Share

Lenyap Usai Kata Pisah
Lenyap Usai Kata Pisah
Author: An Smith

Bab 1

Author: An Smith
Aku melangkah masuk ke kantor hukum dengan surat cerai tergenggam di tanganku. Sudah empat tahun. Empat tahun sebagai istri Revan Mahendra, pewaris keluarga mafia paling berkuasa di kota ini.

Hari ini, semua berakhir.

Pengacara itu bahkan tidak menoleh ketika aku masuk.

"Aku mau mengajukan gugatan cerai," kataku sambil meletakkan berkas di mejanya.

Dia akhirnya menatapku, rambut dikuncir berantakan, jeans pudar, ransel masih tersampir di bahu. Ekspresinya berubah kaku. "Nona muda, perceraian bukan sesuatu yang bisa diajukan hanya karena keinginan sesaat."

Aku paham kenapa dia tidak menganggapku serius. Aku memang terlihat seperti mahasiswi yang salah masuk kantor, bukan seseorang yang sudah empat tahun menikah.

Tapi aku sudah ada persiapan.

"Cukup stempel saja berkas ini," kataku tenang. "Aku akan dapatkan tanda tangan suamiku."

Kediaman Keluarga Mahendra terasa terlalu sepi saat aku kembali. Penjaga di gerbang bahkan tidak berkedip ketika aku lewat, aku hanyalah keberadaan yang tak pernah diperhitungkan dalam dunia Revan.

Aku langsung menuju ruang kerja Revan. Pintu sedikit terbuka, dan aku bisa mendengar tawa dari dalam.

Lalu aku mencium baunya.

Truffle.

Revan selalu bilang dia benci bau menyengat di rumah. Tidak boleh ada bawang putih, tidak ada ikan, tidak ada yang meninggalkan jejak aroma. Tapi sekarang, udara dipenuhi wangi truffle putih yang mahal, jenis yang hanya bisa didapatkan orang-orang tertentu.

Aku mendorong pintu.

Di sana dia. Revan, suamiku duduk santai di balik meja, terlihat rileks dengan cara yang tidak pernah aku lihat ketika bersama denganku. Dan di sampingnya ada Olivia Kartika, sahabat masa kecilnya yang kembali ke kota tahun ini setelah perceraiannya sendiri.

Dia sedang menyuapkan sepotong roti berlapis truffle ke mulut Revan, jarinya sengaja berlama-lama di sana.

Begitu Revan melihatku. Senyumnya lenyap.

"Sofia," katanya dingin. "Aku tidak menyangka kamu kembali secepat ini."

Olivia berbalik, Bibir merahnya yang sempurna melengkung membentuk sebuah senyuman. "Oh, Sofia! Kami tadi cuma sedang ngemil. Makanannya hanya cukup untuk berdua, tapi aku yakin kita bisa…"

"Aku baik-baik saja." Aku memotong, lalu melangkah maju.

Aku menyodorkan dokumen itu di atas meja mahoni yang mengilap, suara gesekan kertas terdengar begitu nyaring di ruang kerja yang sunyi. Revan nyaris tidak menoleh dari bir di tangannya, gelasnya berhenti di udara, nyaris menyentuh bibir. Mata Revan sedikit menyipit. "Apa ini?"

"Universitas butuh formulir tanggung jawab keselamatan yang sudah ditandatangani." Aku membalik ke halaman tanda tangan.

"Untuk proyek risetku." Aku menelan ludah. "Karena sekarang kamu satu-satunya keluargaku."

Kebenaran itu terasa berat di antara kami. Orang tuaku sudah lama tiada, tewas dalam kecelakaan mobil mencurigakan yang pertama kali menyeretku masuk ke dunia Revan. Dia lebih mengerti daripada siapa pun, bahwa aku tak punya siapa-siapa selain diriku sendiri.

Revan mengernyit. "Biar kulihat dulu…" Urat-uratku menegang. Biasanya dia tidak pernah meminta untuk membaca apa pun. Dia selalu langsung menandatangani semua dokumen universitas yang kuberikan tanpa pikir panjang.

Kenapa hari ini? Kenapa sekarang?

