Share

7. Sang Penggoda

Penulis: thxyousomatcha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-24 11:40:27

Acara bisnis yang diadakan di ballroom hotel bintang lima itu dipenuhi oleh para pebisnis ternama, investor dan tokoh penting dari berbagai industri. Lampu kristal yang megah menggantung di langit-langit, menerangi ruangan yang dipenuhi percakapan formal dan gelak tawa ringan. Musik klasik mengalun dengan lembut, menciptakan suasana yang elegan. Lampu kristal yang menggantung di langit-langit berkilauan, memantulkan cahaya ke setiap sudut ruangan.

Rajendra hadir sebagai salah satu tamu kehormatan, mengenakan setelan jas hitam yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Seperti biasa, dia tampak karismatik dan berwibawa, menarik perhatian banyak orang di dalam ruangan. Di sampingnya, Arlina berjalan anggun dengan gaun hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Belahan tinggi pada gaunnya memperlihatkan kaki jenjangnya setiap kali dia melangkah. Senyumnya selalu tersungging dan tatapan matanya tidak pernah lepas dari Rajendra. Sejak awal acara, Arlina terus mencari celah untuk mendekati Rajendra lebih dari sekadar hubungan profesional.

Ketika Rajendra sedang berbicara dengan seorang mitra bisnis, Arlina berpura-pura merapikan dasi pria itu. "Tuan Rajendra, dasi Anda sedikit miring," ujarnya lembut. Jemarinya menyentuh dada pria itu secara halus.

Namun, Rajendra hanya menatapnya sesaat dan mundur selangkah—menciptakan jarak. "Terima kasih, tapi Saya bisa menanganinya sendiri," balasnya singkat. Lalu kembali fokus pada percakapannya.

Arlina tidak menyerah. Saat makan malam dimulai, dia sengaja memilih duduk di sebelah Rajendra. Sesekali, lututnya bersentuhan dengan kaki pria itu di bawah meja. Dia pura-pura tidak sengaja, tetapi Rajendra segera menarik kakinya tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Oh, tentu saja—Rajendra tidak akan begitu mudah tergoda dengan wanita seperti Arlina.

"Anda tampak lelah, Tuan," bisik Arlina ketika mereka berdiri di area lounge setelah makan malam selesai.

Rajendra hanya meliriknya sekilas. "Hanya banyak pekerjaan," balasnya, tetap menjaga sikap profesional. Meskipun sebenarnya, dia bisa saja tidak menjawab kalimat Arlina yang tidak berguna dan terlalu berbasa-basi itu.

Arlina mendekat sedikit lagi, membiarkan parfum mahalnya tercium jelas. "Mungkin Anda butuh seseorang untuk membantu mengurangi stres."

Rajendra menatapnya, tetapi kali ini sorot matanya dingin. "Jangan mencoba untuk menggodaku, Arlina."

"Jika kamu lupa, akan kuingatkan. Aku sudah memiliki seseorang yang bisa melakukan itu. Dia adalah istriku."

Jawaban itu membuat Arlina terdiam sesaat, tetapi dia tidak menyerah. Dia tertawa kecil, berusaha tetap menggoda. "Tentu saja, tapi tidak ada salahnya menikmati kebersamaan dengan orang lain juga, bukan?"

Rajendra tidak menjawab dan memilih mengabaikan sikap sekertarisnya itu. Sebenarnya, Rajendra bisa saja langsung memecat Arlina karena sikapnya yang mendadak kurang ajar. Hanya saja, ada beberapa yang perlu dia pertimbangkan. Karena di luar dari sikapnya yang mulai berani, wanita itu sangat pintar dan pandai dalam profesinya. Bahkan di saat Arlina masih bekerja di perusahaannya, banyak perusahaan lain yang berusaha untuk mengambil darinya. Jejak prestasi wanita itu tidak berbohong. Mungkin nanti, saat Rajendra sudah menemukan pengganti yang tepat.

Arlina terpaksa tersenyum meskipun dalam hatinya kesal. Rajendra terlalu setia pada Harsa. Namun, dia tidak akan berhenti sampai di sini. Bagaimanapun juga, dia sudah memiliki tugas dari Ny. Ratri dan dirinya tidak akan gagal. Sementara itu, Rajendra meninggalkan ballroom dengan santai. Dia tau betul apa yang sedang Arlina coba lakukan, tetapi kesetiaannya pada Harsa tetap menjadi nomor satu. Tanpa dirinya sadari, perangkap yang lebih besar telah disiapkan oleh Ibunya sendiri.

Acara bisnis malam itu hampir selesai, para tamu mulai meninggalkan ballroom dengan langkah santai. Rajendra baru saja selesai berbicara dengan beberapa kolega dan sedang berjalan menuju area lounge ketika tiba-tiba seorang pelayan yang membawa nampan berisi gelas anggur tersandung. Tanpa sengaja, tubuh Arlina yang berdiri di dekat Rajendra terdorong, membuatnya kehilangan keseimbangan.

"Ah!" seru Arlina terkejut. Tubuhnya terhuyung ke depan.

