LOGINBab 2
"Ayo Madam, periksa!" ujar Revan. "Rev, apa-apaan sih Lo? Lo sudah janji bakal jaga aku dengan baik, Rev. Tapi apa yang Lo lakukan, Rev. Tolong lepaskan tanganmu Rev. Aku malu, Rev." "Diam aja Lo, Key. Gue butuh uang." Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arahnya. "Itu artinya kamu menjual ku, Rev?" Tidak ada jawaban, tapi yang aku rasakan kini. Dua jari masuk ke dalam kemaluanku. Ku tatap wanita yang berwajah sangar itu, tanpa rasa iba dan rasa malu. Ia masukkan jari tangannya ke dalam kemaluanku. Membuatku selain merintih sakit karena dia menusuk nya ke dalam, aku juga merasa malu. Karena jujur, ini untuk pertama kalinya seseorang memasukkan jari tangannya ke dalam kemaluanku. "Arhhh ah Tante sakit," rintihku. Sehingga ia melepaskan jari tangannya dari dalam. "Bagaimana Madam? Dia masih perawan, kan?" tanya Revan. "Hmmm, baiklah. Aku berani bayar dia 300 JT." "300 JT, itu terlalu sedikit Madam. Bisakah kamu tambah lagi. 700 JT madam." "Kamu pikir uang 700 JT sedikit hah? Baiklah, kita ambil tengahnya. 500 JT. Kalau kamu gak mau, ya udah. Sana bawa balik perempuan ini dari hadapanku. Masih banyak kok perempuan lainnya yang mau bekerja di sini." "Oke-oke, Deal. Madam." Keduanya saling bersalaman, sepakat akan hal yang tidak begitu ku mengerti. Tapi yang aku tahu, sekarang aku sudah di tipu oleh sahabatku sendiri. "Rev, kamu tega yah ke aku. Kamu jual aku Rev," kataku dengan lirih suaraku yang nyaris menangis, tapi sayangnya Revan tetap tidak ada jawaban. Yang kulihat dari tatapan matanya, hanya sebuah kebahagiaan mendengar nominal 500 JT tanpa menghiraukan ku lagi. "Ini baru kerjasama yang menarik, madam. Aku suka," katanya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. "Rev, kamu tega." Aku masih berdiri kaku, seluruh tubuhku gemetar. Suara detak jantungku terasa terlalu keras, menggema di telingaku sendiri. Revan tidak menatapku. Tidak setelah dia menjabat tangan wanita itu—Madam, dia menyebutnya. Mucikari. Entah berapa banyak gadis yang sudah hancur di tangannya. Aku ingin teriak. Ingin berlari. Tapi kaki ini seperti terpasung. Rasanya napasku sesak. Apa ini nyata? Revan… sahabatku sendiri… dia yang selalu janji bakal jagain aku, yang bilang aku seperti adiknya sendiri… menjualku? “Ayo, bawa dia ke kamar belakang,” perintah Madam dingin. Dua orang pria muncul dari balik tirai beludru merah di ruangan itu. Mereka tinggi, kekar, dan tak ada seulas empati pun di wajah mereka. Satu menggenggam lenganku—erat, kasar. Aku tersentak. “Lepaskan! Aku gak mau ikut kalian! Revan, tolong aku! Revan!!” teriakku panik. Dia hanya berdiri di sana. Menatapku. Tapi bukan dengan raut bersalah—melainkan datar. Seolah aku hanyalah tas koper yang ia lepas untuk uang. Bukan manusia. Bukan sahabat. "REVAN!!" suaraku pecah. Dia akhirnya bicara. “Maaf, Key… aku gak punya pilihan.” Omong kosong. Itu bukan wajah orang yang terpaksa. Itu wajah orang yang sudah terjerumus dan menutup mata. Aku meronta, menendang, menggigit, apapun agar bisa lepas. Tapi mereka lebih kuat. Lebih dingin. Seluruh tubuhku dipaksa berjalan ke lorong sempit, melewati pintu besi yang berderit saat dibuka. Di sana, gelap. Lembap. Bau obat nyamuk bercampur parfum murahan menusuk hidungku. Aku