Pagi yang indah tidak menjamin kalau hari akan berakhir dengan indah juga. Buktinya, Azura yang pagi tadi masih bisa tertawa dengan Mulan, Beni, dan Anna, kini justru harus menangis sejadi-jadinya. Hidup Azura seolah benar-benar berbalik dalam satu kedipan mata.
"Yang kuat ya," ucap salah seorang dokter jaga. Azura hanya diam. Kedua bibirnya tidaklah bungkam. Namun, mulutnya tidak mengeluarkan suara apapun selain isak tangis yang memilukan. Malam ini menjadi kali pertama Beni dan Mulan tidak menepati janji. Sosok ayah yang juga merupakan cinta pertama Azura tidak datang membawakan macaroon kesukaannya. Ibunya juga ingkar saat berucap kalau mereka akan pulang larut malam. Nyatanya, hingga dini hari, mereka sama sekali belum kembali. Mmmm ralat, mereka TIDAK akan pernah kembali. Entah sudah berapa lama Azura larut dalam tangis. Dia sempat tak sadarkan diri, lalu bangun, menangis lagi, dan kembali pingsan lagi. Begitu seterusnya hingga malam berganti pagi. Saat cahaya matahari mulai masuk melalui celah jendela rumah sakit, Azura akhirnya kembali membuka mata. Kali ini, dia hanya menghela napas panjang, dan mencoba menenangkan diri. Ingin menyangkal, tapi Azura harus menerima kenyataan kalau kedua orang tuanya kini telah meninggal. Ya. Meninggal. Setelah menguatkan kedua kakinya yang lemas, Azura lantas menapaki lorong ruang tunggu kamar jenazah. Ini akan menjadi hari yang sangat amat berat. Namun, biar bagaimanapun, Azura harus tetap bisa berdiri untuk menghadiri upacara pemakaman kedua orang tuanya siang nanti. "Beni dan Mulan dinyatakan meninggal," terang seorang anggota keluarga kepada beberapa orang yang lain. Samar-samar perbincangan dari ruangan samping cukup terdengar oleh telinga Azura. Sepertinya ada beberapa anggota keluarganya yang sedang menemui rekan kerja Beni. Entah siapa saja, tapi Azura terka mungkin jumlahnya lebih dari lima. "Mereka mengalami kecelakaan tunggal. Sebelum sempat dibawa ke rumah sakit, mereka sudah meninggal di tempat," ucapnya lagi. Bohong! Demi Tuhan, ini tidaklah benar. Sialnya, baru saja Azura bangkit dan ingin menemui mereka untuk menyuarakan kebenaran, kedua tangannya sudah terlebih dulu dicekal dari belakang. Azura sempat sedikit berteriak. Sungguh sayang, mulutnya buru-buru dibekap. Dari arah samping, Azura bisa melihat wajah Riki, pamannya sendiri. "Lepas!" pekik Azura setelah mereka tiba di sebuah lorong yang sepi. "Jangan berani angkat bicara. Aku masih berbaik hati untuk tidak menghilangkan jasad orang tuamu. Kalau sedikit saja kamu bersuara, jangan harap upacara pemakaman akan berlangsung aman. Tidak sulit bagiku untuk melenyapkan jasad mereka tanpa jejak." Bibir Azura sedikit bergetar. Tak ada sedikit pun kata yang keluar. Diri Azura masih diliputi rasa tidak menyangka kalau Riki - adik kandung Beni, adalah otak di balik kematian Beni dan Mulan. "Tapi santai saja, Azura. Aku masih berbaik hati untuk mengembalikan jasad mereka padamu. Setidaknya, kalau kamu merindukan mereka, kamu masih bisa membaca nama mereka di batu nisan," lanjut Riki. "Jangan harap hidupmu akan tenang," pungkas Azura. Riki tertawa dengan nada meremehkan. "Artinya kamu siap berhadapan denganku? Kamu yakin?" "Kamu pikir aku takut?" tantang Azura. Bibir Riki tersenyum