Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.
Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.
Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.
Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichago. Deline sering mengirim foto kesehariannya, agar Bryan bisa melihat dirinya bersenang-senang, keduanya bahkan bertukar foto. Namun, siapa sangka setiap kali gambar Deline terkirim padanya, lelaki itu mencetak dan membuat album khusus kenangan Deline dari remaja. Hanya Deline.
"Aku benar-benar mencintaimu, El. Sepenuh hatiku, sedari dulu, aku sungguh dan akan tetap mencintaimu," gumamnya.
Lelaki tampan itu terkesiap saat mengingat waktu, tak ingin terlambat menjemput gadis yang akan jadi pasangan dansanya. Ia kemudian memakai jas hitam mewah yang terlihat cocok di tubuhnya, menyemprotkan parfum, terutama pada bagian pergelangan tangan.
Bryan berdiri memandang pantulan dirinya di cermin, tersenyum lebar membetulkan jas. Selain tak sabar menghadiri pesta besar itu, ia juga tak sabar melihat penampilan gadis impiannya.
***
Bryan, Handrey, dan Diego duduk di sofa berukiran klasik di ruang tamu. Bertepatan dengan mobil Handrey yang baru pulang bersama Diego dari kantor memasuki pekarangan rumah, mobil milik Bryan menyusul. Ketiga lelaki itu begitu akrab layaknya ayah dan dua anak lelakinya. Apalagi Bryan yang memiliki sifat mudah berbaur.
"Kukira kau akan pergi ke pesta itu sendiri, Bryan. Ternyata nyalimu tidak seberani itu," ujar Diego diiringi gelak tawa.
"Bisa saja, tetapi jika ada gadis cantik di rumah ini mau pergi bersamaku, mangapa tidak?" balas Bryan, ikut tertawa. Sedangkan Handrey masih menyimak obrolan kedua pemuda.
"Ajaklah dia asal itu baik, sudah lama sekali anak itu tidak kencan." Diego berkata berlagak berbisik.
"Mungkin denganmu dia akan senang," timpal Handrey.
Asik mengobrol hingga tak menyadari Alina yang baru menaruh teh hangat di atas meja. Padahal, ada beberapa pembantu di rumah luas itu, tetapi itu tidak menghalangi keinginan Alina melayani tamu, memasak, serta membantu-bantu membersihkan rumah.
Alina kembali sejenak ke dapur guna mengembalikan nampan. Sejurus kemudian, ia duduk di samping sang suami yang sudah tidak memakai jas. Meski sudah tidak muda lagi, Alina masih terlihat segar dan anggun, ditambah rambutnya selalu digerai. Saat duduk pun, tubuhnya masih terlihat indah.
Ruang tamu diisi keakraban keluarga Handrey beserta Bryan. Ada banyak yang mereka obrolkan, sehingga tidak menyadari seorang gadis sudah turun dari tangga. Mereka baru menyadari saat gadis itu memberi kode.
"Apa tidak ada yang melihatku?" ujarnya.
Semua mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Kagum? Pasti. Bryan refleks berdiri melihat wanita cantik di hadapannya, dress itu sangat cocok sehingga memperlihatkan lekuk tubuh langsing, lipstick merah darah yang Deline pakai, rambut yang awalnya lurus dicatok ikal lalu dibentu cepol, serta tambahan kalung berlian kecil menambah elegant penampilan gadis ber-High Heels hitam.
Bryan tak hentinya menatap keindahan itu, sampai godaan Diego menyadarkannya dari keterdiaman. Jelas merasa malu karena ketahuan menatap terlalu lama anak gadis di hadapan orang tuanya. Pipinya menghangat seketika.
"Kau ingin mengajak adikku pergi atau terus memandangnya seperti itu?" Diego mendapat cubitan dari sang ibu agar tidak menggoda mereka.
"Paman, Bibi, kami berangkat." Diangguki persetujuan dari Handrey dan Alina.
***
Pesta di sebuah hotel bintang lima yang diselanggarakan rekan bisnis baru Bryan terlihat sangat megah, didominasi warna abu-abu hitam, desain negara ala warga Barat sangat melekat pada pesta ini. Sebelum masuk, mereka sudah memakai topeng dansa terlebih dahulu.
Tak ragu Bryan menyerahkan lengannya untuk digandeng, Deline dengan senang hati menerima. Dua orang itu layaknya pasangan, perpaduan sempurna antara lelaki tampan tegap dengan gadis berparas rupawan.