"Oh Revan." Olivia tertawa, menepuk lengannya. "Kamu terlalu serius! Itu cuma formulir. Ingat berapa banyak dokumen yang kita tanda tangani untuk gala amal bulan lalu?"

Sebagai pewaris Grup Kartika, salah satu mitra bisnis paling penting Keluarga Mahendra, Olivia kembali melangkah mulus ke dalam dunia Revan sejak kepulangannya. Sekarang mereka hampir selalu bersama, di gala, di lelang, di permainan kartu penuh asap di mana kesepakatan besar dibuat.

Ke mana pun Revan pergi belakangan ini, Olivia selalu ada di sisinya, gaun desainernya tampak serasi dengan jas jahitan Revan, seperti pasangan yang memang dipasangkan.

Dia sempat ragu, lalu meraih pena tinta dan menandatangani dengan cepat, sama seperti dia menandatangani surat perintah mati dan kesepakatan bisnis.

Aku segera mengambil berkas itu sebelum dia sempat melihat tulisan besar di halaman pertama: [SURAT CERAI].

Olivia menyeringai. "Jujur saja, Revan, kamu memperlakukannya lebih seperti adik perempuan daripada istri."

Revan tidak menyangkal. Hanya menyesap bir.

Aku berbalik dan keluar sebelum mereka bisa melihat tanganku gemetar.

Pintu pun tertutup di belakangku.

Aku bebas.

Berjalan melewati lorong marmer kediaman Mahendra, aku menggenggam surat cerai yang sudah ditandatangani. Tinta masih basah, tapi pernikahan itu sebenarnya sudah lama berakhir.

Aku teringat betapa berbeda Revan dulu. Cara tangannya yang hangat menelusuri punggungku ketika dia pikir aku tertidur. Cara posesifnya menarikku ke sudut gelap di acara keluarga, bibirnya panas di leherku.

Sekarang dia bahkan nyaris tidak menoleh padaku.

Orang tuaku meninggal saat aku enam belas tahun. Arya Mahendra, kepala Keluarga Mahendra saat itu, menampungku sebagai balas budi pada ayahku, mantan sopirnya yang dulu mati tertembak demi melindunginya. Begitulah aku berakhir tinggal satu atap dengan Revan Mahendra.

Revan adalah segala yang seharusnya tidak kuinginkan. Dingin. Berbahaya. Kejam. Di usia dua puluh lima, dia sudah menguasai setengah kerajaan ayahnya. Koran menyebutnya pengusaha muda. Tapi dunia jalanan punya sebutan lain untuknya.

Awalnya aku menjaga jarak. Membuat diriku tak terlihat. Sampai malam itu, empat tahun lalu, ketika Revan pulang dengan tubuh berlumur darah orang lain.

Dia menemukanku di dapur sedang membalut lukaku sendiri, hadiah dari salah satu anak buah ayahnya yang mengira aku si piatu ini sasaran empuk.

Revan tidak berkata apa-apa. Hanya mengambil perban dari tanganku yang gemetar dan membersihkan lukaku. Saat ibu jarinya menyentuh bagian dalam pahaku, aku seharusnya menolaknya.

Tapi malah menariknya lebih dekat.

Kami menikah tiga minggu kemudian. Sebuah perjanjian bisnis, itulah sebutan dari Revan. Perlindungan untukku, legitimasi untuknya. Aku hampir percaya, sampai Olivia kembali ke kota dan tanpa alasan jelas, agenda rapat malamnya mendadak semakin banyak.

Olivia. Pewaris Keluarga Kartika. Kerajaan konstruksi mereka berhubungan erat dengan Keluarga Mahendra. Sejak kembali setelah perceraiannya, dia selalu ada, menyelusup ke rapat Revan, ke mobilnya, ke hidupnya.

Bulan lalu sudah jadi bukti.

Aku menunggu enam jam di Resto Dante, restoran yang dimiliki Revan lewat perusahaan cangkang, untuk makan malam ulang tahun pernikahan kami. Tangan kanannya, Willi baru muncul tengah malam, membawa gelang berlian dan alasan soal urusan bisnis.

Keesokan paginya, aku melihat foto di kolom gosip, Revan dan Olivia di opera, jarinya terselip di saku jas Revan, tempat yang biasanya menyimpan pistolnya.

