Setelah menikah dengan Rajendra, Harsa berhenti dari pekerjaannya sebagai perancang busana. Lebih tepatnya, suaminya itu yang menginginkan dan memilih untuk membuatkan Harsa butik sendiri. Hari ini adalah hari yang penting, karena dia berencana meninjau koleksi baru yang sedang dikerjakan timnya. Suasana hatinya juga menjadi lebih baik, setelah Rajendra membawanya pergi jalan-jalan.
Namun, saat baru saja melangkah keluar dari kamar, suara tajam Ny. Ratri menghentikannya. Lagi dan lagi, Ibu mertuanya itu selalu memiliki 1000 cara untuk menghancurkan dan merusak kebahagiaannya di pagi hari. "Mau ke mana kamu sepagi ini?" Harsa menelan ludah. Dia menoleh dan melihat Ny. Ratri berdiri di dekat tangga dengan tangan bersedekap, tatapannya penuh selidik. "Saya ingin ke butik, Bu," balas Harsa dengan sopan. "Ada beberapa hal yang perlu Saya urus di sana." Ny. Ratri mendengus sinis. "Butik? Untuk apa? Menghamburkan uang suamimu lagi?" Harsa mengepalkan jemarinya erat. "Bukan begitu, Bu. Mas Rajendra membangunnya untuk Saya." "Dan Saya ingin mengelolanya dengan baik." Ny. Ratri tertawa kecil, penuh ejekan. "Jangan konyol. Kamu pikir, kamu bisa mengurus butik itu sendiri?" ujarnya dengan remeh. "Sudahlah, lebih baik kamu tetap di rumah. Perempuan yang baik seharusnya menjaga suami dan keluarganya, bukan sibuk berlagak seperti wanita karier." Perasaan kecewa menyelimuti Harsa, tetapi dia berusaha menenangkan diri. "Saya sudah berhenti dari pekerjaan yang dulu, demi menikah dengan Mas Rajendra, Bu." "Tapi, dia memberikan butik itu untuk Saya agar Saya tetap bisa berkarya." Lanjutnya mencoba menjelaskan agar Ny. Ratri mengerti. Meskipun apa yang dilakukannya tetap saja percuma. Ny. Ratri melangkah mendekat, tatapannya semakin dingin. "Jangan merasa terlalu istimewa, Harsa. Butik itu ada karena putraku. Tanpa dia, kamu bukan siapa-siapa." Harsa menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit yang menyelinap di hatinya. Dia ingin membantah, tetapi tau tidak ada gunanya berdebat dengan mertuanya. Belum sempat Harsa membuka suaranya, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas. Rajendra muncul, mengenakan kemeja kerja, terlihat baru selesai bersiap. "Ada apa ini?" tanyanya. Tatapannya berpindah dari Ibunya ke Harsa. Ny. Ratri segera memasang wajah lembut di depan putranya. "Ibumu ini hanya ingin menasihati istrimu, Nak. Ibu hanya mengingatkan bahwa seharusnya perempuan tidak perlu repot-repot bekerja. Lagipula, buat apa ke butik pagi-pagi begini? Harsa sebaiknya tetap di rumah." Rajendra melirik ke arah Harsa yang menunduk, lalu kembali menatap ibunya. "Bu, butik itu ada untuk Harsa. Dia berhak mengurusnya. Aku sudah mengizinkannya sejak awal." Ny. Ratri tersenyum miring. "Oh, jadi sekarang kamu lebih membela istrimu daripada Ibumu sendiri?" Rajendra menghela napas, tanpa banyak bicara-dia meraih tangan Harsa. "Ayo, aku akan mengantarmu ke butik." Harsa menatapnya dengan mata berbinar, merasa sedikit lega karena setidaknya kali ini suaminya membelanya. Sedangkan Ny. Ratri hanya bisa mendengus kesal saat melihat keduanya melangkah pergi. Namun, dalam hatinya, dia tidak akan membiarkan Harsa begitu saja mendapatkan kebahagiaannya. Ny. Ratri hanya bisa menatap punggung Rajendra dan Harsa yang berjalan menuju pintu keluar. Wajahnya mengeras, matanya menyiratkan ketidakpuasan yang mendalam. Lihat dan tunggu pembalasannya. Ny. Ratri tidak menyukai kenyataan bahwa