Deline merasa beberapa mata memandang ke arah mereka, ia belum pernah ke pesta seperti ini bersama lelaki yang bukan keluarga. Biasanya, saat ada pesta dansa dan sebagainya, ia selalu bersama sang kakak atau Dady dan ibu. Namun, kali ini entah mengapa merasa gugup dan malu. Saat Deline hendak melepas kaitan tangannya pada lengan Bryan karena tak enak menjadi tontonan, lelaki itu dengan tenang menahan dengan tangan satunya lagi.
"Tidak usah malu, mereka hanya kagum melihat aku membawa gadis secantik dirimu," bisik Bryan.
Beberapa menit kemudian Deline terbiasa dengan pesta itu, sekarang ia sedang berdiri berkumpul bersama teman-teman Bryan dan tentu para istri mereka. Bisa dikatakan, tampaknya hanya sedikit, termasuk Bryan yang belum menikah.
"Kami tidak terkejut kalau Bryan berpacaran dengan anak perempuan Handrey, kedekatan keluarga kalian sudah tidak diragukan lagi." Itu suara Axell.
Meskipun belum ada rasa cinta di hati Deline untuk pria tampan di sampingnya, ia tak keberatan jika semua orang mengakui kedekatan mereka. Entahlah, apa dirinya terpengaruh ucapan Katerin kemarin malam, menyuruh memberi ruang untuk orang lain masuk dalam hatinya, seperti Bryan.
"Sepertinya kami terlihat serasi, bukan?" sahut Bryan.
"Perpaduan sempurna. Kapan kalian menikah?" Sonya—istri Axell bertanya.
Deline diam-diam mencubit lengan Bryan ketika pertanyaan itu sampai ke telinga. Ia tak tahu harus menjawab apa. Sepertinya kali ini mereka jadi bahan perbincangan teman-teman Bryan, bahkan anak dari rekan bisnis properti Handrey pun ada di sana, ikut melempar gurauan.
"Kita memang cocok, El. Mereka saja mengakui itu," bisik Bryan, hal tersebut membuat El semakin menunduk malu.
Di tengah keakraban dengan yang lain, ada dua orang penyaji laki-laki menawarkan dua minuman dengan jenis berbeda di atas nampan silver. Saat Deline hendak mengambil stem glass berisikan minuman berwarna biru, Bryan langsung mengambil gelas itu dari tangannya, kemudian menukar dengan mocktail, minuman campuran soda, jus, dan syrup, diperindah dengan garnish.
"Yang ini tidak mengandung alkohol. Kau tidak mau melihatku dimarahi Paman Handrey karena membawamu pulang dalam keadaan mabuk, 'kan?"
"Dad tidak akan marah, paling-paling kau dilarang mengajakku pergi lagi," seloroh Deline.
Suasana hangat seakan-akan mendukung kebahagiaan Bryan malam ini. Selain acara pesta keberhasilan besar, ternyata juga perayaan ulang tahun pernikahan rekan bisnisnya dan sang istri yang sudah menginjak dua tahun. Bryan ikut mengangkat stem glass yang ia pegang ketika pasangan itu menunjukkan senyum dari jauh padanya.
Para wanita membuat kelompok sendiri untuk mengobrol sambil berdiri, awalnya Deline ragu untuk bergabung, tetapi berkat keramahan perempuan-perempuan berpenampilan elegant itu membuatnya merasa nyaman. Mereka tertawa lepas membahas sesuatu yang menyenangkan. Ia sebenarnya gadis ramah, tetapi kali ini sedikit canggung berada di sekeliling teman-teman Bryan.
Namun, tawa Deline seketika terhenti ketika melihat seseorang menggunakan kaus hitam dilapisi jas abu-abu, memegang sebuah kamera dan menatap ke arahnya. Ia langsung mengalihkan pandangan, meneguk minuman yang sedari tadi dipegang guna menetralisir ketegangan.
Ia pikir sampai di situ saja, si lelaki tidak akan peduli kehadirannya. Akan tetapi dugaannya salah besar, Arya malah melangkah mendekat. Beruntung Bryan datang tepat waktu, tanpa ragu Deline melingkarkan tangannya di pinggang Bryan, menatap pria menawan yang lebih tinggi sebahu darinya.
"Why? Kenapa kau tiba-tiba romantis seperti ini?" goda Bryan. Ia merangkul bahu si gadis dengan senyum manis.
"Jika tidak mau, aku bisa menjauh darimu." Gadis itu hendak memberi jarak dan melepaskan tangan dari pinggang Bryan, tetapi dicegah olehnya.
Posisi dua orang yang disebut-sebut pasangan itu terkunci, Deline bisa merasakan betapa erat Bryan merangkulnya. Sementara lelaki yang tadinya ingin menghampiri si gadis untuk sekedar menyapa, mundur dan kembali memotret orang-orang yang kebetulan meminta. Deline menghela napas lega.
