Share

Bab 3. Mawar Putih Masa Lalu

"Jadi, Bibi Tarika ingin kau segera menikah?" tanya Yuka.

Siang ini kondisi Romantica Coffe sedang tak terlalu ramai. Waktu yang tepat digunakan Deline dan yang lainnya untuk saling bercerita. Kali ini, giliran Deline yang mengeluhkan kejadian semalam pada teman-temannya. Jujur, sangat sulit membuka hati untuk lelaki lain, sedangkan hatinya masih belum bisa melupakan seseorang yang jelas-jelas sudah mengkhianati.

"Aku bahkan belum memikirkan siapa dan orang seperti apa yang akan menjadi suamiku," ujar Deline frustasi.

"Kurasa keluargamu terlalu mengekang dengan aturan-aturan mereka, El." Glen tak tanggung-tanggung memberikan pendapat.

Di antara yang lain, Glen adalah orang yang paling berani mengemukakan pendapat. Jika baginya buruk, maka ia akan terus terang, terkadang juga ucapannya tidak bisa dikontrol. Namun, ucapan Glen ada benarnya. Semua orang tahu bagaimana keluarga Deline, selalu mementingkan derajat, image, dan penuh aturan.

Hanya orang yang memiliki keterikatan khusus saja yang bisa berbaur dengan keluarga itu. Bertolak belakang dengan El yang bersikap ramah dan mau bergaul dengan siapa saja.

Sebenarnya, Handrey punya sikap yang mirip dengan El. Itu sebabnya ia menikah dengan Alina, wanita yang sejak sekolah putih abu-abu sudah berhasil menaklukan hati Handrey. Namun, kisah cinta mereka tak berjalan mulus.

Handrey dijodohkan dengan wanita yang sama sekali tak ia cintai, selama lima tahun rumah tangga mereka hingga hadirnya Diego dan Deline, masih tak membuat Handrey jatuh cinta pada Karina---istri pertama Handrey.

Sebuah kecelakaan terjadi saat Karina pulang dari luar negeri. Mobilnya bertabrakan dengan truk pengangkut bahan bakar kendaraan, mengakibatkan Karina tewas di tempat. Kejadian itu bahkan masuk kedalam surat kabar serta stasiun TV ternama. Seorang putri dan istri pengusaha sukses, bagaimana media tidak meliput?

"Ya, setelah aku menikah, mereka akan punya tuntutan baru, dan akan seterusnya hidup dalam peraturan-peraturan bodoh itu." El menggerutu, ada kalanya ia kesal.

"Menikahlah, Nona Muda. Ada banyak lelaki mengantri untuk jadi suami dari seorang Deline Hendriya," sahut Katerin dalam konteks bercanda.

Namun, di sela candaan itu, Katerin menyenggol bahu El seolah-olah mengisyaratkan sesuatu. Bertepatan pula dengan pengunjung yang semakin bertambah, membuat mereka menyudahi percakapan. Kembali pada pekerjaan masing-masing.

***

Hari kamis, Romantica Coffe libur. Deline dan Katerin mengisi libur mereka dengan berjalan-jalan di Mall. Keduanya kompak mengenakan rok selutut dipadukan kemeja polos.

"El, coba lihat bunga itu!" Katerin menunjuk pada barisan bunga mawar putih yang tersusun rapi.

"Kau masih ingat saat seseorang pernah memberimu setangkai bunga itu saat ulang tahunmu yang ke tujuh belas tahun?" tanya Katerin. 

Gadis itu sebenarnya tak perlu bertanya lagi, tentu saja El ingat. Ia tak mungkin melupakan siapa orang pertama yang memberinya bunga, selain karena hari ulang tahunnya, mawar putih itu juga menjadi awal hubungang mereka. Saat itu El masih duduk di bangku kelas dua SMA, sedangkan si lelaki baru saja masuk kuliah.

Tak ada yang mengira, sejak pertama El masuk SMA, seorang anggota Organisasi langsung menyimpan perasaan padanya. Namun, ia baru berani mengungkapkan perasaan tersebut setelah ia lulus.

"Aku selalu mengingatnya, Kate," jawab El.

"Sangat sulit bagiku melupakannya. Apalagi hampir setiap hari melihat dia, perasaanku semakin ... entahlah, aku tak tahu harus menyebutnya apa."

Katerin menggandeng tangan sahabatnya dan mengajak duduk di sebuah kursi yang memang tersedia di setiap tempat untuk para pengunjung. Katerin adalah bagian dari masa lalu El, sedikit banyaknya tentu tahu tentang kisah percintaan El. Bukan hanya saat kuliah, mereka bahkan sudah akrab sejak Sekolah Menengah Atas.

