Share

Bab 4. Kembalinya Seseorang

Tiga tahu yang lalu, Arya seorang lelaki yang bekerja sebagai fotografer, bisa dibilang sangat profesional. Harus rela kehilangan istrinya, Naomi. Tanpa ia ketahui, sang istri diam-diam mengidap penyakit Leukemia atau dengan kata lain, Kanker Darah.

Arya sebenarnya sama sekali tidak mencintai Naomi. Pernikahan itu terjadi hanya karena tanggungjawabnya sebagai laki-laki yang telah menodai seorang gadis pelayan hotel tempat ia menginap. Mendengar pertengkarang kedua orang tuanya hingga terucap kata ingin berpisah, pikiran Arya begitu kalut.

Ditambah lagi kabar sang ibunda ditemukan tewas bunuh diri dari lantai dua puluh apartemen tempat Arya sering berkumpul bersama teman-temannya. Sang ayah, bukannya ikut berduka malah lebih mementingkan pekerjaan di luar negeri. Tidak dapat berpikir jernih lagi, Arya memilih menenangkan diri di kamar hotel dan beberapa botol bir sebagai pelampiasan.

Malam itu, saat Arya sedang mabuk-mabuknya, seorang karyawan yang bekerja di apartemen berseragam ungu datang untuk mengantarkan titipan dari kurir yang Arya pesan. Tak bisa dipungkiri, karyawan tersebut memang memiliki paras cantik.

Arya langsung mengunci pintu dari dalam, perlahan menghampiri Naomi. Ia butuh kesenangan pikirnya. Berkali-kali gadis itu mencoba melepaskan diri, berontak, memohon, berteriak.

Namun, semuanya percuma, sebab setiap apartemen kedap suara. Hingga jam tiga dini hari, Arya tertidur begitu pulas, Naomi yang sudah hancur pun tetap berusaha tegar dan meninggalkan kamar tempat kehormatannya direnggut.

***

Romantica Coffe tengah diisi dengan gelak tawa beberapa karyawan karna mendengar lelucon dari bos mereka. Bos Lin King memang dikenal sebagai sosok yang humoris dan baik hati, meskipun umurnya sudah empat puluh tahun lebih, tetapi jiwa mudanya masih tetap membara. 

Contohnya sekarang, bukannya mengontrol keadaan Kafe, berkeliling atau semacamnya seperti bos-bos yang lain dengan tampang berwibawa, ia malah asik menceritakan sang istri yang marah-marah tadi pagi karena tak dapat menemukan lipstik merah muda.

"Kalau dia masih memikirkan penampilan, artinya istri bos masih punya gairah, Bos," celetuk Glen yang diberi tatapan tajam dari Katerin.

"Haha. Kuharap saat aku pulang, My Swety berjoget seksi di depanku."

Glen dan Bos Lin King kompak tertawa. Ya, isi pikiran mereka sama, sedikit mesum, atau ... sangat mesum. Kalau keduanya sudah berkumpul, dipastikan akan ada cerita-cerita aneh dan nyeleneh. 

"Dengan sedikit tamparan di bokong." Glen memperagakan tangan seolah sedang menampar.

"Uh, terasa perih," sahut Bos Lin King. Raut wajahnya dibuat seolah-olah membayangkan.

El dan Yuka saling memandang, tak habis pikir dengan kelakuan bos dan rekannya. Apa tak punya cerita lain untuk dibahas?

"Bos, kalau istrimu mendengar ini, kupastikan apa yang kau bayangkan, menampar bokong istrimu itu tak akan terjadi." Kak Maxi berucap.

Syukurlah, Kak Maxi tidak mengikuti jejak kedua pria mesum itu. Jika tidak, entahlah apa yang akan terjadi kalau mereka disatukan. Di sini, malah Kak Maxi yang paling dewasa dalam bersikap, ia juga tipe orang yang paling malas berbicara jika tidak terlalu penting.

Ponsel Deline berdering menandakan panggilan masuk. Tertera nama yang tak asing di sana. Dady.

"Halo, Dad?"

"Hai, Honney. Pulanglah jam tujuh malam nanti. I have a surpirse for you."

"But, Da--"

"Atau perlu Dady hubungi bos-mu agar memberi izin?" Huh! Jika Handrey sudah berbicara seperti itu, mana mungkin Deline bisa membantah lagi.

"No ... Aku akan pulang tepat waktu." Tak sulit meminta izin pada Bos Lin King, apalagi itu Deline, karyawan kebangaannya.

***

Tepat di jam yang ditentukan, motor milik Deline sudah terparkir di garasi. Ada beberapa mobil dengan model klasik, Eropa, hingga modern di garasinya yang luas, tetapi gadis berkulit kuning langsat itu tak pernah menggunakan kendaraan roda empat untuk bekerja.

Namun, bukan mobil-mobil mewah tersebut yang menjadi perhatian. Sebuah mobil hitam pekat juga terparkir di tempat khusus parkiran kendaraan tamu.

Dengan raut yang masih ceria, Deline memasuki istana megah nan indah. Netranya mengelilingi seisi rumah mencari sosok yang tadi sore meneleponnya.

Bukannya menemukan, gadis itu malah mendapati suasana ruang tamu serta ruang keluarga tengah sepi. Ia memilih ke kamarnya untuk membersihkan diri.

Selang beberapa menit setelah dirinya selesai mandi dan mengenakan baju ungu yang sedikit lebar, panjang selutut. Ia mendapati pesan teks dari sang ibunda bahwa mereka menunggu di taman belakang. Entahlah, Deline tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"Sayang, kemarilah!" Itu suara Alina.

