Udara pagi masih terasa sejuk, saat sinar matahari mulai menyelinap masuk melalui tirai kamar. Harsa bangun lebih awal, bergegas ke kamar mandi untuk bersiap. Ada sebuah perasaan ringan di dadanya, sesuatu yang jarang ia rasakan sejak menikah—harapan kecil untuk memiliki hari yang indah bersama Rajendra. Saat dia keluar dari kamar, Rajendra sudah menunggunya di ruang tamu. Pria itu mengenakan kemeja kasual dengan lengan tergulung. Senyumnya lembut, penuh ketenangan, seolah ingin mengatakan bahwa hari ini hanya akan menjadi milik mereka berdua.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suara langkah berderap terdengar dari arah tangga, disusul dengan kehadiran seseorang yang sejak awal selalu menjadi bayangan kelam dalam hidup Harsa—Ny. Ratri. Wanita paruh baya itu mengenakan gaun tidur sutra dengan rambut tertata rapi, meskipun pagi baru dimulai, ekspresi di wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Matanya menyapu Harsa dari kepala hingga kaki sebelum akhirnya beralih ke Rajendra. "Ke mana kalian akan pergi pagi-pagi begini?" Suaranya terdengar dingin. Hanya dengan mendengar suaranya saja, seketika mampu membuat mood menjadi jelek. Jika saja di dunia ini ada nominasi untuk orang perusak kebahagiaan, semua yang melihat sikapnya akan sangat yakin, Ny. Ratri sangat pantas mendapatkan juaranya. Rajendra menoleh santai ke arah ibunya. "Aku hanya ingin mengajak istriku keluar. Sudah lama kami tidak menghabiskan waktu berdua." Ny. Ratri terkekeh pelan, tetapi bukan dengan kehangatan seorang Ibu—melainkan dengan nada penuh sindiran yang menusuk. "Lucu sekali," ujarnya sembari melipat tangan di depan dada. "Kamu bekerja keras membangun perusahaan dan istrimu ini hanya perlu berdandan dan bersenang-senang?" "Ibu pikir perempuan sepertinya seharusnya tau tempatnya, bukan malah sibuk berjalan-jalan dengan uang suaminya." Harsa merasakan dadanya seperti dihantam batu besar. Dia sudah terbiasa menerima sindiran dari Ny. Ratri, tetapi setiap kata masih terasa seperti duri yang menusuk hatinya. Rajendra mendesah pelan, tetapi kali ini bukan karena pasrah—melainkan karena kesal. "Ibu, cukup. Aku tidak ingin mendengar satu kata pun lagi tentang Harsa dengan nada seperti itu." Ny. Ratri menatap putranya dengan ekspresi tajam. "Ibu hanya mengingatkanmu, Rajendra. Perempuan sepertinya tidak akan pernah bisa membawa kehormatan bagi keluarga kita. Kalau kamu terus membiarkannya berlaku seolah dia bagian dari kita. Pada akhirnya kamu sendiri yang akan menyesal." Harsa menunduk, mencoba menahan perih yang mulai menggenang di hatinya. Namun, sebelum dia sempat merespons, tangan Rajendra menggenggam tangannya erat. "Kalau Ibu sudah selesai berbicara, aku dan istriku akan pergi sekarang." Ny. Ratri menatap mereka dengan tajam. "Kamu berani melawan Ibumu demi perempuan ini?" Rajendra menatap ibunya balik dengan ekspresi tegas, tetap pada pendiriannya. "Aku tidak melawan Ibu. Aku hanya membela wanita yang aku cintai." Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, Rajendra menarik tangan Harsa dengan lembut, mengajaknya keluar sebelum kata-kata Ibunya bisa semakin merusak pagi mereka. Di luar, udara terasa lebih segar dibandingkan di dalam rumah. Meskipun pagi mereka ternoda oleh kebencian, setidaknya Rajendra masih ada di sisinya—menjadi perisai di tengah luka yang terus menerpa. "Sebegitunya Ibu tidak menyukaiku ya, Mas?" tanya Harsa menatap Rajendra dengan sendu. Dia bahkan tidak bisa menyembunyikan kesedihan dari nada suaranya. Tangan kiri Rajendra meraih