Beranda / Young Adult / Lepaskan Aku, Om / Bab 2. Aku dijadikan bintang film dewasa

Share

Bab 2. Aku dijadikan bintang film dewasa

Penulis: Bulandari f
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 21:59:58

Bab 2

"Ayo Madam, periksa!" ujar Revan.

"Rev, apa-apaan sih Lo? Lo sudah janji bakal jaga aku dengan baik, Rev. Tapi apa yang Lo lakukan, Rev. Tolong lepaskan tanganmu Rev. Aku malu, Rev."

"Diam aja Lo, Key. Gue butuh uang."

Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arahnya. "Itu artinya kamu menjual ku, Rev?"

Tidak ada jawaban, tapi yang aku rasakan kini. Dua jari masuk ke dalam kemaluanku. Ku tatap wanita yang berwajah sangar itu, tanpa rasa iba dan rasa malu. Ia masukkan jari tangannya ke dalam kemaluanku.

Membuatku selain merintih sakit karena dia menusuk nya ke dalam, aku juga merasa malu. Karena jujur, ini untuk pertama kalinya seseorang memasukkan jari tangannya ke dalam kemaluanku. "Arhhh ah Tante sakit," rintihku. Sehingga ia melepaskan jari tangannya dari dalam.

"Bagaimana Madam? Dia masih perawan, kan?" tanya Revan.

"Hmmm, baiklah. Aku berani bayar dia 300 JT."

"300 JT, itu terlalu sedikit Madam. Bisakah kamu tambah lagi. 700 JT madam."

"Kamu pikir uang 700 JT sedikit hah? Baiklah, kita ambil tengahnya. 500 JT. Kalau kamu gak mau, ya udah. Sana bawa balik perempuan ini dari hadapanku. Masih banyak kok perempuan lainnya yang mau bekerja di sini."

"Oke-oke, Deal. Madam."

Keduanya saling bersalaman, sepakat akan hal yang tidak begitu ku mengerti. Tapi yang aku tahu, sekarang aku sudah di tipu oleh sahabatku sendiri.

"Rev, kamu tega yah ke aku. Kamu jual aku Rev," kataku dengan lirih suaraku yang nyaris menangis, tapi sayangnya Revan tetap tidak ada jawaban. Yang kulihat dari tatapan matanya, hanya sebuah kebahagiaan mendengar nominal 500 JT tanpa menghiraukan ku lagi.

"Ini baru kerjasama yang menarik, madam. Aku suka," katanya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.

"Rev, kamu tega."

Aku masih berdiri kaku, seluruh tubuhku gemetar. Suara detak jantungku terasa terlalu keras, menggema di telingaku sendiri.

Revan tidak menatapku. Tidak setelah dia menjabat tangan wanita itu—Madam, dia menyebutnya. Mucikari. Entah berapa banyak gadis yang sudah hancur di tangannya.

Aku ingin teriak. Ingin berlari. Tapi kaki ini seperti terpasung. Rasanya napasku sesak. Apa ini nyata? Revan… sahabatku sendiri… dia yang selalu janji bakal jagain aku, yang bilang aku seperti adiknya sendiri… menjualku?

“Ayo, bawa dia ke kamar belakang,” perintah Madam dingin.

Dua orang pria muncul dari balik tirai beludru merah di ruangan itu. Mereka tinggi, kekar, dan tak ada seulas empati pun di wajah mereka. Satu menggenggam lenganku—erat, kasar. Aku tersentak.

“Lepaskan! Aku gak mau ikut kalian! Revan, tolong aku! Revan!!” teriakku panik.

Dia hanya berdiri di sana. Menatapku. Tapi bukan dengan raut bersalah—melainkan datar. Seolah aku hanyalah tas koper yang ia lepas untuk uang. Bukan manusia. Bukan sahabat.

"REVAN!!" suaraku pecah.

Dia akhirnya bicara. “Maaf, Key… aku gak punya pilihan.”

Omong kosong. Itu bukan wajah orang yang terpaksa. Itu wajah orang yang sudah terjerumus dan menutup mata.

