Share

6. Kambing Hitam

last update Last Updated: 2025-08-22 16:36:59

Di ruang tamu yang luas dan elegan, Ny. Ratri duduk dengan anggun di sofa berlapis kain beludru keemasan. Aroma teh melati yang baru diseduh menguar dari cangkir porselen di tangannya, tetapi pikirannya jauh dari kenikmatan minuman itu. Matanya yang tajam menatap lurus ke depan, seakan sedang menyusun strategi di dalam benaknya. Seorang pelayan mendekat dengan penuh hormat. "Nyonya, seseorang sudah menghubungi Nona Arlina. Dia akan segera tiba."

Ny. Ratri mengangguk kecil tanpa menoleh. "Pastikan tidak ada yang mengganggu pertemuan kami."

Pelayan itu membungkuk sebelum melangkah pergi. "Baik, Nyonya."

Ny. Ratri menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Sudah cukup melihat Harsa berpura-pura menjadi bagian dari keluarga ini. Tidak lama kemudian, suara langkah kaki berhak tinggi menggema di sepanjang koridor marmer. Pintu dibuka oleh seorang pelayan lain, memperlihatkan sosok Arlina—wanita dengan tubuh semampai, pakaian formal yang pas di tubuhnya, serta wajah cantik dengan senyum penuh percaya diri.

"Selamat siang, Ny. Ratri," sapa Arlina lembut, berjalan mendekat dengan anggun. "Saya datang sesuai permintaan Anda."

Ny. Ratri menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu memberi isyarat agar wanita itu duduk. Arlina menurut, menempatkan dirinya dengan nyaman di sofa seberang.

"Kamu tau kenapa aku memanggilmu?" tanya Ny. Ratri. Suaranya tenang, tetapi mengandung makna tersembunyi.

Arlina tersenyum tipis. "Saya bisa menebak-nebak."

Ny. Ratri meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan di atas meja. "Rajendra adalah pria yang luar biasa. Tampan, cerdas dan berasal dari keluarga terpandang. Tapi sayangnya ....." Dia berhenti sejenak, matanya menyipit. "Putraku terjebak dalam pernikahan yang salah.

Arlina menautkan jemarinya, mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Harsa tidak pantas untuknya." Lanjut Ny. Ratri. "Sejak awal aku sudah tau, jika perempuan itu hanya akan menjadi beban."

"Putraku itu terlalu keras kepala dan aku butuh seseorang yang bisa membantuku menyadarkannya." Ny. Ratri bahkan tidak bersusah payah untuk menyembunyikan ketidaksukaannya.

Arlina mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Dan Anda berpikir bahwa Saya bisa menjadi orang itu?"

Ny. Ratri tersenyum tipis. "Kamu adalah wanita yang menarik, cerdas dan lebih pantas berdiri di sisi Rajendra dibanding wanita itu." Dia menyilangkan tangan di pangkuannya. "Aku ingin kamu lebih dekat dengannya. Buat dia melihat bahwa ada pilihan yang lebih baik. Seseorang yang bisa benar-benar mendukungnya, bukan hanya menjadi beban di hidupnya."

Arlina berpura-pura berpikir. Meskipun di dalam hatinya, dia sudah memiliki jawabannya. Ini adalah kesempatan yang menarik. "Jika Saya setuju ... apa yang akan Saya dapatkan?"

Ny. Ratri tertawa kecil. "Aku tidak akan membiarkan orang yang berpihak padaku berakhir dengan tangan kosong." Dia menatap Arlina dengan pandangan penuh janji. "Jika kamu berhasil, kamu akan mendapatkan lebih dari sekadar perhatian Rajendra. Kamu akan mendapatkan tempat yang layak di sisi pria yang punya segalanya."

Arlina menimbang-nimbang kata-kata itu, lalu tersenyum lebih lebar. "Kedengarannya seperti tawaran yang sulit ditolak."

Ny. Ratri menegakkan punggungnya, matanya bersinar penuh kemenangan. "Bagus. Aku yakin kamu tau harus berbuat apa."

Arlina menyesap teh yang disediakan untuknya, bibirnya melengkung dengan penuh kepuasan. Permainan ini baru saja dimulai. Lalu setelah itu, Arlina berpamitan untuk kembali ke kantor.

