Semua orang pasti akan sibuk menyesap kesedihan saat menatap jenazah kedua orang tuanya dikebumikan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Azura. Wanita muda itu justru tak punya banyak kesempatan untuk berduka.
Gaun hitam yang cukup longgar berhasil menutupi tubuh Azura yang sedang gemetar. Kacamata berwarna gelap juga mampu menyamarkan sorot mata yang penuh dengan rasa gentar. Azura sadar, dirinya sedang dalam bahaya besar. "Azura, turut berduka, ya. Kamu harus sabar, harus kuat, harus ikhlas." Puluhan orang berbaju hitam bergantian memberikan ucapan belasungkawa. Namun, Azura sama sekali tidak menanggapi. Dia terus berjongkok dengan telapak tangan bergerak meremas tanah dari dua pusara yang masih basah. Masih ada jutaan kesedihan saat melihat nama orang tuanya pada papan di atas makam. Meski begitu, jiwa Azura masih harus diterpa oleh rasa ketakutan. Sebab, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung dan sumber penghiburan, kini justru menjadi ancaman terbesar bagi hidup Azura. "Bagaimana rasanya kehilangan orang tua?" bisik Riki, seorang lelaki yang sejak malam tadi Azura anggap sebagai makhluk paling mengerikan di dunia ini. Azura mendongak, mencoba tampak berani, lalu berucap dengan kata sinis, tapi lirih. "Pembunuh!" Telapak tangan Riki terangkat untuk mengusap punggung Azura. Para pelayat mungkin melihat adegan ini sebagai bentuk empati dari pihak keluarga. Namun, tak ada yang tahu kalau sebenarnya Riki sedang menawarkan kematian. "Kamu sangat mencintai mereka, bukan? Aku bisa membantumu untuk segera menyusul mereka, kalau kamu mau," ucap Riki seraya mengusap pelan pipi Azura yang basah. Susah payah Azura menahan agar air matanya tidak mengalir deras. Namun, rintihan hati yang disalurkan melalui mata tak bisa dibendung lagi. Terlebih, saat Azura mengingat bagaimana Riki dan beberapa anggota keluarga lain menghabisi nyawa ayah dan ibunya sendiri. Ini benar-benar akan menjadi awal dari teror yang mengerikan. Azura adalah satu-satunya saksi. Jadi, Azura yakin kalau keluarganya tidak akan berhenti sebelum berhasil membuat Azura juga mati, atau setidaknya bungkam. Berbekal tangan yang masih gemetar, Azura menyeka air mata dan berusaha mengendalikan diri. Dia harus tetap tenang dan berpikir jernih. Ini bukan saatnya untuk menunjukkan kelemahan. Azura harus mencari cara untuk melarikan diri dari kerumunan ini, dari orang-orang yang pura-pura peduli, tapi sebenarnya berniat jahat. "Azura," panggil seorang wanita tua yang merupakan tetangga terdekatnya. Azura segera berdiri, lalu mendekat ke arahnya. Sambil mengobrol seadanya, tatapan mata Azura mulai beralih ke sekeliling. Dia terus mencari celah untuk kabur dari tempat ini. Riki dan keluarganya yang lain tampak sedang berinteraksi dengan beberapa rekan kerja ayahnya. Ini momen yang tepat, tapi lutut Azura lantas melemas saat dia melihat kedatangan sekelompok lelaki berjas hitam. Mereka rupanya bertugas untuk terus mengawasi gerak-gerik Azura. 'Mereka pasti orang suruhan Riki,' batin Azura. 'Aku harus cepat.' "Anna," panggil Azura pelan. "Iya?" "Aku nggak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Yang jelas, aku harus pergi dari sini sekarang juga." "Apa maksudmu?" Anna tampak terkejut. "Aku nggak punya banyak waktu. Sekarang tolong berdiri dan tutupi tubuhku dari arah orang-orang berbaju hitam itu." "Siapa mereka?" tanya Anna. "Sebenarnya ada apa?" "Berdirilah, Anna," pungkas Azura. "Cepat." Meski wajahnya masih diliputi kebingungan, tapi Anna tetap menurut. Dia melangkah maju, lalu berpura-pura melebarkan penutup kepala demi bisa menyamarkan keberadaan Azura. Dengan napas yang semakin berat, Azura perlahan menundukkan badan. Setelah pura-pura menabur bunga, Azura lantas menyelinap ke dalam kerumunan. Sedikit demi sedikit, Azura berusaha mencari jalan keluar yang tidak mencolok. Saat beberapa pelayat berbondong ke pintu keluar, Azura melompat ke pinggiran pemakaman yang letaknya hampir dua meter lebih rendah. Entah akan kemana, tapi Azura berharap bisa menemukan tempat untuk bersembunyi atau melarikan diri. 