Silvana menempelkan kuping ke daun pintu, mencoba menangkap suara dan gerakan dari dalam kamar Ara.
“Dobrak pintunya, Pa!” Silvana tak mampu lagi menahan kekhawatirannya.
Seperti telah dihipnotis, Guntur mengambil ancang-ancang. “Mundur!”
Silvana menjauh dari pintu. Mulutnya komat-kamit, melafal doa semoga putrinya tidak melakukan hal-hal gila yang dapat membahayakan nyawa.
Entah berapa kali Guntur menendang pintu sekuat tenaga. Kakinya terasa sakit. Akan tetapi, memikirkan keselamatan putrinya di dalam sana, Guntur mengabaikan semua rasa sakit yang dideritanya.
Begitu pintu terbuka, Guntur merangsek masuk dan berlari ke jendela. Ara berdiri mematung di sana. Pandangannya jauh menjangkau cakrawala.
Guntur membetot tangan Ara. “Jangan gila, Ara! Nyawamu lebih berharga daripada bajingan tak tahu malu itu!”
Ara memandang papanya dengan sorot mata jengkel. “Siapa yang Papa sebut bajingan?”
“Siapa lagi kalau bukan lelaki yang melarikanmu di hari penting ini?”
Sudut bibir Ara mencebik sinis. “Kalau bukan karena lelaki yang Papa anggap bajingan itu, aku sudah mati di jalanan.”
Tubuh Silvana gemetar mendengar kata mati yang diucapkan Ara. Refleks dia mendekap Ara. “Apa yang kau katakan, Sayang? Kau membuatku takut.”
“Omong kosong apa yang kau bicarakan?” Guntur tidak senang dengan sanggahan Ara.
“Itu bukan omong kosong. Aku mengatakan yang sebenarnya.” Ara mendengkus. “Andai dia tidak menyelamatkan aku tepat waktu, tubuhku pasti sudah jadi mayat sekarang.”
“K-kau … berhenti bercanda, Ara!” Emosi Guntur campur aduk antara cemas dan marah.
“Apa menurut Papa keselamatanku pantas untuk dijadikan lelucon?”
Guntur membisu. Jadi, dia sudah salah paham? Jika apa yang dikatakan Ara itu benar, berarti dia berutang nyawa putrinya pada lelaki itu.
“Sayang, coba ceritakan apa yang terjadi!” Silvana menarik lembut lengan Ara untuk duduk di kursi. Ara menceritakan sedetail-detailnya tentang nasib malang yang menimpanya.
“Ya Tuhan! Aku telah melakukan kesalahan!” Guntur menepuk keningnya berulang kali.
Cepat-cepat dia mengeluarkan ponsel dari saku celana. Menghubungi orang kepercayaannya dengan jari-jari bergetar.
“Di mana lelaki itu?” tanyanya begitu panggilan telepon tersambung.
“Aku sudah menyewa seseorang untuk membereskannya, Tuan!”
“Apa?!” Guntur menggigil. Ketakutan melumpuhkan kekuatannya. “Hentikan sekarang!”
“Tapi, Tuan—”
“Kalau dia mati, kau juga akan mati!”
“Ba–baik, Tuan!”
Guntur terduduk di lantai setelah menutup panggilan telepon. Butiran keringat sebesar jagung bercucuran di wajahnya.
Beberapa detik kemudian, gawainya kembali berbunyi. Wajahnya pias begitu mendengar informasi dari seberang telepon.
“Orang suruhan Papa sudah menghabisi lelaki itu?” Ara menatap Guntur dengan pandangan benci.
Guntur menggeleng. “Tidak. Dia hanya pingsan.”
Tatapan Guntur menerawang jauh. Perasaan menyesal dan takut berperang dalam dirinya. Dia menyesali kecerobohannya lantaran terlalu menuruti prasangka. Di sisi lain, ia juga cemas. Bagaimana kalau orang suruhannya membocorkan identitasnya? Bukan hanya reputasinya yang akan hancur, tetapi keselamatannya juga terancam. Hukuman berat menanti jika penegak hukum mengetahui bahwa dialah dalang di balik penganiayaan Gallen.
