Share

Bab 4

Author: An Smith
Selama empat puluh delapan jam, aku terus menulis dan menghapus email untuk institut riset. Bagaimana aku memberi tahu direktur bahwa aku hamil secara tidak sengaja dari calon mantanku? Jariku menggantung di atas keyboard ketika ponselku bergetar.

Willi: [Bos ingin menemui kamu di gerbang.]

Sejak kapan Revan mengirim tangan kanannya sebagai anak suruhan?

Aku melihat Revan bersandar santai di Mercedesnya, sinar matahari pagi melembutkan fitur tajam wajahnya sehingga membuat napasku tercekat sejenak. Cara cahaya itu menyoroti garis rahangnya, kerutan tipis muncul di sudut matanya saat menyadari kedatanganku, tidak adil bagaimana detak jantungku tetap cepat melihatnya setelah semua ini.

Aku cepat menoleh, jari-jariku canggung memegang tali ransel seolah itu menuntut seluruh perhatianku. Setelah empat tahun menikah, bisa-bisanya tubuh pengkhianatku tetap bereaksi padanya seolah kami pengantin baru. Panas naik ke pipiku, kulitku masih ingat sentuhannya, pengkhianatan biologis yang kutolak untuk diakui. Itu hanya kebiasaan lama, aku menegaskan pada diri sendiri. Hanya memori otot, tidak lebih.

"Sophia." Dia melepas kacamata, menyingkap mata gelap yang dulu membuat lututku lemas. "Ayo makan malam besok. Di Resto Dante. Jam delapan."

Resto Dante. Nama itu saja sudah membuat asam merayap ke tenggorokanku. Di situlah aku duduk enam jam untuk ulang tahun pernikahan kami, menatap sop iga dingin sementara Revan mengurus bisnis dengan Olivia.

"Oke." Aku mendengar diriku sendiri berkata, kata-kata itu meluncur begitu saja sebelum sempat kutahan. Respon otomatis itu bahkan mengejutkanku sendiri, kenapa aku begitu ingin duduk berhadapan dengan pria yang selalu memilih Olivia dibanding aku?

Tapi keraguan hanya akan menimbulkan kecurigaan. Revan bisa mencium kelemahan seperti darah di air. Jika aku ingin menjaga bayi ini dan itu memang niatku, aku harus melakukannya dengan benar. Menyembunyikan kehamilan tidak ada artinya jika aku belum memutuskan semua ikatan hukum di antara kami. Revan bukan tipe yang membiarkan sesuatu lolos dari tangannya, apalagi anaknya sendiri. Dan jika dia tahu aku menyimpan pewarisnya darinya...

Tidak. Perceraian harus datang dulu. Bersih. Resmi. Tak bisa dibatalkan.

Makan malam ini akan memiliki dua tujuan. Pertama, perceraian. Ketika jarak dan lautan sudah membentang di antara kami, saat itulah aku akan pikirkan bagaimana menyampaikan tentang bayi ini. Jika memang aku memilih untuk menyampaikannya.

Lampu gantung restoran melempar bayangan tajam di atas taplak putih. Malam ini, dia memilih ruang anggur pribadi tempat kami kencan pertama.

Jari-jarinya melingkar di tanganku saat dia menaruh botol Barolo, bukan sekadar menyentuh, tapi benar-benar menggenggam tanganku untuk pertama kalinya dalam empat tahun.

"Ada sesuatu yang perlu aku jelaskan tentang apa yang terjadi."

Tapi saat ini pintu ruang anggur terbuka dengan keras. Willi segera bergegas ke sisinya, berbisik tergesa-gesa di telinganya. Tapi dalam keheningan yang menyerupai makam di ruang bawah tanah berdinding batu itu, kata-kata Olivia mengiris pergelangan tangannya, dan darurat tetap menyusup ke telingaku.

Perutku mules. Tentu saja. Bahkan makan malam terakhir kami tak bisa hanya milik kami.

Genggaman Revan di tanganku lepas saat dia melompat bangkit, kursinya berderit mundur sebelum terjatuh dengan suara keras. "Apa?!"

