Share

Bab 6

Silvana menempelkan kuping ke daun pintu, mencoba menangkap suara dan gerakan dari dalam kamar Ara.

“Dobrak pintunya, Pa!” Silvana tak mampu lagi menahan kekhawatirannya.

Seperti telah dihipnotis, Guntur mengambil ancang-ancang. “Mundur!”

Silvana menjauh dari pintu. Mulutnya komat-kamit, melafal doa semoga putrinya tidak melakukan hal-hal gila yang dapat membahayakan nyawa.

Entah berapa kali Guntur menendang pintu sekuat tenaga. Kakinya terasa sakit. Akan tetapi, memikirkan keselamatan putrinya di dalam sana, Guntur mengabaikan semua rasa sakit yang dideritanya.

Begitu pintu terbuka, Guntur merangsek masuk dan berlari ke jendela. Ara berdiri mematung di sana. Pandangannya jauh menjangkau cakrawala.

Guntur membetot tangan Ara. “Jangan gila, Ara! Nyawamu lebih berharga daripada bajingan tak tahu malu itu!”

Ara memandang papanya dengan sorot mata jengkel. “Siapa yang Papa sebut bajingan?”

“Siapa lagi kalau bukan lelaki yang melarikanmu di hari penting ini?”

Sudut bibir Ara mencebik sinis. “Kalau bukan karena lelaki yang Papa anggap bajingan itu, aku sudah mati di jalanan.”

Tubuh Silvana gemetar mendengar kata mati yang diucapkan Ara. Refleks dia mendekap Ara. “Apa yang kau katakan, Sayang? Kau membuatku takut.”

“Omong kosong apa yang kau bicarakan?” Guntur tidak senang dengan sanggahan Ara.

“Itu bukan omong kosong. Aku mengatakan yang sebenarnya.” Ara mendengkus. “Andai dia tidak menyelamatkan aku tepat waktu, tubuhku pasti sudah jadi mayat sekarang.”

“K-kau … berhenti bercanda, Ara!” Emosi Guntur campur aduk antara cemas dan marah.

“Apa menurut Papa keselamatanku pantas untuk dijadikan lelucon?”

Guntur membisu. Jadi, dia sudah salah paham? Jika apa yang dikatakan Ara itu benar, berarti dia berutang nyawa putrinya pada lelaki itu.

“Sayang, coba ceritakan apa yang terjadi!” Silvana menarik lembut lengan Ara untuk duduk di kursi. Ara menceritakan sedetail-detailnya tentang nasib malang yang menimpanya.

“Ya Tuhan! Aku telah melakukan kesalahan!” Guntur menepuk keningnya berulang kali.

Cepat-cepat dia mengeluarkan ponsel dari saku celana. Menghubungi orang kepercayaannya dengan jari-jari bergetar.

“Di mana lelaki itu?” tanyanya begitu panggilan telepon tersambung.

“Aku sudah menyewa seseorang untuk membereskannya, Tuan!”

“Apa?!” Guntur menggigil. Ketakutan melumpuhkan kekuatannya. “Hentikan sekarang!”

“Tapi, Tuan—”

“Kalau dia mati, kau juga akan mati!”

“Ba–baik, Tuan!”

Guntur terduduk di lantai setelah menutup panggilan telepon. Butiran keringat sebesar jagung bercucuran di wajahnya.

Beberapa detik kemudian, gawainya kembali berbunyi. Wajahnya pias begitu mendengar informasi dari seberang telepon.

“Orang suruhan Papa sudah menghabisi lelaki itu?” Ara menatap Guntur dengan pandangan benci.

Guntur menggeleng. “Tidak. Dia hanya pingsan.”

Tatapan Guntur menerawang jauh. Perasaan menyesal dan takut berperang dalam dirinya. Dia menyesali kecerobohannya lantaran terlalu menuruti prasangka. Di sisi lain, ia juga cemas. Bagaimana kalau orang suruhannya membocorkan identitasnya? Bukan hanya reputasinya yang akan hancur, tetapi keselamatannya juga terancam. Hukuman berat menanti jika penegak hukum mengetahui bahwa dialah dalang di balik penganiayaan Gallen.

Silvana tidak merasakan keresahan hati Guntur. Ia mendesah lega. “Syukurlah dia masih hidup. Ayo temui  dia! Kita harus minta maaf dan berterima kasih.”

Di tempatnya berbaring, Gallen masih belum sadarkan diri. Gerimis mulai meluruh. Mengencerkan darahnya yang mulai mengering.

Seorang bocah delapan tahun berlari sambil menenteng lipatan karung plastik yang sudah kosong. Di belakangnya, seorang lelaki berusia enam puluh tahunan mengikutinya sambil menarik gerobak.

“Aaakh!”

Teriakan bocah itu membuat si lelaki tua mendongak dan menjatuhkan pegangan gerobak di tangannya secara spontan.

“Ada apa, Bimo?” Zahari menyeret langkah, mendatangi Bimo. Sebelah kakinya pincang.

“I–itu, Kek!” Bimo menunjuk sosok Gallen yang tergeletak di atas lantai.

Mata Zahari membulat begitu melihat objek yang ditunjuk Bimo. Langkah pincangnya makin bergegas menghampiri sosok tak bergerak itu.

“Syukurlah dia hanya pingsan.”

Zahari mendesah lega setelah merasakan embusan pelan napas Gallen menyentuh permukaan kulit jari telunjuknya.

“Ayo bantu kakek membawa lelaki ini ke rumah sakit!”

“Tapi, Kek … kita tidak punya uang.” Bimo ragu dengan keputusan Zahari.

“Sekarang menyelamatkan nyawa orang ini lebih penting,” tegas Zahari. Pandangan matanya mengarah pada gerobak. “Cepat bawa gerobak itu ke sini!”

Sekali lagi Bimo melirik Gallen. Kondisi tubuhnya benar-benar memprihatinkan. Berpikir bahwa Gallen pasti sangat menderita lantaran menahan rasa sakit yang luar biasa, Bimo tidak punya pilihan selain mematuhi perintah kakeknya.

Dibantingnya lipatan karung di tangannya ke sembarang arah. Lalu, berlari menjemput gerobak yang biasa dipakai kakeknya untuk membawa barang bekas.

Kakek dan cucu itu saling bekerja sama untuk memindahkan tubuh Gallen ke dalam gerobak. Rintik hujan menjadi saksi perbuatan baik mereka untuk menyelamatkan nyawa Gallen.

“Kek, bagaimana kalau lelaki ini bukan orang baik?”

Pertanyaan Bimo membuat langkah Zahari terhenti.

***

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ya Fansi
salah paham
goodnovel comment avatar
Roman Saputra
cerita yg menarik
goodnovel comment avatar
Jek Jeklin
sayang klanjutan Membutuhkan koin ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status