Acara bisnis yang diadakan di ballroom hotel bintang lima itu dipenuhi oleh para pebisnis ternama, investor dan tokoh penting dari berbagai industri. Lampu kristal yang megah menggantung di langit-langit, menerangi ruangan yang dipenuhi percakapan formal dan gelak tawa ringan. Musik klasik mengalun dengan lembut, menciptakan suasana yang elegan. Lampu kristal yang menggantung di langit-langit berkilauan, memantulkan cahaya ke setiap sudut ruangan.
Rajendra hadir sebagai salah satu tamu kehormatan, mengenakan setelan jas hitam yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Seperti biasa, dia tampak karismatik dan berwibawa, menarik perhatian banyak orang di dalam ruangan. Di sampingnya, Arlina berjalan anggun dengan gaun hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Belahan tinggi pada gaunnya memperlihatkan kaki jenjangnya setiap kali dia melangkah. Senyumnya selalu tersungging dan tatapan matanya tidak pernah lepas dari Rajendra. Sejak awal acara, Arlina terus mencari celah untuk mendekati Rajendra lebih dari sekadar hubungan profesional. Ketika Rajendra sedang berbicara dengan seorang mitra bisnis, Arlina berpura-pura merapikan dasi pria itu. "Tuan Rajendra, dasi Anda sedikit miring," ujarnya lembut. Jemarinya menyentuh dada pria itu secara halus. Namun, Rajendra hanya menatapnya sesaat dan mundur selangkah—menciptakan jarak. "Terima kasih, tapi Saya bisa menanganinya sendiri," balasnya singkat. Lalu kembali fokus pada percakapannya. Arlina tidak menyerah. Saat makan malam dimulai, dia sengaja memilih duduk di sebelah Rajendra. Sesekali, lututnya bersentuhan dengan kaki pria itu di bawah meja. Dia pura-pura tidak sengaja, tetapi Rajendra segera menarik kakinya tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Oh, tentu saja—Rajendra tidak akan begitu mudah tergoda dengan wanita seperti Arlina. "Anda tampak lelah, Tuan," bisik Arlina ketika mereka berdiri di area lounge setelah makan malam selesai. Rajendra hanya meliriknya sekilas. "Hanya banyak pekerjaan," balasnya, tetap menjaga sikap profesional. Meskipun sebenarnya, dia bisa saja tidak menjawab kalimat Arlina yang tidak berguna dan terlalu berbasa-basi itu. Arlina mendekat sedikit lagi, membiarkan parfum mahalnya tercium jelas. "Mungkin Anda butuh seseorang untuk membantu mengurangi stres." Rajendra menatapnya, tetapi kali ini sorot matanya dingin. "Jangan mencoba untuk menggodaku, Arlina." "Jika kamu lupa, akan kuingatkan. Aku sudah memiliki seseorang yang bisa melakukan itu. Dia adalah istriku." Jawaban itu membuat Arlina terdiam sesaat, tetapi dia tidak menyerah. Dia tertawa kecil, berusaha tetap menggoda. "Tentu saja, tapi tidak ada salahnya menikmati kebersamaan dengan orang lain juga, bukan?" Rajendra tidak menjawab dan memilih mengabaikan sikap sekertarisnya itu. Sebenarnya, Rajendra bisa saja langsung memecat Arlina karena sikapnya yang mendadak kurang ajar. Hanya saja, ada beberapa yang perlu dia pertimbangkan. Karena di luar dari sikapnya yang mulai berani, wanita itu sangat pintar dan pandai dalam profesinya. Bahkan di saat Arlina masih bekerja di perusahaannya, banyak perusahaan lain yang berusaha untuk mengambil darinya. Jejak prestasi wanita itu tidak berbohong. Mungkin nanti, saat Rajendra sudah menemukan pengganti yang tepat. Arlina terpaksa tersenyum meskipun dalam hatinya kesal. Rajendra terlalu setia pada Harsa. Namun, dia tidak akan berhenti sampai di sini. Bagaimanapun juga, dia sudah memiliki tugas dari Ny. Ratri dan dirinya tidak akan gagal. Sementara itu, Rajendra meninggalkan ballroom dengan santai. Dia tau betul apa yang sedang Arlina coba lakukan, tetapi kesetiaannya pada Harsa tetap menjadi nomor satu. Tanpa dirinya sadari, perangkap yang lebih besar telah disiapkan oleh Ibunya sendiri. Acara bisnis malam itu hampir selesai, para tamu mulai meninggalkan ballroom dengan langkah santai. Rajendra baru saja selesai berbicara dengan beberapa kolega dan sedang berjalan menuju area lounge ketika tiba-tiba seorang pelayan yang membawa nampan berisi gelas anggur tersandung. Tanpa sengaja, tubuh Arlina yang berdiri di dekat Rajendra