Share

Kepanikan

Setelah duduk dengan tenang selama satu jam. Deryn menghubungi Rio, namun hanya bisa mengeluh karena tidak ada jawaban, begitu pun dengan rekan yang lain. Delia menatap keresahan di wajah suaminya, tidak biasanya.

"Kau kenapa?"

"Tidak apa, tidurlah."

Delia melirik jam di ponsel. "Sebentar lagi kita sampai di stasiun pertama."

Deryn langsung membuka mata semakin lebar. Lantas meliriknya dan bertanya,

"Berapa menit lagi kita sampai?"

"Sekitar sepuluh menit lagi," balasnya setelah memastikan.

"Masih ada waktu." 

"Untuk?" tanyanya melihat Deryn yang menghela napas lega.

"Untuk berpikir."

Delia langsung melengos mendengarnya. "Kepalamu akan cepat botak karena banyak berpikir."

Deryn melirik dan tersenyum tipis. Namun suaminya langsung melotot dan memintanya merunduk. Kereta sudah mulai berjalan pelan, sebentar lagi akan sampai.

"Kenapa?" tanya Delia karena perutnya terhimpit.

"Jangan bersuara," pinta Deryn bukan hanya padanya, tapi semua penghuni kereta yang langsung melirik.

Deryn melirik kaca di samping kursinya. Serangga yang hanya sempat dilihat dalam video siaran langsung dan kiriman Rio, kini tepat berada di depan mata.

"Serangga itu ada di sini," bisik Deryn.

Matanya ditutup paksa oleh tangan suaminya. Sementara telinga mendengar seolah jarum menggores dan menusuk kaca, ngilu. Namun, entah mengapa serangga tersebut terjatuh, dan hanya Deryn yang tahu alasannya.

Deryn mendengar beberapa penumpang yang siap turun, dari gerbong depan. Lantas melirik semua orang.

"Kalian akan turun juga?"

"Memangnya kenapa?" tanya Nino.

"Aku berjualan di dekat sini, kontrakan pun daerah sini," jawab Sia.

"Yakin ingin turun?" tanya Deryn membuat semua orang bungkam.

"Mayat di gerbong 2 pasti diturunkan, dan banyak orang akan ikut turun juga," lanjut Nino.

"Menurut kalian, apakah akan aman?"

Sia yang sudah siap menggenggam dagangan pisau langsung membeku. Duduk kembali dengan perlahan.

"Apakah ada yang punya cream? Foundation juga boleh," tanya Deryn masih berbisik.

"Andin, dia selalu bawa," ucap salah satu penumpang, menunjuk wanita berdress merah.

Andin membongkar tas. "Aku bawa."

"Aku pinjam."

Wanita tersebut memberikan foundation kepada suaminya. Namun membuat Andin hampir menjerit. Karena Deryn memencet kasar, alhasil keluar cukup banyak. Terlebih digunakan untuk mempercantik kaca, dan ia hanya menyembunyikan kepala di antara kursi.

"Dia harusnya bisa memilih mana yang layak untuk melumuri kaca, foundation itu harganya mahal," bisiknya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Andin mendekat, dan langsung merampas foundation.

"Kau ingin hidup, bukan?"

"Apa hubungannya dengan foundation, hah?" sewot wanita berdress merah tersebut.

"Lihat di sebelah kalian," jawab Deryn melirik tiap jendela kereta.

"Ah!" teriak seorang remaja, bahkan sampai tersungkur karena jendela hampir retak.

Deryn langsung melumuri kaca dengan foundation yang kembali dirampas dari tangan Andin. Terbukti, serangga tersebut perlahan menjadi diam dan tidak agresif lagi. Justru berpindah tempat ke jendela lain.

"Keluarkan foundation kalian," ucap Sia memerintah.

Semua pun bergotong royong melumuri jendela dengan apapun yang berwarna putih atau crem, bedak tabur yang dibasahi air, cushion. Hingga seluruh jendela kereta menjadi kumuh.

"Mereka memiliki dua mata."

Itulah yang dikatakan Rio, namun dari yang Deryn lihat, mata di sana hanya pajangan. Tidak begitu sempurna melihat, terbukti dari cara kaki tersebut yang asal mencari cela, dan mengikuti kelompoknya bila berhasil masuk atau keluar.

Suasana kereta kembali tenang, berbeda dengan gerbong 2 dan 3 yang dihuni teriakan. Terdengar kaki merayap juga jendela pecah menimpa lantai kereta. Semua orang menatap Deryn.

"Kita harus bagaimana? Gerbong lain pasti panik."

Deryn meliriknya. "Aku ingat lipstikmu tidak aku tinggal di koper."