Ruang mendadak berputar. Pandanganku menyempit sampai yang bisa kulihat hanyalah punggung Revan yang menjauh, mantelnya berkibar seperti jubah. Aku pun tumbang ke lantai.

Dia berhenti di pintu cukup lama untuk menatap antara Willi dan aku sepersekian detik pertimbangan. "Bawa dia ke rumah sakit," perintahnya sebelum menghilang ke tangga.

Lalu, tidak ada yang lain.

Potongan percakapan terdengar samar.

"Hanya gula darah rendah... beri dia jus jeruk..."

Kelopak mataku bergetar terbuka pada bayangan samar, dokter sedang berbicara dengan Willi di pintu. Panik menyergap saat kesadaran kembali. Jika mereka mengetahui kehamilan...

Dokter condong lebih dekat ke Willi, suaranya menurun menjadi bisik.

"Dan mengingat kondisi pasien..."

Tenggorokanku kering menegang. Aku harus menghentikannya.

BRRRRT!

Ponsel Willi mendadak berdering seperti alarm kebakaran. Ia cepat-cepat merogohnya dari saku, dan nama di layar membuatnya langsung sigap. "Ya, bos?" Sejenak kemudian. Rahangnya menegang. "Mengerti. Segera ke sana, Pak."

Dia menempelkan kartu kredit hitam ke papan klip dokter.

"Biarkan dia di sini sampai Tahun Baru kalau mau." Pintu bergetar di bingkainya saat ia menghilang, sementara bibir sang dokter masih terbuka, terhenti pada kata hamil yang tak sempat terucap.

"Ah, kamu sudah bangun?" Dia menoleh padaku, sama sekali tak menyadari detak jantungku yang berdebar kencang.

"Kamu kira-kira sudah masuk tiga belas minggu. Bayinya sehat, tapi mengingat kamu sempat pingsan..." Pena berderit di atas buku catatan. "Kami akan menahanmu 48 jam untuk observasi."

Dia ragu, melirik pintu. "Aku belum memberitahu pendampingmu tadi."

Aku menghela napas lega. "Tidak. Tolong biarkan tetap begitu."

Saat dokter keluar, suara bisik perawat menyelinap di bawah tirai, "Tuan dan Nyonya Mahendra seperti bangsawan, mereka mengubah Kamar 801 jadi apartemen, kelopak mawar, sampanye, semuanya. Tuan Mahendra tidak meninggalkannya sejak masuk."

"Itu wajar saja. Kamu lihat sendiri bagaimana dia menggendongnya melewati lobi? Persis seperti adegan film romantis."

"Hem. Setelah sepuluh tahun bersama, dia masih memperlakukannya seperti pengantin. Sementara suamiku lupa ulang tahun kami."

Kata-kata mereka menembus lebih dalam daripada pisau mana pun. Tidak diragukan lagi, mereka pasti bicara tentang Revan dan Olivia.

"Tentu dia setia, Nyonya Mahendra akhirnya memberinya pewaris. Tuan Mahendra bahkan memerintahkan pasukan spesialis hanya untuk satu desahan kecilnya."

Revan memperlakukan Olivia seperti ratu... Aku baru sadar cat kuku yang terkelupas di atas seprai rumah sakit yang kaku, satu-satunya Nyonya Mahendra yang tidak diingat satu orang pun.

Setelah dua malam observasi tanpa komplikasi, aku diperbolehkan pulang.

Keluar dari pintu otomatis rumah sakit, aku melihat Ema menunggu di pinggir jalan, amplop coklat digenggam di tangannya.

Tujuan pertamaku setelah melewati pintu rumah sakit adalah ke pengadilan untuk mengambil akta cerai. Ketika aku mengatur agar salinan milik Revan dikirim lewat pos dengan sengaja ditunda tiga hari, sebuah kepuasan tenang menyelinap di dadaku.

'Saat amplop ini sampai di mejanya...' pikirku sembari menatap petugas menempelkan cap pos. 'Aku akan berada di Zorvia. Biarkan Revan Mahendra yang perkasa membalik setiap batu di dunia. Tapi bahkan kekuasaannya pun punya batas, aku baru saja menjadi salah satunya.'