separuh, tubuhnya berbalik, lalu melangkah pergi seraya berkata, "Melenyapkan nyawamu berkali lipat lebih mudah daripada membunuh orang tuamu." Hati yang semula sudah hancur, kini semakin hancur saat Azura mengingat kematian tragis kedua orang tuanya. Ada kesedihan yang mendalam, tapi juga ada rasa marah dan takut yang tak bisa dia abaikan. Bagaimana tidak? Azura melihat dengan mata kepalanya sendiri saat orang tuanya terbunuh. Lebih tepatnya, dibunuh. Lebih mirisnya lagi, pelakunya adalah keluarga Azura sendiri. Lebih rumitnya lagi, Azura adalah satu-satunya saksi yang tentu saja akan menjadi target mereka selanjutnya. "Anda yang bernama Azura?" tanya seorang perawat yang muncul dari balik pintu. Azura mengusap kedua pipinya cepat-cepat. "Iya. Saya Azura." "Baik, jenazah akan segera kami berangkatkan ke rumah duka." Jarak rumah duka dari rumah sakit tidak seberapa jauh. Tidak lebih dari sepuluh menit, Azura sudah sampai di sebuah tempat bercat putih. Di antara deret rangkaian bunga duka cita, Azura melihat ada sangat banyak orang yang sudah memenuhi ruangan. "Apa itu yang namanya Azura? Anak semata wayang dari Mulan dan Beni." "Kasian sekali dia. Dalam sekejap, dia langsung menjadi yatim piatu." "Dia sepertinya anak tunggal. Tak ada saudara yang berjalan bersamanya." Bisik-bisik di tengah kerumunan masih terdengar oleh telinga Azura. Namun, Azura sama sekali tidak menggubris. Lebih baik Azura segera berjalan menuju peti mati yang berjejer di tengah ruangan. Di dalam peti itu, tubuh ayah dan ibunya sudah berbaring dengan tenang. Wajah mereka tampak damai, tapi Azura tahu kalau mereka pergi dengan cara tidak layak. Cara yang selalu berhasil membuat dadanya terasa sesak. "Azura." Suara Anna terdengar bersamaan dengan saat pundak Azura diusap. Begitu tubuh Azura berbalik, dia buru-buru memeluk Anna erat-erat. Air mata lagi-lagi tumpah. Seolah tak pernah habis, bulir bening terus membasahi lengan baju Anna yang sedang terulur merengkuh tubuh Azura. Cukup lama mereka saling berbagi rasa duka. Anna sempat menyinggung tragedi kecelakaan yang menimpa Beni dan Mulan. Namun, saat Azura berniat menjelaskan sebuah kebenaran, tatapan seluruh anggota keluarganya menyorot penuh ancaman. Meski hanya perantara tatapan mata, Azura sudah paham kalau keluarganya meminta Azura agar tetap bungkam. "Pemakamannya siang ini?" tanya Anna kemudian. "Iya." "Aku akan di sini sampai semuanya selesai," ucap Anna. Azura mengangguk. Sebagian dirinya ingin menumpahkan semua kejahatan keluarganya kepada Anna. Namun, pikiran dan hatinya masih terlalu berantakan. Sekadar untuk menerima kenyataan tentang kepergian orang tuanya saja sudah susah. Apalagi kalau harus memikirkan strategi dan sederet risiko jika saja Azura berani membuka mulut. Sungguh, jiwanya masih belum cukup kuat. "Apakah menangis akan membuat kedua orang tua kamu kembali?" bisik Mira, istri dari Riki. Wajah cantik bak malaikat tidak menjamin hatinya juga seperti malaikat. Bahkan, Azura bersumpah kalau Mira berhati iblis. Sebab, manusia mana yang tega memberikan ancaman mengerikan saat Azura sedang berkubang dalam duka yang mendalam. "Ingat, Azura. Tutup mulutmu baik-baik," ucap Mira. "Jangan katakan apapun atau kami akan membuat skenario kematianmu