Refleks, Rajendra menangkap tubuhnya sebelum wanita itu benar-benar jatuh ke lantai. Namun, karena gerakan mendadak, wajah Arlina hampir menempel di dadanya. Dalam posisi itu, bibirnya yang dipoles lipstik merah menyentuh kerah kemeja putih Rajendra. Sesaat, suasana terasa membeku. Beberapa orang yang masih berada di ruangan sekilas melirik ke arah mereka, tetapi tidak ada yang benar-benar memperhatikan detailnya.

Arlina menggigit bibirnya, lalu dengan ekspresi yang dibuat seolah malu, dia berkata pelan. "Maaf, Saya tidak sengaja, Tuan."

Rajendra segera melepaskan pegangannya, mundur selangkah dan memastikan Arlina baik-baik saja. "Lain kali hati-hati."

Pelayan yang merasa bersalah segera meminta maaf, tetapi Rajendra hanya mengangguk dan menyuruhnya kembali bekerja. Tanpa menyadari apa yang terjadi pada kemejanya, dia melirik jam tangannya. "Aku akan pulang. Pastikan, besok semua laporan proyek sudah siap."

Arlina hanya mengangguk dengan senyum samar, tatapannya penuh arti. Saat Rajendra berjalan keluar dari hotel menuju mobilnya, dia tidak menyadari bahwa ada noda lipstik merah samar yang tertinggal di kerah dan dada kemejanya.

"Tuan!" panggil Arlina saat Rajendra akan melangkah keluar meninggalkan ballroom. Rajendra menoleh, menatap Arlina penuh tanya.

Wanita itu langsung berlari kecil, menghampiri Rajendra. Masih dengan memperlihatkan senyum centilnya. "Bolehkah Saya pulang bersama Tuan?"

"Karena tadi, Saya datang menggunakan tak-si."

"Akan kupesankan tak-si untukmu," balas Rajendra dengan datar dan berlalu begitu saja membuat Arlina mencebik. Dengan perasaan kesal, dia berjalan mengekor di belakang pria itu. Tidak mudah menaklukkan seorang Rajendra memang.

Dalam diamnya, Arlina terus menatap punggung Rajendra yang terasa semakin jauh untuk digapainya. Lihat saja, dia benar-benar akan melakukan hal nekat untuk membuat pikiran Harsa kacau saat melihatnya. Dia akan mempermainkan hati dan pikiran istri dari bos-nya itu. Harsa yang malang. Bahkan mertuanya sendiri benar-benar tidak menginginkan kehadirannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    Ekstra Part: Yang Layak Dicintai

    Langit biru cerah menaungi rumah kayu sederhana yang telah direnovasi indah di pinggir desa, dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang Harsa tanam sendiri selama berbulan-bulan terakhir. Udara hangat membawa suara tawa seorang gadis kecil dan langkah kaki riang dari halaman depan.Hari ini, rumah itu bukan sekadar tempat tinggal. Hari ini, rumah itu menjadi saksi Harsa memulai kembali hidupnya. Di dalam rumah, Harsa berdiri di depan cermin besar, mengenakan kebaya lembut warna krem gading. Senyumnya mengembang pelan, begitu tulus, meskipun matanya berkaca-kaca. Rambutnya disanggul rapi, beberapa helai rambut lembut sengaja dibiarkan menjuntai. Di perutnya, tangan seorang wanita paruh baya membantu mengikatkan selendang dengan pelan."Kamu cantik sekali, Nak," ujar wanita itu, Ibu Raka.Harsa mengangguk kecil. “Aku gugup, Bu.”“Tidak perlu gugup kalau kamu tau lelaki yang menunggumu di pelaminan itu akan memuliakanmu seumur hidupnya.”Kalimat itu membuat air mata Harsa luruh tanpa suara.

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    55. Kebahagiaan Sesungguhnya

    Rumah kayu sederhana di ujung desa itu dipeluk senyap sore hari. Aroma kayu bakar dari dapur, tawa kecil putri mungilnya dan semilir angin yang membawa damai—itulah kehidupan yang kini dijalani Harsa. Namun, sore itu datang seorang tamu yang tidak pernah dia sangka.Ny. Ratri.Wanita yang dulu begitu dingin, kaku dan tajam dalam kata-katanya kini berdiri di beranda rumah, mengenakan selendang tenun yang menutupi bahunya. Usianya memang belum terlalu tua, tapi raut wajahnya lebih tenang, seperti seseorang yang telah bergulat lama dengan penyesalan. Harsa membukakan pintu. Kaget, tentu saja, tapi dia tetap menyambut dengan hangat dan sopan.“Silakan masuk, Bu,” ujarnya pelan.Ny. Ratri duduk di kursi kayu panjang di ruang tamu, matanya menyapu seisi rumah yang sederhana tapi bersih dan terasa hangat. Ada getaran halus di dada wanita itu. Bukan karena hina, tapi karena malu."Aku tidak tau harus memulai dari mana," ujarnya pelan tapi tegas. “Tapi aku datang bukan untuk menyakiti lagi. Ju

