MasukBab 3
Sayangnya, aku tidak bisa berbincang lama dengan kak Dina, sebab seseorang langsung masuk ke dalam kamar. "Dina, kamu di panggil dengan Madam Sarah," ujar seorang wanita yang usianya sekitar 30 tahun ke atas. "Key, aku pergi yah. Cepat habiskan makananmu sebelum terlambat." "Sebelum terlambat, maksudnya?" tanyaku yang sia-sia, sebab kak Dina pergi tanpa menjelaskan apapun kepadaku, mungkinkah ... Entahlah, bagaimana aku bisa selera makan. Kalau perasaanku dihantui rasa cemas gini. Sampai-sampai aku masih menatap pintu yang baru saja ditutup Kak Dina. Rasa-rasanya, dinding kamar ini makin menyempit, udara makin menekan dadaku. Aku mencoba menelan nasi yang tersisa di piring, tapi lidahku seakan menolak. Ada firasat aneh yang mengganggu pikiranku, apalagi setelah kalimat terakhir Kak Dina—*sebelum terlambat*. Apa maksudnya? Belum sempat aku berdamai dengan pikiranku sendiri, pintu kamar terbuka kembali. Kali ini bukan Kak Dina. Seorang perempuan tinggi, dingin, dengan rambut disanggul rapi, masuk tanpa basa-basi. "Key, ikut saya. Sekarang." "A-ada apa, Kak?" suaraku nyaris tak terdengar, tapi dia tak memberi jawaban. Hanya isyarat tangan yang menyuruhku mengikuti. Langkahku gemetar, tapi aku mengikuti dari belakang, melewati lorong-lorong yang sepi namun terasa bising oleh detak jantungku sendiri. Kami berhenti di depan sebuah pintu besar. Wanita itu menatapku tajam sebelum berbisik dingin, "Ingat, kamu tidak boleh membuat masalah. Jangan buat Madam Sarah marah." Sebelum aku sempat bertanya, dia membuka pintu dan mendorongku masuk. Ruangan itu mewah, terlalu mewah untuk tempat yang terasa seperti neraka. Aroma parfum mahal menyengat, bercampur dengan hawa pengap yang membuatku nyaris mual. Di tengah ruangan, duduk seorang pria tua, mungkin usia enam puluhan, dengan rambut yang memutih sebagian, wajah penuh kerutan, dan mata yang membuatku ingin berlari. "Ini dia gadis barunya?" suara pria itu berat dan dalam, seolah mengiris telingaku. Aku mundur setapak, panik mulai melingkupi pikiranku. "T-tidak... aku tidak bisa..." Aku menoleh ke belakang, tapi pintu sudah ditutup. Terkunci. Tubuhku gemetar. "Tolong... aku mau pulang..." suaraku pecah. Aku menangis. Aku benar-benar menangis. Namun tak ada jawaban. Hanya tawa kecil dari pria itu, dan suara langkah kaki mendekat. Aku meronta, mencoba berlari ke sudut ruangan, tapi tanganku ditarik paksa. "Tidak! Jangan! Tolong... aku mohon!" aku berteriak, berharap ada yang mendengar. Tapi tembok-tembok ini tebal. Dunia di luar tidak peduli. Tangisku makin keras. Aku berontak, tapi sia-sia. Di tempat ini, tidak ada yang peduli pada air mata. Tidak ada yang benar-benar melihat kami sebagai manusia. Hanya ada beberapa manusia yang hidup dalam kekejian, seperti pria tua di hadapanku. Ia yang mengenakan handuk melilit di pinggangnya itu justru berkata. "Ayolah sayang, Om sudah tidak tahan." Om, apa dia tidak sadar dengan usianya sendiri yang sudah bau tanah? Sampai ia masih merasa muda, kata sapaan yang pantas untuknya itu aki-aki, bukan Om. Tapi ya sudahlah, apa yang harus aku lakukan kini? Menatapnya hanya membuatku semakin takut. Terlebih, saat dia berjalan mendekat ke aku, sampai aku yang menangis