Silvana tidak merasakan keresahan hati Guntur. Ia mendesah lega. “Syukurlah dia masih hidup. Ayo temui dia! Kita harus minta maaf dan berterima kasih.”
Di tempatnya berbaring, Gallen masih belum sadarkan diri. Gerimis mulai meluruh. Mengencerkan darahnya yang mulai mengering.
Seorang bocah delapan tahun berlari sambil menenteng lipatan karung plastik yang sudah kosong. Di belakangnya, seorang lelaki berusia enam puluh tahunan mengikutinya sambil menarik gerobak.
“Aaakh!”
Teriakan bocah itu membuat si lelaki tua mendongak dan menjatuhkan pegangan gerobak di tangannya secara spontan.
“Ada apa, Bimo?” Zahari menyeret langkah, mendatangi Bimo. Sebelah kakinya pincang.
“I–itu, Kek!” Bimo menunjuk sosok Gallen yang tergeletak di atas lantai.
Mata Zahari membulat begitu melihat objek yang ditunjuk Bimo. Langkah pincangnya makin bergegas menghampiri sosok tak bergerak itu.
“Syukurlah dia hanya pingsan.”
Zahari mendesah lega setelah merasakan embusan pelan napas Gallen menyentuh permukaan kulit jari telunjuknya.
“Ayo bantu kakek membawa lelaki ini ke rumah sakit!”
“Tapi, Kek … kita tidak punya uang.” Bimo ragu dengan keputusan Zahari.
“Sekarang menyelamatkan nyawa orang ini lebih penting,” tegas Zahari. Pandangan matanya mengarah pada gerobak. “Cepat bawa gerobak itu ke sini!”
Sekali lagi Bimo melirik Gallen. Kondisi tubuhnya benar-benar memprihatinkan. Berpikir bahwa Gallen pasti sangat menderita lantaran menahan rasa sakit yang luar biasa, Bimo tidak punya pilihan selain mematuhi perintah kakeknya.
Dibantingnya lipatan karung di tangannya ke sembarang arah. Lalu, berlari menjemput gerobak yang biasa dipakai kakeknya untuk membawa barang bekas.
Kakek dan cucu itu saling bekerja sama untuk memindahkan tubuh Gallen ke dalam gerobak. Rintik hujan menjadi saksi perbuatan baik mereka untuk menyelamatkan nyawa Gallen.
“Kek, bagaimana kalau lelaki ini bukan orang baik?”
Pertanyaan Bimo membuat langkah Zahari terhenti.
***
“Menyelamatkan nyawa seseorang tidak perlu mempertimbangkan dia orang baik atau jahat. Itu tanggung jawab dia dengan Tuhan. Kita hanya perlu melakukan kewajiban kita sebagai sesama manusia.” Zahari mengelus kepala Bimo. “Percayalah! Tidak ada kebaikan yang sia-sia.” Meskipun Bimo tak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan kakeknya, dia tidak berani membantah. Terlebih ketika gerimis berganti titik hujan. Lebih baik secepatnya membawa lelaki asing itu ke rumah sakit. Keluar dari gang, Zahari mengembuskan napas kencang. Jalanan bermandikan genangan air. Tidak mungkin dia mengantar Gallen ke rumah sakit hanya dengan menggunakan gerobak tua miliknya. Kondisi lelaki itu pasti akan memburuk mengingat jarak yang lumayan jauh. Zahari mengedarkan pandangan berkeliling. Sebuah taksi melintas. Pemandangan itu secara refleks menggerakkan tangan keriput Zahari ke saku. Selembar uang dengan nominal dua puluh ribu lusuh kini berada di genggamannya. Helaan na
