Home / Young Adult / Lepaskan Aku, Om / Bab 3. Pelanggan pertama kakek tua

Share

Bab 3. Pelanggan pertama kakek tua

Author: Bulandari f
last update Last Updated: 2025-06-18 22:00:37

Bab 3

Sayangnya, aku tidak bisa berbincang lama dengan kak Dina, sebab seseorang langsung masuk ke dalam kamar. "Dina, kamu di panggil dengan Madam Sarah," ujar seorang wanita yang usianya sekitar 30 tahun ke atas.

"Key, aku pergi yah. Cepat habiskan makananmu sebelum terlambat."

"Sebelum terlambat, maksudnya?" tanyaku yang sia-sia, sebab kak Dina pergi tanpa menjelaskan apapun kepadaku, mungkinkah ... Entahlah, bagaimana aku bisa selera makan. Kalau perasaanku dihantui rasa cemas gini. Sampai-sampai aku masih menatap pintu yang baru saja ditutup Kak Dina. Rasa-rasanya, dinding kamar ini makin menyempit, udara makin menekan dadaku. Aku mencoba menelan nasi yang tersisa di piring, tapi lidahku seakan menolak. Ada firasat aneh yang mengganggu pikiranku, apalagi setelah kalimat terakhir Kak Dina—*sebelum terlambat*.

Apa maksudnya?

Belum sempat aku berdamai dengan pikiranku sendiri, pintu kamar terbuka kembali. Kali ini bukan Kak Dina. Seorang perempuan tinggi, dingin, dengan rambut disanggul rapi, masuk tanpa basa-basi. "Key, ikut saya. Sekarang."

"A-ada apa, Kak?" suaraku nyaris tak terdengar, tapi dia tak memberi jawaban. Hanya isyarat tangan yang menyuruhku mengikuti.

Langkahku gemetar, tapi aku mengikuti dari belakang, melewati lorong-lorong yang sepi namun terasa bising oleh detak jantungku sendiri. Kami berhenti di depan sebuah pintu besar. Wanita itu menatapku tajam sebelum berbisik dingin, "Ingat, kamu tidak boleh membuat masalah. Jangan buat Madam Sarah marah."

Sebelum aku sempat bertanya, dia membuka pintu dan mendorongku masuk.

Ruangan itu mewah, terlalu mewah untuk tempat yang terasa seperti neraka. Aroma parfum mahal menyengat, bercampur dengan hawa pengap yang membuatku nyaris mual. Di tengah ruangan, duduk seorang pria tua, mungkin usia enam puluhan, dengan rambut yang memutih sebagian, wajah penuh kerutan, dan mata yang membuatku ingin berlari.

"Ini dia gadis barunya?" suara pria itu berat dan dalam, seolah mengiris telingaku.

Aku mundur setapak, panik mulai melingkupi pikiranku. "T-tidak... aku tidak bisa..." Aku menoleh ke belakang, tapi pintu sudah ditutup. Terkunci.

Tubuhku gemetar. "Tolong... aku mau pulang..." suaraku pecah. Aku menangis. Aku benar-benar menangis.

Namun tak ada jawaban. Hanya tawa kecil dari pria itu, dan suara langkah kaki mendekat. Aku meronta, mencoba berlari ke sudut ruangan, tapi tanganku ditarik paksa.

"Tidak! Jangan! Tolong... aku mohon!" aku berteriak, berharap ada yang mendengar. Tapi tembok-tembok ini tebal. Dunia di luar tidak peduli.

Tangisku makin keras. Aku berontak, tapi sia-sia. Di tempat ini, tidak ada yang peduli pada air mata. Tidak ada yang benar-benar melihat kami sebagai manusia.

Hanya ada beberapa manusia yang hidup dalam kekejian, seperti pria tua di hadapanku. Ia yang mengenakan handuk melilit di pinggangnya itu justru berkata. "Ayolah sayang, Om sudah tidak tahan."

Om, apa dia tidak sadar dengan usianya sendiri yang sudah bau tanah? Sampai ia masih merasa muda, kata sapaan yang pantas untuknya itu aki-aki, bukan Om. Tapi ya sudahlah, apa yang harus aku lakukan kini? Menatapnya hanya membuatku semakin takut.