ketakutan hanya bisa berkata, "Jangan apa-apa kan aku, Nek. Aku takut." Kakek tua itu memegang pundakku. "Tidak usah takut sayang, Om akan melakukannya dengan ritme yang pelan. Kamu pasti suka." Aku menggelengkan kepala, bukan pekerjaan ini yang aku mau. Melayani kakek tua yang merasa dirinya masih begitu muda. "Nggak Kakek, aku gak mau. Aku takut ... Aku takut, tolong jangan mendekat ke aku." "Kalau kamu melawan begini, aku akan marah lalu mengikat tanganmu, apa itu yang kamu mau?" Aku kembali menggelengkan kepala. "Menurut lah, aku akan melakukannya dengan lembut, aku tidak akan bermain kasar padamu kalau kamu menurut dan jangan pernah memberontak." "Nggak, aku gak mau!" Aku yang ketakutan berlari ke pintu, hingga ia mengejar ku. Sebisa mungkin aku mencoba melawan. Tapi ternyata aku salah, karena dia cukup kuat untuk aku kalahkan. Ia menyeret ku ke atas ranjang, dengan cara menarik rambutku begitu kasar. Sangat sakit rasanya, membuatku menangis dan berteriak. Tapi seperti apa yang aku katakan, dia tidak peduli. Baginya, aku hanya sebuah mainan untuk memuaskan hasratnya. Sebab, di saat aku mencoba melawan. Ia justru menamparku dan rasanya begitu perih di pipi. Aku menangis dan berteriak meminta tolong, berharap masih ada yang memiliki hati dan mau mengeluarkan ku dari tempat ini, tapi ternyata salah. Yang ada tenagaku justru habis sia-sia, hingga aku tidak dapat melawan ketika ia melepaskan handuknya di depan mataku. Dan jujur, itu pertama kalinya aku melihat mil*k pria berdiri, aku sempat kaget dan berpikir tidak akan te**ng dan keras seperti itu. Aku pikir awalnya hanya loyo dan tidak mau hidup, ternyata aku salah. Begitu menakutkan melihat ke**lu*n kakek itu, sampai membuatku memalingkan wajah. Tapi, si Kakek tua justru memasukkan miliknya ke dalam mulutku. Aku jijik dan mau muntah, kenapa harus di masukkan ke dalam mulut? Bahkan hampir mengenai tenggorokan ku, tapi si Kakek tidak peduli. Ia paksa masuk batangnya ke dalam mulutku lagi, membuat bola mataku memerah, dan wajahku yang menunjukkan ekspresi rasa sakit dan sedih. Perlakuannya begitu kasar padaku, hingga aku yang kesal mendorongnya sebisaku. Barulah aku bisa sedikit bernafas lega. "Kurang ajar!" gumamnya yang jadi marah. Aku takut, aku memundurkan langkah kakiku, perlahan menjauh darinya. Tapi telat, ia kembali menarik kasar rambutku. Lalu melucuti satu persatu pakaian yang aku kenakan. Setiap kali aku melakukan perlawanan, setiap kali itu juga ia melukaiku. Menampar, memukul bahkan menendang ku. Sakit, menangis. Cuman itu yang bisa aku lakukan kini. "Tolong hentikan," rintihku yang tidak ia hiraukan. Ia isap d**aku begitu kasar, sampai rasanya perih, lalu satu tangannya masuk ke tengah selangkangan ku. Di situ rasanya, aku kehilangan jati diri. Terlebih saat dia mulai memasukan batangnya ke dalam Miss V ku, membuatku merintih kesakitan. Apalagi saat d*r*h se**r keluar dari dalam, yang dalam artian. Kepe**wanan ku sudah diambil oleh-nya. Pria tua yang layak aku panggil kakek, sudah merusak harapan dan masa depan ku. "Tolong hentikan, ini sakit," rintih ku yang tidak ada artinya untuknya. "Hahhh ... Begitu nikmat, tidak sia-sia aku membayar mu dengan harga mahal, sayang," bisiknya