengan baju indah.
Setelah menggantung pakaian itu ke lemari, benda pipih persegi milik Deline berbunyi, menandakan ada notifikasi pesan masuk. Gadis itu langsung mengecek ponselnya.
[Hai, El. Bersiap-siaplah nanti malah sebelum jam delapan, aku akan menjemputmu. Okay, Princess?]
Deline tersenyum mendapat pesan dari Bryan. Pesan itu sangat biasa saja mungkin bagi orang-orang, tetapi baginya itu lucu, apalagi pakai embel-embel 'Princess'. Bryan memang ada-ada saja.
[Okay, Prince:)]
Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichag
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, masih dengan posisi tadi. Suara musik dansa mulai mengalun lembut dalam ruangan, semua pasangan terhanyut dengan nada-nada yang tercipta dari perpaduan biola dan piano. Mereka mengambil posisi masing-masing, saling berhadapan dengan pasangan."Kali pertama aku mengajak seorang gadis ke acara penting. Berdasalah denganku." Suara lembut itu begitu tenang didengar.Suasana romantis membuat Bryan diselimuti rasa gugup, tetapi beruntung bisa ia sembunyikan. Pengusaha muda pewaris Showroom mobil Gray itu memegang tangan Deline yang sudah terlepas dari pinggangnya, mengambil alih stem glass lalu meletakkannya di meja terdekat. Perlahan menarik lembut tangan gadis itu, menuntun pada bahu kirinya, sementara tangan kanannya ia ayunkan bersama.Sedangkan tangan sebelah kiri diletakkan pada pinggang ramping Deline. Gadis itu sedikit tersentak ketika tangan besar menyentuk pinggangnya. Posisi keduanya kini begitu dekat, hampir tak bercela.
Dua hari setelah pesta dansa itu, dua hari pula Deline tidak melihat Arya datang ke kedai. Biasanya lelaki itu akan datang dan minum kopi di bangku nomor tujuh, jika tidak pagi, ya sore hari. Sedikitnya tentu ada rasa penasaran di benak Deline. Bukan ia saja, Yuka dan Katerin pun menyadari hal itu. Biasanya setiap hari Yuka akan berhadapan di kasir dengan si pelanggan sombong dan beringas."Aneh, apakah lelaki mesterius itu sudah punya kedai tempat nongkrong baru?" ujar Yuka.Kak Maxi dan Glen masih sibuk membersihkan mesin penggiling kopi. Membiarkan Yuka dengan rasa penasarannya."Apa kau menyukai dia?" tanya Glen dengan sindiran."You crazy? Aku ini masih waras, Bodoh! Ada banyak pria tampan di luar sana." Yuka memasang wajah tak suka ketika Glen memvonisnya menyukai si pria misterius. Mana mungkin ia mau?"Maka dari itu berhentilah membahas orang itu. Aku tidak ingin telingaku kesakitan mendengar kau dengan rasa penasaranmu yang tidak jelas," t
Arya menyerahkan semua jadwalnya pada rekan yang lain. Ia benar-benar tak akan fokus memotret saat ini. Beberapa wanita menarik tangannya, mengajak ke ruangan khusus untuk bercinta, tetapi lelaki itu menggeleng pelan, sembari masih mengelus bagian-bagian intim wanita di hadapannya.Namun, agaknya wanita seksi satu itu tidak putus asa untuk merasakan Arya. Terbukti sudah hampir dua jam ia tak beralih mencari mangsa lain. Ia tetap berusaha menggoda, sementara lelaki yang masih punya sedikit kesadaran itu berusaha tetap menolak meski masih memberi sedikit sentuhan."Masalahmu mungkin sangat berat, Sayang! Mari tenangkan bersamaku," bisik si wanita."Kau bisa mengangkat seluruh beban yang kini di pundakku?" balas Arya berbisik. Aroma alkohol menyeruak dari mulutnya, tetapi si gadis menyukai hal tersebut.Wanita itu tersenyum. "Tidak ... tetapi aku bisa membuatmu melupakannya sejenak."Arya memberi kode lewat tangannya pada bar tender untuk kembali meng
Malam yang dingin menemani gadis yang baru saja pulang bekerja bersama motor hitam kesayangannya. Kali ini ia tak bersama Katerin, sebab gadis berambut pendek tadi pulang lebih dulu untuk urusan keluarga.Deline melewati sebuah toko perlengkapan kamera. Namun, bukan toko itu yang menjadi perhatian, melainkan seorang anak kecil dengan celana panjang dan jaket biru tengah menangis di dekat motor ninja. Ya, Deline kenal betul motor itu, sering ia lihat di parkiran Romantica Coffe.Ketika menuruni motor dan mengetahui siapa bocah manis itu, sebab mereka pernah bertemu di Mall bersama pembantu yang jelas dikenalnya. Deline seketika geram dengan si pemilik anak. Bisa-bisanya orang tersebut meninggalkan putranya sendirian di malam hari, kenapa tidak ikut dibawa masuk saja? Keterlaluan!"Hai, Nak. Di mana ayahmu?" sapa Deline.Anak itu menghentikan tangisnya. "Di dalam."Ia melihat arah telunjuk anak tersebut, mengarah pada toko perlengkapan kamera.
