Share

Bab 9. Pesta Dansa; Prince

Di sebuah ruangan luas bernuansa Eropa, seorang lelaki baru saja selesai memakai kemeja putih, belum terkancing sama sekali. Memperlihatkan perut sixpack, serta rambut yang masih agak basah. Lelaki itu kemudian satu-persatu mengancing baju dari bawah. Lalu menyambar sebuah dasi hitam mengkilap yang sudah ia siapkan.

Dengan senyum terbit sejak tadi di bibir merah mudanya, lelaki itu membayangkan betapa cantiknya gadis yang ia ajak berdansa kelak. Sudut bibir semakin terangkat, menandakan kebahagiaan malam ini.

Tubuh tinggi itu menatap album putih yang terletak di atas nakas. Duduk di samping ranjang mengamati album bertuliskan 'love' tersebut. Saat dibuka, pada halaman pertama terdapat foto seorang gadis berusia kira-kira enam belas tahun tersenyum ke arah kamera, yang lebih menarik perhatian lagi jika orang lain melihatnya, pada setiap foto terdapat tahun di mana foto itu dibuat.

Ya, itu potret masa-masa remaja Deline. Saat Bryan masih di Amerika Serikat, Cichago. Deline sering mengirim foto kesehariannya, agar Bryan bisa melihat dirinya bersenang-senang, keduanya bahkan bertukar foto. Namun, siapa sangka setiap kali gambar Deline terkirim padanya, lelaki itu mencetak dan membuat album khusus kenangan Deline dari remaja. Hanya Deline.

"Aku benar-benar mencintaimu, El. Sepenuh hatiku, sedari dulu, aku sungguh dan akan tetap mencintaimu," gumamnya.

Lelaki tampan itu terkesiap saat mengingat waktu, tak ingin terlambat menjemput gadis yang akan jadi pasangan dansanya. Ia kemudian memakai jas hitam mewah yang terlihat cocok di tubuhnya, menyemprotkan parfum, terutama pada bagian pergelangan tangan.

Bryan berdiri memandang pantulan dirinya di cermin, tersenyum lebar membetulkan jas. Selain tak sabar menghadiri pesta besar itu, ia juga tak sabar melihat penampilan gadis impiannya.

***

Bryan, Handrey, dan Diego duduk di sofa berukiran klasik di ruang tamu. Bertepatan dengan mobil Handrey yang baru pulang bersama Diego dari kantor memasuki pekarangan rumah, mobil milik Bryan menyusul. Ketiga lelaki itu begitu akrab layaknya ayah dan dua anak lelakinya. Apalagi Bryan yang memiliki sifat mudah berbaur.

"Kukira kau akan pergi ke pesta itu sendiri, Bryan. Ternyata nyalimu tidak seberani itu," ujar Diego diiringi gelak tawa.

"Bisa saja, tetapi jika ada gadis cantik di rumah ini mau pergi bersamaku, mangapa tidak?" balas Bryan, ikut tertawa. Sedangkan Handrey masih menyimak obrolan kedua pemuda.

"Ajaklah dia asal itu baik, sudah lama sekali anak itu tidak kencan." Diego berkata berlagak berbisik.

"Mungkin denganmu dia akan senang," timpal Handrey.

Asik mengobrol hingga tak menyadari Alina yang baru menaruh teh hangat di atas meja. Padahal, ada beberapa pembantu di rumah luas itu, tetapi itu tidak menghalangi keinginan Alina melayani tamu, memasak, serta membantu-bantu membersihkan rumah.

Alina kembali sejenak ke dapur guna mengembalikan nampan. Sejurus kemudian, ia duduk di samping sang suami yang sudah tidak memakai jas. Meski sudah tidak muda lagi, Alina masih terlihat segar dan anggun, ditambah rambutnya selalu digerai. Saat duduk pun, tubuhnya masih terlihat indah.

Ruang tamu diisi keakraban keluarga Handrey beserta Bryan. Ada banyak yang mereka obrolkan, sehingga tidak menyadari seorang gadis sudah turun dari tangga. Mereka baru menyadari saat gadis itu memberi kode.

"Apa tidak ada yang melihatku?" ujarnya. 

Semua mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Kagum? Pasti. Bryan refleks berdiri melihat wanita cantik di hadapannya, dress itu sangat cocok sehingga memperlihatkan lekuk tubuh langsing, lipstick merah darah yang Deline pakai, rambut yang awalnya lurus dicatok ikal lalu dibentu cepol, serta tambahan kalung berlian kecil menambah elegant penampilan gadis ber-High Heels hitam.

Bryan tak hentinya menatap keindahan itu, sampai godaan Diego menyadarkannya dari keterdiaman. Jelas merasa malu karena ketahuan menatap terlalu lama anak gadis di hadapan orang tuanya. Pipinya menghangat seketika.

"Kau ingin mengajak adikku pergi atau terus memandangnya seperti itu?" Diego mendapat cubitan dari sang ibu agar tidak menggoda mereka.

"Paman, Bibi, kami berangkat." Diangguki persetujuan dari Handrey dan Alina.

***

Pesta di sebuah hotel bintang lima yang diselanggarakan rekan bisnis baru Bryan terlihat sangat megah, didominasi warna abu-abu hitam, desain negara ala warga Barat sangat melekat pada pesta ini. Sebelum masuk, mereka sudah memakai topeng dansa terlebih dahulu.

