Share

4. Perusak Kebahagiaan

last update Huling Na-update: 2025-07-12 12:18:19

Udara pagi masih terasa sejuk, saat sinar matahari mulai menyelinap masuk melalui tirai kamar. Harsa bangun lebih awal, bergegas ke kamar mandi untuk bersiap. Ada sebuah perasaan ringan di dadanya, sesuatu yang jarang ia rasakan sejak menikah—harapan kecil untuk memiliki hari yang indah bersama Rajendra. Saat dia keluar dari kamar, Rajendra sudah menunggunya di ruang tamu. Pria itu mengenakan kemeja kasual dengan lengan tergulung. Senyumnya lembut, penuh ketenangan, seolah ingin mengatakan bahwa hari ini hanya akan menjadi milik mereka berdua.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suara langkah berderap terdengar dari arah tangga, disusul dengan kehadiran seseorang yang sejak awal selalu menjadi bayangan kelam dalam hidup Harsa—Ny. Ratri. Wanita paruh baya itu mengenakan gaun tidur sutra dengan rambut tertata rapi, meskipun pagi baru dimulai, ekspresi di wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Matanya menyapu Harsa dari kepala hingga kaki sebelum akhirnya beralih ke Rajendra.

"Ke mana kalian akan pergi pagi-pagi begini?" Suaranya terdengar dingin. Hanya dengan mendengar suaranya saja, seketika mampu membuat mood menjadi jelek. Jika saja di dunia ini ada nominasi untuk orang perusak kebahagiaan, semua yang melihat sikapnya akan sangat yakin, Ny. Ratri sangat pantas mendapatkan juaranya.

Rajendra menoleh santai ke arah ibunya. "Aku hanya ingin mengajak istriku keluar. Sudah lama kami tidak menghabiskan waktu berdua."

Ny. Ratri terkekeh pelan, tetapi bukan dengan kehangatan seorang Ibu—melainkan dengan nada penuh sindiran yang menusuk.

"Lucu sekali," ujarnya sembari melipat tangan di depan dada. "Kamu bekerja keras membangun perusahaan dan istrimu ini hanya perlu berdandan dan bersenang-senang?"

"Ibu pikir perempuan sepertinya seharusnya tau tempatnya, bukan malah sibuk berjalan-jalan dengan uang suaminya."

Harsa merasakan dadanya seperti dihantam batu besar. Dia sudah terbiasa menerima sindiran dari Ny. Ratri, tetapi setiap kata masih terasa seperti duri yang menusuk hatinya. Rajendra mendesah pelan, tetapi kali ini bukan karena pasrah—melainkan karena kesal. "Ibu, cukup. Aku tidak ingin mendengar satu kata pun lagi tentang Harsa dengan nada seperti itu."

Ny. Ratri menatap putranya dengan ekspresi tajam. "Ibu hanya mengingatkanmu, Rajendra. Perempuan sepertinya tidak akan pernah bisa membawa kehormatan bagi keluarga kita. Kalau kamu terus membiarkannya berlaku seolah dia bagian dari kita. Pada akhirnya kamu sendiri yang akan menyesal."

Harsa menunduk, mencoba menahan perih yang mulai menggenang di hatinya. Namun, sebelum dia sempat merespons, tangan Rajendra menggenggam tangannya erat.

"Kalau Ibu sudah selesai berbicara, aku dan istriku akan pergi sekarang."

Ny. Ratri menatap mereka dengan tajam. "Kamu berani melawan Ibumu demi perempuan ini?"

Rajendra menatap ibunya balik dengan ekspresi tegas, tetap pada pendiriannya. "Aku tidak melawan Ibu. Aku hanya membela wanita yang aku cintai."

Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, Rajendra menarik tangan Harsa dengan lembut, mengajaknya keluar sebelum kata-kata Ibunya bisa semakin merusak pagi mereka.