Delia melotot. "Aku cuma bawa satu lipstik, jangan macam-macam!"

"Pakai punya ibuku," tawar Nino, dan wanita di samping lelaki tersebut mengangguk sambil tersenyum.

Setelah mengambil lipstik merah cabai, Deryn langsung mengambil tangannya, dan menggambar dengan lipstik.

"Apa yang kau lakukan?"

"Diam."

Delia menurut, bahkan jendela dan pintu gerbong sudah mendapat cap tangannya. Semua orang tersenyum bangga, ternyata Deryn ingin menciptakan kematian palsu di gerbong 4.

"Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" tegurnya.

Deryn hanya mengedikan bahu. "Kau mana mau mendengarkanku."

Andin menyodorkan lipstik merah marun, teksturnya cair. Delia langsung tersenyum licik.

"Ada yang punya air?"

"Aku ada," balas salah satu penumpang lantas mengambil botol air mineral.

Delia mencampur lipstik tersebut dengan air di tangannya, lantas mencipratkan ke beberapa jendela. Deryn tersenyum melihat tindakannya, pasangan yang cocok.

Dari luar pasti terlihat bahwa gerbong 4 adalah tempat tulang-belulang. Pembunuhan bersarang. 

"Kita harus tetap tenang, sampai kereta berhenti," ucap Deryn.

"Lalu?"

"Tunggu saja dulu sampai berhenti, nanti baru kita pikirkan lagi."

Delia melirik suaminya yang sibuk chating dengan seseorang. Mengintip sampai harus bersandar di pundak, Deryn tersenyum. Pria dingin dan cuek pun luluh dengan seorang wanita.

"Chating dengan wanita?" tebak Delia.

"Dengan pria."

Delia melirik dengan tatapan aneh. "Pantas saja kau jarang minta, ternyata suka sama pria."

Deryn menatapnya tajam, membuatnya terkekeh.

Lantas menggulir isi pesan tersebut, melotot menatap suaminya. "Ini salah satu awak kereta?"

Deryn mengangguk. "Aku memintanya untuk tidak membuka gerbong 4, penumpang lain pun pasti akan berpikir kalau gerbong kita sudah tidak ada yang hidup."

"Dari mana kau punya nomornya?"

Deryn menggerakan jari, isyarat uang. Membuatnya menepuk jidat. Delia kira suaminya menggunakan otak, ternyata sama saja dengan orang kaya lainnya.

"Menurutmu hanya gerbong 2 dan 3 saja yang tertular?"

"Bukan tertular, tapi dirayapi."

Delia memutar bola matanya. "Tertular lebih enak didengar daripada dirayapi, memangnya mereka kayu."

"Terserah kau saja."

"Jadi hanya gerbong 2 dan 3 saja?"

Deryn menggeleng. "Aku tidak tahu, tapi yang jelas di gerbong 2 telah menelan banyak korban."

"Jika masih ada yang hidup, mereka akan keluar dan seluruh serangga itu pun ikut?" tanya Nino hati-hati.

Deryn hanya mengangguk.

"Kau selalu tahu lebih dulu dari kami, sebenarnya apa pekerjaanmu?" tanya salah seorang penumpang.

"Apa kau salah satu penyebab wabah serangga itu?" tanya Andin ikut curiga.

"Bukan," jawab Deryn singkat.

"Suamiku ketua di rumah sakit, bagian forensik. Masalah seperti ini tentu dia paham, terlebih terhubung dengan anggota di rumah sakit."

Deryn langsung meliriknya dan berbisik pelan, "kenapa kau bilang aku terhubung dengan orang di rumah sakit?"

"Memang benar, kan?"

Deryn menghela napas kesal.

"Syukurlah, jika kau salah satu penyebab, maka sudah kubiarkan kau menjadi makanan mereka," ucap Sia mendapat banyak persetujuan.

"Kenapa harus satu gerbong dengan bapak-bapak ini, sih?" keluhnya berbisik, sedang Deryn hanya meliriknya.

Kereta sudah benar-benar berhenti. Banyak yang memutuskan untuk turun dengan terburu, saling berdesak. Tidak peduli jika isinya orang berusia lanjut, atau anak-anak. Gerbong 3 dan 5 tampaknya sudah mengosongkan diri.

"Bu kenapa mereka tidak turun?"

"Sudah tidak ada penghuni di sana," jawab seorang ibu-ibu.

"Bu, ada yang merekam kita."

"Siapa?"

"Di jendela kereta itu."

Dan seluruh mata langsung tertuju pada seorang remaja yang duduk paling depan, sedang memegang ponsel dengan kamera menghadap luar. Deryn menghela napas pasrah, usaha yang dilakukan gagal hanya karena satu orang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status