menantunya masih diberi kebebasan untuk mengelola butik. Baginya, Harsa seharusnya tetap di rumah, mengurus suami, bukan sibuk dengan bisnis yang hanya akan membuatnya merasa berharga. Dia melirik ke arah seorang pelayan yang berdiri di sudut ruangan. "Panggilkan Arlina," perintahnya dengan nada dingin. Pelayan itu sedikit ragu. "Arlina, Bu?" "Ya." Ny. Ratri mengangguk. "Sekretaris Rajendra. Katakan padanya aku ingin bertemu. Sekarang." Pelayan itu segera pergi untuk menjalankan perintahnya. Sementara itu, Ny. Ratri duduk di kursi, bibirnya menyunggingkan senyum kecil. "Kamu mungkin bisa pergi ke butik sekarang, Harsa. Tapi jangan pernah berpikir bahwa kamu akan menang dariku." Di sisi lain, Harsa menatap jendela mobil dengan perasaan campur aduk. Tangan Rajendra masih menggenggam tangannya di atas pahanya, seolah ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja. “Kamu tidak perlu memikirkan perkataan Ibu,” ujar Rajendra lembut. Sesekali meliriknya dari balik kemudi. Harsa tersenyum tipis, tapi tatapannya masih menerawang. "Aku sudah terbiasa, Mas." Rajendra menghela napas. "Aku tau, tapi aku ingin kamu tau kalau aku selalu ada di pihakmu." Harsa menoleh, menatap wajah suaminya. Ada ketulusan di sana, sesuatu yang selalu membuatnya bertahan meski berkali-kali merasa terlukai oleh sikap Ibu mertuanya. "Kamu tau, aku hanya ingin melakukan sesuatu yang membuatku merasa hidup," gumam Harsa. "Aku tidak mau hanya menjadi istri yang diam di rumah tanpa melakukan apa-apa." Rajendra tersenyum kecil. "Dan aku tidak pernah berniat mengurungmu. Itu sebabnya aku membuat butik itu untukmu, sayang." Harsa mengangguk, merasa sedikit lebih lega. Namun, di dalam hatinya, dia tau bahwa selama Ny. Ratri masih menentangnya, kebahagiaannya tidak akan pernah benar-benar utuh. Sesampainya di butik, aroma lembut vanila bercampur wangi kain sutra langsung menyambutnya. Dinding butik dihiasi dengan desain minimalis yang elegan, menampilkan koleksi busana rancangan tangannya sendiri. Para pegawai yang melihat kedatangannya segera menyambut dengan senyum ramah. "Selamat pagi, Bu Harsa," sapa seorang wanita muda yang merupakan kepala pegawai butik, Rina. "Pagi, Rina. Bagaimana keadaan butik hari ini?" tanya Harsa, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian pagi tadi. "Semua berjalan lancar, Bu," balas Rina. "Oh, tadi ada klien VIP yang ingin melihat koleksi terbaru Anda. Saya sudah menjadwalkan pertemuan siang ini." Harsa mengangguk, merasa sedikit bersemangat. Butik ini adalah satu-satunya tempat di mana dia merasa benar-benar dihargai. Tidak ada hinaan, tidak ada tatapan merendahkan—hanya dirinya dan impiannya. Dia berjalan menuju ruang desain, tempat berbagai sketsa busana tersusun rapi di atas meja besar. Jemarinya dengan lembut menyusuri kain-kain yang baru saja dikirim dari pemasok. Dunia ini adalah dunianya, satu-satunya hal yang masih bisa dia kendalikan di tengah rumah tangganya yang penuh luka. Namun, sebelum dia sempat mulai bekerja, ponselnya bergetar di atas meja. Harsa menghela napas sebelum melihat nama yang muncul di layar. Mas Rajen. Hatinya menghangat sesaat. Suaminya jarang meneleponnya di siang hari. Dengan cepat, dia mengangkat panggilan itu. "Halo, Mas?" Namun, alih-alih suara lembut Rajendra, dia mendengar suara wanita lain. Suara yang begitu familiar dan menusuk hati. Arlina. "Bu Harsa, maaf mengganggu. Tapi Tuan Rajendra sedang sibuk sekarang. Beliau