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    54. Bedamai dengan Masa Lalu

    Beberapa tahun kemudian.Pagi di desa kecil itu dimulai dengan suara burung yang bersahut-sahutan dan angin lembut yang menerpa pepohonan. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi cahaya keemasannya sudah menyusup masuk melalui sela-sela jendela rumah kayu sederhana, rumah yang dulu pernah menjadi tempat tinggal kakek dan nenek Harsa, kini menjadi rumah kecil yang penuh kehangatan baru.Di dalamnya, terlihat seorang wanita muda sedang menyisir rambut panjang anak perempuannya yang masih mengenakan piyama lucu bermotif kelinci. Gadis kecil itu duduk di atas karpet rotan dengan cermin kecil di hadapannya.“Pelan-pelan, Bunda, nanti aku jadi kelinci galak,” gumam gadis kecil itu membuat Harsa tertawa pelan.“Bunda nggak tau kalau kelinci bisa galak,” balas Harsa lembut, menyematkan pita mungil ke rambut anaknya. “Tapi, kelinci manis seperti kamu, pasti banyak yang sayang.”Anak itu membalikkan tubuh dan langsung memeluk ibunya. “Aku sayang Bunda. Sama besar kayak langit.”Harsa mengecup ubun

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    53. Obsesi Anindira

    Mobil hitam yang membawa Rajendra melaju membelah jalan tol dengan kecepatan sedang. Langit kota sudah mulai menghitam, menyambut malam dengan bias lampu-lampu kendaraan yang tidak henti berkelebat. Tangan pria itu bertumpu di atas kemudi, tapi pikirannya jauh tertinggal di desa tempat Harsa tinggal kini. Di rumah kayu sederhana yang dipenuhi aroma kayu tua dan tangis bayi yang belum sempat ia peluk.Perempuan itu benar-benar menolaknya. Tidak ada ruang untuk negosiasi. Tidak ada celah untuk permintaan maaf dan yang paling menghantam batinnya adalah tatapan itu, tatapan Harsa yang dulu lembut, kini mengeras menjadi dinding dingin yang tidak bisa dia tembus.“Sudah terlambat, Rajendra.”Kalimat itu masih menggema di telinganya, menusuk seperti duri-duri halus yang tidak terlihat, tapi menghantui setiap helaan napasnya. Dia mengerti dan pantas ditolak, pantas dibenci, tapi ternyata mengetahui itu tidak membuat sakitnya berkurang.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Nama Anindira muncul di

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    52. Meminta Kesempatan

    Hujan turun perlahan. Langit desa berwarna abu, seolah ikut menyimpan luka-luka yang belum sembuh. Di teras rumah kayu tempat Harsa tinggal, aroma tanah basah dan teh jahe menguap bersamaan dengan ketegangan yang telah lama tertahan. Rajendra berdiri di depan pintu. Tangannya menggenggam jaket tipis yang dikenakan dengan setengah kuyup. Napasnya berat, tapi niatnya tidak bergeming.Harsa membukakan pintu, tapi tetap dengan tatapan netral. Dingin, datar dan penuh jarak."Ada apa?" tanyanya.Rajendra menatap perempuan itu—yang kini tidak lagi rapuh seperti dulu. Harsa terlihat kuat dan tegar.“Aku hanya ingin bicara.”Harsa membuka sedikit pintu. Tidak mempersilakan masuk, tapi juga tidak langsung menolak."Aku tidak datang untuk membela diri. Aku tau, aku salah. Dan mungkin, bahkan maaf pun tidak pantas aku minta.” Suara Rajendra parau. “Tapi aku tetap ingin memintanya. Bukan karena aku ingin menghapus semuanya, tapi karena aku ingin memperbaiki semua yang sudah hancur.”Harsa menunduk

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    51. Antara Hidup dan Mati

    Darah terus mengalir. Terlalu banyak dan wajah Harsa semakin pucat.“Raka,” gumamnya lemah, menyebut satu-satunya nama yang akhir-akhir ini menemaninya. Tetapi pria itu sedang mencari mobil untuk membawa Harsa ke rumah sakit terdekat yang letaknya satu jam dari desa jika tidak banjir.“Aku takut,” bisik Harsa, pandangannya mulai mengabur. “Aku belum lihat anakku.”"Tolong ... tolong selamatkan bayinya." Suaranya hampir tak terdengar.Bidan dan para ibu bekerja dengan cepat, panik dan dibalut doa. Detik-detik berlalu dalam teror yang seakan membekukan waktu. Lalu tangis bayi pecah. Keras dan nyaring.Salah satu tetangga berteriak. “Bayinya perempuan!”Namun, semua sorot mata segera beralih ke Harsa yang diam tidak bergerak.“Harsa?” Bidan memeriksa denyut nadinya. Lemah. Nyaris tidak ada.“Cepat, ambilkan air hangat dan handuk! Jangan biarkan dia tertidur!”Tubuh Harsa bergetar. Bibirnya berbisik pelan. “Dia … mirip ayahnya, ya?”Dan kemudian gelap menelannya pelan.Beberapa Jam Kemudi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status