"Kenyataannya dia mengkhianatimu setelah kurang lebih lima tahun kalian bersama. Aku tidak menyangka, dia bisa punya anak dengan wanita lain, lalu meninggalkanmu menikah." Penuturan Katerin semakin membuat El kembali mengingat kisah lampau itu.

"Oh, Tuhan! El! Maaf, aku tidak bermaksud mengingatkanmu tentang Ar--" Ucapannya terpotong.

"Tidak masalah, Kate."

Untuk melupakan kesedihan tadi, Katerin mengajak El masuk ke sebuah toko pakaian. Seharusnya ia tahu bahwa membahas tentang lelaki itu bisa membuat El kembali terluka, tetapi kekesalan membuat ia kelepasan.

Namun, di saat mereka hendak memasuki toko, seorang anak laki-laki tanpa sengaja menumpahkan minumannya ke sepatu El. Wajah anak itu sangat manis sehingga membuat siapa saja tidak tega memarahinya.

El berusaha menyamakan tinggi dengan anak itu. Ia sedikit terkejut dengan cara si anak memandang. Bocah yang diperkirakan berusia empat tahun di hadapannya memiliki tatapan begitu tajam. Tatapan yang pernah ia jumpai.

"Tidak apa-apa?" tanya El. Anak tersebut mengangguk.

Mereka dibuat terkejut ketika mendengar jawaban anak itu saat El bertanya siapa namanya.

"El," jawab anak itu.

"Benarkah? Kita punya nama panggilan yang sama! Siapa namamu? Ah ... maksudku namamu yang lain?"

"Elang." El tersenyum saat mendengar jawaban anak manis itu. Namanya indah.

Seseorang pernah berkata padanya beberapa tahun silam, jika suatu saat mereka menikah dan punya anak laki-laki, mereka akan menamainya Elang agar anak dan ibu memiliki nama panggilan yang sama. Saat itu usia El sudah dua puluh tahun. Sebelum akhirnya semua hanya bualan.

"Nak Elang! Aduh! Bibi hampir takut kau hilang."

Untuk yang ke dua kalinya El dibuat terkejut kala seorang wanita paruh baya menghampiri Elang. Bukan hanya El, tetapi Katerin dan Bibi itu pun sama-sama terkejut.

"Nona, Deline," ucap wanita berusia memasuki setengh abad itu.

***

"Ternyata selama empat tahun ini Arya membesarkan anaknya sendirian," ujar El.

Kini sepasang sahabat itu sudah berada di rumah Katerin. Rumahnya terbilang cukup luas, dengan suasana modern. Sudah sejak kelas tiga SMA Katerin tinggal bersama kakak laki-laki beserta ipar di rumah peninggalan orang tuanya.

"Apa itu yang membuatnya terlihat tertekan?" El bertanya pada diri sendiri.

Meskipun ia sudah berusaha menepis perasaan terhadap lelaki bernama Arya, tak bisa dipungkiri bahwa masih ada serpihan-serpihan rasa yang tertinggal jauh dalam lubuk hati El. Ia hanya pintar menyembunyikan.

"Ck! Untuk apa kau peduli, El? Kau harus ingat, lelaki itu pengkhianat."

"Apa kau juga ingat saat dia mencoba menjelaskan padaku bahwa kejadian malam itu adalah sebuah ketidak sengajaan?" sanggah El.

Entah kenapa, dirinya bisa sampai membela Arya di hadapan sahabatnya. Jelas-jelas Katerin tahu betapa saat itu El terpuruk karena ulah lelaki itu. Katerin benar, sebaiknya El tak perlu menoleh ke belakang lagi. Namun, sangat sulit melupakan seseorang yang menjadi alasan El masih belum bisa membuka hati untuk orang lain.

"Saat itu dia mabuk karena baru saja kehilangan ibunya, Kate. Niatnya menenangkan diri. Siapa yang mengira kejadian tak diinginkan itu terjadi?" Air matanya mulai mengalir kala membuka kembali sebuah kisah pahit.

Katerin mendekatkan diri pada El yang berdiri lemas di balkon. Memeluk gadis itu erat. Tak ada yang bisa disalahkan dalam kejadian itu jika dipikirkan dengan jernih, tetapi tetap saja ia marah pada Arya. Marah atas  kesalahan yang tak disengaja dan membuat sahabatnya terluka.

"I'm sorry, aku hanya tidak mau kau kembali bersedih untuk lelaki yang sama, El."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status