Aku meronta, menendang, menggigit, apapun agar bisa lepas. Tapi mereka lebih kuat. Lebih dingin. Seluruh tubuhku dipaksa berjalan ke lorong sempit, melewati pintu besi yang berderit saat dibuka. Di sana, gelap. Lembap. Bau obat nyamuk bercampur parfum murahan menusuk hidungku.

Aku tahu... hidupku tidak akan sama setelah pintu itu tertutup.

Dan benar saja dengan apa yang aku pikirkan, lima menit setelah pintu itu tertutup. Madam Sarah kembali masuk dengan membawa seorang dokter bersamanya.

"Itu dia, Dok. Berikan dia suntik KB jangan sampai dia hamil!"

"Apa, KB?" ulang ku nyaris tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar.

"Siap, Sarah. Kalau urusan begini berikan ke aku. Ngomong-ngomong apa ini barang segel?" ujar sang dokter.

"Hmmm, dia masih pe**wan."

Begitu menjijikan mendengar obrolan keduanya, apalagi saat menatap wajah mereka yang menatapku seperti barang murahan yang bisa mendatangkan uang.

"Bagus, berapa semalam?"

"Apa kamu ingin membelinya, dokter Indra?"

"Yah, kalau masih muda gini. Aku mau."

"Sudahlah Indra, yang ini tidak akan aku jual padamu. Karena sudah ada yang memesan nya kian."

"Sungguh terlalu Sarah, kamu terlalu pilih kasih padaku."

"Maafkan aku, Indra," jawab Madam Sarah lagi yang membuat dokter Indra cuman tersenyum kecil,

Dan setelah itu, ia mengeluarkan jarum suntik dari dalam tasnya. Yang seketika membuatku menunduk. Napasku mulai tidak teratur, dada ini terasa sempit seolah seluruh dunia mendadak menyempit. Di hadapanku, dua orang yang bahkan tidak mengenalku berbicara seolah aku hanyalah barang dagangan. Tak ada rasa hormat. Tak ada nilai kemanusiaan.

Aku berusaha menahan tangis. Tidak. Aku tidak boleh lemah. Tapi hatiku sakit. Terluka oleh pengkhianatan yang bahkan tidak pernah terlintas sebelumnya—oleh orang yang kupanggil sahabat.

Madam Sarah melirik jam tangannya, lalu memberi isyarat kepada pria berjas putih di sebelahnya.

“Dokter, segera siapkan prosedurnya. Aku ingin semuanya selesai sebelum malam.”

Aku menatap pria itu. Ia membuka tas hitam kecilnya dengan tenang, seolah ini adalah rutinitas biasa. Tangannya begitu cekatan, menyiapkan sesuatu yang bahkan aku tak paham—tapi cukup untuk membuat tubuhku gemetar.

“Apa… yang akan kalian lakukan padaku?” tanyaku lirih, dengan suara yang nyaris tenggelam di antara kepanikan.

Dokter itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, seperti sudah terlalu sering melihat ketakutan semacam ini. Baginya, ini hanya prosedur.

“Tenang saja, ini hanya sebentar. Supaya kamu... tidak repot ke depannya,” ujar Madam Sarah tanpa rasa bersalah.

Aku mundur, mencoba menjauh, tapi tubuhku sudah terlalu lemah. Luka di hati jauh lebih menyakitkan daripada apa pun yang mungkin mereka lakukan secara fisik.

“Revan…” bisikku, menoleh ke pintu, berharap dia masih di sana. Tapi kosong. Tak ada siapa pun. Dia pergi—bersama semua janji palsunya dan uang hasil dari dia yang menjual ku.

"Kamu tahan sedikit, tidak akan sakit kok," sahut dokter Indra, yang sedikit lebih ramah dari madam Sarah, tapi walaupun begitu. Tetap saja dia orang yang jahat, orang yang sudah membantu Madam Sarah melakukan praktek penjualan wanita.

Hingga tertinggal satu harapan, semoga aku bisa pulang tanpa hanya nama.

"Sudah selesai, Sarah."

"Terima kasih, Indra. Maafkan aku kali ini yah. Aku tidak bisa memberikan mu padanya."