sedang dalam meeting penting." Harsa terdiam, perasaan tidak nyaman menyelinap di dadanya. "Lalu, kenapa kamu menelepon dari ponselnya?" Arlina tertawa pelan. "Oh, ini tidak sengaja. Tadi ponselnya tertinggal di meja dan Saya ingin memastikan apakah ada yang penting." Harsa menggigit bibirnya, mencoba menekan perasaan tidak enak yang mulai melingkupi perasaannya. "Baiklah," ujarnya datar. "Kalau begitu, tolong katakan padanya aku menelepon." "Pastinya, Bu," jawab Arlina dengan nada yang terlalu manis untuk terdengar tulus. Panggilan terputus. Harsa meletakkan ponselnya di atas meja dan menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Arlina. Kenapa dia terdengar begitu nyaman dengan ponsel Rajendra? Harsa menatap sketsa di hadapannya, tetapi pikirannya tidak lagi di sana. Sebuah perasaan ganjil mulai tumbuh di dalam hatinya.Langit biru cerah menaungi rumah kayu sederhana yang telah direnovasi indah di pinggir desa, dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang Harsa tanam sendiri selama berbulan-bulan terakhir. Udara hangat membawa suara tawa seorang gadis kecil dan langkah kaki riang dari halaman depan.Hari ini, rumah itu bukan sekadar tempat tinggal. Hari ini, rumah itu menjadi saksi Harsa memulai kembali hidupnya. Di dalam rumah, Harsa berdiri di depan cermin besar, mengenakan kebaya lembut warna krem gading. Senyumnya mengembang pelan, begitu tulus, meskipun matanya berkaca-kaca. Rambutnya disanggul rapi, beberapa helai rambut lembut sengaja dibiarkan menjuntai. Di perutnya, tangan seorang wanita paruh baya membantu mengikatkan selendang dengan pelan."Kamu cantik sekali, Nak," ujar wanita itu, Ibu Raka.Harsa mengangguk kecil. “Aku gugup, Bu.”“Tidak perlu gugup kalau kamu tau lelaki yang menunggumu di pelaminan itu akan memuliakanmu seumur hidupnya.”Kalimat itu membuat air mata Harsa luruh tanpa suara.
Rumah kayu sederhana di ujung desa itu dipeluk senyap sore hari. Aroma kayu bakar dari dapur, tawa kecil putri mungilnya dan semilir angin yang membawa damai—itulah kehidupan yang kini dijalani Harsa. Namun, sore itu datang seorang tamu yang tidak pernah dia sangka.Ny. Ratri.Wanita yang dulu begitu dingin, kaku dan tajam dalam kata-katanya kini berdiri di beranda rumah, mengenakan selendang tenun yang menutupi bahunya. Usianya memang belum terlalu tua, tapi raut wajahnya lebih tenang, seperti seseorang yang telah bergulat lama dengan penyesalan. Harsa membukakan pintu. Kaget, tentu saja, tapi dia tetap menyambut dengan hangat dan sopan.“Silakan masuk, Bu,” ujarnya pelan.Ny. Ratri duduk di kursi kayu panjang di ruang tamu, matanya menyapu seisi rumah yang sederhana tapi bersih dan terasa hangat. Ada getaran halus di dada wanita itu. Bukan karena hina, tapi karena malu."Aku tidak tau harus memulai dari mana," ujarnya pelan tapi tegas. “Tapi aku datang bukan untuk menyakiti lagi. Ju
Beberapa tahun kemudian.Pagi di desa kecil itu dimulai dengan suara burung yang bersahut-sahutan dan angin lembut yang menerpa pepohonan. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi cahaya keemasannya sudah menyusup masuk melalui sela-sela jendela rumah kayu sederhana, rumah yang dulu pernah menjadi tempat tinggal kakek dan nenek Harsa, kini menjadi rumah kecil yang penuh kehangatan baru.Di dalamnya, terlihat seorang wanita muda sedang menyisir rambut panjang anak perempuannya yang masih mengenakan piyama lucu bermotif kelinci. Gadis kecil itu duduk di atas karpet rotan dengan cermin kecil di hadapannya.“Pelan-pelan, Bunda, nanti aku jadi kelinci galak,” gumam gadis kecil itu membuat Harsa tertawa pelan.“Bunda nggak tau kalau kelinci bisa galak,” balas Harsa lembut, menyematkan pita mungil ke rambut anaknya. “Tapi, kelinci manis seperti kamu, pasti banyak yang sayang.”Anak itu membalikkan tubuh dan langsung memeluk ibunya. “Aku sayang Bunda. Sama besar kayak langit.”Harsa mengecup ubun