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, masih dengan posisi tadi. Suara musik dansa mulai mengalun lembut dalam ruangan, semua pasangan terhanyut dengan nada-nada yang tercipta dari perpaduan biola dan piano. Mereka mengambil posisi masing-masing, saling berhadapan dengan pasangan."Kali pertama aku mengajak seorang gadis ke acara penting. Berdasalah denganku." Suara lembut itu begitu tenang didengar.Suasana romantis membuat Bryan diselimuti rasa gugup, tetapi beruntung bisa ia sembunyikan. Pengusaha muda pewaris Showroom mobil Gray itu memegang tangan Deline yang sudah terlepas dari pinggangnya, mengambil alih stem glass lalu meletakkannya di meja terdekat. Perlahan menarik lembut tangan gadis itu, menuntun pada bahu kirinya, sementara tangan kanannya ia ayunkan bersama.Sedangkan tangan sebelah kiri diletakkan pada pinggang ramping Deline. Gadis itu sedikit tersentak ketika tangan besar menyentuk pinggangnya. Posisi keduanya kini begitu dekat, hampir tak bercela.
Dua hari setelah pesta dansa itu, dua hari pula Deline tidak melihat Arya datang ke kedai. Biasanya lelaki itu akan datang dan minum kopi di bangku nomor tujuh, jika tidak pagi, ya sore hari. Sedikitnya tentu ada rasa penasaran di benak Deline. Bukan ia saja, Yuka dan Katerin pun menyadari hal itu. Biasanya setiap hari Yuka akan berhadapan di kasir dengan si pelanggan sombong dan beringas."Aneh, apakah lelaki mesterius itu sudah punya kedai tempat nongkrong baru?" ujar Yuka.Kak Maxi dan Glen masih sibuk membersihkan mesin penggiling kopi. Membiarkan Yuka dengan rasa penasarannya."Apa kau menyukai dia?" tanya Glen dengan sindiran."You crazy? Aku ini masih waras, Bodoh! Ada banyak pria tampan di luar sana." Yuka memasang wajah tak suka ketika Glen memvonisnya menyukai si pria misterius. Mana mungkin ia mau?"Maka dari itu berhentilah membahas orang itu. Aku tidak ingin telingaku kesakitan mendengar kau dengan rasa penasaranmu yang tidak jelas," t
Arya menyerahkan semua jadwalnya pada rekan yang lain. Ia benar-benar tak akan fokus memotret saat ini. Beberapa wanita menarik tangannya, mengajak ke ruangan khusus untuk bercinta, tetapi lelaki itu menggeleng pelan, sembari masih mengelus bagian-bagian intim wanita di hadapannya.Namun, agaknya wanita seksi satu itu tidak putus asa untuk merasakan Arya. Terbukti sudah hampir dua jam ia tak beralih mencari mangsa lain. Ia tetap berusaha menggoda, sementara lelaki yang masih punya sedikit kesadaran itu berusaha tetap menolak meski masih memberi sedikit sentuhan."Masalahmu mungkin sangat berat, Sayang! Mari tenangkan bersamaku," bisik si wanita."Kau bisa mengangkat seluruh beban yang kini di pundakku?" balas Arya berbisik. Aroma alkohol menyeruak dari mulutnya, tetapi si gadis menyukai hal tersebut.Wanita itu tersenyum. "Tidak ... tetapi aku bisa membuatmu melupakannya sejenak."Arya memberi kode lewat tangannya pada bar tender untuk kembali meng
Malam yang dingin menemani gadis yang baru saja pulang bekerja bersama motor hitam kesayangannya. Kali ini ia tak bersama Katerin, sebab gadis berambut pendek tadi pulang lebih dulu untuk urusan keluarga.Deline melewati sebuah toko perlengkapan kamera. Namun, bukan toko itu yang menjadi perhatian, melainkan seorang anak kecil dengan celana panjang dan jaket biru tengah menangis di dekat motor ninja. Ya, Deline kenal betul motor itu, sering ia lihat di parkiran Romantica Coffe.Ketika menuruni motor dan mengetahui siapa bocah manis itu, sebab mereka pernah bertemu di Mall bersama pembantu yang jelas dikenalnya. Deline seketika geram dengan si pemilik anak. Bisa-bisanya orang tersebut meninggalkan putranya sendirian di malam hari, kenapa tidak ikut dibawa masuk saja? Keterlaluan!"Hai, Nak. Di mana ayahmu?" sapa Deline.Anak itu menghentikan tangisnya. "Di dalam."Ia melihat arah telunjuk anak tersebut, mengarah pada toko perlengkapan kamera.