Terlebih, saat dia berjalan mendekat ke aku, sampai aku yang menangis ketakutan hanya bisa berkata, "Jangan apa-apa kan aku, Nek. Aku takut."

Kakek tua itu memegang pundakku. "Tidak usah takut sayang, Om akan melakukannya dengan ritme yang pelan. Kamu pasti suka."

Aku menggelengkan kepala, bukan pekerjaan ini yang aku mau. Melayani kakek tua yang merasa dirinya masih begitu muda. "Nggak Kakek, aku gak mau. Aku takut ... Aku takut, tolong jangan mendekat ke aku."

"Kalau kamu melawan begini, aku akan marah lalu mengikat tanganmu, apa itu yang kamu mau?"

Aku kembali menggelengkan kepala.

"Menurut lah, aku akan melakukannya dengan lembut, aku tidak akan bermain kasar padamu kalau kamu menurut dan jangan pernah memberontak."

"Nggak, aku gak mau!"

Aku yang ketakutan berlari ke pintu, hingga ia mengejar ku. Sebisa mungkin aku mencoba melawan. Tapi ternyata aku salah, karena dia cukup kuat untuk aku kalahkan.

Ia menyeret ku ke atas ranjang, dengan cara menarik rambutku begitu kasar.

Sangat sakit rasanya, membuatku menangis dan berteriak. Tapi seperti apa yang aku katakan, dia tidak peduli.

Baginya, aku hanya sebuah mainan untuk memuaskan hasratnya. Sebab, di saat aku mencoba melawan. Ia justru menamparku dan rasanya begitu perih di pipi.

Aku menangis dan berteriak meminta tolong, berharap masih ada yang memiliki hati dan mau mengeluarkan ku dari tempat ini, tapi ternyata salah.

Yang ada tenagaku justru habis sia-sia, hingga aku tidak dapat melawan ketika ia melepaskan handuknya di depan mataku.

Dan jujur, itu pertama kalinya aku melihat mil*k pria berdiri, aku sempat kaget dan berpikir tidak akan te**ng dan keras seperti itu.

Aku pikir awalnya hanya loyo dan tidak mau hidup, ternyata aku salah. Begitu menakutkan melihat ke**lu*n kakek itu, sampai membuatku memalingkan wajah. Tapi, si Kakek tua justru memasukkan miliknya ke dalam mulutku.

Aku jijik dan mau muntah, kenapa harus di masukkan ke dalam mulut? Bahkan hampir mengenai tenggorokan ku, tapi si Kakek tidak peduli.

Ia paksa masuk batangnya ke dalam mulutku lagi, membuat bola mataku memerah, dan wajahku yang menunjukkan ekspresi rasa sakit dan sedih. Perlakuannya begitu kasar padaku, hingga aku yang kesal mendorongnya sebisaku.

Barulah aku bisa sedikit bernafas lega.

"Kurang ajar!" gumamnya yang jadi marah.

Aku takut, aku memundurkan langkah kakiku, perlahan menjauh darinya. Tapi telat, ia kembali menarik kasar rambutku. Lalu melucuti satu persatu pakaian yang aku kenakan.

Setiap kali aku melakukan perlawanan, setiap kali itu juga ia melukaiku.

Menampar, memukul bahkan menendang ku. Sakit, menangis. Cuman itu yang bisa aku lakukan kini.

"Tolong hentikan," rintihku yang tidak ia hiraukan.

Ia isap d**aku begitu kasar, sampai rasanya perih, lalu satu tangannya masuk ke tengah selangkangan ku.

Di situ rasanya, aku kehilangan jati diri. Terlebih saat dia mulai memasukan batangnya ke dalam Miss V ku, membuatku merintih kesakitan.

Apalagi saat d*r*h se**r keluar dari dalam, yang dalam artian. Kepe**wanan ku sudah diambil oleh-nya.

Pria tua yang layak aku panggil kakek, sudah merusak harapan dan masa depan ku. "Tolong hentikan, ini sakit," rintih ku yang tidak ada artinya untuknya.

"Hahhh ... Begitu nikmat, tidak sia-sia aku membayar mu dengan harga mahal, sayang," bisiknya dengan nada suara yang berat.