Saat itulah aku mulai merencanakan jalan keluar.

Surat cerai ini adalah ujian terakhirku. Revan menandatanganinya tanpa membaca, terlalu sibuk dengan Olivia yang mencuri pandangan dan ciuman darinya.

Sekarang, berdiri di ruang tamu megah rumah itu yang berlapis emas, aku mengusap segel notaris yang timbul dengan ibu jariku. Dalam sebulan masa jeda, kertas ini akan jadi tiket kebebasanku.

Tidak ada lagi sangkar emas. Tidak ada lagi pura-pura.

Revan bisa menyimpan kerajaannya. Kekerasannya. Olivianya.

Aku ingin mengambil kembali hidupku.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Lenyap Usai Kata Pisah   Bab 11

    Revan berdiri terpaku. Ini adalah Sofia Wijaya, peneliti, penyintas yang penuh gairah, cakap, dan sangat mandiri. Bukan lagi istri pendiam dan penurut yang selama ini ia tempatkan di latar belakang dunianya yang penuh kekerasan dan kerumitan.Ini adalah wanita yang pendapatnya tak pernah Revan pedulikan, ambisinya Revan abaikan, esensinya Revan acuhkan. Ia tidak pernah benar-benar memahaminya.Kesadaran itu menghantam Revan sekuat longsoran yang membawanya ke sini. Ia menikah karena sebuah kenyamanan, sebuah bayangan cantik. Tapi baru sekarang, saat Sofia berjalan dengan tegas meninggalkannya dan dunianya, ia benar-benar melihat wanita cerdas dan tangguh yang telah ia biarkan lolos dari genggamannya. Rasa sakit itu menusuk lebih dalam daripada luka fisik apa pun.Saat Sofia masuk ke tenda perlengkapan besar tanpa menoleh sedikit pun, potongan terakhir dari perlindungan lamanya hancur. Dinding-dinding kekuasaan, kontrol, dan keterasingan emosional yang dibangunnya runtuh menjadi debu, d

  • Lenyap Usai Kata Pisah   Bab 10

    Kata-kata yang telah Revan latih selama perjalanan helikopter yang tergesa, penggalian yang putus asa, dan penantian yang menyiksa, lenyap begitu saja seperti debu yang tersapu angin panas. Saat berdiri di hadapan Sofia, di tengah kehancuran pasca longsoran, hanya sebuah maaf yang terbata-bata dan menyakitkan yang berhasil ia ucapkan."Sofia..." Ia memulai, suaranya serak karena dingin dan kelelahan. "Apa yang kau alami... aku tahu. Kehamilanmu... aku juga tahu.""Cukup!"Sofia memotongnya, suaranya tajam seperti angin gunung. Senyum tipis penuh ejekan menghias bibirnya."Apakah kau terbang mengarungi lautan, Tuan Mahendra, hanya untuk mengejek betapa bodohnya aku dulu?" Kata-kata itu adalah hasil dari bulan-bulan kesendirian dan rasa sakit, menusuknya dengan ketajaman seperti pisau bedah.Ia tersentak, tuduhan itu menghantam tulang. "Tidak! Tuhan, tidak. Aku... aku tahu seberapa banyak aku menyakitimu. Aku salah. Sangat salah." Tatapannya merah karena kurang tidur selama tiga puluh ja

  • Lenyap Usai Kata Pisah   Bab 9

    Longsoran itu mengubah jalur pegunungan menjadi tumpukan tanah dan puing-puing logam yang terpelintir. Revan bekerja bersama para profesional, tangannya lecet di dalam sarung tangan saat ia menebas bebatuan dan reruntuhan. Dunia seakan menyempit hanya pada ritme kapak, angkat, tebas, gali, setiap gerakan menjadi semacam hukuman.Kenangan menyerangnya di antara ayunan kapak, tawa Sofia yang tertahan oleh pergunungan saat mereka berada di Vermontia, cara dia menulis persamaan di telapak tangannya untuk menjelaskan penelitian, tangisnya yang tersimpan di rumah sakit saat ia menemani Olivia.Seorang penyelamat berteriak padanya, menunjuk sarung tangan berdarahnya. Revan mengabaikannya. Sakit itu tak ada apa-apanya dibanding tekanan di paru-parunya, ketakutan bahwa ia telah mengubur Sofia jauh sebelum gunung ini melakukannya.Senja memudar menjadi malam. Penglihatan Revan mulai berkunang, jarinya mati rasa di bawah perban yang dipaksakan seorang tenaga medis. Ia hampir tidak menyadari kerib