dengan nada suara yang berat. Tidak seperti aku, yang tatapannya kosong menatap langit-langit kamar, seakan tidak ada gunanya lagi aku untuk hidup. Ia selesai, lalu dengan kejinya membuang sper**nya ke wajahku. "Terima kasih, sayang. Aku begitu puas. Tubuh mu begitu enak untuk dimainkan sayang," dia berkata sambil tangannya yang memainkan puting dadaku. Sekarang, apalah artinya hidup ku lagi? BersambungBab 96 — Janji di Ujung Peluru.Angin malam menyusup dari celah jendela mobil tua yang kupacu tanpa arah. Jalanan basah oleh sisa hujan sore, memantulkan lampu-lampu kota yang berpendar seperti kenangan—redup, tapi tak mau padam. Aku tak tahu sudah berapa jauh aku pergi. Yang kutahu, darah di tanganku masih terasa hangat.Bukan darahku. Bukan juga darah yang asing. Itu darah dari masa laluku yang menjerat hidupku bertahun-tahun—darah Madam Sarah.Tanganku gemetar di atas setir. Setiap kali aku berkedip, wajahnya muncul—wanita yang dulu menjualku ke pria-pria kaya dengan alasan “demi masa depanmu, Key.”Aku masih ingat malam pertama kali ia mengikat tanganku di kursi, menyuruhku diam ketika aku menangis, menjanjikan uang dan keamanan yang tak pernah datang.Sekarang, semuanya sudah berakhir.Dia sudah mati.Dan aku... sebentar lagi menyusulnya.Mobil berguncang ketika aku membelok tajam ke jalan kecil di tepi kota. Sirene polisi terdengar samar di belakang. Aku tahu mereka mengejarku,
Bab 95 — Titik Akhir yang Sunyi.Pagi itu terlalu tenang untuk menjadi akhir dari segalanya.Udara membawa aroma tanah basah, tapi di dalam dadaku, badai belum juga reda. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Ara yang masih terlelap di kursi. Matanya sembab, tubuhnya meringkuk dalam selimut yang tidak menutupi seluruh ketakutannya. Aku tahu ia tak benar-benar tidur—ia hanya menutup mata agar aku tak melihat sisa air mata yang belum kering.Aku menatap jam di dinding. Waktu sudah bergerak, dan aku tak punya banyak. Polisi pasti sudah mencium jejak. Revan bukan sekadar orang biasa; pembunuhannya akan membuat banyak pihak bergerak. Aku tahu mereka akan datang, cepat atau lambat. Tapi sebelum itu… aku harus menyelamatkan dua orang yang masih tersisa dari reruntuhan hidupku: Ara dan ayah.Langkahku berat ketika turun ke ruang tamu. Ayah duduk di kursi rotan, rambutnya mulai memutih, wajahnya kosong. Ia menatapku seperti menatap seseorang yang sudah setengah pergi.“Key…” suaranya ser
Bab 94Mobil mengantar kami pulang dalam sunyi yang tebal—sebuah tirai gelap setelah badai. Jarum spidometer berputar, lampu jalan membelah kabut malam seperti gagang-gagang tombak yang tak bernyawa. Di kursi penumpang, Ara menunduk, bibirnya gemetar, sesekali menarik napas panjang yang terdengar seperti desahan orang yang belum pulih dari mimpi buruk. Aku menatap ke luar jendela, menelan kepahitan yang masih menguar di mulut. Ada rasa lega—ya—namun lega itu tipis, seperti kertas yang tercecer di angin; di bawahnya ada lubang yang menganga.“Sudah benar, kan, Kak?” suara Ara kecil, seperti boneka yang remuk. “Kita nggak salah… kan?”Aku memalingkan wajah. Lampu jalan memantulkan bayanganku di kaca; wajah yang sama namun berbeda, seolah cermin menolak mengenali jiwa yang bersembunyi di baliknya. “Kita melakukan apa yang harus dilakukan, Dek,” jawabku, suaraku kering. “Dia sudah hancurkan hidup kita. Sekarang dia udah berhenti.”Ara mengangkat kepala, matanya basah masih bertahan. “Tapi