"Dia cantik, tapi terlalu bodoh untuk mengerti semuanya."

"Baginya, uang dan kekuasaan adalah segalanya." Lanjut Ny. Ratri begitu Arlina keluar dari rumah.

Setelah pertemuannya dengan Arlina, Ny. Ratri duduk di ruang kerjanya yang megah. Matanya menatap layar ponsel dengan ekspresi penuh perhitungan. Dia lalu menekan sebuah nama di daftar kontaknya. Tidak butuh waktu lama, panggilannya diangkat.

"Ratri! Betapa jarangnya kamu meneleponku." Terdengar suara seorang wanita dari seberang.

Ny. Ratri tersenyum kecil. "Karena aku hanya menelepon untuk hal-hal penting, Sita."

"Ah, jadi kali ini ada sesuatu yang menarik? Aku penasaran," jawab wanita itu. Nadine Sita Wijaya, sahabat lamanya yang kini tinggal di luar negeri bersama putrinya, Anindira.

"Aku ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan secara langsung. Sesuatu yang menyangkut masa depan Rajendra," ujar Ny. Ratri tidak bertele-tele.

Nadine terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa ringan. "Aku mulai bisa menebak arah pembicaraan ini. Aku dan Anindira kebetulan akan ke Jakarta minggu depan. Mungkin kita bisa makan siang bersama?"

"Itu ide yang bagus," ujar Ny. Ratri, senyumnya semakin lebar. "Aku akan menyiapkan tempat terbaik untuk pertemuan kita."

Setelah mengatur janji temu, Ny. Ratri mengakhiri panggilan dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Semua akan berjalan sesuai rencana. Arlina hanya bidak kecil dalam permainan ini. Wanita itu memang menarik, tetapi bukan kelas yang layak untuk menjadi menantu keluarga mereka. Wanita itu hanya alat, pemicu untuk merusak pernikahan Rajendra dan Harsa. Sementara itu, Anindira adalah calon istri yang sesungguhnya. Cantik, berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga terpandang dan yang terpenting—akan membawa keuntungan besar bagi keluarga mereka, jika bersatu dengan Rajendra. Ny. Ratri menyesap tehnya dengan tenang. Pikirannya sudah membayangkan pernikahan mewah yang akan segera dia wujudkan. Tinggal menunggu waktu hingga Harsa benar-benar tersingkir dari hidupnya dan yang lebih penting adalah hidup putranya.

***

Di dalam apartemen mewahnya, Arlina berdiri di depan cermin besar. Dia menatap bayangannya dengan senyum penuh kepuasan. Jemarinya yang lentik merapikan gaun satin merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Setelah pertemuannya dengan Ny. Ratri, Arlina tidak bisa berhenti memikirkan betapa besar kesempatan yang kini ada di tangannya. Menjadi wanita yang dipilih oleh Ibu mertua seorang pria kaya seperti Rajendra bukanlah hal yang bisa didapatkan sembarang orang.

"Jadi, kamu ingin aku menghancurkan rumah tangga mereka?" gumamnya pelan, mengingat kembali kata-kata Ny. Ratri saat mereka bertemu. "Buat Rajendra berpaling darinya. Jika dia sudah jatuh ke pelukanmu, aku yang akan mengurus sisanya."

Arlina tertawa kecil, lalu mengambil segelas anggur dari meja dan menyesapnya perlahan. Matanya bersinar penuh perhitungan.

"Maaf, Harsa," bisiknya sinis. "Tapi kamu terlalu naif, ika berpikir bisa mempertahankan seorang pria seperti Rajendra tanpa perlawanan."

Arlina sudah lama mengincar Rajendra. Sejak pertama kali bekerja sebagai sekretarisnya, dia selalu tertarik pada pria itu. Ketampanannya, kekuasaannya dan tentu saja, kekayaannya. Wanita mana yang tidak menyukai uang? Selama ini, dia menunggu kesempatan untuk mendekati Rajendra, tetapi pria itu selalu menjaga batasan. Meskipun dirinya pernah beberapa kali mencoba menggoda pria itu dan membuat cemburu Harsa, tapi semua usahanya sia-sia. Namun sekarang, dengan restu dari Ny. Ratri sendiri, tidak ada lagi yang bisa menghalangi jalannya.