Zahari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak mengenal Gallen. Bagaimana mungkin dia bisa menghubungi keluarganya? Akan tetapi, dia tidak berani untuk memberitahu perawat galak itu tentang kenyataan yang sebenarnya. Melihat Zahari diam saja, perawat itu berlalu dengan raut muka terlihat kesal. Hal yang dibencinya saat bertugas di ruang IGD adalah melayani pasien dari kalangan ekonomi kelas bawah. Kehadiran mereka hanya menyebabkan rumah sakit menderita kerugian. Sudah tak terhitung berapa banyak pasien yang kabur setelah mendapatkan tindakan dokter dan perawatan tanpa membayar. Benar-benar menjengkelkan! Berkaca dari pengalaman buruk tersebut, perawat itu memilih untuk tidak melaksanakan tugasnya dan pergi begitu saja. “Om harus menolong dia dulu sebelum pergi.” Bimo menarik tepi baju perawat itu. Dia memasang wajah memohon dengan bibir yang bergetar lantaran kedinginan. “Singkirkan tangan kotormu itu dari tubuhku!” Perawat it
Satu jam kemudian, di sebuah rumah tua, ponsel Falisha berdering nyaring. Falisha meraih benda pipih itu dengan gerakan malas. Dia baru saja pulang dari kampus. Tubuhnya sangat lelah. Seharusnya dia bisa pulang lebih awal kalau saja dosen yang mengajar mata kuliah terakhir tidak memundurkan jadwalnya. Suara Falisha terdengar lesu saat dia mengucap salam. Namun, beberapa detik kemudian dia terlonjak bangkit. “Apa? Rumah sakit? Ya. Aku segera ke sana.” Falisha melupakan rasa lelahnya dalam sekejap. Buru-buru dia mengganti pakaian basahnya, lalu berlari keluar. “Mau ke mana, Faly? Bukankah sekarang saatnya makan malam?” Teguran Ghifari mengerem langkah Falisha. Tangannya batal membuka pintu. “Maaf, Ayah. A–aku harus ke rumah sakit sekarang.” Falisha menjatuhkan pandangan ke lantai, tak berani menantang bola mata ayahnya. Dia takut lelaki itu akan membaca kecemasannya. “Rumah sakit? Apa kau merasa tidak sehat?” Ghif
“Semakin cepat Bapak menandatangani surat itu, semakin baik bagi kondisi kesehatan anak Bapak.” Teguran Hellen mengembalikan kesadaran Ghifari. Dia tidak punya pilihan selain menyetujui tindakan operasi untuk Gallen. Dia ingin Gallen tetap hidup, walaupun dia harus menjual organ tubuhnya untuk melunasi biaya pengobatan Gallen. Tanpa menunda lagi, Ghifari membubuhkan tanda tangannya pada lembaran kertas yang disodorkan perawat. Satu jam sudah waktu berlalu setelah Gallen selesai menjalani operasi. Kelopak matanya masih tertutup rapat. Falisha duduk di samping ranjang Gallen dengan perasaan gelisah. Berapa lama dia harus menunggu kakaknya itu sadar? Ghifari mengelus kepala Falisha. “Sebaiknya kau pulang dan istirahat. Percayalah, kakakmu akan baik-baik saja.” “Tapi, Ayah … dia sudah sangat lama tertidur. Bagaimana kalau—” “Hentikan omong kosong itu! Dia lelaki yang kuat. Pulanglah! Dia pasti lapar saat terbangun nanti.” G
Sebelum Gallen mampu mencerna rangkaian kalimat yang terlontar dari bibir kakek gurunya itu, sebuah tendangan berkekuatan penuh mendarat di perutnya. Gallen terlontar ke udara dan terbang jauh dengan jeritan melengking tinggi. Dia tak menyangka kakek gurunya akan tega melakukan hal sekejam itu kepadanya. Tendangan pada perutnya mengalirkan hawa yang menyebabkan seluruh uratnya menggeliat. Organ dalam tubuhnya seakan berlari ke sana kemari, tak tentu arah. Entah berapa jauh lagi dia melayang, melintasi bumantara. Sementara di atas ranjang rumah sakit, tubuh Gallen terguncang. Perutnya terangkat dari permukaan tempat tidur. “Kakak!” Falisha yang jatuh tertidur berteriak syok mendapati gerakan Gallen yang tiba-tiba. Wajah piasnya semakin pucat laksana selembar kertas basah. “Dokter! Tolong!” Falisha memekik panik. Saking cemasnya, dia berlari keluar untuk mencari pertolongan. Dia lupa bahwa dia hanya perlu menekan bel di sisi kepa