tangan Harsa, mengusapnya penuh kelembutan. Sedangkan tangan kanannya fokus pada kemudi. Sesekali ia menoleh, menatap ke arah istrinya. "Aku tidak membela Ibu, tapi sikapnya yang seperti itu memang terjadi karena luka dari masa lalu." "Kalau boleh tau, apa yang terjadi sama Ibu, Mas?" Rajendra menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Terasa berat dan menyesakkan karena harus kembali membuka luka di masa lalu. Harsa yang menyadari itu, segera menggenggam balik tangan suaminya untuk menenangkan. "Kalau belum siap, kamu tidak perlu menceritakannya sekarang, Mas." Rajendra menggeleng, tersenyum lembut ke arah Harsa. "Tidak apa. Kamu berhak tau, sayang." "Sebenarnya, Ibu sangat membenci wanita—terutama, jika dia berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah," ujar Rajendra memulai bercerita. "Kebencian itu bermula saat Ibu memergoki Ayah selingkuh." "Saat aku berusia dua belas tahun, sikap Ayah mulai berubah. Tidak ada lagi Ayah yang menghabiskan waktunya bersama di akhir pekan. Dia selalu pulang larut, bahkan terkadang pulang dengan keadaan mabuk. Hal itu terjadi selama hampir satu tahun." "Hingga Ibu sudah merasa muak dengan semua sikap Ayah, dari sanalah Ibu mulai memberontak. Mereka selalu cekcok setiap hari." Ingatan Rajendra menerawang, saat-saat di mana hanya ada pertengkaran di rumahnya. Tidak ada lagi kehangatan di sana. "Lalu, ketika Ayah mungkin merasa muak dengan sikap Ibu yang selalu marah-marah dan menuduhnya berselingkuh, dia mulai jarang pulang." "Ibu menyelidikinya diam-diam dan ya, seperti yang kukatakan di awal, jika Ayah telah berselingkuh. Di sana, Ibu melihat Ayah sedang bermesraan dengan seorang wanita di salah satu apartemen. Lalu Ibu menyelidiki latar belakangnya, ternyata dia adalah wanita ... maaf, dari kalangan kelas bawah." Harsa menatap Rajendra dari samping, mendengarkan cerita suaminya dengan serius. Tidak menyangka, di balik sikap kejamnya Ny. Ratri terdapat alasan yang menyakitkan. "Bahkan karena perselingkuhan itu, kakek mengusir Ayah ... mengusir putranya sendiri karena telah dianggap mencoreng nama keluarga." "Lalu ... apakah Ayah mertua—" "Aku tidak tau, apakah dia masih hidup atau tidak. Sejak kakek mengusirnya, kami semua tidak pernah lagi mendengar kabarnya sampai sekarang." "Jika boleh tau, apa kamu pernah mencarinya?" Rajendra menghentikan mobilnya karena mereka sudah sampai di tempat tujuan. Sebelum turun, dia menatap Harsa—tersenyum. Dia menganggukkan kepalanya. "Bahkan sampai sekarang, aku diam-diam masih mencarinya." "Sudah lima tahun dan aku belum menemukannya. Entah ke mana dia bersembunyi, benar-benar tidak meninggalkan jejak sedikitpun." Harsa menganggukkan kepalanya paham. "Kamu merindukannya?" "Aku tidak akan berbohong, meskipun dia telah mengkhianati Ibuku ... bagaimanapun juga, dia adalah Ayahku," ujar Rajendra. "Aku sangat merindukannya." "Aku hanya bisa membantu dengan doa, semoga yang kamu inginkan yaitu bertemu dengan Ayahmu segera terkabulkan." "Aamiin. Terima kasih, sayangku. Tetap di sisiku selamatnya dan mari kita menghadapi hal itu di masa depan bersama." Restoran mewah dengan cahaya temaram itu terasa begitu nyaman. Alunan musik lembut mengisi ruangan. Aroma rempah-rempah khas masakan gourmet menguar di udara, memberikan suasana yang hangat dan menggugah selera. Harsa melangkah masuk bersama Rajendra, mencoba menenangkan hatinya yang masih berdebar karena kejadian pagi tadi dengan Ny. Ratri. Namun, semua itu perlahan mereda saat Rajendra menggenggam tangannya dengan