Di luar, udara terasa lebih segar dibandingkan di dalam rumah. Meskipun pagi mereka ternoda oleh kebencian, setidaknya Rajendra masih ada di sisinya—menjadi perisai di tengah luka yang terus menerpa.

"Sebegitunya Ibu tidak menyukaiku ya, Mas?" tanya Harsa menatap Rajendra dengan sendu. Dia bahkan tidak bisa menyembunyikan kesedihan dari nada suaranya.

Tangan kiri Rajendra meraih tangan Harsa, mengusapnya penuh kelembutan. Sedangkan tangan kanannya fokus pada kemudi. Sesekali ia menoleh, menatap ke arah istrinya. "Aku tidak membela Ibu, tapi sikapnya yang seperti itu memang terjadi karena luka dari masa lalu."

"Kalau boleh tau, apa yang terjadi sama Ibu, Mas?"

Rajendra menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Terasa berat dan menyesakkan karena harus kembali membuka luka di masa lalu. Harsa yang menyadari itu, segera menggenggam balik tangan suaminya untuk menenangkan. "Kalau belum siap, kamu tidak perlu menceritakannya sekarang, Mas."

Rajendra menggeleng, tersenyum lembut ke arah Harsa. "Tidak apa. Kamu berhak tau, sayang."

"Sebenarnya, Ibu sangat membenci wanita—terutama, jika dia berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah," ujar Rajendra memulai bercerita. "Kebencian itu bermula saat Ibu memergoki Ayah selingkuh."

"Saat aku berusia dua belas tahun, sikap Ayah mulai berubah. Tidak ada lagi Ayah yang menghabiskan waktunya bersama di akhir pekan. Dia selalu pulang larut, bahkan terkadang pulang dengan keadaan mabuk. Hal itu terjadi selama hampir satu tahun."

"Hingga Ibu sudah merasa muak dengan semua sikap Ayah, dari sanalah Ibu mulai memberontak. Mereka selalu cekcok setiap hari." Ingatan Rajendra menerawang, saat-saat di mana hanya ada pertengkaran di rumahnya. Tidak ada lagi kehangatan di sana. "Lalu, ketika Ayah mungkin merasa muak dengan sikap Ibu yang selalu marah-marah dan menuduhnya berselingkuh, dia mulai jarang pulang."

"Ibu menyelidikinya diam-diam dan ya, seperti yang kukatakan di awal, jika Ayah telah berselingkuh. Di sana, Ibu melihat Ayah sedang bermesraan dengan seorang wanita di salah satu apartemen. Lalu Ibu menyelidiki latar belakangnya, ternyata dia adalah wanita ... maaf, dari kalangan kelas bawah."

Harsa menatap Rajendra dari samping, mendengarkan cerita suaminya dengan serius. Tidak menyangka, di balik sikap kejamnya Ny. Ratri terdapat alasan yang menyakitkan.

"Bahkan karena perselingkuhan itu, kakek mengusir Ayah ... mengusir putranya sendiri karena telah dianggap mencoreng nama keluarga."

"Lalu ... apakah Ayah mertua—"

"Aku tidak tau, apakah dia masih hidup atau tidak. Sejak kakek mengusirnya, kami semua tidak pernah lagi mendengar kabarnya sampai sekarang."

"Jika boleh tau, apa kamu pernah mencarinya?"

Rajendra menghentikan mobilnya karena mereka sudah sampai di tempat tujuan. Sebelum turun, dia menatap Harsa—tersenyum. Dia menganggukkan kepalanya. "Bahkan sampai sekarang, aku diam-diam masih mencarinya."

"Sudah lima tahun dan aku belum menemukannya. Entah ke mana dia bersembunyi, benar-benar tidak meninggalkan jejak sedikitpun."

Harsa menganggukkan kepalanya paham. "Kamu merindukannya?"