'Ya Tuhan, tolong aku.' Azura berucap dalam hati. Telapak tangannya yang dingin mulai mengeluarkan titik keringat. Kakinya berat, jantungnya berdetak cepat, tapi tubuhnya seolah sekarat. Sedih, marah, panik, dan takut berhasil membuat tubuhnya lemas luar biasa. Saat tiba di sudut pemakaman, Azura melihat sebuah gerbang kecil yang setengah terbuka. Buru-buru dia mengayunkan kaki, berharap tidak ada seorang pun yang melihat. Namun, sial, saat Azura hampir sampai, suara langkah kaki berat tiba-tiba terdengar mendekat. "Tuhan, tolong," lirih Azura seraya mempercepat langkahnya. Begitu berhasil melewati gerbang dan memasuki jalan setapak yang lebih sepi, Azura merasa sedikit lega. Namun, rasa lega itu hanya sementara. Suara langkah kaki yang mendekat ternyata masih ada. Azura sempat menoleh sesaat. Persis seperti apa yang Azura takutkan, dia melihat dengan jelas seorang lelaki berjas hitam sedang mengejarnya. Panik, Azura semakin mempercepat kakinya dalam berlari. Jalan setapak yang dilalui Azura banyak membentuk liku. Pepohonan bambu menjulang tinggi mengapit di sebelah kanan dan kiri. Sebenarnya, ini sangat menguntungkan karena memberikan sedikit Azura perlindungan dari pandangan lelaki yang terus mengekor di belakang. Namun, tanah yang licin dan bebatuan tajam membuatnya sulit untuk berlari dengan cepat. Napasnya mulai tersengal. Azura semakin lemas dan kedua kakinya juga sudah terasa kebas. Meski begitu, Azura tidak mungkin bisa berhenti. Ancaman sudah semakin dekat. Di tengah upayanya menyelamatkan nyawa, semesta lagi-lagi memberikan Azura ujian. Saat berada di jalan yang menanjak, kaki kiri Azura sedikit melakukan kesalahan saat menapak. Pergelangan kakinya terkilir. "Ya Tuhan." Rasa sakit menjalar semakin hebat. Azura berusaha tetap berlari, tapi nyeri di kaki itu terlalu kuat. Dalam keputusasaan, Azura akhirnya memutuskan merangkak ke arah semak-semak. Air mata sudah mengalir deras di wajahnya yang penuh keringat. Kedua tangannya terangkat untuk membungkam mulutnya sendiri. Jangan sampai Azura bersuara. Ketika lelaki berjas hitam itu semakin mendekat, Azura mulai menahan napas. Kepalanya dibenamkan ke dasar tanah, sementara tubuhnya dibiarkan tenggelam dalam semak-semak lebat. Sudah tak bersuara, tak bernapas, Azura juga berusaha agar tidak bergerak. Jantungnya berdegup semakin kencang saat mendengar langkah kaki di detaknya. Batinnya terus melayangkan permohonan pada Tuhan. Terutama saat sudut mata Azura menangkap pergerakan sepasang sepatu hitam. 'Tuhan, aku harus tetap hidup. Setidaknya, aku tidak ingin mati di tangan mereka,' batin Azura. Saat pada akhirnya langkah kaki itu beranjak pergi, Azura merasa sedikit lega. Meski begitu, dia tahu bahwa orang-orang itu pasti tidak akan berhenti mencarinya. Dia harus terus bergerak, mencari tempat yang lebih aman. Dengan sisa tenaga yang ada, Azura mencoba bangkit dan melanjutkan pelariannya. Dia buru-buru mengambil arah yang berbeda. Entah kemana tujuannya, tapi pepohonan di sekelilingnya tampak semakin lebat. Azura hampir kehilangan