Di saat hujan mengguyur bumi. Membasahi seluruh isinya bersamaan dengan suara deruh yang menenangkan, serta aroma khas tanah basah menjadi sebuah candu bagi beberapa insan di berbagai penjuru dunia.Suatu malam penetralisir lelah bagi seorang gadis yang pinggang rampingnya masih terikat kain cokelat bertuliskan 'Romantica Coffe'. Ia sedang disibukkan dengan beberapa gelas yang harus dilap."Seharusnya saat ini aku sedang menikmati sup hangat buatan ibuku di rumah, tetapi lihat, hujan ini menyebalkan. Kita terkurung di kafe untuk waktu yang cukup lama." Seorang gadis lainnya muncul dari balik ruangan paling belakang, tempat berganti pakaian."Jangan salahkan hujan untuk apa pun yang membuatmu marah."Mendengar ucapan rekannya, gadis tersebut menghampiri, tangan ia masukkan ke saku celemek. Membelakangi meja sambil mendengkus. Nampaknya malam ini hujan begitu bersalah, sebab menghalangnya pulang."Kau bisa bayangkan, El. Ini sudah jam seb
Tanpa sepatah kata, Deline cepat-cepat menghidar. Ia tak ingin merasakan sakit lebih dalam. Namun, sepandainya Deline berpura-pura tak terjadi apa-apa, seseorang yang sudah lama memperhatikan dari jauh, tahu bagaimana perasaan gadis itu saat ini."Pria itu bicara sesuatu padamu?" tanya Yuka penasaran."Ya ... hanya memastikan apakah kita benar-benar tak menaruh gula di kopinya."Yuka menerima begitu saja alibi yang El ciptakan. "Aneh, bukankah dia hampir setiap hari minum di sini? Tapi kenapa masih bertanya? Ah, sudahla. Dugaanku benar, dia itu misterius.""Kau yang terlalu berlebihan," sahut Katerin sembari menoyor kepala Yuka, agar wanita itu tak terlalu mencurigai orang lain.***Di lain tempat dan waktu, kediaman minimalis bernuansa abu-abu dengan lukisan-lukisan abstrak terpajang di setiap dinding, seorang wanita paruh baya sedang kelimpungan mengejar bocah empat tahun yang berlari merengek menghindari suapan."Aku tidak mau maka
"Jadi, Bibi Tarika ingin kau segera menikah?" tanya Yuka.Siang ini kondisi Romantica Coffe sedang tak terlalu ramai. Waktu yang tepat digunakan Deline dan yang lainnya untuk saling bercerita. Kali ini, giliran Deline yang mengeluhkan kejadian semalam pada teman-temannya. Jujur, sangat sulit membuka hati untuk lelaki lain, sedangkan hatinya masih belum bisa melupakan seseorang yang jelas-jelas sudah mengkhianati."Aku bahkan belum memikirkan siapa dan orang seperti apa yang akan menjadi suamiku," ujar Deline frustasi."Kurasa keluargamu terlalu mengekang dengan aturan-aturan mereka, El." Glen tak tanggung-tanggung memberikan pendapat.Di antara yang lain, Glen adalah orang yang paling berani mengemukakan pendapat. Jika baginya buruk, maka ia akan terus terang, terkadang juga ucapannya tidak bisa dikontrol. Namun, ucapan Glen ada benarnya. Semua orang tahu bagaimana keluarga Deline, selalu mementingkan derajat, image, dan penuh aturan.Hanya orang y