"Aku tidak akan berbohong, meskipun dia telah mengkhianati Ibuku ... bagaimanapun juga, dia adalah Ayahku," ujar Rajendra. "Aku sangat merindukannya."

"Aku hanya bisa membantu dengan doa, semoga yang kamu inginkan yaitu bertemu dengan Ayahmu segera terkabulkan."

"Aamiin. Terima kasih, sayangku. Tetap di sisiku selamatnya dan mari kita menghadapi hal itu di masa depan bersama."

Restoran mewah dengan cahaya temaram itu terasa begitu nyaman. Alunan musik lembut mengisi ruangan. Aroma rempah-rempah khas masakan gourmet menguar di udara, memberikan suasana yang hangat dan menggugah selera.

Harsa melangkah masuk bersama Rajendra, mencoba menenangkan hatinya yang masih berdebar karena kejadian pagi tadi dengan Ny. Ratri. Namun, semua itu perlahan mereda saat Rajendra menggenggam tangannya dengan lembut, membawanya menuju meja yang telah dia pesan. Sebelum pergi ke restoran, Rajendra terlebih dulu membawanya pergi jalan-jalan. Ke Mall, berbelanja, membeli es krim dan banyak sekali kegiatan sejak tadi pagi hingga malam ini.

"Aku ingin kamu menikmati hari ini, sayang," ujar Rajendra dengan senyum hangat. Dia menarikkan kursi untuk Harsa sebelum, dirinya sendiri duduk di seberang.

Meskipun lelah dan masih sedikit terbebani, Harsa tidak bisa menyembunyikan perasaan hangat yang menyapa dadanya. Di sini, jauh dari rumah dan tekanan yang selalu menghantuinya, Rajendra adalah pria yang dia cintai—pria yang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik.

Pelayan datang membawa menu dan Rajendra dengan penuh perhatian memilihkan hidangan terbaik untuk mereka. "Aku ingat, kamu menyukai sup krim jagung di sini," ujarnya sembari tersenyum. "Dan tentu saja, steak medium well kesukaanmu."

Harsa tersenyum kecil, hatinya sedikit lebih tenang. "Kamu masih mengingatnya," ujarnya pelan.

"Tentu saja," balas Rajendra, menatapnya dengan tatapan yang begitu lembut—tatapan yang dulu membuat Harsa jatuh cinta.

Malam ini, mereka menikmati hidangan dengan perbincangan ringan. Rajendra sesekali menceritakan hal-hal lucu yang terjadi di kantornya dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Harsa bisa tertawa tanpa rasa khawatir.

Setelah makan malam yang hangat, Rajendra menggenggam tangan Harsa dan menatapnya dengan lembut. "Ayo, kita jalan sebentar," ujarnya dengan perhatian. "Aku tau kepalamu pasti penuh dengan hal-hal yang melelahkan. Aku ingin kamu merasa lebih baik."

Mereka berjalan ke taman yang berada di belakang restoran. Taman kecil yang dihiasi lampu-lampu gantung berbentuk lentera. Angin malam berhembus sejuk, membuat rambut Harsa yang terurai bergerak. Aroma mawar dan melati memenuhi udara, menenangkan hati yang tadinya gelisah.

Rajendra merangkul bahu Harsa dengan lembut, menariknya lebih dekat ke tubuhnya. "Aku tau Ibu terlalu keras padamu," bisiknya. Nada suaranya penuh rasa bersalah. "Tapi kumohon, bersabarlah sedikit lagi. Aku berjanji, aku akan selalu ada untukmu."

Harsa menatap wajah suaminya di bawah cahaya lampu taman. Tatapan itu, senyum itu ... masih sama seperti dulu, ketika dia pertama kali jatuh cinta.

"Aku hanya ingin kita bahagia, Mas," balasnya lirih. "Aku ingin kamu tetap menjadi alasanku bertahan, seperti hari ini."