arah. Namun, di kejauhan, dia melihat setapak dari beton yang sepertinya mengarah menuju ke sebuah bangunan. Berbekal harapan yang mulai tumbuh, Azura bergegas menuju tempat itu. Setelah berjalan beberapa detik, Azura sampai di sebuah tempat luas yang sepertinya masih dalam proses pengerjaan. Ada satu joglo dan beberapa gazebo yang dikelilingi lahan yang akan dijadikan taman. Tanpa pikir panjang, Azura mendekat ke arah seorang lelaki yang tampak sedang memegang beberapa lembar kertas. "Tolong," ucap Azura. Lelaki itu menoleh. Matanya membulat pertanda munculnya rasa terkejut. Mungkin dia juga bingung mendapati seorang wanita tiba-tiba ada di belakangnya. "Maaf, aku... aku butuh bantuan," suara Azura sudah terdengar serak dan lemah. Lelaki di hadapannya memang orang asing yang tidak Azura kenal. Namun, entah mengapa Azura merasa aman. Setidaknya, kini dia bertemu dengan seseorang yang tampaknya tidak mengancam. "Kamu terluka. Apa yang terjadi?" tanya si lelaki. Azura merasa tubuhnya semakin lemah, dan pandangannya mulai kabur. Sebelum dia kehilangan kesadaran, dia hanya bisa mengatakan, "Mereka... mereka akan membunuhku."Azura memeluk dirinya sendiri. Penolakan tegas dari Darren cukup menampar dan bisa membuatnya sadar. Dia sudah terlalu gegabah.Ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan membuat Azura terlalu ingin cepat menemukan Gavin. Dia terkesan terlalu memaksakan diri. Sampai-sampai, dia lupa kalau dirinya mulai menjadi egois dan tidak rasional."Maaf," ucap Azura lirih. "Aku yang seharusnya minta maaf."Ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan ketika menyadari bahwa setiap langkah yang dia ambil mungkin akan menyeret Darren dan Laura ke jurang yang tak seharusnya. Ini salah. Ini terlalu jauh.Azura tidak ingin membuat siapa pun masuk ke dalam luka yang pada awalnya hanya miliknya sendiri.“Aku….” Suara Azura pelan, hampir tak terdengar. “Aku nggak ingin ada yang dirugikan karena aku. Termasuk kalian berdua.”“Azura—”Suara dari ponsel kembali terdengar. Darren belum menutup sambungan. Nada bicaranya masih terdengar berat, tapi juga tidak sekeras sebelumnya.“Aku bisa mengerti posisimu,” kata Da
Cahaya.Begitu silau, tapi tak menghangatkan.Begitu dekat, tapi tak bisa digapai.Gavin mencoba mengangkat kelopak matanya, tapi tubuhnya tak merespons. Raganya seolah masih tertinggal di tempat yang gelap, jauh di kedalaman yang tak bernama.Lamat-lamat, dia lantas mendengar suara. Pelan. Samar. Namun, jelas menusuk ke dalam kesadarannya yang rapuh.“Tingkatkan dosisnya. Dia belum boleh sadar. Belum sekarang.”Ada desis perintah. Ada langkah-langkah yang tergesa.Suara alat medis berdenting halus, monoton, seperti detak waktu yang terus berbunyi tanpa empati.Gavin ingin bertanya. Dia ingin tahu di mana dia, kenapa dia di sini, dan siapa yang sedang berbicara. Namun, semua pertanyaan itu hanya menggema di dalam pikirannya sendiri.Satu-satunya hal yang bisa dia rasakan hanyalah dingin. Dingin yang menjalari tulang, memeluk nyawanya erat-erat. Dalam kegelapan yang kembali menelannya, satu nama lantas melintas.Azura.Nama itu muncul seperti bisikan paling jujur di tengah kekacauan. M