Mobil hitam yang membawa Rajendra melaju membelah jalan tol dengan kecepatan sedang. Langit kota sudah mulai menghitam, menyambut malam dengan bias lampu-lampu kendaraan yang tidak henti berkelebat. Tangan pria itu bertumpu di atas kemudi, tapi pikirannya jauh tertinggal di desa tempat Harsa tinggal kini. Di rumah kayu sederhana yang dipenuhi aroma kayu tua dan tangis bayi yang belum sempat ia peluk.Perempuan itu benar-benar menolaknya. Tidak ada ruang untuk negosiasi. Tidak ada celah untuk permintaan maaf dan yang paling menghantam batinnya adalah tatapan itu, tatapan Harsa yang dulu lembut, kini mengeras menjadi dinding dingin yang tidak bisa dia tembus.“Sudah terlambat, Rajendra.”Kalimat itu masih menggema di telinganya, menusuk seperti duri-duri halus yang tidak terlihat, tapi menghantui setiap helaan napasnya. Dia mengerti dan pantas ditolak, pantas dibenci, tapi ternyata mengetahui itu tidak membuat sakitnya berkurang.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Nama Anindira muncul di
Hujan turun perlahan. Langit desa berwarna abu, seolah ikut menyimpan luka-luka yang belum sembuh. Di teras rumah kayu tempat Harsa tinggal, aroma tanah basah dan teh jahe menguap bersamaan dengan ketegangan yang telah lama tertahan. Rajendra berdiri di depan pintu. Tangannya menggenggam jaket tipis yang dikenakan dengan setengah kuyup. Napasnya berat, tapi niatnya tidak bergeming.Harsa membukakan pintu, tapi tetap dengan tatapan netral. Dingin, datar dan penuh jarak."Ada apa?" tanyanya.Rajendra menatap perempuan itu—yang kini tidak lagi rapuh seperti dulu. Harsa terlihat kuat dan tegar.“Aku hanya ingin bicara.”Harsa membuka sedikit pintu. Tidak mempersilakan masuk, tapi juga tidak langsung menolak."Aku tidak datang untuk membela diri. Aku tau, aku salah. Dan mungkin, bahkan maaf pun tidak pantas aku minta.” Suara Rajendra parau. “Tapi aku tetap ingin memintanya. Bukan karena aku ingin menghapus semuanya, tapi karena aku ingin memperbaiki semua yang sudah hancur.”Harsa menunduk
Darah terus mengalir. Terlalu banyak dan wajah Harsa semakin pucat.“Raka,” gumamnya lemah, menyebut satu-satunya nama yang akhir-akhir ini menemaninya. Tetapi pria itu sedang mencari mobil untuk membawa Harsa ke rumah sakit terdekat yang letaknya satu jam dari desa jika tidak banjir.“Aku takut,” bisik Harsa, pandangannya mulai mengabur. “Aku belum lihat anakku.”"Tolong ... tolong selamatkan bayinya." Suaranya hampir tak terdengar.Bidan dan para ibu bekerja dengan cepat, panik dan dibalut doa. Detik-detik berlalu dalam teror yang seakan membekukan waktu. Lalu tangis bayi pecah. Keras dan nyaring.Salah satu tetangga berteriak. “Bayinya perempuan!”Namun, semua sorot mata segera beralih ke Harsa yang diam tidak bergerak.“Harsa?” Bidan memeriksa denyut nadinya. Lemah. Nyaris tidak ada.“Cepat, ambilkan air hangat dan handuk! Jangan biarkan dia tertidur!”Tubuh Harsa bergetar. Bibirnya berbisik pelan. “Dia … mirip ayahnya, ya?”Dan kemudian gelap menelannya pelan.Beberapa Jam Kemudi