lembut, membawanya menuju meja yang telah dia pesan. Sebelum pergi ke restoran, Rajendra terlebih dulu membawanya pergi jalan-jalan. Ke Mall, berbelanja, membeli es krim dan banyak sekali kegiatan sejak tadi pagi hingga malam ini. "Aku ingin kamu menikmati hari ini, sayang," ujar Rajendra dengan senyum hangat. Dia menarikkan kursi untuk Harsa sebelum, dirinya sendiri duduk di seberang. Meskipun lelah dan masih sedikit terbebani, Harsa tidak bisa menyembunyikan perasaan hangat yang menyapa dadanya. Di sini, jauh dari rumah dan tekanan yang selalu menghantuinya, Rajendra adalah pria yang dia cintai—pria yang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Pelayan datang membawa menu dan Rajendra dengan penuh perhatian memilihkan hidangan terbaik untuk mereka. "Aku ingat, kamu menyukai sup krim jagung di sini," ujarnya sembari tersenyum. "Dan tentu saja, steak medium well kesukaanmu." Harsa tersenyum kecil, hatinya sedikit lebih tenang. "Kamu masih mengingatnya," ujarnya pelan. "Tentu saja," balas Rajendra, menatapnya dengan tatapan yang begitu lembut—tatapan yang dulu membuat Harsa jatuh cinta. Malam ini, mereka menikmati hidangan dengan perbincangan ringan. Rajendra sesekali menceritakan hal-hal lucu yang terjadi di kantornya dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Harsa bisa tertawa tanpa rasa khawatir. Setelah makan malam yang hangat, Rajendra menggenggam tangan Harsa dan menatapnya dengan lembut. "Ayo, kita jalan sebentar," ujarnya dengan perhatian. "Aku tau kepalamu pasti penuh dengan hal-hal yang melelahkan. Aku ingin kamu merasa lebih baik." Mereka berjalan ke taman yang berada di belakang restoran. Taman kecil yang dihiasi lampu-lampu gantung berbentuk lentera. Angin malam berhembus sejuk, membuat rambut Harsa yang terurai bergerak. Aroma mawar dan melati memenuhi udara, menenangkan hati yang tadinya gelisah. Rajendra merangkul bahu Harsa dengan lembut, menariknya lebih dekat ke tubuhnya. "Aku tau Ibu terlalu keras padamu," bisiknya. Nada suaranya penuh rasa bersalah. "Tapi kumohon, bersabarlah sedikit lagi. Aku berjanji, aku akan selalu ada untukmu." Harsa menatap wajah suaminya di bawah cahaya lampu taman. Tatapan itu, senyum itu ... masih sama seperti dulu, ketika dia pertama kali jatuh cinta. "Aku hanya ingin kita bahagia, Mas," balasnya lirih. "Aku ingin kamu tetap menjadi alasanku bertahan, seperti hari ini." Rajendra menarik napas dalam, lalu dengan lembut menyelipkan rambut yang tertiup angin dari wajah Harsa. "Dan aku akan selalu menjadi itu untukmu," ujarnya.Setelah menikah dengan Rajendra, Harsa berhenti dari pekerjaannya sebagai perancang busana. Lebih tepatnya, suaminya itu yang menginginkan dan memilih untuk membuatkan Harsa butik sendiri. Hari ini adalah hari yang penting, karena dia berencana meninjau koleksi baru yang sedang dikerjakan timnya. Suasana hatinya juga menjadi lebih baik, setelah Rajendra membawanya pergi jalan-jalan. Namun, saat baru saja melangkah keluar dari kamar, suara tajam Ny. Ratri menghentikannya. Lagi dan lagi, Ibu mertuanya itu selalu memiliki 1000 cara untuk menghancurkan dan merusak kebahagiaannya di pagi hari. "Mau ke mana kamu sepagi ini?" Harsa menelan ludah. Dia menoleh dan melihat Ny. Ratri berdiri di dekat tangga dengan tangan bersedekap, tatapannya penuh selidik. "Saya ingin ke butik, Bu," balas Harsa dengan sopan. "Ada beberapa hal yang perlu Saya urus di sana." Ny. Ratri mendengus sinis. "Butik? Untuk apa? Menghamburkan uang suamimu lagi?" Harsa mengepalkan jemarinya erat. "Bukan begitu, Bu.