"Baiklah, aku paham. Kalau begitu aku pamit dulu."

"Ayo aku antar."

Pintu tertutup, dan aku segera mungkin mencari jalan keluar dari dalam, tapi sepanjang ku menoleh. Tidak ada celah sedikitpun untuk melarikan diri. Apa ini takdirku? Di jadikan wanita PSK?

Entahlah, tapi yang aku rasakan kini. Tanganku masih gemetar saat suntikan itu menyentuh kulitku. Aku hanya bisa memalingkan wajah dan menahan napas. Rasanya asing. Dingin. Seolah tubuhku bukan milikku lagi.

Tapi saat jarum itu ditarik keluar, bukan rasa sakit yang tinggal—melainkan kemarahan. Diam-diam, di balik kepasrahanku, aku menyimpan bara.

"Apa yang akan terjadi selanjutnya dalam diriku? Oh Tuhan, kenapa jadinya begini?"

Mataku kembali mengamati sekeliling. Ruangan itu kecil dan sunyi. Hanya ada sebuah tempat tidur sempit, meja kecil, dan jendela yang terkunci rapat dengan jeruji besi. Tapi aku memperhatikan semuanya, menyimpan detil-detil kecil dalam ingatan. Engsel pintu, celah di jendela, bahkan suara langkah para penjaga di luar.

Malam harinya, seorang perempuan seusia kakak kelasku masuk membawakanku makanan. Wajahnya lelah, tapi matanya jernih.

“Kamu baru ya?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk tanpa menjawab.

“Namaku Dina. Aku juga dulu seperti kamu… dijual,” katanya sembari meletakkan nampan. “Tapi dengar baik-baik… jangan pernah percaya siapa pun di sini. Tapi jangan juga tunjukkan kebencianmu. Mereka suka menghancurkan orang yang melawan.”

Aku menatapnya, bingung. “Lalu aku harus bagaimana?”

Dia menatapku dalam-dalam. ”Tidak ada yang bisa kita lakukan di sini, terkecuali menerimanya dengan lapang dada. Dan aku yakin kelak kamu juga akan terbiasa. Akan terbiasa dengan pekerjaan mu di sini."

"Memangnya, pekerjaan apa?" tanyaku curiga, sembari berdoa di dalam hati. Semoga aku tidak di pekerjakan untuk melakukan yang aneh-aneh.

"Memangnya Madam Sarah tidak menjelaskan apapun ke kamu?"

Aku menggelengkan kepala, seiring dengan aku yang berkata, "Dia terlihat, cuek, seram, tegas dan menakutkan."

Kak Dina tertawa menatapku. "Madam Sarah memang kayak gitu pembawaan nya, tapi kamu tahu gak. Kenapa dia bersikap seperti itu?'

Aku kembali menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya.

"Ceritanya panjang, lain kali aku ceritakan. Lebih baik sekarang kamu makan makanan mu sebelum terlambat."

"Sebelum terlambat? Maksudnya apa, kak?"

"Setelah aku keluar dari tempat ini, maka dua orang wanita bagian kostum akan masuk. Dia akan memaksamu untuk membersihkan diri terlebih dahulu, setelah itu kamu akan di berikan pakaian seksi. Dan kamu harus nurut ucapan mereka, dan setelah itu ...." Kak Dina tampak ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Setelah itu apa, kak?"

"Setelah itu, kamu akan di bawa ke pelanggan pertama mu."

"Tapi Kak, aku datang ke sini untuk menjadi artis, bukan untuk menjadi PSK."

Kak Dina memegang tangan ku dengan lembut. "Kamu salah tempat, Key. Di sini tempat di mana para wanita dijadikan sebagai pelampiasan nafsu pria bejat, dan ada juga yang dijadikan sebagai bintang film porno. Semoga kamu tidak ditunjuk sebagai pemain film porno, Key. Karena kasihan keluargamu kalau lihat kamu di setubuhi oleh para pria."

Tanganku langsung gemetar mendengar ucapan kak Dina. "Kak, bantu aku keluar dari sini."