Rajendra menarik napas dalam, lalu dengan lembut menyelipkan rambut yang tertiup angin dari wajah Harsa. "Dan aku akan selalu menjadi itu untukmu," ujarnya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    Ekstra Part: Yang Layak Dicintai

    Langit biru cerah menaungi rumah kayu sederhana yang telah direnovasi indah di pinggir desa, dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang Harsa tanam sendiri selama berbulan-bulan terakhir. Udara hangat membawa suara tawa seorang gadis kecil dan langkah kaki riang dari halaman depan.Hari ini, rumah itu bukan sekadar tempat tinggal. Hari ini, rumah itu menjadi saksi Harsa memulai kembali hidupnya. Di dalam rumah, Harsa berdiri di depan cermin besar, mengenakan kebaya lembut warna krem gading. Senyumnya mengembang pelan, begitu tulus, meskipun matanya berkaca-kaca. Rambutnya disanggul rapi, beberapa helai rambut lembut sengaja dibiarkan menjuntai. Di perutnya, tangan seorang wanita paruh baya membantu mengikatkan selendang dengan pelan."Kamu cantik sekali, Nak," ujar wanita itu, Ibu Raka.Harsa mengangguk kecil. “Aku gugup, Bu.”“Tidak perlu gugup kalau kamu tau lelaki yang menunggumu di pelaminan itu akan memuliakanmu seumur hidupnya.”Kalimat itu membuat air mata Harsa luruh tanpa suara.

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    55. Kebahagiaan Sesungguhnya

    Rumah kayu sederhana di ujung desa itu dipeluk senyap sore hari. Aroma kayu bakar dari dapur, tawa kecil putri mungilnya dan semilir angin yang membawa damai—itulah kehidupan yang kini dijalani Harsa. Namun, sore itu datang seorang tamu yang tidak pernah dia sangka.Ny. Ratri.Wanita yang dulu begitu dingin, kaku dan tajam dalam kata-katanya kini berdiri di beranda rumah, mengenakan selendang tenun yang menutupi bahunya. Usianya memang belum terlalu tua, tapi raut wajahnya lebih tenang, seperti seseorang yang telah bergulat lama dengan penyesalan. Harsa membukakan pintu. Kaget, tentu saja, tapi dia tetap menyambut dengan hangat dan sopan.“Silakan masuk, Bu,” ujarnya pelan.Ny. Ratri duduk di kursi kayu panjang di ruang tamu, matanya menyapu seisi rumah yang sederhana tapi bersih dan terasa hangat. Ada getaran halus di dada wanita itu. Bukan karena hina, tapi karena malu."Aku tidak tau harus memulai dari mana," ujarnya pelan tapi tegas. “Tapi aku datang bukan untuk menyakiti lagi. Ju

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    54. Bedamai dengan Masa Lalu

    Beberapa tahun kemudian.Pagi di desa kecil itu dimulai dengan suara burung yang bersahut-sahutan dan angin lembut yang menerpa pepohonan. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi cahaya keemasannya sudah menyusup masuk melalui sela-sela jendela rumah kayu sederhana, rumah yang dulu pernah menjadi tempat tinggal kakek dan nenek Harsa, kini menjadi rumah kecil yang penuh kehangatan baru.Di dalamnya, terlihat seorang wanita muda sedang menyisir rambut panjang anak perempuannya yang masih mengenakan piyama lucu bermotif kelinci. Gadis kecil itu duduk di atas karpet rotan dengan cermin kecil di hadapannya.“Pelan-pelan, Bunda, nanti aku jadi kelinci galak,” gumam gadis kecil itu membuat Harsa tertawa pelan.“Bunda nggak tau kalau kelinci bisa galak,” balas Harsa lembut, menyematkan pita mungil ke rambut anaknya. “Tapi, kelinci manis seperti kamu, pasti banyak yang sayang.”Anak itu membalikkan tubuh dan langsung memeluk ibunya. “Aku sayang Bunda. Sama besar kayak langit.”Harsa mengecup ubun

