Share

BAB 6

Aku memencet bel apartment Kei terus menerus. Menunggu sang pemilik membukakan pintunya. Belum terlihat tanda-tanda jika Kei akan membuka pintu, aku mememcet belnya kembali. Sampai akhirnya terdengar bunyi pintu terbuka.

“Kenapa kamu disini?” tanya Kei dengan raut wajah terkejut karena melihatku berdidi di depan pintu apartment nya.

“Ada yang mau aku omongin sama kamu. Kita nggak bisa nunda-nunda masalah kayak gini, Kei.”

“Pulang lah. Aku lagi nggak mau nge-bahas itu.” lalu Kei berniat untuk menutup pintunya, namun aku buru-buru mencegahnya dan langsung masuk kedalam tanpa persetujuannya.

“Freya. Aku lagi butuh waktu.”

Aku menggeleng tegas. “Nggak bisa. Waktu kamu udah aku kasih semalem. Sekarang kita harus bahas ini. Kmau nggak bisa terus-terusan salah paham sama aku.”

Kei mengacak rambutnya kesal. “Tolong ngertiin aku, Frey! Aku nggak bisa bahas ini sekarang.”

“Enggak mau, Kei Sagara!”

“Freya!”

“Nggak, Kei. Kita harus ngomong sekarang! Semua yang kamu lihat di foto itu, salah paham!”

“Aku nggak pernah selingkuh dari kamu! Kepikiran untuk selingkuh dari kamu aja nggak pernah terlintas dipikiranku!” lanjutku dengan nada tinggi.

“Cukup, Freya! Aku mohon kali ini, dengerin aku. Besok kita bahas ini. Kamu pulang sekarang!” lagi-lagi Kei mengusirku

“Enggak! Aku mau jelasin—“

“CUKUP FREYA! KAMU TULI APA GIMANA SIH?! AKU BILANG PULANG YA PULANG!” aku spontan memejamkan mataku saat terdengan suara bentakan Kei yang cukup keras.

Tanpa sadar air mataku menetes. Aku masih memberanikan diri menatap matanya yang sudah memerah menahan emosi. “Aku cuman mau memperjelas masalah ini. Aku nggak mau kamu salah paham kayak gini.” jelasku lirih sambil menangis.

“A—ku— Bukannya aku nggak bisa percaya sama kamu. Tapi ada hal-hal yang memang aku simpan buat aku sendiri.”

“Bahkan aku harus mengesampingkan egoku buat jelasin hal ini ke kamu. Aku berharap kamu bakal dengerin penjelasanku tanpa aku minta. Tapi apa? Kamu malah ngusir aku kayak gini.” sialnya air mataku terus mengalir, aku sudah berusaha menahannya tapi tak bisa. Kulihat ekpresi Kei yang melembut.

“Freya, maaf” Kei menarikku kedalam pelukkannya. Ia terus membisikkan kata maaf berulang-ulang.

Aku memeluknya erat, “Aku mohon dengerin penjelasanku dulu. Jangan kayak gini, Kei.” ucapku disela-sela pelukkanya.

“Iya aku dengerin. Maaf, maafin aku.”

Aku melepas pelukkannya, menghapus air mataku yang tersisa. “Boleh aku jelasin sekarang?”

Kei mengangguk tanda mengijinkanku mulai menjelaskan padanya tentang apa yang terjadi kemarin.

“Waktu aku nginep di Villa kemarin, posisinya kamu emang lagi marah sama aku karena akhirnya aku harus stay semalem disana. Maaf banget. itu juga diluar dugaan kita semua.”

“Dan, untuk foto yang dikirim ke kamu. Tentang aku yang pelukan sama Reyhan—“

Aku menarik nafas dalam, “Itu memang malam waktu kita nginep di Villa. Aku lagi kangen Mama, aku sedih dan juga masalah kamu marah sama aku. itu buat mood ku ancur banget.” lanjutku.

“Reyhan tiba-tiba dateng, terus aku cerita kalau aku kangen Mama, perihal kamu marah sama aku. terus dia coba nenangin aku dengan meluk aku. Sebatas pelukan seorang sahabat, Kei. Nggak lebih.”

Kei menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, namun tiba-tiba ia kembali memelukku. “Maaf, aku nggak ada di saat kamu butuh aku. Maaf aku jadi penambah beban perasaanmu.”

Aku menggeleng cepat, “Enggak, Kei. Nggak apa-apa. Dengan kamu masih mau percaya sama aku, itu udah lebih dari cukup.”

“Soal foto itu, aku nggak tau siapa yang ambil foto itu. Reyhan lagi bantuin aku buat cari tau, itu ulah siapa.” ucapku.