tahu... hidupku tidak akan sama setelah pintu itu tertutup. Dan benar saja dengan apa yang aku pikirkan, lima menit setelah pintu itu tertutup. Madam Sarah kembali masuk dengan membawa seorang dokter bersamanya. "Itu dia, Dok. Berikan dia suntik KB jangan sampai dia hamil!" "Apa, KB?" ulang ku nyaris tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. "Siap, Sarah. Kalau urusan begini berikan ke aku. Ngomong-ngomong apa ini barang segel?" ujar sang dokter. "Hmmm, dia masih pe**wan." Begitu menjijikan mendengar obrolan keduanya, apalagi saat menatap wajah mereka yang menatapku seperti barang murahan yang bisa mendatangkan uang. "Bagus, berapa semalam?" "Apa kamu ingin membelinya, dokter Indra?" "Yah, kalau masih muda gini. Aku mau." "Sudahlah Indra, yang ini tidak akan aku jual padamu. Karena sudah ada yang memesan nya kian." "Sungguh terlalu Sarah, kamu terlalu pilih kasih padaku." "Maafkan aku, Indra," jawab Madam Sarah lagi yang membuat dokter Indra cuman tersenyum kecil, Dan setelah itu, ia mengeluarkan jarum suntik dari dalam tasnya. Yang seketika membuatku menunduk. Napasku mulai tidak teratur, dada ini terasa sempit seolah seluruh dunia mendadak menyempit. Di hadapanku, dua orang yang bahkan tidak mengenalku berbicara seolah aku hanyalah barang dagangan. Tak ada rasa hormat. Tak ada nilai kemanusiaan. Aku berusaha menahan tangis. Tidak. Aku tidak boleh lemah. Tapi hatiku sakit. Terluka oleh pengkhianatan yang bahkan tidak pernah terlintas sebelumnya—oleh orang yang kupanggil sahabat. Madam Sarah melirik jam tangannya, lalu memberi isyarat kepada pria berjas putih di sebelahnya. “Dokter, segera siapkan prosedurnya. Aku ingin semuanya selesai sebelum malam.” Aku menatap pria itu. Ia membuka tas hitam kecilnya dengan tenang, seolah ini adalah rutinitas biasa. Tangannya begitu cekatan, menyiapkan sesuatu yang bahkan aku tak paham—tapi cukup untuk membuat tubuhku gemetar. “Apa… yang akan kalian lakukan padaku?” tanyaku lirih, dengan suara yang nyaris tenggelam di antara kepanikan. Dokter itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, seperti sudah terlalu sering melihat ketakutan semacam ini. Baginya, ini hanya prosedur. “Tenang saja, ini hanya sebentar. Supaya kamu... tidak repot ke depannya,” ujar Madam Sarah tanpa rasa bersalah. Aku mundur, mencoba menjauh, tapi tubuhku sudah terlalu lemah. Luka di hati jauh lebih menyakitkan daripada apa pun yang mungkin mereka lakukan secara fisik. “Revan…” bisikku, menoleh ke pintu, berharap dia masih di sana. Tapi kosong. Tak ada siapa pun. Dia pergi—bersama semua janji palsunya dan uang hasil dari dia yang menjual ku. "Kamu tahan sedikit, tidak akan sakit kok," sahut dokter Indra, yang sedikit lebih ramah dari madam Sarah, tapi walaupun begitu. Tetap saja dia orang yang jahat, orang yang sudah membantu Madam Sarah melakukan praktek penjualan wanita. Hingga tertinggal satu harapan, semoga aku bisa pulang tanpa hanya nama. "Sudah selesai, Sarah." "Terima kasih, Indra. Maafkan aku kali ini yah. Aku tidak bisa memberikan mu padanya." "Baiklah, aku paham. Kalau begitu aku pamit dulu." "Ayo aku antar." Pintu tertutup, dan aku segera mungkin mencari jalan keluar dari dalam, tapi sepanjang ku menoleh. Tidak ada celah