Share

Bab 5

Saat Gallen merasa dirinya di ambang napas terakhir, dia membayangkan senyuman hangat ibunya. Selanjutnya, semua terlihat gelap. Gallen kehilangan kesadarannya.

Menyadari tubuh Gallen tak lagi bergerak, Codet dan anak buahnya serentak menghentikan serangan mereka. Salah satu anak buahnya berjongkok. Mendekatkan jari pada di bawah lubang hidung Gallen.

“Dia masih hidup, Bos!”

Codet mengibaskan tangan. “Tugas kita hanya memberinya pelajaran, bukan menghabisinya.”

“Tapi, Bos—”

“Apa kau lupa? Kali ini kita hanya diminta untuk melakukan tindak kekerasan, bukan pembunuhan!”

“Bagaimana kalau dia melaporkan kita setelah dia sadar?” tanya anak buahnya yang lain.

“Dia bahkan mungkin tidak mengenali dirinya sendiri saat bangun nanti. Apa kau pikir dia akan mengingat kita?”

Sebenarnya Codet sedikit kesal dengan keceriwisan dua anak buahnya itu. Akan tetapi, mengingat keduanya baru saja bergabung beberapa hari yang lalu, Codet berusaha menekan kekesalannya.

“Kalau kalian begitu mencemaskannya, kalian boleh tinggal untuk menemaninya.”

Mendengar saran Codet, wajah dua anak buahnya itu memucat. Mereka paham makna tersembunyi di balik kata-kata bernada datar yang dilontarkan Codet.

“Ti–tidak, Bos!”

Keduanya bergegas mengayun langkah panjang, menyusul Codet dan rekan-rekan mereka yang lain. Meninggalkan Gallen tanpa rasa belas kasihan.

Sementara itu, di kediaman keluarga besar Priambudi, Guntur mendorong Ara ke atas sofa di ruang tamu.

“Apa-apaan ini, Pa?!” tegur Nyonya Priambudi, menghambur untuk menahan kepala Ara yang nyaris membentur sandaran sofa dengan keras.

“Ini semua karena kamu terlalu memanjakannya!”

Suara Guntur menggelegar. Raut mukanya merah padam. Jantungnya ingin meledak saking kuatnya kemarahan yang menguasai hati dan pikirannya.

Dia tidak pernah menyangka anak gadis semata wayangnya akan berani melarikan diri dari rumah, tepat ketika dia sedang bersiap untuk menyambut kedatangan keluarga Gustav—salah satu pengusaha terkaya di kota itu.

“Lihat! Dia bahkan berani mempermalukan aku di hadapan Tuan Gustav.”

Guntur berpaling dan molotot pada Ara. “Apa kau ingin membuatku jatuh bangkrut?”

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Ara begitu kalimat Guntur berakhir.

Ara merasakan pipinya panas dan perih. Cap lima jari tercetak jelas papa kulitnya yang bening. Akan tetapi, hatinya jauh lebih sakit dari itu. Selama ini dia tumbuh dengan sendok perak di mulutnya. Dia tidak pernah menerima perlakuan kasar. Ini untuk pertama kalinya dia merasakan pukulan dari seseorang yang memanjakannya sedari kecil.

Silvana menjerit histeris mendapati kenyataan tak terduga tersebut. Dia bergegas mengecek kondisi Ara. Dielusnya pipi merah Ara.

“Sayang, apa ini sangat sakit?”

Ara tak menyahuti pertanyaan mamanya. Hanya air matanya yang terus meluruh. Di balik genangan kristal bening itu, tatapan penuh benci tertuju pada Guntur. Dengan tetap membungkam mulut, Ara melarikan diri dari ruang tamu.

“Ara!”

Ara tak menghiraukan panggilan Silvana. Dia terus berlari ke lantai atas. Masuk ke kamar dan membanting pintu dengan kekuatan penuh. Suaranya berdentum kencang hingga terdengar ke ruang tamu.

Silvana mendelik kepada Guntur. “Kalau terjadi sesuatu yang buruk pada Ara, aku tidak akan pernah memaafkanmu!”

“Dia tidak akan melakukan hal senekat itu!”

“Apa kau lupa? Saat kecil Ara pernah nekat melompat dari jendela hanya karena kau memaksanya untuk ikut les matematika,” semprot Silvana, dengan raut muka sedingin es. “Apa kau pikir dia tidak akan berani mengulanginya?”

Wajah merah padam Guntur berubah pucat seketika. Bagaimana mungkin dia melupakan kejadian mengerikan itu? Itu adalah saat-saat yang paling mengerikan dalam hidupnya. Dia nyaris kehilangan putri kesayangannya.

Untungnya, Ara hanya melompat dari lantai dua dan mendarat di atas kumpulan tanaman rambat yang sangat rimbun. Jika tidak, Ara pasti mengalami cedera lebih dari sekedar luka lecet.

“A-aku … aku terbawa emosi.” Guntur gugup. Peluh dingin mengucur di keningnya.

“Apa kau akan terus mematung di sana?” Silvana menginjak undakan tangga dengan jengkel, melihat Guntur dengan tatapan tajam.

Guntur tersadar dari linglungnya, lalu berlari mendua katak menyusul istrinya ke kamar Ara.

Silvana mengetuk pintu kamar Ara berulang kali sambil membujuk, “Ara, Sayang … buka pintunya dong. Mama mau bicara.”

Setelah berkali-kali rayuannya tak berhasil menggerakkan hati Ara untuk membuka pintu, Silvana mulai cemas. Ketukannya tak lagi pelan, tetapi berganti gedoran yang menggila.

“Ara! Buka pintunya sekarang!” Guntur ikut berteriak. Suaranya sedikit bergetar. Pikiran buruk membuat keringatnya kian mengalir deras.

“Papa jahat! Aku benci Papa!”

“Papa tahu papa salah,” bujuk Guntur. “Buka pintunya! Kita bisa bicara baik-baik.”

Hening. Diamnya Ara menimbulkan kecemasan yang lebih besar dalam diri Guntur dan istrinya. Keduanya saling lempar pandang. Detak jantung mereka bergemuruh.

***

Comments (3)
goodnovel comment avatar
PiMary
Knp Ara gak jelaskan sih....
goodnovel comment avatar
Ya Fansi
lanjutanx semakin
goodnovel comment avatar
ALJOEF1215
Mulai bagus ceritanya tapi bgt tahu ada nama jawa prim budi dll jadi ga seru. Krn org kaya di indo kebanyakan koruptor ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status