“Ah, eh … ya. Aku baik-baik saja.” Gallen gelagapan setelah mengumpulkan kembali segenap kesadarannya. Senyuman canggung menghias wajah pucatnya. Hellen memaksakan sudut bibirnya menjungkit naik, membentuk senyuman ramah, khas seorang dokter. “Apa yang Anda rasakan?” Gallen menggerakkan jari-jari tangan dan kakinya. Semua terasa normal. “Hanya sedikit pegal.” Hellen pindah ke sisi Gallen. “Itu wajar. Anda tidak sadarkan diri selama tiga minggu,” beritahunya sambil menempelkan stetoskop pada dada Gallen. ‘Selama itu?’ Melihat Hellen sedang berkonsentrasi mendengar detak jantungnya, Gallen menyimpan pertanyaan itu untuk diri sendiri. Ia tak menyangka serangan para preman bayaran itu bisa melumpuhkan dirinya untuk waktu yang cukup lama. “Jika tidak ada keluhan, Anda bisa pulang sore ini.” “Apa itu artinya kakak saya sungguh baik-baik saja, Dok?” Wajah Falisha berbinar cerah. Dia tidak mampu menyemb
Tiga orang anak buah Codet bergerak cepat melaksanakan perintah sang bos. “Ja–jangan, Bos .…” Ghifari merengek tak berdaya ketika kaki tangan Codet keluar dari kamar tidurnya. Salah satu dari mereka mengancakkan dokumen penting kepemilikan rumah dengan seringai penuh kemenangan sekaligus mengejek. Codet merampas dokumen di tangan anak buahnya dan membolak-balik berkas itu sekilas. “Bagus! Bos Besar pasti senang menerima ini,” kekehnya, merasa bangga atas kinerja gerak cepat anak buahnya. Perhatiannya berbalik kepada Ghifari. “Dasar bodoh! Kalau kau menyerahkan dokumen ini dari awal, aku tidak perlu menyiksamu.” Codet mengangkat kakinya dari dada Ghifari setelah memberikan tekanan memutar, membuat Ghifari semakin meringis. Begitu badannya bebas dari injakan penagih utang itu, Ghifari bergegas memburu Codet. Kedua tangannya melingkar pada betis Codet. Menahan langkah lelaki itu agar tidak pergi dari rumahnya. “Tolong, jan
Codet menendang Ghifari. “Bangun! Kau membuat warna sepatuku menjadi pudar.” Tak ingin membuang kesempatan, Ghifari buru-buru bangkit. Dia membungkuk di hadapan Codet. “Aku akan selalu mengingat kebaikan Anda, Bos!” “Sudah seharusnya begitu, bukan?” Codet kembali mengalihkan perhatiannya pada Falisha. “Sesuai janjimu, kau akan melakukan apa pun untukku, bukan?” Falisha melirik ayahnya. Darah masih mengalir di sudut bibir Ghifari. Hati Falisha terenyuh menyaksikan penderitaan ayahnya. Lalu, dia mengangguk. “Bagus! Kalau begitu, mulai malam ini kau harus menemaniku,” kata Codet. Matanya berkilat. “Kau hanya boleh pulang setelah ayahmu melunasi semua utangnya.” Mendengar permintaan konyol Codet, mulut Falisha ternganga. Walaupun dia sudah bisa memprediksi kemungkinan adanya keinginan kotor yang melintas di benak Codet, tetap saja dia kaget sekaligus marah. “Dalam mimpimu!” Senyum di wajah Codet menghilang. Falisha