Share

Bab 2. Makan Malam Menjengkelkan

Tanpa sepatah kata, Deline cepat-cepat menghidar. Ia tak ingin merasakan sakit lebih dalam. Namun, sepandainya Deline berpura-pura tak terjadi apa-apa, seseorang yang sudah lama memperhatikan dari jauh, tahu bagaimana perasaan gadis itu saat ini.

"Pria itu bicara sesuatu padamu?" tanya Yuka penasaran.

"Ya ... hanya memastikan apakah kita benar-benar tak menaruh gula di kopinya."

Yuka menerima begitu saja alibi yang El ciptakan. "Aneh, bukankah dia hampir setiap hari minum di sini? Tapi kenapa masih bertanya? Ah, sudahla. Dugaanku benar, dia itu misterius."

"Kau yang terlalu berlebihan," sahut Katerin sembari menoyor kepala Yuka, agar wanita itu tak terlalu mencurigai orang lain.

***

Di lain tempat dan waktu, kediaman minimalis bernuansa abu-abu dengan lukisan-lukisan abstrak terpajang di setiap dinding, seorang wanita paruh baya sedang kelimpungan mengejar bocah empat tahun yang berlari merengek menghindari suapan.

"Aku tidak mau makan! Bibi pergi saja!" Bocah itu berteriak.

Namun, wanita yang ternyata asisten rumah tangga tersebut tetap mengejar meski tubuh tua rentanya merasa harus istirahat. Ia tetap berusaha membujuk si bocah. Ia bahkan tak marah dan kesal. Persis nenek yang mengurus dan mencintai cucunya sendiri.

"Makan sedikit, Nak."

Bocah itu menggeleng cepat. "Aku ingin ayam yang ada di TV itu, Bibi! Tidak mau makan kalau tidak ada ayam!" 

Bibi yang sudah tua, hidup di zaman dahulu tidak semoderen sekarang. Bagaimana ia bisa tahu makanan apa yang dimaksud anak majikannya? Pikirnya hanya ayam yang dibaluri bawang dan garam, kemudian digoreng. 

Menyerah. Akhirnya ia membiarkan saja bocah lelaki berkulit putih bersembunyi karena tak mau makan. Sibuk membereskan dapur. Tak lama kemudian suara bel rumah menyala.

"Tuan Arya, biar Bibi bawakan kameranya."

Dengan sedikit kasar Arya memberikan benda hitam berlensanya, tak banyak bicara ia menghempaskan diri di sofa abu-abu berukuran muat empat orang. Hari ini terlalu malas untuk berbicara dengan siapa pun. Kejadian di tempatnya minum kopi tadi siang membuat otak kacau, seperti benang kusut. Tak menemukan ujung.

"Ingin dibuatkan teh hangat, Tuan?" tanya sang asisten rumah tangga.

Arya menggeleng sembari memijat batang hidung. "Di mana Elang, Bik Mira?"

"Ada di kamarnya, Tuan. Dari tadi sore dia tidak mau makan, katanya mau makan ayam yang ada di TV, tidak mau makan kalau tidak ada ayamnya."

Takut-takut Bik Mira bercerita, ia tahu betapa emosionalnya sang majikan. Namun, mau tidak mau Arya adalah orang tua tunggal Elang, harus tau apa saja aktifitas anak. Berharap setelah menceritakan tingkah mogok makan sang Tuan Kecil, majikannya bisa membujuk.

Nyatanya, alih-alih bersikap tenang dan memaklumi keinginan bocah seusia Elang. Arya malah berdiri tergesa-gesa menuju pintu berhiaskan sticker mobil-mobilan. Membuka kasar pintu tersebut. Ya Tuhan! Ketegangan dalam rumah ini terjadi lagi. Bik Mira dengan khawatir mengikuti sang majikan.

Seroang anak tentu saja takut melihat kemarahan orang tua mereka, begitu juga dengan Elang. Anak itu langsung bersembunyi di dalam lemari ketika pintu kamarnya dibuka cukup keras. Entah apa yang ada dalam benak anak sekecil itu, ia pikir dengan bersembunyi di balik pakaian yang tergantung, sang ayah tak akan menemukannya.

Jelas saja Arya melihat bocah itu. Ia menarik kasar Elang keluar dari lemari. Betapa sakit lengannya dicengkram sangat kuat. Saat Bik Mira ingin membantu, lelaki pemilik wajah sangar itu memberi kode agar tak mendekat. 

"Mogok makan tidak akan membuat perutmu kenyang! Sekarang makan apa yang ada, dan jangan minta macam-macam!" tegas Arya. Mata menatap tajam Putranya yang sudah menangis diam.

"Bik Mira, berikan dia makanan!"

"B-baik, Tuan."

Wanita paruh baya itu merasa iba pada sang majikan muda. Ia kemudian memeluk lembut Elang lalu menuntunnya ke dapur. Sekarang, Elang pasti mau makan karena takut akan kemarahan ayahnya.

Di sisi lain, Arya yang sudah berada di kamarnya menyadari bahwa apa yang dirinya lakukan pada sang putra begitu keterlaluan. Tak seharusnya melampiaskan kekesalan atas masalah hidup yang dialami pada anak sekecil Elang. Ingin memeluk dan meminta maaf, tetapi gengsi pada diri Arya terlalu tinggi untuk sekedar pelukan dan kata maaf.

Selama empat tahun Elang tinggal di rumahnya, Arya bahkan jarang memberikan sentuhan kasih sayang. Elang tumbuh dan diurus oleh Bik Mira yang sudah bekerja di sana sejak orang tua Arya masih hidup. Jelas Bik Mira mengetahui semua tentang keluarga ini. Kisah kelam majikan yang sudah ia anggap anak sendiri. Perjalanan hidup Arya yang rumit, serta kisah percintaannya yang tak sesuai harapan.