Amplop itu lenyap masuk ke dalam kotak surat dengan bunyi gedebuk pelan, empat tahun cinta, kebohongan, dan kesepian kini terkondensasi menjadi selembar dokumen yang akan terus membayangi langkahku hingga seberang lautan.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lenyap Usai Kata Pisah   Bab 11

    Revan berdiri terpaku. Ini adalah Sofia Wijaya, peneliti, penyintas yang penuh gairah, cakap, dan sangat mandiri. Bukan lagi istri pendiam dan penurut yang selama ini ia tempatkan di latar belakang dunianya yang penuh kekerasan dan kerumitan.Ini adalah wanita yang pendapatnya tak pernah Revan pedulikan, ambisinya Revan abaikan, esensinya Revan acuhkan. Ia tidak pernah benar-benar memahaminya.Kesadaran itu menghantam Revan sekuat longsoran yang membawanya ke sini. Ia menikah karena sebuah kenyamanan, sebuah bayangan cantik. Tapi baru sekarang, saat Sofia berjalan dengan tegas meninggalkannya dan dunianya, ia benar-benar melihat wanita cerdas dan tangguh yang telah ia biarkan lolos dari genggamannya. Rasa sakit itu menusuk lebih dalam daripada luka fisik apa pun.Saat Sofia masuk ke tenda perlengkapan besar tanpa menoleh sedikit pun, potongan terakhir dari perlindungan lamanya hancur. Dinding-dinding kekuasaan, kontrol, dan keterasingan emosional yang dibangunnya runtuh menjadi debu, d

  • Lenyap Usai Kata Pisah   Bab 10

    Kata-kata yang telah Revan latih selama perjalanan helikopter yang tergesa, penggalian yang putus asa, dan penantian yang menyiksa, lenyap begitu saja seperti debu yang tersapu angin panas. Saat berdiri di hadapan Sofia, di tengah kehancuran pasca longsoran, hanya sebuah maaf yang terbata-bata dan menyakitkan yang berhasil ia ucapkan."Sofia..." Ia memulai, suaranya serak karena dingin dan kelelahan. "Apa yang kau alami... aku tahu. Kehamilanmu... aku juga tahu.""Cukup!"Sofia memotongnya, suaranya tajam seperti angin gunung. Senyum tipis penuh ejekan menghias bibirnya."Apakah kau terbang mengarungi lautan, Tuan Mahendra, hanya untuk mengejek betapa bodohnya aku dulu?" Kata-kata itu adalah hasil dari bulan-bulan kesendirian dan rasa sakit, menusuknya dengan ketajaman seperti pisau bedah.Ia tersentak, tuduhan itu menghantam tulang. "Tidak! Tuhan, tidak. Aku... aku tahu seberapa banyak aku menyakitimu. Aku salah. Sangat salah." Tatapannya merah karena kurang tidur selama tiga puluh ja

  • Lenyap Usai Kata Pisah   Bab 9

    Longsoran itu mengubah jalur pegunungan menjadi tumpukan tanah dan puing-puing logam yang terpelintir. Revan bekerja bersama para profesional, tangannya lecet di dalam sarung tangan saat ia menebas bebatuan dan reruntuhan. Dunia seakan menyempit hanya pada ritme kapak, angkat, tebas, gali, setiap gerakan menjadi semacam hukuman.Kenangan menyerangnya di antara ayunan kapak, tawa Sofia yang tertahan oleh pergunungan saat mereka berada di Vermontia, cara dia menulis persamaan di telapak tangannya untuk menjelaskan penelitian, tangisnya yang tersimpan di rumah sakit saat ia menemani Olivia.Seorang penyelamat berteriak padanya, menunjuk sarung tangan berdarahnya. Revan mengabaikannya. Sakit itu tak ada apa-apanya dibanding tekanan di paru-parunya, ketakutan bahwa ia telah mengubur Sofia jauh sebelum gunung ini melakukannya.Senja memudar menjadi malam. Penglihatan Revan mulai berkunang, jarinya mati rasa di bawah perban yang dipaksakan seorang tenaga medis. Ia hampir tidak menyadari kerib