sama persis seperti kematian orang tuamu." Tubuh Azura seketika mematung. Ini memanglah hari berkabung. Namun, sepertinya Azura harus sedikit menepis rasa duka. Azura sadar betul kalau dirinya adalah target selanjutnya. Dalam diam, Azura terus meyakinkan diri kalau dia tak boleh mati. Kebenaran atas kematian orang tuanya harus terungkap. Entah dengan cara apa, tapi Azura harus berjuang mendapatkan keadilan. Atau kalau boleh dibilang, ... Azura harus tetap hidup untuk bisa membalaskan dendam.Azura memeluk dirinya sendiri. Penolakan tegas dari Darren cukup menampar dan bisa membuatnya sadar. Dia sudah terlalu gegabah.Ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan membuat Azura terlalu ingin cepat menemukan Gavin. Dia terkesan terlalu memaksakan diri. Sampai-sampai, dia lupa kalau dirinya mulai menjadi egois dan tidak rasional."Maaf," ucap Azura lirih. "Aku yang seharusnya minta maaf."Ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan ketika menyadari bahwa setiap langkah yang dia ambil mungkin akan menyeret Darren dan Laura ke jurang yang tak seharusnya. Ini salah. Ini terlalu jauh.Azura tidak ingin membuat siapa pun masuk ke dalam luka yang pada awalnya hanya miliknya sendiri.“Aku….” Suara Azura pelan, hampir tak terdengar. “Aku nggak ingin ada yang dirugikan karena aku. Termasuk kalian berdua.”“Azura—”Suara dari ponsel kembali terdengar. Darren belum menutup sambungan. Nada bicaranya masih terdengar berat, tapi juga tidak sekeras sebelumnya.“Aku bisa mengerti posisimu,” kata Da
Cahaya.Begitu silau, tapi tak menghangatkan.Begitu dekat, tapi tak bisa digapai.Gavin mencoba mengangkat kelopak matanya, tapi tubuhnya tak merespons. Raganya seolah masih tertinggal di tempat yang gelap, jauh di kedalaman yang tak bernama.Lamat-lamat, dia lantas mendengar suara. Pelan. Samar. Namun, jelas menusuk ke dalam kesadarannya yang rapuh.“Tingkatkan dosisnya. Dia belum boleh sadar. Belum sekarang.”Ada desis perintah. Ada langkah-langkah yang tergesa.Suara alat medis berdenting halus, monoton, seperti detak waktu yang terus berbunyi tanpa empati.Gavin ingin bertanya. Dia ingin tahu di mana dia, kenapa dia di sini, dan siapa yang sedang berbicara. Namun, semua pertanyaan itu hanya menggema di dalam pikirannya sendiri.Satu-satunya hal yang bisa dia rasakan hanyalah dingin. Dingin yang menjalari tulang, memeluk nyawanya erat-erat. Dalam kegelapan yang kembali menelannya, satu nama lantas melintas.Azura.Nama itu muncul seperti bisikan paling jujur di tengah kekacauan. M
Warna senja sudah menjilat tepian cakrawala saat Laura mengulirkan jari di layar ponselnya. Dia sedang mencari sebuah nama di daftar kontak yang saat ini mungkin bisa membawanya ke jalan keluar. Rowan Stewart, kakak laki-laki Gavin.“Aku nggak tahu dia masih pakai nomor ini atau nggak,” gumam Laura pelan, nyaris seperti minta izin untuk merasa gugup.David mengangguk. “Coba saja. Kita nggak punya banyak pilihan.”Azura tak ikut berkomentar. Namun, tatapan penuh harap darinya sudah cukup untuk memberikan Laura dukungan, atau bisa disebut juga dengan permohonan. Sungguh, wajahnya senada dengan langit mendung yang hanya sedikit disiram dengan rona jingga yang murung."Semoga tersambung," ucap Laura kemudian.Setelah mengembuskan napas panjang, Laura menekan tombol hijau. Tak lupa, dia juga membiarkan telepon berada pada mode loud speaker. Hanya butuh jeda satu detik hingga suara nada sambung berhasil mempercepat laju detak jantung.Sekali.Dua kali.Tiga kali.Lalu terdengar jawaban lela