Warna senja sudah menjilat tepian cakrawala saat Laura mengulirkan jari di layar ponselnya. Dia sedang mencari sebuah nama di daftar kontak yang saat ini mungkin bisa membawanya ke jalan keluar. Rowan Stewart, kakak laki-laki Gavin.“Aku nggak tahu dia masih pakai nomor ini atau nggak,” gumam Laura pelan, nyaris seperti minta izin untuk merasa gugup.David mengangguk. “Coba saja. Kita nggak punya banyak pilihan.”Azura tak ikut berkomentar. Namun, tatapan penuh harap darinya sudah cukup untuk memberikan Laura dukungan, atau bisa disebut juga dengan permohonan. Sungguh, wajahnya senada dengan langit mendung yang hanya sedikit disiram dengan rona jingga yang murung."Semoga tersambung," ucap Laura kemudian.Setelah mengembuskan napas panjang, Laura menekan tombol hijau. Tak lupa, dia juga membiarkan telepon berada pada mode loud speaker. Hanya butuh jeda satu detik hingga suara nada sambung berhasil mempercepat laju detak jantung.Sekali.Dua kali.Tiga kali.Lalu terdengar jawaban lela
Azura tak ingat kapan terakhir kali dirinya merasa begitu lelah. Bukan sekadar kelelahan fisik, tapi sesuatu yang lebih dalam. Seperti tersesat di tempat yang seharusnya familiar, mencari seseorang yang seharusnya mudah ditemukan, tapi semakin dikejar, semakin jauh bayangannya.Tentu ada seberkas rasa ingin menyerah. Hari-hari yang selama ini Azura lewati bukanlah masa yang mudah. Untungnya, Azura masih menemukan satu nama yang mungkin bisa membantunya bangun dari kubangan lumpur.Laura datang. Langkahnya mantap dan cepat. Mantel panjangnya berkibar tertiup angin, menampakkan tubuh yang tampak lebih berisi. Di sebelahnya, David berjalan lebih pelan sambil mendorong stroller bayi."Azura." Suara Laura pelan, nyaris tenggelam dalam kebisuan.Sejenak, mereka hanya berdiri berhadapan. Dua orang yang dulu saling terikat dalam simpul yang rumit, kini kembali bertemu dalam keadaan yang sama sekali berbeda."Kamu baik-baik saja?" tanya Laura. Dia sadar kalau itu adalah pertanyaan bodoh yang t
"Azura? Itu kamu, 'kan?"Tidak ada sapaan terburu-buru. Nada suara Laura memang terdengar terkejut. Mungkin dia tidak menyangka kalau Azura tiba-tiba menghubunginya. Namun, kalimat kedua darinya sudah meluncur dengan lebih tenang."Ra? Are you there?""Iya, ini aku," timpal Azura. "Hai, Laura."Azura menutup mata sejenak, meresapi kenyataan bahwa akhirnya mereka berbicara lagi setelah sekian lama tidak ada kontak. Ada perasaan aneh di dadanya. Bukan hanya canggung, tapi juga sedikit rindu.Laura pernah menjadi cahaya di tengah kegelapan yang hampir menelan Azura. Sebagai seorang pengacara, Laura tidak hanya menyelamatkan hidupnya dalam arti hukum, tapi juga dalam makna yang lebih dalam. Wanita itu pernah berhasil membebaskan Azura dari jerat yang hampir membunuh dirinya. Azura mengingat hari itu dengan jelas, bagaimana Laura berdiri di depan, berani melawan badai yang nyaris meruntuhkan.Hubungan mereka pun tidak sesederhana itu. Selain interaksi profesional antara klien dan pengacara
Azura masih diam pada pijak yang sama.Ada sesuatu.Bahu dan tengkuknya menegang. Bukan karena lelah, tapi lebih seperti ada sesuatu yang menariknya. Kepalanya seolah dipaksa untuk tetap menoleh ke lantai dua.Sejak beberapa detik yang lalu, ruangan itu sudah gelap. Cahaya dari luar hanya menyisakan kilasan samar di balik kaca besar. Semua kosong. Tak ada siapa pun.Namun, … tunggu dulu. Masih ada seseorang di atas sana.Azura menajamkan pandangan, tapi gelap di sana terlalu pekat. Sosok lelaki itu terbungkus dalam siluet yang buram. Namun, meski samar, Azura tetap bisa mengenalinya. Cara lelaki itu berdiri, garis bahunya yang kokoh, kemiringan kepalanya, dan satu tangannya yang diselipkan ke dalam saku, semua terasa begitu akrab."Gavin?" Azura berbisik pada dirinya sendiri.Udara yang semula bisa Azura hirup dengan bebas, kini berubah jadi beban yang menghimpit. Sebelum dia bisa mencari kepastian, sebelum otaknya mampu memproses lebih jauh, sosok itu lantas bergerak. Tak sampai tiga