Bab 93.Aku ingat malam itu seperti mimpi yang dingin — setiap detik terasa padat, setiap napas diperas oleh tekad. Setelah Ara pergi tidur aku menatap cermin, melihat bayangan Key yang berbeda: bukan lagi gadis takut, melainkan perempuan yang punya rencana. Ponsel di tanganku bergetar, ada pesan dari akun palsu yang kubuat. Revan menjawab cepat, seperti biasanya: tidak pernah menolak pujian dan godaan.“Jam sepuluh malam di Hotel Chantika,” balasku.“Ok.” Balasannya singkat. Aku membaca satu kata itu berkali-kali seolah menyelami keangkuhan yang menipu.---Ara muncul di kamar tepat ketika aku hendak berangkat. Matanya merah, suaranya nyaris patah ketika ia memanggil, “Kak Key…”Aku menoleh, melemparkan senyum tipis karena tidak mau ia melihat kebekuan di dadaku. “Hmm?”“Aku tidak ingin kakak pergi.” Suaranya kecil, hampir memohon.Hatiku tercekat. Aku turun dari tempat tidur dan duduk di ujung. “Dek, ini harus kulakukan,” jawabku pelan. “Kita nggak bisa hidup terus seperti ini. Dia
bab 90."Kak, bagaimana ini kak?" isak tangis Ara. "Bangun kak Gery, bangun," lanjut Ara merintih, sementara suara bunyi sirene pihak berwajib mulai berdatangan, bersamaan dengan kedatangan ambulan. "Ayo angkat, angkat ke dalam!" kata seorang petugas. Mereka menaikkan tubuh Gery yang tidak bernyawa ke dalam mobil ambulans, aku dan Ara juga ikut naik ke dalam. Sementara mobil Gery diamankan oleh pihak berwajib, sebab aku juga tidak tahu cara mengendarai mobil itu. Lagian, aku tidak begitu memperdulikan sekitarku, yang ada aku hanya terdiam menahan rasa sedih, dan mungkin karena sedihnya sampai aku tidak bisa menangis lagi. Pikiran ku kacau, antara dendam yang semakin parah ke Revan, dan aku yang kian pusing memikirkan tentang kehidupanku dan Ara. Kalau begini, siapa lagi yang akan menolongku? Siapa lagi yang akan melindungi ku dan Ara? Siapa lagi yang peduli pada hidupku? Siapa lagi. Aku hanya punya ayah, yang kondisi nya entah bagaimana. Aku belum pernah bertemu dengan ayah sem
Bab 89"Ger, bagaimana ini?"Malam kian mencekam, tatkala mataku menangkap keluar jendela mobil, beberapa sepeda motor sedang membuntuti mobil yang di lakukan oleh Gery. Suara klakson motor mereka meminta Gery untuk berhenti, tapi aku, Gery dan Ara yang ketakutan justru memilih untuk kabur secepat mungkin. Aku bahkan refleks menoleh. Lampu-lampu motor menyorot tajam, menyilaukan mata. Suaranya semakin dekat, semakin keras, sampai bulu kudukku berdiri."Berhenti, aku bilang berhenti!"Tit tit tit ...."Berhenti!" sorak seseorang itu dari luar jendela mobil. "Kak Key, bagaimana ini?" kata Ara yang mulai ketakutan, sampai ku menoleh ke arah Gery yang fokus mengemudi mobil. Sebisa mungkin melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. “Ger…” panggilku pelan. Tapi suaraku tercekat.Gery memutar kepala, wajahnya langsung berubah tegang. “Pegangan, Key. Jangan panik.”Dalam hitungan detik, kami sudah terkepung. Sekitar sepuluh motor berhenti mengelilingi mobil kami. Para pengendara turun sat







