Share

Bab 6

Penulis: Lathifah Nur
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-03 09:41:43

Silvana menempelkan kuping ke daun pintu, mencoba menangkap suara dan gerakan dari dalam kamar Ara.

“Dobrak pintunya, Pa!” Silvana tak mampu lagi menahan kekhawatirannya.

Seperti telah dihipnotis, Guntur mengambil ancang-ancang. “Mundur!”

Silvana menjauh dari pintu. Mulutnya komat-kamit, melafal doa semoga putrinya tidak melakukan hal-hal gila yang dapat membahayakan nyawa.

Entah berapa kali Guntur menendang pintu sekuat tenaga. Kakinya terasa sakit. Akan tetapi, memikirkan keselamatan putrinya di dalam sana, Guntur mengabaikan semua rasa sakit yang dideritanya.

Begitu pintu terbuka, Guntur merangsek masuk dan berlari ke jendela. Ara berdiri mematung di sana. Pandangannya jauh menjangkau cakrawala.

Guntur membetot tangan Ara. “Jangan gila, Ara! Nyawamu lebih berharga daripada bajingan tak tahu malu itu!”

Ara memandang papanya dengan sorot mata jengkel. “Siapa yang Papa sebut bajingan?”

“Siapa lagi kalau bukan lelaki yang melarikanmu di hari penting ini?”

Sudut bibir Ara mencebik sinis. “Kalau bukan karena lelaki yang Papa anggap bajingan itu, aku sudah mati di jalanan.”

Tubuh Silvana gemetar mendengar kata mati yang diucapkan Ara. Refleks dia mendekap Ara. “Apa yang kau katakan, Sayang? Kau membuatku takut.”

“Omong kosong apa yang kau bicarakan?” Guntur tidak senang dengan sanggahan Ara.

“Itu bukan omong kosong. Aku mengatakan yang sebenarnya.” Ara mendengkus. “Andai dia tidak menyelamatkan aku tepat waktu, tubuhku pasti sudah jadi mayat sekarang.”

“K-kau … berhenti bercanda, Ara!” Emosi Guntur campur aduk antara cemas dan marah.

“Apa menurut Papa keselamatanku pantas untuk dijadikan lelucon?”

Guntur membisu. Jadi, dia sudah salah paham? Jika apa yang dikatakan Ara itu benar, berarti dia berutang nyawa putrinya pada lelaki itu.

“Sayang, coba ceritakan apa yang terjadi!” Silvana menarik lembut lengan Ara untuk duduk di kursi. Ara menceritakan sedetail-detailnya tentang nasib malang yang menimpanya.

“Ya Tuhan! Aku telah melakukan kesalahan!” Guntur menepuk keningnya berulang kali.

Cepat-cepat dia mengeluarkan ponsel dari saku celana. Menghubungi orang kepercayaannya dengan jari-jari bergetar.

“Di mana lelaki itu?” tanyanya begitu panggilan telepon tersambung.

“Aku sudah menyewa seseorang untuk membereskannya, Tuan!”

“Apa?!” Guntur menggigil. Ketakutan melumpuhkan kekuatannya. “Hentikan sekarang!”

“Tapi, Tuan—”

“Kalau dia mati, kau juga akan mati!”

“Ba–baik, Tuan!”

Guntur terduduk di lantai setelah menutup panggilan telepon. Butiran keringat sebesar jagung bercucuran di wajahnya.

Beberapa detik kemudian, gawainya kembali berbunyi. Wajahnya pias begitu mendengar informasi dari seberang telepon.

“Orang suruhan Papa sudah menghabisi lelaki itu?” Ara menatap Guntur dengan pandangan benci.

Guntur menggeleng. “Tidak. Dia hanya pingsan.”

Tatapan Guntur menerawang jauh. Perasaan menyesal dan takut berperang dalam dirinya. Dia menyesali kecerobohannya lantaran terlalu menuruti prasangka. Di sisi lain, ia juga cemas. Bagaimana kalau orang suruhannya membocorkan identitasnya? Bukan hanya reputasinya yang akan hancur, tetapi keselamatannya juga terancam. Hukuman berat menanti jika penegak hukum mengetahui bahwa dialah dalang di balik penganiayaan Gallen.

Silvana tidak merasakan keresahan hati Guntur. Ia mendesah lega. “Syukurlah dia masih hidup. Ayo temui  dia! Kita harus minta maaf dan berterima kasih.”

Di tempatnya berbaring, Gallen masih belum sadarkan diri. Gerimis mulai meluruh. Mengencerkan darahnya yang mulai mengering.

Seorang bocah delapan tahun berlari sambil menenteng lipatan karung plastik yang sudah kosong. Di belakangnya, seorang lelaki berusia enam puluh tahunan mengikutinya sambil menarik gerobak.

“Aaakh!”

Teriakan bocah itu membuat si lelaki tua mendongak dan menjatuhkan pegangan gerobak di tangannya secara spontan.

“Ada apa, Bimo?” Zahari menyeret langkah, mendatangi Bimo. Sebelah kakinya pincang.

“I–itu, Kek!” Bimo menunjuk sosok Gallen yang tergeletak di atas lantai.

Mata Zahari membulat begitu melihat objek yang ditunjuk Bimo. Langkah pincangnya makin bergegas menghampiri sosok tak bergerak itu.

“Syukurlah dia hanya pingsan.”

Zahari mendesah lega setelah merasakan embusan pelan napas Gallen menyentuh permukaan kulit jari telunjuknya.

“Ayo bantu kakek membawa lelaki ini ke rumah sakit!”

“Tapi, Kek … kita tidak punya uang.” Bimo ragu dengan keputusan Zahari.

“Sekarang menyelamatkan nyawa orang ini lebih penting,” tegas Zahari. Pandangan matanya mengarah pada gerobak. “Cepat bawa gerobak itu ke sini!”

Sekali lagi Bimo melirik Gallen. Kondisi tubuhnya benar-benar memprihatinkan. Berpikir bahwa Gallen pasti sangat menderita lantaran menahan rasa sakit yang luar biasa, Bimo tidak punya pilihan selain mematuhi perintah kakeknya.

Dibantingnya lipatan karung di tangannya ke sembarang arah. Lalu, berlari menjemput gerobak yang biasa dipakai kakeknya untuk membawa barang bekas.

Kakek dan cucu itu saling bekerja sama untuk memindahkan tubuh Gallen ke dalam gerobak. Rintik hujan menjadi saksi perbuatan baik mereka untuk menyelamatkan nyawa Gallen.

“Kek, bagaimana kalau lelaki ini bukan orang baik?”

Pertanyaan Bimo membuat langkah Zahari terhenti.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ya Fansi
salah paham
goodnovel comment avatar
Roman Saputra
cerita yg menarik
goodnovel comment avatar
Jek Jeklin
sayang klanjutan Membutuhkan koin ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Lelaki yang Terbuang   Bab 448

    "Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar

  • Lelaki yang Terbuang   Bab 447

    Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa

  • Lelaki yang Terbuang   Bab 446

    "Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub

  • Lelaki yang Terbuang   Bab 445

    "Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu

  • Lelaki yang Terbuang   Bab 444

    "Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi

  • Lelaki yang Terbuang   Bab 443

    Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status