sedikitpun untuk melarikan diri. Apa ini takdirku? Di jadikan wanita PSK? Entahlah, tapi yang aku rasakan kini. Tanganku masih gemetar saat suntikan itu menyentuh kulitku. Aku hanya bisa memalingkan wajah dan menahan napas. Rasanya asing. Dingin. Seolah tubuhku bukan milikku lagi. Tapi saat jarum itu ditarik keluar, bukan rasa sakit yang tinggal—melainkan kemarahan. Diam-diam, di balik kepasrahanku, aku menyimpan bara. "Apa yang akan terjadi selanjutnya dalam diriku? Oh Tuhan, kenapa jadinya begini?" Mataku kembali mengamati sekeliling. Ruangan itu kecil dan sunyi. Hanya ada sebuah tempat tidur sempit, meja kecil, dan jendela yang terkunci rapat dengan jeruji besi. Tapi aku memperhatikan semuanya, menyimpan detil-detil kecil dalam ingatan. Engsel pintu, celah di jendela, bahkan suara langkah para penjaga di luar. Malam harinya, seorang perempuan seusia kakak kelasku masuk membawakanku makanan. Wajahnya lelah, tapi matanya jernih. “Kamu baru ya?” tanyanya pelan. Aku mengangguk tanpa menjawab. “Namaku Dina. Aku juga dulu seperti kamu… dijual,” katanya sembari meletakkan nampan. “Tapi dengar baik-baik… jangan pernah percaya siapa pun di sini. Tapi jangan juga tunjukkan kebencianmu. Mereka suka menghancurkan orang yang melawan.” Aku menatapnya, bingung. “Lalu aku harus bagaimana?” Dia menatapku dalam-dalam. ”Tidak ada yang bisa kita lakukan di sini, terkecuali menerimanya dengan lapang dada. Dan aku yakin kelak kamu juga akan terbiasa. Akan terbiasa dengan pekerjaan mu di sini." "Memangnya, pekerjaan apa?" tanyaku curiga, sembari berdoa di dalam hati. Semoga aku tidak di pekerjakan untuk melakukan yang aneh-aneh. "Memangnya Madam Sarah tidak menjelaskan apapun ke kamu?" Aku menggelengkan kepala, seiring dengan aku yang berkata, "Dia terlihat, cuek, seram, tegas dan menakutkan." Kak Dina tertawa menatapku. "Madam Sarah memang kayak gitu pembawaan nya, tapi kamu tahu gak. Kenapa dia bersikap seperti itu?' Aku kembali menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya. "Ceritanya panjang, lain kali aku ceritakan. Lebih baik sekarang kamu makan makanan mu sebelum terlambat." "Sebelum terlambat? Maksudnya apa, kak?" "Setelah aku keluar dari tempat ini, maka dua orang wanita bagian kostum akan masuk. Dia akan memaksamu untuk membersihkan diri terlebih dahulu, setelah itu kamu akan di berikan pakaian seksi. Dan kamu harus nurut ucapan mereka, dan setelah itu ...." Kak Dina tampak ragu untuk melanjutkan ucapannya. "Setelah itu apa, kak?" "Setelah itu, kamu akan di bawa ke pelanggan pertama mu." "Tapi Kak, aku datang ke sini untuk menjadi artis, bukan untuk menjadi PSK." Kak Dina memegang tangan ku dengan lembut. "Kamu salah tempat, Key. Di sini tempat di mana para wanita dijadikan sebagai pelampiasan nafsu pria bejat, dan ada juga yang dijadikan sebagai bintang film porno. Semoga kamu tidak ditunjuk sebagai pemain film porno, Key. Karena kasihan keluargamu kalau lihat kamu di setubuhi oleh para pria." Tanganku langsung gemetar mendengar ucapan kak Dina. "Kak, bantu aku keluar dari sini." Dina menggelengkan kepala. "Kalau itu bisa aku lakukan, maka aku akan membantu yang lainnya keluar dari tempat ini, sekalipun itu harus memperjuangkan nyawaku. Tapi sayangnya aku tidak bisa