  • Lenyap Usai Kata Pisah   Bab 8

    Seluruh tubuh Revan membeku mendengar kata-kata gadis mahasiswa itu."Kehilangan bayinya?" Kata-kata itu terasa seperti pecahan kaca di mulutnya.Mahasiswi berambut biru itu menatap tajam, genggamannya pada buku-buku tebalnya semakin kuat. "Bajingan itu bikin dia hamil lalu menghilang. Bahkan tidak muncul saat dia pingsan." Setiap suku kata menghantam sunyi halaman kampus seperti tembakan.Sofia mengandung anak dari dirinya.Pikirannya melesat ke rumah sakit, wajah Sofia yang pucat di lift, kertas yang terlipat di genggamannya. Dan dirinya? Mengantar Olivia ke janji prenatal seperti seorang pria sopan sialan."Sekarang dia di mana?" Kata-kata itu meluncur kasar, menggores tenggorokannya.Bibir mahasiswi itu menipis. "Pergi. Minggu lalu berangkat ke Alvara."Alvara.Formulir aplikasi yang pernah ia remehkan. Pergunungan yang dulu ia bilang Sofia pasti benci. Semua komentar sinis itu sekarang terasa seperti pisau berputar di perutnya.Tengah malam, Revan datang ke kantor vilanya, menying

  • Lenyap Usai Kata Pisah   Bab 7

    Jari-jari Revan gemetar saat menelusuri segel timbul di akta cerai.Tangan Olivia mendarat di bahunya. "Revan, ini cuma drama cewek kuliahan. Nanti juga dia bakal merangkak...""Aku punya istri." Kata-kata itu terlepas dari tenggorokannya seperti tembakan. Ia mendorong Olivia, gerakan itu membuat vas kristal pecah berhamburan ke lantai. Pecahan kaca bertebaran di atas marmer seperti sisa-sisa pernikahannya yang hancur.Angin menampar wajahnya saat ia berlari keluar. Mercedesnya meraung, setir bergetar di bawah genggaman tangan yang memutih.Gerbang universitas menjulang di depannya. Revan menapaki antara kelompok mahasiswa yang tertawa, ransel mereka berat berisi buku dan masa depan. Perutnya mual saat sadar bahwa ia bahkan tidak tahu laboratorium Sofia di ruangan mana. Tidak tahu nama dosennya. Tidak pernah sekalipun menanyakan penelitian yang sedang ia kerjakan."Laboratorium biologi?" Satpam menatap setelan jasnya yang kusut dengan sinis. "Semua mahasiswa pascasarjana sudah keluar m

  • Lenyap Usai Kata Pisah   Bab 6

    Mercedes itu berbelok tajam ketika Revan nyaris menabrak sebuah motor. Teriakan marah pengendara menembus kaca jendela yang tertutup rapat, tapi Revan sama sekali tidak bergeming. Buku-buku jarinya memutih di setir, kulitnya berderit ditekan terlalu keras."Revan!" Tangan Olivia yang terawat rapi terangkat ke dadanya, gelang berliannya beradu nyaring dengan dasbor. "Ada apa denganmu belakangan ini? Kamu lupa janji nonton kita, dan sekarang hampir saja membunuh kita berdua?"Revan tidak menoleh. "Aku lelah. Pergilah bersama teman-temanmu."Kata-katanya datar, otomatis. Pikirannya melayang jauh, tepatnya pada pesan terakhir dari Sofia hampir sebulan lalu. Hanya sebuah kalimat sederhana: [Lab masih sibuk, jangan tunggu aku.] Setelah itu, tak ada lagi. Tidak ada telepon. Tidak ada pesan.Olivia mendengus, sibuk merapikan lipstik lewat kaca kecil di mobil. "Kamu memang begini sejak Sofia pergi ke lab kesayangannya. Jujur saja, dia mungkin cuma ngambek karena kamu lebih sering bersamaku."Ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status