terdorong, membuatnya kehilangan keseimbangan. "Ah!" seru Arlina terkejut. Tubuhnya terhuyung ke depan. Refleks, Rajendra menangkap tubuhnya sebelum wanita itu benar-benar jatuh ke lantai. Namun, karena gerakan mendadak, wajah Arlina hampir menempel di dadanya. Dalam posisi itu, bibirnya yang dipoles lipstik merah menyentuh kerah kemeja putih Rajendra. Sesaat, suasana terasa membeku. Beberapa orang yang masih berada di ruangan sekilas melirik ke arah mereka, tetapi tidak ada yang benar-benar memperhatikan detailnya. Arlina menggigit bibirnya, lalu dengan ekspresi yang dibuat seolah malu, dia berkata pelan. "Maaf, Saya tidak sengaja, Tuan." Rajendra segera melepaskan pegangannya, mundur selangkah dan memastikan Arlina baik-baik saja. "Lain kali hati-hati." Pelayan yang merasa bersalah segera meminta maaf, tetapi Rajendra hanya mengangguk dan menyuruhnya kembali bekerja. Tanpa menyadari apa yang terjadi pada kemejanya, dia melirik jam tangannya. "Aku akan pulang. Pastikan, besok semua laporan proyek sudah siap." Arlina hanya mengangguk dengan senyum samar, tatapannya penuh arti. Saat Rajendra berjalan keluar dari hotel menuju mobilnya, dia tidak menyadari bahwa ada noda lipstik merah samar yang tertinggal di kerah dan dada kemejanya. "Tuan!" panggil Arlina saat Rajendra akan melangkah keluar meninggalkan ballroom. Rajendra menoleh, menatap Arlina penuh tanya. Wanita itu langsung berlari kecil, menghampiri Rajendra. Masih dengan memperlihatkan senyum centilnya. "Bolehkah Saya pulang bersama Tuan?" "Karena tadi, Saya datang menggunakan tak-si." "Akan kupesankan tak-si untukmu," balas Rajendra dengan datar dan berlalu begitu saja membuat Arlina mencebik. Dengan perasaan kesal, dia berjalan mengekor di belakang pria itu. Tidak mudah menaklukkan seorang Rajendra memang. Dalam diamnya, Arlina terus menatap punggung Rajendra yang terasa semakin jauh untuk digapainya. Lihat saja, dia benar-benar akan melakukan hal nekat untuk membuat pikiran Harsa kacau saat melihatnya. Dia akan mempermainkan hati dan pikiran istri dari bos-nya itu. Harsa yang malang. Bahkan mertuanya sendiri benar-benar tidak menginginkan kehadirannya."Tamu pentingku akan segera datang. Kuharap, kamu tidak merusak semuanya dengan memperlihatkan batang hidungmu di sini, Harsa." Ny. Ratri menatap Harsa dengan tajam. Kalimatnya terdengar begitu menusuk di telinga.Lagi dan lagi, Harsa hanya bisa mengangguk kaku. Menuruti semua ucapan Ibu mertuanya itu, tanpa bisa membantah. Bahkan hanya membuka mulut dan menjawabnya dengan halus saja, akan menimbulkan perang dunia ke-3. Ny. Ratri dengan sikap otoriternya, membuat Harsa selalu tunduk—seolah menjadi menantu yang tidak berdaya. Terkadang, Harsa selalu berandai, jika saja dia memiliki latar belakang yang setara dengan keluarga Rajendra, maka Ny. Ratri alias Ibu mertuanya itu tidak akan memandangnya sebelah mata.Ny. Ratri akan menyayanginya sebagai menantu—sebagaimana mestinya. Harsa memandang wajah Ny. Ratri dengan tatapan sendunya, ia hanya tersenyum simpul. Saat Harsa akan beranjak dari posisinya, suara Ny. Ratri kembali terdengar. "Tunggu.""Jika aku memberimu uang, seberapa banyak pu
Restoran mewah di pusat kota itu dipenuhi oleh aroma kopi berkualitas tinggi dan melodi piano lembut yang dimainkan secara live. Para tamu yang hadir berasal dari kalangan elite, mengenakan pakaian mahal dan menikmati hidangan kelas atas. Di salah satu meja VIP yang terletak di dekat jendela besar, Ny. Ratri duduk dengan anggun, mengenakan gaun berwarna merah marun dengan perhiasan berlian di jemarinya yang terawat sempurna. Wajahnya menunjukkan ekspresi puas ketika melihat seorang wanita memasuki ruangan dengan aura yang tidak kalah elegan.Nadine Sita Wijaya—wanita berusia sekitar lima puluhan dengan tubuh tinggi semampai dan kecantikan khas wanita Asia—melangkah masuk dengan percaya diri. Gaun biru navy yang dia kenakan terlihat mahal, sementara tas tangan branded menggantung di lengannya. Rambutnya yang cokelat gelap ditata rapi dan setiap langkahnya menunjukkan kelasnya sebagai wanita yang terbiasa hidup di lingkungan aristokrat."Akhirnya kita bertemu lagi, Ratri."Ny. Ratri men