melakukan apapun, Key. Selain menghibur kalian yang ada di sini untuk tetap semangat untuk hidup. Lagian di sini ada enaknya juga kok. Kita bekerja tidak percuma, melainkan kita di bayar. Dan lumayan lah uangnya. Bisa bantu keluarga di kampung. Bahkan ... Aku sudah membangun rumah di kampung dari hasil aku menjadi psk di tempat ini, Key." "Tapi Kak ... Uangnya tidak berkah, kan?" Bersambung.Bab 96 — Janji di Ujung Peluru.Angin malam menyusup dari celah jendela mobil tua yang kupacu tanpa arah. Jalanan basah oleh sisa hujan sore, memantulkan lampu-lampu kota yang berpendar seperti kenangan—redup, tapi tak mau padam. Aku tak tahu sudah berapa jauh aku pergi. Yang kutahu, darah di tanganku masih terasa hangat.Bukan darahku. Bukan juga darah yang asing. Itu darah dari masa laluku yang menjerat hidupku bertahun-tahun—darah Madam Sarah.Tanganku gemetar di atas setir. Setiap kali aku berkedip, wajahnya muncul—wanita yang dulu menjualku ke pria-pria kaya dengan alasan “demi masa depanmu, Key.”Aku masih ingat malam pertama kali ia mengikat tanganku di kursi, menyuruhku diam ketika aku menangis, menjanjikan uang dan keamanan yang tak pernah datang.Sekarang, semuanya sudah berakhir.Dia sudah mati.Dan aku... sebentar lagi menyusulnya.Mobil berguncang ketika aku membelok tajam ke jalan kecil di tepi kota. Sirene polisi terdengar samar di belakang. Aku tahu mereka mengejarku,
Bab 95 — Titik Akhir yang Sunyi.Pagi itu terlalu tenang untuk menjadi akhir dari segalanya.Udara membawa aroma tanah basah, tapi di dalam dadaku, badai belum juga reda. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Ara yang masih terlelap di kursi. Matanya sembab, tubuhnya meringkuk dalam selimut yang tidak menutupi seluruh ketakutannya. Aku tahu ia tak benar-benar tidur—ia hanya menutup mata agar aku tak melihat sisa air mata yang belum kering.Aku menatap jam di dinding. Waktu sudah bergerak, dan aku tak punya banyak. Polisi pasti sudah mencium jejak. Revan bukan sekadar orang biasa; pembunuhannya akan membuat banyak pihak bergerak. Aku tahu mereka akan datang, cepat atau lambat. Tapi sebelum itu… aku harus menyelamatkan dua orang yang masih tersisa dari reruntuhan hidupku: Ara dan ayah.Langkahku berat ketika turun ke ruang tamu. Ayah duduk di kursi rotan, rambutnya mulai memutih, wajahnya kosong. Ia menatapku seperti menatap seseorang yang sudah setengah pergi.“Key…” suaranya ser
Bab 94Mobil mengantar kami pulang dalam sunyi yang tebal—sebuah tirai gelap setelah badai. Jarum spidometer berputar, lampu jalan membelah kabut malam seperti gagang-gagang tombak yang tak bernyawa. Di kursi penumpang, Ara menunduk, bibirnya gemetar, sesekali menarik napas panjang yang terdengar seperti desahan orang yang belum pulih dari mimpi buruk. Aku menatap ke luar jendela, menelan kepahitan yang masih menguar di mulut. Ada rasa lega—ya—namun lega itu tipis, seperti kertas yang tercecer di angin; di bawahnya ada lubang yang menganga.“Sudah benar, kan, Kak?” suara Ara kecil, seperti boneka yang remuk. “Kita nggak salah… kan?”Aku memalingkan wajah. Lampu jalan memantulkan bayanganku di kaca; wajah yang sama namun berbeda, seolah cermin menolak mengenali jiwa yang bersembunyi di baliknya. “Kita melakukan apa yang harus dilakukan, Dek,” jawabku, suaraku kering. “Dia sudah hancurkan hidup kita. Sekarang dia udah berhenti.”Ara mengangkat kepala, matanya basah masih bertahan. “Tapi