"Rajendra Jayakusuma ... tunggu dan lihat apa yang akan aku lakukan," gumam Arlina dengan sorot mata yang menggebu. "Jika sendiri, mungkin aku tidak akan pernah bisa mendapatkanmu. Tapi sepertinya, Tuhan begitu baik dengan mengadirkan Ny. Ratri dengan segala rencananya."

Arlina berjalan menuju lemari, membuka pintunya dan memilih sebuah gaun hitam dengan belahan tinggi. Gaun yang sempurna untuk kebetulan bertemu dengan Rajendra di sebuah acara bisnis besok malam. Dia tersenyum licik.

"Permainan baru saja dimulai."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    Ekstra Part: Yang Layak Dicintai

    Langit biru cerah menaungi rumah kayu sederhana yang telah direnovasi indah di pinggir desa, dikelilingi bunga-bunga bermekaran yang Harsa tanam sendiri selama berbulan-bulan terakhir. Udara hangat membawa suara tawa seorang gadis kecil dan langkah kaki riang dari halaman depan.Hari ini, rumah itu bukan sekadar tempat tinggal. Hari ini, rumah itu menjadi saksi Harsa memulai kembali hidupnya. Di dalam rumah, Harsa berdiri di depan cermin besar, mengenakan kebaya lembut warna krem gading. Senyumnya mengembang pelan, begitu tulus, meskipun matanya berkaca-kaca. Rambutnya disanggul rapi, beberapa helai rambut lembut sengaja dibiarkan menjuntai. Di perutnya, tangan seorang wanita paruh baya membantu mengikatkan selendang dengan pelan."Kamu cantik sekali, Nak," ujar wanita itu, Ibu Raka.Harsa mengangguk kecil. “Aku gugup, Bu.”“Tidak perlu gugup kalau kamu tau lelaki yang menunggumu di pelaminan itu akan memuliakanmu seumur hidupnya.”Kalimat itu membuat air mata Harsa luruh tanpa suara.

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    55. Kebahagiaan Sesungguhnya

    Rumah kayu sederhana di ujung desa itu dipeluk senyap sore hari. Aroma kayu bakar dari dapur, tawa kecil putri mungilnya dan semilir angin yang membawa damai—itulah kehidupan yang kini dijalani Harsa. Namun, sore itu datang seorang tamu yang tidak pernah dia sangka.Ny. Ratri.Wanita yang dulu begitu dingin, kaku dan tajam dalam kata-katanya kini berdiri di beranda rumah, mengenakan selendang tenun yang menutupi bahunya. Usianya memang belum terlalu tua, tapi raut wajahnya lebih tenang, seperti seseorang yang telah bergulat lama dengan penyesalan. Harsa membukakan pintu. Kaget, tentu saja, tapi dia tetap menyambut dengan hangat dan sopan.“Silakan masuk, Bu,” ujarnya pelan.Ny. Ratri duduk di kursi kayu panjang di ruang tamu, matanya menyapu seisi rumah yang sederhana tapi bersih dan terasa hangat. Ada getaran halus di dada wanita itu. Bukan karena hina, tapi karena malu."Aku tidak tau harus memulai dari mana," ujarnya pelan tapi tegas. “Tapi aku datang bukan untuk menyakiti lagi. Ju

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    54. Bedamai dengan Masa Lalu

    Beberapa tahun kemudian.Pagi di desa kecil itu dimulai dengan suara burung yang bersahut-sahutan dan angin lembut yang menerpa pepohonan. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi cahaya keemasannya sudah menyusup masuk melalui sela-sela jendela rumah kayu sederhana, rumah yang dulu pernah menjadi tempat tinggal kakek dan nenek Harsa, kini menjadi rumah kecil yang penuh kehangatan baru.Di dalamnya, terlihat seorang wanita muda sedang menyisir rambut panjang anak perempuannya yang masih mengenakan piyama lucu bermotif kelinci. Gadis kecil itu duduk di atas karpet rotan dengan cermin kecil di hadapannya.“Pelan-pelan, Bunda, nanti aku jadi kelinci galak,” gumam gadis kecil itu membuat Harsa tertawa pelan.“Bunda nggak tau kalau kelinci bisa galak,” balas Harsa lembut, menyematkan pita mungil ke rambut anaknya. “Tapi, kelinci manis seperti kamu, pasti banyak yang sayang.”Anak itu membalikkan tubuh dan langsung memeluk ibunya. “Aku sayang Bunda. Sama besar kayak langit.”Harsa mengecup ubun