***

Acara keluarga besar sedang berlangsung di kediaman keluarga Deline. Di tepi kolam, sebuah meja besar persegi panjang diisi banyak makanan Eropa terhidang tampak lezat. Salah satunya, Réveillon makanan tradisional Prancis berupa angsa panggang yang disajikan dikelilingi lobster serta tiram. Juga ada Churros dengan saus cokelat, Snack tradisional dari negara Spanyol menjadi pelengkap saat mengobrol.

Tak tertinggal pula seragam merah keluarga kelas atas membuat siapa pun yang memandang menjadi terpaku. Apalagi Deline yang kini mengenakan dress selutut berlengan pendek ditambah ikat pinggang hitam menghias pinggang rampingnya.

Menciptakan kesan elegant pada tubuh indah itu. Kulitnya tak terlalu putih, tetapi warna kulit kuning langsat itu lah yang menambahkan kemewahan pada pakaian yang Deline kenakan malam ini.

"Jadi, gadis seperti apa yang cocok untukku, Bibi?" Itu suara Diego, kakak Deline yang beberapa bulan lalu menyelesaikan pendidikan di salah satu Universitas Prancis.

"Kau butuh gadis yang berpendidikan sepadan denganmu. Cantik, kaya, dan modis. Jangan salah memilih calon istri, Diego."

Selalu saja hal semacam itu. Hal yang Deline tak suka ketika berkumpul bersama keluarga. Jika sudah membahas pasangan yang cocok untuk masuk ke keluarga ini, pasti jawabannya kaya, berpendidikan tinggi, cantik, dan modis. Memang ada apa dengan orang-orang dari kalangan sederhana? Bukankah semua sama saja di mata Tuhan?

Diego mengangguk, mengiakan saja pendapat kakak dari ayahnya. Kalau boleh berpendapat, ia sebenarnya kurang setuju dengan semua itu. Prinsip Diego, jika ada seorang wanita baik-baik meski bukan berasal dari keluarga berada, serta mampu membuat hatinya tertarik, mengapa tidak? Menikah bukan soal menyatukan sesama orang kaya atau sesama orang sederhana, tetapi menyatukan perbedaan dan tentunya atas dasar cinta.

"Dan, El. Kau masih bekerja di kafe itu?" tanya Bibi Tarika.

"Of course, Bibi," jawab El seadanya.

Nampak raut kecewa Bibi Tarika. Selama ini ia memang orang yang paling tak setuju dengan keputusan El soal bekerja menjadi barista. Katanya, bagaimana bisa dibiarkan anak seorang pembisnis besar bekerja seperti itu? Menjadi pelayan.

"Dady-mu bahkan bisa membeli tempat itu." Bibi Tarika berkata sinis sebelum meneguk air mineral.

Tak tinggal diam, El menjawab, "Dady bisa membeli apa pun, tetapi ini bukan pasal uang, Bibi. Aku mencari tempat yang nyaman, dan di sana aku bisa menemukannya."

"Okay, baiklah. Lalu, kapan kau akan menikah? Usiamu sudah dua puluh lima tahun, El."

Kali ini El kebingungan sendiri mendengar pertanyaan Bibi Tarika. Bagaimana bisa menikah? Kalau pasangannya saja belum ada. El adalah tipe gadis yang sulit jatuh cinta. Jika hatinya sudah diisi dengan satu orang, maka sangat sulit mengeluarkan orang itu dan menggantinya dengan yang baru. Benar-benar tak mudah.

"Deline akan menikah kalau sudah waktunya, Kak. Sama seperti Diego." 

Melihat reaksi anaknya, akhirnya Handrey yang menjawab. Ia tak ingin anaknya seperti disudutkan dengan pertanyaan-pertanyaan sang kakak. Apa lagi Handrey tahu bagaimana kakaknya itu. Tarika tak tanggung-tanggung mengeluarkan kalimat sadis.

"Kau punya banyak kenalan, Handrey. Jodohkan saja dia dengan salah satu anak temanmu."

Hei! Mudah sekali Bibi Tarika ini berkata. Menjodohkan? Come on! Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Lagi pula El akan menikah jika dirinya ingin, sang ayah saja tak mempermasalahkan. El sungguh jengkel dengan bibinya ini.

"Aku bukan gadis tak laku, Bibi. Sampai-sampai harus dijodohkan. Aku bisa mencari pasanganku sendiri, tapi ... ayolah! Tidak sekarang," ujar El. Ia lelah setiap berkumpul selalu membahas pernikahan, pernikahan dan pernikahan.

"Lihat, Handrey. Ini akibatnya kau membiarkan orang rendahan mengurus anak-anakmu. Entah apa yang Alina ajarkan pada mereka," cibir Bibi Tarika. Matanya melirik ke arah wanita yang duduk tak jauh dari Handrey.

"Jangan bicara seperti itu tentang ibu, Bibi." Kali ini Diego yang bersuara. Meskipun ia sering diam, terlihat santai, dan suka membuat candaan, bukan artinya ia rela jika wanita yang sudah membesarkan dirinya dan El diperlakukan seenaknya.

"Die, lanjutkan makanmu, Nak." Dengar, betapa lembutnya Alina bertutur kata. Ia bahkan tak membalas sindiran kakak iparnya.

Acara keluarga malam ini cukup membuat Deline dan Diego kesal. Entah sampai kapan Bibi Tarika berhenti mengurus kehidupan mereka. Meskipun masih satu keluarga, bukan berarti dia bisa seenaknya mengatur, bukan? Lebih menyebalkannya lagi, ia selalu saja meragukan didikan Alina. Sosok ibu tiri yang baik bagi keduanya. Wanita yang sejak lama Handrey cintai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status