Tidak seperti aku, yang tatapannya kosong menatap langit-langit kamar, seakan tidak ada gunanya lagi aku untuk hidup.

Ia selesai, lalu dengan kejinya membuang sper**nya ke wajahku.

"Terima kasih, sayang. Aku begitu puas. Tubuh mu begitu enak untuk dimainkan sayang," dia berkata sambil tangannya yang memainkan puting dadaku.

Sekarang, apalah artinya hidup ku lagi?

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 7. Bukan artis ibukota melainkan artis bintang film PO**o

    Bab 7Aku terus-terusan kepikiran dengan ucapan kak Dina, yang berkata sebentar lagi aku akan di jadikan sebagai pemeran utama dalam film PO*no, apa aku harus bahagia atau malah sebaliknya.Untuk menjadi bintang film itu adalah impian ku semenjak kecil, tapi aku tidak pernah bermimpi akan menjadi bintang film dewasa. Tidak pernah sama sekali.Tapi ... Siang ini aku mendengar obrolan dari beberapa wanita yang mengatakan kalau aku termasuk beruntung. Karena baru pertama kali masuk ke tempat itu sudah dijadikan sebagai bintang utama dalam pembuatan film dewasa.Aku hanya bisa duduk diam di sudut ruangan itu, tangan mengepal di atas pangkuan. Kata-kata mereka terus berputar di kepalaku, seperti gema yang tak bisa dihentikan."Dia beruntung banget… baru masuk, langsung jadi pemeran utama.”Beruntung? Aku ingin tertawa, tapi suara itu terjebak di tenggorokan. Apa mereka tahu bagaimana rasanya saat impian masa kecil yang indah berubah jadi bayangan buram seperti ini?Aku tidak tahu harus mer

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 6. Hukuman

    Bab 6"Tolong hentikan Madam, sakit. Aku mohon ampun, Madam. Please ... Tolong hentikan ... Tolong hentikan ... Aku mohon...," ujar ku yang tengah menangis, merintih dan memohon belas kasihan dari Madam Sarah, ia menyiksaku. Memasukkan sesuatu ke dalam selangkanganku menggunakan sebuah alat dewasa yang dimasukkan ke dalam kemaluanku.Awalnya aku merasa kenikmatan, tapi lama kelamaan rasanya sakit, perih dan aku tidak kuat.Hingga aku merintih dan memohon ampun, tapi tidak ada seorangpun yang peduli. Aku dijadikan tontonan. Yang sialnya, sebuah kamera mengarah ke aku.Merekam setiap detail apa yang mereka lakukan padaku, tawa suara pria menggelegar di ruangan itu, dilanjutkan dengan dua orang pria yang justru berjalan ke arahku.Ia cabut alat itu, membuatku merasa sedikit enakkan, walaupun masih ada perih sedikit di area kemaluan.Tapi, yang awalnya aku pikir hukuman itu berhenti justru tidak, ternyata dua pria itu lebih kasar daripada alat yang mereka masukkan ke dalam kemaluanku.Mer

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 5. Layani aku

    Bab 5."Tapi Tuan, anda salah orang. Aku bukan jalang dan aku bukan seorang pelacur, tapi merekalah yang menjadikan aku seorang pelacur. Tolong jangan sentuh aku, Tuan.""Banyak bacot, buruan tarik handukmu! Dan aku ingin kamu menari telanjang di hadapan ku!"Tanganku gemetar saat menggenggam erat ujung handuk ini. Dada sesak, seperti ada batu besar menindih. Ucapan pria itu barusan bukan hanya menusuk harga diriku tapi begitu menakutkan untukku. Apa yang akan terjadi setelah ini padaku? Di saat rasa perih di tengah selangkangan ku saja belum hilang."Aku sudah cukup dihina, Tuan," suaraku keluar lirih, tapi jelas. Aku menatap langsung ke matanya, meskipun tubuhku menggigil ketakutan. "Kalau memang harga diriku serendah itu di matamu, biarkan saja aku mati malam ini."Dia terdiam. Sorot matanya tidak semenggila tadi. Mungkin karena aku bicara terlalu jujur, terlalu mentah. Tapi aku tidak peduli lagi. Aku sudah kehilangan segalanya—keluarga, kebebasan, bahkan hakku untuk bermimpi."Aku