Bab 93.Aku ingat malam itu seperti mimpi yang dingin — setiap detik terasa padat, setiap napas diperas oleh tekad. Setelah Ara pergi tidur aku menatap cermin, melihat bayangan Key yang berbeda: bukan lagi gadis takut, melainkan perempuan yang punya rencana. Ponsel di tanganku bergetar, ada pesan dari akun palsu yang kubuat. Revan menjawab cepat, seperti biasanya: tidak pernah menolak pujian dan godaan.“Jam sepuluh malam di Hotel Chantika,” balasku.“Ok.” Balasannya singkat. Aku membaca satu kata itu berkali-kali seolah menyelami keangkuhan yang menipu.---Ara muncul di kamar tepat ketika aku hendak berangkat. Matanya merah, suaranya nyaris patah ketika ia memanggil, “Kak Key…”Aku menoleh, melemparkan senyum tipis karena tidak mau ia melihat kebekuan di dadaku. “Hmm?”“Aku tidak ingin kakak pergi.” Suaranya kecil, hampir memohon.Hatiku tercekat. Aku turun dari tempat tidur dan duduk di ujung. “Dek, ini harus kulakukan,” jawabku pelan. “Kita nggak bisa hidup terus seperti ini. Dia
bab 90."Kak, bagaimana ini kak?" isak tangis Ara. "Bangun kak Gery, bangun," lanjut Ara merintih, sementara suara bunyi sirene pihak berwajib mulai berdatangan, bersamaan dengan kedatangan ambulan. "Ayo angkat, angkat ke dalam!" kata seorang petugas. Mereka menaikkan tubuh Gery yang tidak bernyawa ke dalam mobil ambulans, aku dan Ara juga ikut naik ke dalam. Sementara mobil Gery diamankan oleh pihak berwajib, sebab aku juga tidak tahu cara mengendarai mobil itu. Lagian, aku tidak begitu memperdulikan sekitarku, yang ada aku hanya terdiam menahan rasa sedih, dan mungkin karena sedihnya sampai aku tidak bisa menangis lagi. Pikiran ku kacau, antara dendam yang semakin parah ke Revan, dan aku yang kian pusing memikirkan tentang kehidupanku dan Ara. Kalau begini, siapa lagi yang akan menolongku? Siapa lagi yang akan melindungi ku dan Ara? Siapa lagi yang peduli pada hidupku? Siapa lagi. Aku hanya punya ayah, yang kondisi nya entah bagaimana. Aku belum pernah bertemu dengan ayah sem
Bab 89"Ger, bagaimana ini?"Malam kian mencekam, tatkala mataku menangkap keluar jendela mobil, beberapa sepeda motor sedang membuntuti mobil yang di lakukan oleh Gery. Suara klakson motor mereka meminta Gery untuk berhenti, tapi aku, Gery dan Ara yang ketakutan justru memilih untuk kabur secepat mungkin. Aku bahkan refleks menoleh. Lampu-lampu motor menyorot tajam, menyilaukan mata. Suaranya semakin dekat, semakin keras, sampai bulu kudukku berdiri."Berhenti, aku bilang berhenti!"Tit tit tit ...."Berhenti!" sorak seseorang itu dari luar jendela mobil. "Kak Key, bagaimana ini?" kata Ara yang mulai ketakutan, sampai ku menoleh ke arah Gery yang fokus mengemudi mobil. Sebisa mungkin melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. “Ger…” panggilku pelan. Tapi suaraku tercekat.Gery memutar kepala, wajahnya langsung berubah tegang. “Pegangan, Key. Jangan panik.”Dalam hitungan detik, kami sudah terkepung. Sekitar sepuluh motor berhenti mengelilingi mobil kami. Para pengendara turun sat

![Without You [Indonesia]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)