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    53. Obsesi Anindira

    Mobil hitam yang membawa Rajendra melaju membelah jalan tol dengan kecepatan sedang. Langit kota sudah mulai menghitam, menyambut malam dengan bias lampu-lampu kendaraan yang tidak henti berkelebat. Tangan pria itu bertumpu di atas kemudi, tapi pikirannya jauh tertinggal di desa tempat Harsa tinggal kini. Di rumah kayu sederhana yang dipenuhi aroma kayu tua dan tangis bayi yang belum sempat ia peluk.Perempuan itu benar-benar menolaknya. Tidak ada ruang untuk negosiasi. Tidak ada celah untuk permintaan maaf dan yang paling menghantam batinnya adalah tatapan itu, tatapan Harsa yang dulu lembut, kini mengeras menjadi dinding dingin yang tidak bisa dia tembus.“Sudah terlambat, Rajendra.”Kalimat itu masih menggema di telinganya, menusuk seperti duri-duri halus yang tidak terlihat, tapi menghantui setiap helaan napasnya. Dia mengerti dan pantas ditolak, pantas dibenci, tapi ternyata mengetahui itu tidak membuat sakitnya berkurang.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Nama Anindira muncul di

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    52. Meminta Kesempatan

    Hujan turun perlahan. Langit desa berwarna abu, seolah ikut menyimpan luka-luka yang belum sembuh. Di teras rumah kayu tempat Harsa tinggal, aroma tanah basah dan teh jahe menguap bersamaan dengan ketegangan yang telah lama tertahan. Rajendra berdiri di depan pintu. Tangannya menggenggam jaket tipis yang dikenakan dengan setengah kuyup. Napasnya berat, tapi niatnya tidak bergeming.Harsa membukakan pintu, tapi tetap dengan tatapan netral. Dingin, datar dan penuh jarak."Ada apa?" tanyanya.Rajendra menatap perempuan itu—yang kini tidak lagi rapuh seperti dulu. Harsa terlihat kuat dan tegar.“Aku hanya ingin bicara.”Harsa membuka sedikit pintu. Tidak mempersilakan masuk, tapi juga tidak langsung menolak."Aku tidak datang untuk membela diri. Aku tau, aku salah. Dan mungkin, bahkan maaf pun tidak pantas aku minta.” Suara Rajendra parau. “Tapi aku tetap ingin memintanya. Bukan karena aku ingin menghapus semuanya, tapi karena aku ingin memperbaiki semua yang sudah hancur.”Harsa menunduk

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    51. Antara Hidup dan Mati

    Darah terus mengalir. Terlalu banyak dan wajah Harsa semakin pucat.“Raka,” gumamnya lemah, menyebut satu-satunya nama yang akhir-akhir ini menemaninya. Tetapi pria itu sedang mencari mobil untuk membawa Harsa ke rumah sakit terdekat yang letaknya satu jam dari desa jika tidak banjir.“Aku takut,” bisik Harsa, pandangannya mulai mengabur. “Aku belum lihat anakku.”"Tolong ... tolong selamatkan bayinya." Suaranya hampir tak terdengar.Bidan dan para ibu bekerja dengan cepat, panik dan dibalut doa. Detik-detik berlalu dalam teror yang seakan membekukan waktu. Lalu tangis bayi pecah. Keras dan nyaring.Salah satu tetangga berteriak. “Bayinya perempuan!”Namun, semua sorot mata segera beralih ke Harsa yang diam tidak bergerak.“Harsa?” Bidan memeriksa denyut nadinya. Lemah. Nyaris tidak ada.“Cepat, ambilkan air hangat dan handuk! Jangan biarkan dia tertidur!”Tubuh Harsa bergetar. Bibirnya berbisik pelan. “Dia … mirip ayahnya, ya?”Dan kemudian gelap menelannya pelan.Beberapa Jam Kemudi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status