Terlihat beberapa orang keluarga terdekat dari pihak Handrey sedang bersanda gurau, mengenakan baju santai khas rumahan termasuk Bibi Tarika. Ada juga teman dekat Handrey bersama istrinya, Deline ingat siapa mereka.

"Bu, ada acara apa ini? Kenapa keluarga Gray ada di sini?" tanya Deline pada Alina, sambil memeluk sang ibu dari belakang. Ia sangat manja.

"Mereka sudah seperti keluarga kita, Sayang. Kita merayakan kehadiran seseorang, kau akan segera tahu. Ambillah dulu makanan di meja itu, Ibu tahu kau lapar."

Deline segera meninggalkan Alina dan menjelajahi banyaknya hidangan di atas meja, membuat laparnya semakin terasa, di tambah ada Pasta Carbonara kesukaannya. Gadis itu langsung meggamit piring putih lebar serta sendok. Memilih duduk dan makan di dekat Diego yang juga sedang santai menikmati Ice Cream Vanilla dalam segelas mangkuk bening.

"Kau sungguh tak tahu siapa tamu spesial kita?" Deline menaikkan kedua bahu ketika mendengar pertanyaan sang kakak.

"Tunggu saja sebentar lagi," lanjut Diego.

Hei! Siapa sebenarnya tamu spesial ini? Apa hanya dirinya yang tidak tahu? Tega sekali mereka merahasiakan darinya.

"Kurasa orang itu tidak penting bagiku. Paling ... ya, rekan bisnis keluarga. Oh, atau sahabat lama Dady dari luar negeri. Right?"

Diego tersenyum menggoda. "Bagaimana kalau penting bagimu?"

"Shit! Singkirkan wajah jelekmu dari dekatku!"

Bukannya marah, Diego malah tertawa lepas melihat ekspresi kesal adik kesayangannya. Lagi pula, ucapan Deline itu tak benar, ia adalah lelaki tertampan di rumahnya, sang ayah bahkan kalah. Ingat itu!

"Selamat malam, semuanya."

Aktivitas semua orang langsung terhenti dan menghadap sumber suara saat seorang lelaki berpakaian kemeja cream polos serta celana dasar cokelat susu datang dari balik pintu kaca penghubung ruangan dengan taman belakang rumah. Kacamata jernih serta rambut hitam rapi membuat paras tampan itu tampak berwibawa.

Deline terkejut bukan main saat mengingat perbincangannya dengan sang kakak tadi, ia benar-benar tak menyangka jika tamu spesial malam ini adalah seseorang yang sejak kecil dikenal akrab. Lelaki itu pindah dan bersekolah ke luar negeri, tinggal bersama nenek dan kakeknya saat berumur tiga belas tahun. 

Deline masih sangat ingat saat dirinya menangis berhari-hari karena ditinggal teman akrabnya itu. Namun, untuk mengurangi kerinduan, mereka selalu berkirim kabar lewat Email. Gadis itu tersadar dari keterdiaman, kemudian berlari menabrakkan diri pada tubuh tinggi tersebut.

"Oh, El. Apa kau sangat merindukanku?" tanya si lelaki sambil membalas hangat pelukan Deline.

"Tentu saja, Bry! Kau bilang akan sesekali berkunjung ke Indonesia, tetapi semuanya bohong, 'kan? Apa di sana tak ada libur?!"

"Kau berhutang cerita padanya, Bryan!" Handrey berseru sembari mengangkat gelas berisi jus lemon. Semua orang tertawa, termasuk pasangan Gray, ayah dan ibu Bryan.

Karena sudah bersalaman pada yang lebih tua, lelaki bernama Bryan langsung kembali menghampiri Deline dan Diego. Handrey benar, tentu Deline akan menagih cerita darinya. Tengang apa pun itu.

 "Baiklah, kurasa aku harus pergi, atau aku akan jadi nyamuk," gumam Diego.

Keterdiaman terjadi di antara kedua manusia tersebut. Memang ada rasa sedikit canggung menyelimuti, sebab dua belas tahun tidak bertemu bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi sekarang tak bisa dipungkiri, Bryan berubah menjadi pemuda yang sangat tampan. Deline pun sempat terkesima.

"Jadi, kau ingin melanjutkan cerita yang tertunda beberapa tahun lalu lewat telepon?"

Ya, tepat setelah hubungan Deline dan kekasih yang begitu dicintai berakhir, gadis itu hancur. Hancur karena cara mereka berpisah. Deline akan berusaha terima jika memang keduanya tidak bisa bersama, tetapi pengkhianatan itu membuatnya menutup segala kata maaf dengan kekecewaan.

"Maaf, waktu itu aku tidak sempat mendengarmu. Namun, sekarang aku punya banyak waktu," lanjut Bryan.

"Bry, kurasa itu sudah tidak penting. Aku tidak ingin membahasnya lagi."

Dulu, Deline memang sangat ingin menceritakan sakit yang ia rasakan, karena dirinya tahu bahwa Bryan bisa memberinya kenyamanan setiap kali bercerita dan mengadu. Ada perasaan tenang ketika mendengar suara dan berada di dekat Bryan.

"Ah ... lupakan tentangku! Sekarang jawab, berapa banyak wanita yang kau kencani di sana?" Deline berusaha mengubah suasana. Menaikkan sebelah alis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status