Dina menggelengkan kepala. "Kalau itu bisa aku lakukan, maka aku akan membantu yang lainnya keluar dari tempat ini, sekalipun itu harus memperjuangkan nyawaku. Tapi sayangnya aku tidak bisa melakukan apapun, Key. Selain menghibur kalian yang ada di sini untuk tetap semangat untuk hidup. Lagian di sini ada enaknya juga kok. Kita bekerja tidak percuma, melainkan kita di bayar. Dan lumayan lah uangnya. Bisa bantu keluarga di kampung. Bahkan ... Aku sudah membangun rumah di kampung dari hasil aku menjadi psk di tempat ini, Key."

"Tapi Kak ... Uangnya tidak berkah, kan?"

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 61

    Bab 61.Awalnya malam ini aku pikir bisa terselamatkan, ternyata tidak. Aku ... Aku justru tetap ditawarkan ke seorang pria berbadan kekar, sedikit brewokan dan sorot matanya tajam. Jelas, ia bukan pria baik dan seperti modelan mafia. Aku harap aku salah. 11:20 wita. Aku dan kedua temanku Clara dan Chintya, kami dibawa ke hadapan sang pria berbadan kekar itu, seperti barang dagangan. Kami dengan mengenakan pakaian seksi, dan sedikit riasan di wajah. Dihadapkan padanya. Dua teman wanitaku justru sangat antusias, bahkan berharap bisa melayani pria brewokan itu. Hingga mereka memasang wajah genit, sedang aku sebaliknya. Aku berharap tidak terpilih. Sebab aku bosan. Aku bosan hidup seperti ini, dijual dan dipaksa melayani nafsu bejat mereka yang berdatangan.Dia menatapku—mata gelapnya seperti dua lubang yang tak menunjukkan belas kasihan. Saat kedua teman wanitaku tertawa kecil, menyingkapkan gigi seperti sedang bermain drama yang menjerat, aku merasa ruang di sekitarku semakin s

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 60.

    Bab 60 – Penantian yang Membakar."Tolong bawa aku dari sini, Gery." Suaraku lirih, hampir tak terdengar, tapi penuh dengan keputusasaan. Aku memegang lengannya erat, seakan hanya itu satu-satunya pegangan yang bisa menyelamatkanku dari lautan gelap yang terus menenggelamkanku.Mata Gery bergetar, aku bisa melihat dengan jelas pergulatan batinnya. Ia menunduk, seakan mencari jawaban di lantai kamar yang kusam ini. Lalu pelan-pelan, ia menghela napas berat."Itu yang sedang aku pikirkan, Key," katanya akhirnya. Suaranya terdengar rendah, serak, seperti menahan sesuatu yang besar. "Tapi… aku belum menemukan cara. Aku nggak bisa gegabah. Kalau aku paksa, kita malah bisa mati berdua."Aku terdiam. Kata-katanya menamparku keras. Seluruh tubuhku serasa ditarik kembali ke jurang putus asa.Aku menggigit bibir, mencoba menahan air mata. "Jadi… maksud kamu, aku harus terus ada di sini? Menunggu? Sementara setiap hari aku dijual, dipaksa, diperlakukan kayak barang?"Nada suaraku meninggi, mesk

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 59.

    Bab 59."Tolong Om, jangan sentuh aku," kataku terisak, tubuhku bergetar, mataku dipenuhi air mata. Malam ini kembali sama seperti malam-malam sebelumnya—aku dijual lagi oleh Madam Sarah kepada pria hidung belang. Tubuhku bukan lagi milikku, harga diriku sudah lama dihancurkan, dan setiap kali hal ini terjadi, aku merasa bagian dari jiwaku hilang sedikit demi sedikit.Aku duduk di ujung ranjang, memeluk lututku erat-erat. Aroma parfum yang menyengat dari pria itu menusuk hidungku, membuat perutku terasa mual. Cahaya lampu redup ruangan hotel ini membuat suasana semakin mencekam, seakan-akan tidak ada harapan sama sekali.Namun, pria itu tidak langsung mendekat. Ia hanya berdiri menatapku dalam diam. Itu membuatku semakin takut. Biasanya, mereka tidak sabar. Biasanya, mereka langsung memperlakukanku seperti barang murahan tanpa peduli aku menangis atau memohon.Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. "Tolong, Om. Jangan lakukan ini. Aku mohon. Aku… aku sudah hancur. Aku tidak kuat lag