Azura tak ingat kapan terakhir kali dirinya merasa begitu lelah. Bukan sekadar kelelahan fisik, tapi sesuatu yang lebih dalam. Seperti tersesat di tempat yang seharusnya familiar, mencari seseorang yang seharusnya mudah ditemukan, tapi semakin dikejar, semakin jauh bayangannya.Tentu ada seberkas rasa ingin menyerah. Hari-hari yang selama ini Azura lewati bukanlah masa yang mudah. Untungnya, Azura masih menemukan satu nama yang mungkin bisa membantunya bangun dari kubangan lumpur.Laura datang. Langkahnya mantap dan cepat. Mantel panjangnya berkibar tertiup angin, menampakkan tubuh yang tampak lebih berisi. Di sebelahnya, David berjalan lebih pelan sambil mendorong stroller bayi."Azura." Suara Laura pelan, nyaris tenggelam dalam kebisuan.Sejenak, mereka hanya berdiri berhadapan. Dua orang yang dulu saling terikat dalam simpul yang rumit, kini kembali bertemu dalam keadaan yang sama sekali berbeda."Kamu baik-baik saja?" tanya Laura. Dia sadar kalau itu adalah pertanyaan bodoh yang t
"Azura? Itu kamu, 'kan?"Tidak ada sapaan terburu-buru. Nada suara Laura memang terdengar terkejut. Mungkin dia tidak menyangka kalau Azura tiba-tiba menghubunginya. Namun, kalimat kedua darinya sudah meluncur dengan lebih tenang."Ra? Are you there?""Iya, ini aku," timpal Azura. "Hai, Laura."Azura menutup mata sejenak, meresapi kenyataan bahwa akhirnya mereka berbicara lagi setelah sekian lama tidak ada kontak. Ada perasaan aneh di dadanya. Bukan hanya canggung, tapi juga sedikit rindu.Laura pernah menjadi cahaya di tengah kegelapan yang hampir menelan Azura. Sebagai seorang pengacara, Laura tidak hanya menyelamatkan hidupnya dalam arti hukum, tapi juga dalam makna yang lebih dalam. Wanita itu pernah berhasil membebaskan Azura dari jerat yang hampir membunuh dirinya. Azura mengingat hari itu dengan jelas, bagaimana Laura berdiri di depan, berani melawan badai yang nyaris meruntuhkan.Hubungan mereka pun tidak sesederhana itu. Selain interaksi profesional antara klien dan pengacara
Azura masih diam pada pijak yang sama.Ada sesuatu.Bahu dan tengkuknya menegang. Bukan karena lelah, tapi lebih seperti ada sesuatu yang menariknya. Kepalanya seolah dipaksa untuk tetap menoleh ke lantai dua.Sejak beberapa detik yang lalu, ruangan itu sudah gelap. Cahaya dari luar hanya menyisakan kilasan samar di balik kaca besar. Semua kosong. Tak ada siapa pun.Namun, … tunggu dulu. Masih ada seseorang di atas sana.Azura menajamkan pandangan, tapi gelap di sana terlalu pekat. Sosok lelaki itu terbungkus dalam siluet yang buram. Namun, meski samar, Azura tetap bisa mengenalinya. Cara lelaki itu berdiri, garis bahunya yang kokoh, kemiringan kepalanya, dan satu tangannya yang diselipkan ke dalam saku, semua terasa begitu akrab."Gavin?" Azura berbisik pada dirinya sendiri.Udara yang semula bisa Azura hirup dengan bebas, kini berubah jadi beban yang menghimpit. Sebelum dia bisa mencari kepastian, sebelum otaknya mampu memproses lebih jauh, sosok itu lantas bergerak. Tak sampai tiga