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    53. Obsesi Anindira

    Mobil hitam yang membawa Rajendra melaju membelah jalan tol dengan kecepatan sedang. Langit kota sudah mulai menghitam, menyambut malam dengan bias lampu-lampu kendaraan yang tidak henti berkelebat. Tangan pria itu bertumpu di atas kemudi, tapi pikirannya jauh tertinggal di desa tempat Harsa tinggal kini. Di rumah kayu sederhana yang dipenuhi aroma kayu tua dan tangis bayi yang belum sempat ia peluk.Perempuan itu benar-benar menolaknya. Tidak ada ruang untuk negosiasi. Tidak ada celah untuk permintaan maaf dan yang paling menghantam batinnya adalah tatapan itu, tatapan Harsa yang dulu lembut, kini mengeras menjadi dinding dingin yang tidak bisa dia tembus.“Sudah terlambat, Rajendra.”Kalimat itu masih menggema di telinganya, menusuk seperti duri-duri halus yang tidak terlihat, tapi menghantui setiap helaan napasnya. Dia mengerti dan pantas ditolak, pantas dibenci, tapi ternyata mengetahui itu tidak membuat sakitnya berkurang.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Nama Anindira muncul di

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    52. Meminta Kesempatan

    Hujan turun perlahan. Langit desa berwarna abu, seolah ikut menyimpan luka-luka yang belum sembuh. Di teras rumah kayu tempat Harsa tinggal, aroma tanah basah dan teh jahe menguap bersamaan dengan ketegangan yang telah lama tertahan. Rajendra berdiri di depan pintu. Tangannya menggenggam jaket tipis yang dikenakan dengan setengah kuyup. Napasnya berat, tapi niatnya tidak bergeming.Harsa membukakan pintu, tapi tetap dengan tatapan netral. Dingin, datar dan penuh jarak."Ada apa?" tanyanya.Rajendra menatap perempuan itu—yang kini tidak lagi rapuh seperti dulu. Harsa terlihat kuat dan tegar.“Aku hanya ingin bicara.”Harsa membuka sedikit pintu. Tidak mempersilakan masuk, tapi juga tidak langsung menolak."Aku tidak datang untuk membela diri. Aku tau, aku salah. Dan mungkin, bahkan maaf pun tidak pantas aku minta.” Suara Rajendra parau. “Tapi aku tetap ingin memintanya. Bukan karena aku ingin menghapus semuanya, tapi karena aku ingin memperbaiki semua yang sudah hancur.”Harsa menunduk

  • Lembah Duka: Adu Domba sang Ibu Mertua    51. Antara Hidup dan Mati

    Darah terus mengalir. Terlalu banyak dan wajah Harsa semakin pucat.“Raka,” gumamnya lemah, menyebut satu-satunya nama yang akhir-akhir ini menemaninya. Tetapi pria itu sedang mencari mobil untuk membawa Harsa ke rumah sakit terdekat yang letaknya satu jam dari desa jika tidak banjir.“Aku takut,” bisik Harsa, pandangannya mulai mengabur. “Aku belum lihat anakku.”"Tolong ... tolong selamatkan bayinya." Suaranya hampir tak terdengar.Bidan dan para ibu bekerja dengan cepat, panik dan dibalut doa. Detik-detik berlalu dalam teror yang seakan membekukan waktu. Lalu tangis bayi pecah. Keras dan nyaring.Salah satu tetangga berteriak. “Bayinya perempuan!”Namun, semua sorot mata segera beralih ke Harsa yang diam tidak bergerak.“Harsa?” Bidan memeriksa denyut nadinya. Lemah. Nyaris tidak ada.“Cepat, ambilkan air hangat dan handuk! Jangan biarkan dia tertidur!”Tubuh Harsa bergetar. Bibirnya berbisik pelan. “Dia … mirip ayahnya, ya?”Dan kemudian gelap menelannya pelan.Beberapa Jam Kemudi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status