Kei menyelipkan rambutku kebelakang telinga lalu membelai lembut pipiku. “Udah lewat, Sayang. Jangan terlalu dipikirin.”

“Maaf aku sempat kecewa sama kamu. Maafin aku, Freya.”

“Udah aku maafin, Kei. Kamu nggak salah. It’s okay.”

“Oh ya, Kei, sebelum aku kesini, Mama kamu telfon aku. Kamu dari kemarin nggak bisa di telfon. Mama kamu khawatir. Buruan kamu telfon Mama kamu dulu.”

Kei mengecek ponselnya dan menepuk jidatnya pelan. “Aku lupa, charger aku ilang dan aku belum sempat beli. Batre ponselku abis. Kita ke rumah Mama aja ya?”

“Kamu mau nggak?”

Aku mengangguk setuju, “Yaudah, tunggu bentar. Aku siap-siap sebentar.”

Sambil menunggu Kei, aku membaca beberapa majalah yang ada di atas meja. Semuanya tentang majalah bisnis yang sebenarnya sama sekali aku tidak mengerti. Hah percuma saja.  Aku menutup majalah di depanku dan lebih memilih bermain dengan ponselku saja.

*****

“Maaf, Ma. Ponsleku lowbat, charger nya ilang. Belum sempet beli.” jelas Kei saat sudah sampai di rumah Mamanya.

“Mama udah khawatir banget sama kamu. Nggak bisa di telfon, takut kamunya kenapa-napa.”

“Freya juga lagi di luar kota. Jadi nggak bisa tau keadaan kamu langsung gimana.” lanjut Mama Kei yang membuatku tersenyum kecut.

“Nggak apa-apa, Ma. Kei bukan anak kecil lagi, aku bisa jaga diri aku sendiri.”

“Iya, Mama tau kamu udah besar. Tapi kan lebih baiknya, kamu juga ada yang urus.”

“Kan aku udah ada yang urus. Ini orangnya disebelah aku.” jawabnya sambil tersenyum ke arahku dan kubalas senyum balik.

“Tapi Freya kan sekarang masih kerja, jadi kalian punya kesibukkan masing-masing. Makanya Kei cepet nikahin Freya, biar dia bisa urus kamu di rumah.”

Aku tersenyum ke arah Mama Kei.

“Biar dia nggak usah capek-capek kerja lagi. Jadi fokusnya ke kelaurga kecil kalian aja nantinya.” senyumku pun langsung hilang seketika mendengar alasan Mama Kei yang menyuruh Kei menikahiku cepat-cepat.

“Emm— Tante, bukannya Freya kurang sopan. Tapi kan kalau nantinya Freya tetep kerja, bisa bantuin ekonomi keluarga. Jadi bukan Kei aja yang banting tulang.” selaku dengan tetap berusaha se-sopan mungkin.

“Kei kan udah mapan, Freya. Kamu tinggal santai-santai aja di rumah. Ngurus suami juga kewajiban seorang istri nantinya kan?”

Aku hanya mengangguk kecil dan memaksakan senyum. Tak bisa membantah kembali. AKu menatap Kei dengan tatapan memohon pembelaan, namun yang ditatap hanya diam seperti menyetujui perkataan Ibunya.

“Mama ada benarnya juga, Frey. Walaupun kamu belanja tiap hari juga, uangku nggak akan abis segampang itu. Jadi kamu nggak perlu khawatir tentang masalah ekonomi, Sayang.”

“Tuh, Kei aja malah nggak keberatan kamu belanja tiap hari loh, Freya. Impian setiap istri kan? Kebutuhan yang selalu dipenuhi oleh suaminya.” tambah Mama Kei.

Aku hanya membalas dnegan senyum yang amat sangat dipaksakan. Aku masiht idak habis pikir dengan pemikiran Ibu dan anak ini. Bagaimana aku menyampaikan kepada mereka mengenai prinsip hidupku? Bagaimana membuat mereka agar menerima keinginanku? Cita-citaku?

Terkadang aku berpikir, apakah wanita memang hanya ditakdirkan untuk mengurus rumah? Tidak boleh bekerja? Jujur saja aku sangat-sangat menolak pemikiran itu. Aku yang sedari kecil di didik untuk mandiri tanpa mengandalkan bantuan orang lain merasa kerja kerasku selama ini tidak dihargai sama sekali.

Namun lagi-lagi, aku harus mempertaruhkan semuanya. Antara pendirianku atau Kei yang nantinya akan menjadi masa depanku, mungkin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status