Di saat hujan mengguyur bumi. Membasahi seluruh isinya bersamaan dengan suara deruh yang menenangkan, serta aroma khas tanah basah menjadi sebuah candu bagi beberapa insan di berbagai penjuru dunia.Suatu malam penetralisir lelah bagi seorang gadis yang pinggang rampingnya masih terikat kain cokelat bertuliskan 'Romantica Coffe'. Ia sedang disibukkan dengan beberapa gelas yang harus dilap."Seharusnya saat ini aku sedang menikmati sup hangat buatan ibuku di rumah, tetapi lihat, hujan ini menyebalkan. Kita terkurung di kafe untuk waktu yang cukup lama." Seorang gadis lainnya muncul dari balik ruangan paling belakang, tempat berganti pakaian."Jangan salahkan hujan untuk apa pun yang membuatmu marah."Mendengar ucapan rekannya, gadis tersebut menghampiri, tangan ia masukkan ke saku celemek. Membelakangi meja sambil mendengkus. Nampaknya malam ini hujan begitu bersalah, sebab menghalangnya pulang."Kau bisa bayangkan, El. Ini sudah jam seb
Tanpa sepatah kata, Deline cepat-cepat menghidar. Ia tak ingin merasakan sakit lebih dalam. Namun, sepandainya Deline berpura-pura tak terjadi apa-apa, seseorang yang sudah lama memperhatikan dari jauh, tahu bagaimana perasaan gadis itu saat ini."Pria itu bicara sesuatu padamu?" tanya Yuka penasaran."Ya ... hanya memastikan apakah kita benar-benar tak menaruh gula di kopinya."Yuka menerima begitu saja alibi yang El ciptakan. "Aneh, bukankah dia hampir setiap hari minum di sini? Tapi kenapa masih bertanya? Ah, sudahla. Dugaanku benar, dia itu misterius.""Kau yang terlalu berlebihan," sahut Katerin sembari menoyor kepala Yuka, agar wanita itu tak terlalu mencurigai orang lain.***Di lain tempat dan waktu, kediaman minimalis bernuansa abu-abu dengan lukisan-lukisan abstrak terpajang di setiap dinding, seorang wanita paruh baya sedang kelimpungan mengejar bocah empat tahun yang berlari merengek menghindari suapan."Aku tidak mau maka
"Jadi, Bibi Tarika ingin kau segera menikah?" tanya Yuka.Siang ini kondisi Romantica Coffe sedang tak terlalu ramai. Waktu yang tepat digunakan Deline dan yang lainnya untuk saling bercerita. Kali ini, giliran Deline yang mengeluhkan kejadian semalam pada teman-temannya. Jujur, sangat sulit membuka hati untuk lelaki lain, sedangkan hatinya masih belum bisa melupakan seseorang yang jelas-jelas sudah mengkhianati."Aku bahkan belum memikirkan siapa dan orang seperti apa yang akan menjadi suamiku," ujar Deline frustasi."Kurasa keluargamu terlalu mengekang dengan aturan-aturan mereka, El." Glen tak tanggung-tanggung memberikan pendapat.Di antara yang lain, Glen adalah orang yang paling berani mengemukakan pendapat. Jika baginya buruk, maka ia akan terus terang, terkadang juga ucapannya tidak bisa dikontrol. Namun, ucapan Glen ada benarnya. Semua orang tahu bagaimana keluarga Deline, selalu mementingkan derajat, image, dan penuh aturan.Hanya orang y
Tiga tahu yang lalu, Arya seorang lelaki yang bekerja sebagai fotografer, bisa dibilang sangat profesional. Harus rela kehilangan istrinya, Naomi. Tanpa ia ketahui, sang istri diam-diam mengidap penyakit Leukemia atau dengan kata lain, Kanker Darah.Arya sebenarnya sama sekali tidak mencintai Naomi. Pernikahan itu terjadi hanya karena tanggungjawabnya sebagai laki-laki yang telah menodai seorang gadis pelayan hotel tempat ia menginap. Mendengar pertengkarang kedua orang tuanya hingga terucap kata ingin berpisah, pikiran Arya begitu kalut.Ditambah lagi kabar sang ibunda ditemukan tewas bunuh diri dari lantai dua puluh apartemen tempat Arya sering berkumpul bersama teman-temannya. Sang ayah, bukannya ikut berduka malah lebih mementingkan pekerjaan di luar negeri. Tidak dapat berpikir jernih lagi, Arya memilih menenangkan diri di kamar hotel dan beberapa botol bir sebagai pelampiasan.Malam itu, saat Arya sedang mabuk-mabuknya, seorang karyawan yang bekerja di apa