Harsa sibuk membersihkan kamar mereka seperti biasa. Tangannya yang mungil dengan cekatan merapikan tempat tidur, memastikan tidak ada satu pun lipatan yang berantakan. Aroma lembut dari pewangi ruangan menyebar ke seluruh sudut kamar yang luas dan mewah, tetapi tetap terasa dingin dan kosong. Setelah memastikan semua rapi, dia berjalan menuju lemari pakaian Rajendra. Di sana, tergantung beberapa setelan jas mahal milik suaminya. Penuh kehati-hatian, dia membuka bagian laci di bawahnya dan mengambil keranjang pakaian kotor yang sudah penuh.Satu per satu, Harsa mengumpulkan pakaian yang harus dicuci. Melipat lengan kemeja dengan rapi sebelum dimasukkan ke dalam kantong laundry. Namun, di antara tumpukan pakaian itu, matanya menangkap sesuatu yang aneh. Sebuah kemeja putih yang Rajendra pakai tadi malam, ternyata memiliki noda mencurigakan di bagian kerahnya. Harsa mengernyit, menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas. Dia mengangkat kemeja itu, mendekatkannya ke cahaya dan saat itula
Cuaca begitu cerah dengan langit biru tanpa awan. Sebuah restoran mewah dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal menggantung megah di atas meja-meja yang tertata rapi. Para tamu berbincang dengan suara rendah, menciptakan suasana elegan yang khas. Di salah satu sudut ruangan, sebuah meja panjang telah disiapkan untuk pertemuan reuni Ny. Ratri bersama teman-teman kuliahnya. Mereka adalah wanita-wanita dari kalangan terpandang. Sebagian besar menikah dengan pria berpengaruh dan beberapa lainnya sukses membangun kerajaan bisnisnya sendiri.Ny. Ratri melangkah masuk dengan anggun, menggandeng Harsa di sisinya. Wanita paruh baya itu mengenakan gaun mahal dengan potongan sempurna, senyuman tipisnya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar kegembiraan bertemu teman lama. Saat Ny. Ratri dan Harsa mendekat, mereka para wanita sosialita langsung memperhatikan. Terlihat sangat jelas, jika Harsa merasa tidak nyaman berada di posisi seperti ini. Gaun sederhana yang dikenakan Harsa, terliha
Acara bisnis yang diadakan di ballroom hotel bintang lima itu dipenuhi oleh para pebisnis ternama, investor dan tokoh penting dari berbagai industri. Lampu kristal yang megah menggantung di langit-langit, menerangi ruangan yang dipenuhi percakapan formal dan gelak tawa ringan. Musik klasik mengalun dengan lembut, menciptakan suasana yang elegan. Lampu kristal yang menggantung di langit-langit berkilauan, memantulkan cahaya ke setiap sudut ruangan.Rajendra hadir sebagai salah satu tamu kehormatan, mengenakan setelan jas hitam yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Seperti biasa, dia tampak karismatik dan berwibawa, menarik perhatian banyak orang di dalam ruangan. Di sampingnya, Arlina berjalan anggun dengan gaun hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Belahan tinggi pada gaunnya memperlihatkan kaki jenjangnya setiap kali dia melangkah. Senyumnya selalu tersungging dan tatapan matanya tidak pernah lepas dari Rajendra. Sejak awal acara, Arlina terus mencari celah untuk mendekati
Di ruang tamu yang luas dan elegan, Ny. Ratri duduk dengan anggun di sofa berlapis kain beludru keemasan. Aroma teh melati yang baru diseduh menguar dari cangkir porselen di tangannya, tetapi pikirannya jauh dari kenikmatan minuman itu. Matanya yang tajam menatap lurus ke depan, seakan sedang menyusun strategi di dalam benaknya. Seorang pelayan mendekat dengan penuh hormat. "Nyonya, seseorang sudah menghubungi Nona Arlina. Dia akan segera tiba." Ny. Ratri mengangguk kecil tanpa menoleh. "Pastikan tidak ada yang mengganggu pertemuan kami." Pelayan itu membungkuk sebelum melangkah pergi. "Baik, Nyonya." Ny. Ratri menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Sudah cukup melihat Harsa berpura-pura menjadi bagian dari keluarga ini. Tidak lama kemudian, suara langkah kaki berhak tinggi menggema di sepanjang koridor marmer. Pintu dibuka oleh seorang pelayan lain, memperlihatkan sosok Arlina—wanita dengan tubuh semampai, pakaian formal yang pas di tubuhnya, serta wajah cantik dengan