Tak ragu Bryan menyerahkan lengannya untuk digandeng, Deline dengan senang hati menerima. Dua orang itu layaknya pasangan, perpaduan sempurna antara lelaki tampan tegap dengan gadis berparas rupawan.

Deline merasa beberapa mata memandang ke arah mereka, ia belum pernah ke pesta seperti ini bersama lelaki yang bukan keluarga. Biasanya, saat ada pesta dansa dan sebagainya, ia selalu bersama sang kakak atau Dady dan ibu. Namun, kali ini entah mengapa merasa gugup dan malu. Saat Deline hendak melepas kaitan tangannya pada lengan Bryan karena tak enak menjadi tontonan, lelaki itu dengan tenang menahan dengan tangan satunya lagi.

"Tidak usah malu, mereka hanya kagum melihat aku membawa gadis secantik dirimu," bisik Bryan.

Beberapa menit kemudian Deline terbiasa dengan pesta itu, sekarang ia sedang berdiri berkumpul bersama teman-teman Bryan dan tentu para istri mereka. Bisa dikatakan, tampaknya hanya sedikit, termasuk Bryan yang belum menikah. 

"Kami tidak terkejut kalau Bryan berpacaran dengan anak perempuan Handrey, kedekatan keluarga kalian sudah tidak diragukan lagi." Itu suara Axell.

Meskipun belum ada rasa cinta di hati Deline untuk pria tampan di sampingnya, ia tak keberatan jika semua orang mengakui kedekatan mereka. Entahlah, apa dirinya terpengaruh ucapan Katerin kemarin malam, menyuruh memberi ruang untuk orang lain masuk dalam hatinya, seperti Bryan.

"Sepertinya kami terlihat serasi, bukan?" sahut Bryan.

"Perpaduan sempurna. Kapan kalian menikah?" Sonya—istri Axell bertanya.

Deline diam-diam mencubit lengan Bryan ketika pertanyaan itu sampai ke telinga. Ia tak tahu harus menjawab apa. Sepertinya kali ini mereka jadi bahan perbincangan teman-teman Bryan, bahkan anak dari rekan bisnis properti Handrey pun ada di sana, ikut melempar gurauan.

"Kita memang cocok, El. Mereka saja mengakui itu," bisik Bryan, hal tersebut membuat El semakin menunduk malu.

Di tengah keakraban dengan yang lain, ada dua orang penyaji laki-laki menawarkan dua minuman dengan jenis berbeda di atas nampan silver. Saat Deline hendak mengambil stem glass berisikan minuman berwarna biru, Bryan langsung mengambil gelas itu dari tangannya, kemudian menukar dengan mocktail, minuman campuran soda, jus, dan syrup, diperindah dengan garnish.

"Yang ini tidak mengandung alkohol. Kau tidak mau melihatku dimarahi Paman Handrey karena membawamu pulang dalam keadaan mabuk, 'kan?" 

"Dad tidak akan marah, paling-paling kau dilarang mengajakku pergi lagi," seloroh Deline.

Suasana hangat seakan-akan mendukung kebahagiaan Bryan malam ini. Selain acara pesta keberhasilan besar, ternyata juga perayaan ulang tahun pernikahan rekan bisnisnya dan sang istri yang sudah menginjak dua tahun. Bryan ikut mengangkat stem glass yang ia pegang ketika pasangan itu menunjukkan senyum dari jauh padanya.

Para wanita membuat kelompok sendiri untuk mengobrol sambil berdiri, awalnya Deline ragu untuk bergabung, tetapi berkat keramahan perempuan-perempuan berpenampilan elegant itu membuatnya merasa nyaman. Mereka tertawa lepas membahas sesuatu yang menyenangkan. Ia sebenarnya gadis ramah, tetapi kali ini sedikit canggung berada di sekeliling teman-teman Bryan.

Namun, tawa Deline seketika terhenti ketika melihat seseorang menggunakan kaus hitam dilapisi jas abu-abu, memegang sebuah kamera dan menatap ke arahnya. Ia langsung mengalihkan pandangan, meneguk minuman yang sedari tadi dipegang guna menetralisir ketegangan.

Ia pikir sampai di situ saja, si lelaki tidak akan peduli kehadirannya. Akan tetapi dugaannya salah besar, Arya malah melangkah mendekat. Beruntung Bryan datang tepat waktu, tanpa ragu Deline melingkarkan tangannya di pinggang Bryan, menatap pria menawan yang lebih tinggi sebahu darinya.

"Why? Kenapa kau tiba-tiba romantis seperti ini?" goda Bryan. Ia merangkul bahu si gadis dengan senyum manis.

"Jika tidak mau, aku bisa menjauh darimu." Gadis itu hendak memberi jarak dan melepaskan tangan dari pinggang Bryan, tetapi dicegah olehnya.

Posisi dua orang yang disebut-sebut pasangan itu terkunci, Deline bisa merasakan betapa erat Bryan merangkulnya. Sementara lelaki yang tadinya ingin menghampiri si gadis untuk sekedar menyapa, mundur dan kembali memotret orang-orang yang kebetulan meminta. Deline menghela napas lega.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status