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 58. jeratan yang Menghancurkan

    Bab 58jeratan yang Menghancurkan.Lantai dingin menyentuh lututku. Aku masih bisa merasakan nyeri di pipi bekas tamparan Madam Sarah. Tubuhku gemetar, bukan hanya karena rasa sakit, tapi juga karena ketakutan yang merayap seperti ular di seluruh tubuhku.Aku ingin berteriak, ingin melarikan diri, tapi dinding ruangan ini terlalu tebal, pintu terlalu kokoh, dan mata-mata Madam Sarah terlalu banyak. Aku hanya bisa menunduk, terisak, menunggu apa pun yang akan dia lakukan padaku.“Aku sudah bilang, Key,” suara Madam Sarah terdengar pelan, tapi penuh dengan ancaman, “kau itu aset. Dan malam ini, asetku harus kembali menghasilkan uang.”Aku menoleh cepat, mataku melebar. “Tidak, Madam… jangan. Aku mohon… jangan paksa aku lagi. Aku sudah cukup. Tolong biarkan aku pergi…”Dia mendekat, tumit sepatunya mengetuk lantai kayu dengan ritme yang mengerikan. Jemarinya yang panjang meraih daguku, memaksa wajahku menatapnya. Senyumnya tipis, penuh kemenangan.“Kau pikir permohonanmu akan menggerakka

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 57.

    Bab 57Di Hadapan Madam Sara.Suara derit kayu semakin keras ketika pintu rumah reyot itu didobrak paksa. Tubuhku yang bersembunyi di bawah ranjang kaku seperti batu, napasku kutahan sekuat tenaga. Dari celah kayu sempit, aku bisa melihat sepatu-sepatu mereka melangkah masuk.“Dia pasti di sini!” suara kasar seorang pria bergema, diikuti tawa mengejek dari yang lain.Jantungku berdegup gila-gilaan, seakan hendak meledak. Aku menggigit bibirku sampai hampir berdarah agar tidak menjerit.Gery berdiri dengan batang besi di tangannya, matanya menatap tajam penuh keberanian. “Keluar dari rumahku! Aku nggak akan biarin kalian bawa dia!”“Hahaha… sok jago kau, Bung.,” suara yang paling aku kenal—suara Revan—menyusul dari pintu. Tubuhku bergetar hebat begitu mendengar namanya.Aku bisa melihat kaki Revan melangkah perlahan masuk, berbeda dengan anak buahnya yang kasar. Sepatunya bersih, langkahnya tenang, tapi aura yang memancar darinya membuat udara di dalam ruangan menekan.“Mana dia?” tany

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 56

    Bab 56."Key, apa kamu menangis?" tanya Gery, yang seketika aku langsung menyeka airmata ku. Aku menggelengkan kepala menatapnya. "Enggak kok, cuman kena debu doang," jawabku berbohong. Tapi Gery, ia justeru duduk tepat di sebelahku. "Ada apa lagi, ha? Apalagi yang membuatmu sedih?"Aku kembali menggelengkan kepala ini, dan mencoba tegar di hadapannya. "Aku gak apa-apa, Ger."Aku sengaja berbohong, karena tidak ingin membuat susah Gery. Apalagi dia sudah banyak membantuku. Membuatku malu untuk minta tolong padanya lagi. "Kamu kenapa?" tanyanya ulang yang kali ini ku jawab dengan diam. "Baiklah, kalau kamu gak mau cerita ke aku, Key. Mungkin kamu belum begitu percaya ke aku."Disitu aku langsung merasa bersalah, sampai aku katakan yang sebenarnya. "Aku rindu dengan ibuku, Ger."Gery menatap lama ke arahku, sambil aku lanjut bercerita. "Mungkin Revan, dia mungkin sudah menemui ibu."Aku tertunduk lesu, tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi ke ibu. "Memangnya Revan tahu rumah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status