  • Lenyap Usai Kata Pisah   Bab 8

    Seluruh tubuh Revan membeku mendengar kata-kata gadis mahasiswa itu."Kehilangan bayinya?" Kata-kata itu terasa seperti pecahan kaca di mulutnya.Mahasiswi berambut biru itu menatap tajam, genggamannya pada buku-buku tebalnya semakin kuat. "Bajingan itu bikin dia hamil lalu menghilang. Bahkan tidak muncul saat dia pingsan." Setiap suku kata menghantam sunyi halaman kampus seperti tembakan.Sofia mengandung anak dari dirinya.Pikirannya melesat ke rumah sakit, wajah Sofia yang pucat di lift, kertas yang terlipat di genggamannya. Dan dirinya? Mengantar Olivia ke janji prenatal seperti seorang pria sopan sialan."Sekarang dia di mana?" Kata-kata itu meluncur kasar, menggores tenggorokannya.Bibir mahasiswi itu menipis. "Pergi. Minggu lalu berangkat ke Alvara."Alvara.Formulir aplikasi yang pernah ia remehkan. Pergunungan yang dulu ia bilang Sofia pasti benci. Semua komentar sinis itu sekarang terasa seperti pisau berputar di perutnya.Tengah malam, Revan datang ke kantor vilanya, menying

  • Lenyap Usai Kata Pisah   Bab 7

    Jari-jari Revan gemetar saat menelusuri segel timbul di akta cerai.Tangan Olivia mendarat di bahunya. "Revan, ini cuma drama cewek kuliahan. Nanti juga dia bakal merangkak...""Aku punya istri." Kata-kata itu terlepas dari tenggorokannya seperti tembakan. Ia mendorong Olivia, gerakan itu membuat vas kristal pecah berhamburan ke lantai. Pecahan kaca bertebaran di atas marmer seperti sisa-sisa pernikahannya yang hancur.Angin menampar wajahnya saat ia berlari keluar. Mercedesnya meraung, setir bergetar di bawah genggaman tangan yang memutih.Gerbang universitas menjulang di depannya. Revan menapaki antara kelompok mahasiswa yang tertawa, ransel mereka berat berisi buku dan masa depan. Perutnya mual saat sadar bahwa ia bahkan tidak tahu laboratorium Sofia di ruangan mana. Tidak tahu nama dosennya. Tidak pernah sekalipun menanyakan penelitian yang sedang ia kerjakan."Laboratorium biologi?" Satpam menatap setelan jasnya yang kusut dengan sinis. "Semua mahasiswa pascasarjana sudah keluar m

  • Lenyap Usai Kata Pisah   Bab 6

    Mercedes itu berbelok tajam ketika Revan nyaris menabrak sebuah motor. Teriakan marah pengendara menembus kaca jendela yang tertutup rapat, tapi Revan sama sekali tidak bergeming. Buku-buku jarinya memutih di setir, kulitnya berderit ditekan terlalu keras."Revan!" Tangan Olivia yang terawat rapi terangkat ke dadanya, gelang berliannya beradu nyaring dengan dasbor. "Ada apa denganmu belakangan ini? Kamu lupa janji nonton kita, dan sekarang hampir saja membunuh kita berdua?"Revan tidak menoleh. "Aku lelah. Pergilah bersama teman-temanmu."Kata-katanya datar, otomatis. Pikirannya melayang jauh, tepatnya pada pesan terakhir dari Sofia hampir sebulan lalu. Hanya sebuah kalimat sederhana: [Lab masih sibuk, jangan tunggu aku.] Setelah itu, tak ada lagi. Tidak ada telepon. Tidak ada pesan.Olivia mendengus, sibuk merapikan lipstik lewat kaca kecil di mobil. "Kamu memang begini sejak Sofia pergi ke lab kesayangannya. Jujur saja, dia mungkin cuma ngambek karena kamu lebih sering bersamaku."Ra

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status