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 4. Menari telanjang di hadapan ku

    Bab 4Apa ini yang dinamakan kehilangan raga? Ketika aku merasa tubuhku hina dan tidak berarti lagi.Di bawah pancuran shower aku menangis, meratapi diri yang habis di genjot oleh kakek tua, dia memang meninggalkan uang untukku, katanya sebagai tips karena dia puas.Tapi masalahnya aku bukan pelacur, dan tidak ingin dijadikan sebagai pelacur. Tapi takdir berkata lain, rasa sakit di tengah selangkangan ku belum hilang.Aku sudah diminta kembali melayani tamu, yang katanya seorang bos perusahaan.Walaupun terkenal keren tapi itu menjijikan, kenapa aku harus melayaninya? Aku bukan istrinya, bukan juga kekasihnya, atau selingkuhannya. Sama sekali bukan, dan aku juga bukan seorang pelacur. Tapi madam Sarah justru memaksaku menjadi pelacur."Bukankah pekerjaan ini enak? Kamu cukup ngangkang dan di kasih uang, iya, kan?" katanya dengan penuh keangkuhan, seakan-akan uang adalah segalanya, sampai bisa membeli tubuh wanita yang tidak tahu apa-apa.Aku hanya bisa diam mendengar ucapan Madam Sara

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 3. Pelanggan pertama kakek tua

    Bab 3Sayangnya, aku tidak bisa berbincang lama dengan kak Dina, sebab seseorang langsung masuk ke dalam kamar. "Dina, kamu di panggil dengan Madam Sarah," ujar seorang wanita yang usianya sekitar 30 tahun ke atas."Key, aku pergi yah. Cepat habiskan makananmu sebelum terlambat.""Sebelum terlambat, maksudnya?" tanyaku yang sia-sia, sebab kak Dina pergi tanpa menjelaskan apapun kepadaku, mungkinkah ... Entahlah, bagaimana aku bisa selera makan. Kalau perasaanku dihantui rasa cemas gini. Sampai-sampai aku masih menatap pintu yang baru saja ditutup Kak Dina. Rasa-rasanya, dinding kamar ini makin menyempit, udara makin menekan dadaku. Aku mencoba menelan nasi yang tersisa di piring, tapi lidahku seakan menolak. Ada firasat aneh yang mengganggu pikiranku, apalagi setelah kalimat terakhir Kak Dina—*sebelum terlambat*.Apa maksudnya?Belum sempat aku berdamai dengan pikiranku sendiri, pintu kamar terbuka kembali. Kali ini bukan Kak Dina. Seorang perempuan tinggi, dingin, dengan rambut disan

  • Lepaskan Aku, Om   Bab 2. Aku dijadikan bintang film dewasa

    Bab 2"Ayo Madam, periksa!" ujar Revan."Rev, apa-apaan sih Lo? Lo sudah janji bakal jaga aku dengan baik, Rev. Tapi apa yang Lo lakukan, Rev. Tolong lepaskan tanganmu Rev. Aku malu, Rev.""Diam aja Lo, Key. Gue butuh uang."Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arahnya. "Itu artinya kamu menjual ku, Rev?"Tidak ada jawaban, tapi yang aku rasakan kini. Dua jari masuk ke dalam kemaluanku. Ku tatap wanita yang berwajah sangar itu, tanpa rasa iba dan rasa malu. Ia masukkan jari tangannya ke dalam kemaluanku.Membuatku selain merintih sakit karena dia menusuk nya ke dalam, aku juga merasa malu. Karena jujur, ini untuk pertama kalinya seseorang memasukkan jari tangannya ke dalam kemaluanku. "Arhhh ah Tante sakit," rintihku. Sehingga ia melepaskan jari tangannya dari dalam."Bagaimana Madam? Dia masih perawan, kan?" tanya Revan."Hmmm, baiklah. Aku berani bayar dia 300 JT.""300 JT, itu terlalu sedikit Madam. Bisakah kamu tambah lagi. 700 JT madam.""Kamu pikir uang 700 JT sedikit hah? Ba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status