Share

Bab 7

“Menyelamatkan nyawa seseorang tidak perlu mempertimbangkan dia orang baik atau jahat. Itu tanggung jawab dia dengan Tuhan. Kita hanya perlu melakukan kewajiban kita sebagai sesama manusia.”

Zahari mengelus kepala Bimo. “Percayalah! Tidak ada kebaikan yang sia-sia.”

Meskipun Bimo tak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan kakeknya, dia tidak berani membantah. Terlebih ketika gerimis berganti titik hujan. Lebih baik secepatnya membawa lelaki asing itu ke rumah sakit.

Keluar dari gang, Zahari mengembuskan napas kencang. Jalanan bermandikan genangan air. Tidak mungkin dia mengantar Gallen ke rumah sakit hanya dengan menggunakan gerobak tua miliknya. Kondisi lelaki itu pasti akan memburuk mengingat jarak yang lumayan jauh.

Zahari mengedarkan pandangan berkeliling. Sebuah taksi melintas. Pemandangan itu secara refleks menggerakkan tangan keriput Zahari ke saku. Selembar uang dengan nominal dua puluh ribu lusuh kini berada di genggamannya.

Helaan napas berat mengudara dari bibir Zahari. Bagaimana dia membayar taksi dengan nilai uang sekecil itu? Zahari menghadapkan wajah ke langit. Membiarkan peluru cair yang kian deras menghantam permukaan kulit kisutnya.

“Tuhan, Engkau pasti melihat penderitaan lelaki itu, bukan?”

Zahari ingin memanjatkan doa, tetapi dia terlalu malu untuk meminta. Mengingat dosa-dosanya ketika dia masih muda. Usianya kini telah senja. Namun, ibadahnya belum sempurna.

Walau demikian, jauh di lubuk hati dia sangat berharap Tuhan berkenan mengirimkan malaikat penolong untuk menyelesaikan konflik batinnya. Bukankah Tuhan mengetahui segala hal yang tersembunyi dalam dada, walaupun tak pernah terucap  lewat kata?

Kala Zahari memejamkan mata, sebuah mobil pick up berhenti tepat di depannya. Seorang lelaki berusia empat puluhan menurunkan kaca jendela.

“Pak Zahari? Mau ke mana hujan-hujan begini?”

Lelaki itu menyapa dengan setengah berteriak, berusaha mengalahkan deru derasnya hujan.

“Eh, Nak Rohman!” seru Zahari tak kalah kaget. Matanya memancarkan binar harapan. Tuhan mengabulkan keinginannya.

“A–anu, Nak ….”

Zahari ragu. Teringat pakaiannya yang lusuh dan kotor setelah memulung, keberaniannya untuk meminta bantuan pun menyusut.

“Pak Zahari mau pulang? Ayo naik! Hujannya tambah deras.”

“A–aku memang butuh tumpangan, tapi—”

“Alaah … tidak usah ragu, Pak. Seperti orang lain saja.”

“Bukan begitu, Nak. A–aku mau ke rumah sakit.”

Bola mata Rohman segera memindai tubuh Zahari dan Bimo. Keduanya tampak pucat dengan bibir yang membiru. Sudah cukup lama mereka bermandikan hujan.

“Buruan naik, Pak!”

“Serius, Nak?” Zahari masih ingin memastikan.

“Iya.”

Zahari bergegas menarik gerobak, dibantu oleh tangan kecil Bimo yang menggigil.

Melihat kondisi Zahari dan Bimo yang kedinginan dan kesusahan menarik gerobak, Rohman merelakan tubuhnya ikut bermandi hujan.

“Astagfirullah!” Rohman terpekik kaget ketika melihat isi gerobak Zahari.

“Kami menemukan dia pingsan.”

Zahari enggan menceritakan lebih banyak bagaimana dia menemukan Gallen di sebuah bangunan kosong yang biasa menjadi tempat mangkalnya saat lelah menjalani rutinitas memulung.

Rohman tak menanggapi. Sama seperti Zahari, dia juga memendam rasa cemas akan kondisi Gallen.

Lima belas menit kemudian, Rohman memarkir mobilnya di pelataran parkir sebuah rumah sakit. Hujan masih menyisakan rintik. Dua petugas rumah sakit menyongsong Gallen dengan brankar begitu mendengar permintaan tolong dari Rohman dan Zahari.

“Silakan urus administrasinya dulu, Pak!”

Perawat pria memberi instruksi kepada Zahari yang ikut masuk ke ruang IGD bersama cucunya.

“A–anu … kami bukan keluarganya,” kata Zahari takut-takut.

Kata mengurus administrasi membuat Zahari berkeringat di tengah cuaca dingin akibat hujan. Uang di kantongnya tidak akan cukup untuk membayar biaya tindakan dokter ataupun menebus resep obat.

Perawat itu memandang Zahari dengan tatapan tidak puas dengan jawabannya. “Bukankah Bapak yang membawa pasien kemari?”

“I–itu benar, ta–tapi … kami menemukan dia pingsan.”

Zahari merahasiakan tempat di mana dia menemukan Gallen. Jika dia berterus terang, tidak menutup kemungkinan perawat itu akan menolak melakukan tindakan apa pun untuk menyelamatkan Gallen.

“Bapak pikir rumah sakit ini panti sosial? Kalau Bapak tidak punya uang, kenapa tidak menghubungi keluarganya daripada buang-buang waktu dengan berdiri di sini?”

***

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Nor Johari
ok makin mantap
goodnovel comment avatar
Ya Fansi
makin seru
goodnovel comment avatar
G pathi
ok mantap dbnzbm.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status