Udara pagi masih terasa sejuk, saat sinar matahari mulai menyelinap masuk melalui tirai kamar. Harsa bangun lebih awal, bergegas ke kamar mandi untuk bersiap. Ada sebuah perasaan ringan di dadanya, sesuatu yang jarang ia rasakan sejak menikah—harapan kecil untuk memiliki hari yang indah bersama Rajendra. Saat dia keluar dari kamar, Rajendra sudah menunggunya di ruang tamu. Pria itu mengenakan kemeja kasual dengan lengan tergulung. Senyumnya lembut, penuh ketenangan, seolah ingin mengatakan bahwa hari ini hanya akan menjadi milik mereka berdua. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suara langkah berderap terdengar dari arah tangga, disusul dengan kehadiran seseorang yang sejak awal selalu menjadi bayangan kelam dalam hidup Harsa—Ny. Ratri. Wanita paruh baya itu mengenakan gaun tidur sutra dengan rambut tertata rapi, meskipun pagi baru dimulai, ekspresi di wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Matanya menyapu Harsa dari kepala hingga kaki sebelum akhirnya beralih ke Rajendr
Meskipun hari-harinya penuh dengan luka, tetapi masih ada satu hal yang perlu Harsa syukuri, yaitu kehadiran Rajendra yang menjadi obat dalam luka dan dukanya. Setelah hari yang panjang dan melelahkan, Harsa duduk di tepi ranjang—meremas jemarinya yang merah dan perih akibat seharian bekerja di taman dan dapur. Tubuhnya terasa lelah, tetapi hatinya lebih lelah lagi. Pikirannya masih dipenuhi suara tawa sinis para tamu Ibu mertuanya. Setiap kata-kata tajam yang mereka lontarkan masih terngiang jelas di telinganya. Namun, ketika pintu kamar terbuka, semua beban itu sedikit mereda. Rajendra masuk dengan langkah tenang, mengenakan kemeja santai dengan lengan yang digulung. Di tangannya ada sebuah nampan kecil berisi semangkuk sup hangat dan juga segelas susu. Harsa mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. "Kamu belum tidur?" Rajendra tersenyum kecil, senyum yang selalu berhasil membuat hati Harsa merasa lebih tenang. "Aku tau kamu pasti merasa lelah hari ini. Makan dulu." Harsa menatap s
Setelah pernikahan, hari-hari Harsa penuh dengan kesuraman. Apalagi saat Rajendra pergi ke luar kota untuk urusan bisnis, meninggalkan dirinya dan Ibu mertuanya serta beberapa pelayan—membuat keadaan rumah semakin tidak karuan. Harsa paham, setelah menikah dengan Rajendra tanpa restu Ny. Ratri, dia akan menghadapi penolakan, ejekan yang penuh cemooh dari Ibu mertuanya. Semua memang sudah menjadi resiko yang harus dia hadapi. Hanya saja Harsa melupakan, hal itu akan sangat terasa menyesakkan, jika dihadapi setiap harinya. Ny. Ratri memanggil Harsa ke ruang tamu. Wanita paruh baya itu duduk anggun di sofa dengan cangkir teh porselen di tangan. Sementara beberapa pelayan berdiri di belakangnya dengan wajah kaku. Harsa yang baru selesai membereskan kamar langsung datang, menghadapi mertuanya itu. "Ada yang bisa Saya bantu, Bu?" Ny. Ratri menyesap tehnya perlahan, sebelum meletakkannya di meja. "Hari ini aku akan mengadakan arisan bersama teman-temanku. Aku ingin tamanku terlihat sempurn
"Aku tidak menyangka, Ratri merestui hubungan mereka." "Sekalipun memakai gaun mewah dari brand terkenal, perempuan itu masih terlihat kampungan." "Di mana Rajendra menemukan perempuan miskin itu?" "Aku sangat yakin, pasti perempuan itu hanya mengincar harta keluarga Rajendra saja." Bisik-bisik menyakitkan terdengar di telinga Harsa, tetapi dia memilih untuk mengabaikannya. Meskipun sebenarnya, hatinya merasakan sakit. Serendah itukah mereka memandang dirinya? Harsa berusaha memperlihatkan senyum hangat, tidak peduli orang-orang mengabaikan kehadirannya. Bahkan keluarga besar sekalipun seakan tidak menganggapnya ada, seakan dirinya tidak terlihat di tengah-tengah keramaian ini. Padahal sekarang, adalah hari bahagianya dengan salah satu keluarga mereka. Di dalam aula besar yang dihiasi bunga-bunga putih dan cahaya lilin, pernikahan Harsa Paraduta dan Rajendra digelar dengan mewah. Para tamu dari kalangan elit berbisik-bisik, memperhatikan pengantin wanita dengan tatapan menilai. H