Keesokan harinya, pukul setengah lima pagi. Gina sudah bangun dari tidurnya. Dia mengumpulkan pakaian kotor dan mencucinya. Aktivitas pagi yang sudah Gina lakukan selama bertahun-tahun tanpa jeda satu hari pun. Pukul enam ketika rumah selesai dia urus, Gina pergi ke luar untuk mencari tukang sayur yang biasanya lewat.
Hari ini Gina berniat untuk memasak cumi, makanan kesukaan ke tiga anaknya. Saat tiba di tukang sayur, Gina langsung bertanya pada si penjual, ''Hari ini cumi ada, Mang?''
''Ada, BU Gina. Kebetulan cuminya tinggal satu.'' Penjual sayur itu mengambil kantung keresek berisikan cumi di bawah gerobaknya, menyerahkannya pada Gina.
Gina tersenyum, mengambil cumi yang si penjual serahkan.
''Mau masak cumi, ya, Bu?'' tanya ibu-ibu lain pada Gina.
''Iya, Bu. Kemarin anak-anak bilang kalau mereka pengen makan cumi,'' jawab Gina.
''Anak saya juga kemaren pengen makan ayam, eh si Mamang malah enggak bawa ayam!'' sahut yang lainnya.
''Bukan enggak bawa, Bu. Tapi habis, saya cuma bawa empat kantong aja,'' sungut si penjual sayur, tidak terima jika dia di salahkan.
Ibu-ibu mengobrol deperti biasanya, Gina yang berdiri di antara yang lain hanya menjawab jika di tanya dan sesekali menimpali. Selain membeli cumi, Gina juga membeli dua jagung manis, terigu dan bumbu masaknya. Setelah selesai berbelanja dan membayar, dia bergegas pulang untuk memasak.
''Gina!''
Langkah kaki Gina terhenti ketika mendengar suara seorang wanita yang memanggilnya. Gina menoeh, melihat Lastri, ibu tirinya yang berjalan dengan cepat kearahnya.
''Mana uang buat bapak kamu?'' tanya Lastri begitu dia tiba di hadapan Gina.
''Gina belum punya uang, Bu. tiga hari lalu, kan, ibu baru aja Gina kasih.'' Gina menjawab sambil berusaha menyembunyikan cumi-cumi yang dia beli dari Lastri.
''Kamu pikir tiga ratus ribu cukup buat makan empat orang? Kamu pikir bapak kamu cuma makan tiga hari aja?'' solot Lastri, tatapan wanita parubaya itu lalu jatuh pada ke dua lengan Gina yang bersembunyi di belakang punggungnya. ''Habis beli apa kamu?''
Gina mencengkram kantung belanjaannya dengan erat, menggeleng pada Lastri. ''Bukan apa-apa, Bu. Cuma beli jagung doang dari tukang sayur tadi.'' Gina tersenyum kaku, mencoba untuk tidak menarik perhatian Lastri.
Kening Lastri berkerut, matanya menelisik Gina dengan tajam. ''Coba liat!''
''Beneran cuma jagung doang, Bu.'' Gina mengelak dengan jantung yang berdetak cepat dia, sama sekali tidak ingin menunjukannya pada Lastri. Karena Gina tahu jika Lastri melihanya membeli cumi, wanita tua itu pasti akan mengambilnya.
''Kalau gitu ibu liat!'' Lastri mengulurkan lengannya, dengan paksa menarik lengan Gina.
Gina tidak siap, saat Lastri menarik lengannya, kantung keresek berisi belanjaan itu terjatuh ke tanah, membuat barang-barang di dalamnya berserakan di tanah. ''Bu!'' Gina buru-buru membungkuk, hendak mengambil kantung cumi yang tergeletak di tanah.
''Dasar kamu anak enggak tau di untung!'' Lastri lebih dulu mengambil cumi itu, memaki Gina dengan kesal. ''Bilang enggak punya duit tapi bisa beli cumi.''
''Itu buat anak-anak, tolong balikin, Bu!''
''Enak aja! Kamu pikir anak kamu doang yang pengen makan cumi? Bapak sama adik kamu juga doyan. Ibu ambil ini, kamu makan aja itu jagung!'' setelah mengatakan itu Lastri berbalik pergi dengan cumi milik Gina.
Gina menatap kepergian Lastri dengan tangan terkepal erat, dadanya sangat sesak setiap kali Lastri melakukan ini padanya. Wanita itu membungkuk, membereskan sisa belanjaannya yang berjatuhan sambil sesekali menyeka air matanya yang menggenang. Bukan pertama kali Lastri melakukan hal seperti itu, setiap kali wanita parubaya itu melihatnya membeli sesuatu yang enak untuk putra dan putrinya, Lastri akan tanpa ragu mengambilnya, tanpa mempertimbangkan perasaan Gina sama sekali.
Tapi apa yang bisa Gina lakukan? Setiap kali Lastri mengataka bahwa itu untuk ayahnya, tidak ada yang bisa Gina lakukan.
Selesai membereskan sisa belanjaan di tanah, Gina merogoh saku pada daster yang dia kenakan. Melihat sisa uang di tangannya, Gina menghela nafas berat. Sisa uangnya kurang untuk membeli lauk lagi, tetapi tidak mungkin dia hanya memberikan jagung pada anak-anaknya unttuk sarapan.
Tepat saat Gina berbalik hendak pergi, dia secara tidak sengaja melihat Bagas di kejauhan yang menatapnya dengan wajah datar. Gina tidak tahu apakah Bagas melihat apa yang baru saja terjadi antara dia dan Lastri atau tidak, dan apa maksud dari tatapan tajam yang pria itu berikan padanya.
Gina memalingkan wajah, bergegas melanjutkan perjalanannya menuju rumah.
''Mama habis dari mana?'' tanya Gavin pada saat melihat ibunya baru saja pulang.
''Mama habis dari tukang sayur,'' jawab Gina, mencoba untuk membuat ekspresinya senormal mungkin. ''Adik-adik kamu udah bangun, Vin?'' tanya Gina balik.
Remaja itu mengangguk. ''Udah, Binar lagi mandi, Ghazi lagi pake seragam, mah.''
Gina mengangguk, menghela nafas lega. Dia berjalan ke dapur, mengeluarkan dua buah jagung dan bumbu-bumbu yang tadinya dia beli untuk memasak cumi hari ini.
''Mah, hari ini kita makannya cumi, kan, yah?'' Ghazi baru saja selesai memakai seragamnya, anak itu keluar dari kamar dan bertanya dengan penuh semangat pada Gina.
Gerakan tangan Gina berhenti, dia menoleh pada putra keduanya, menjawab dengan senyuman, ''Makan cuminya besok aja, ya, Zi. Tadi penjual sayurnya lupa bawa katanya.''
Ghazi cemberut begitu mendengar jawaban Gina. ''Yah, Gimana, sih, Mamah. Enggak jadi, deh, kita makan enak!'' sungut anak itu dengan kesal.
Nyut, hati Gina berdenyut perih mendengar apa yang Ghazi katakan.
"Na, kenapa muka kamu pucat banget, kamu masih sakit?" tanya Dimas ketika dia melihat wajah Aina yang tampak tidak sehat.Aina menoleh ketika mendengar suara bertanya Dimas, dia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Saya enggak pa-pa, kok, Pak!" Bibir pucat Aina terangkat, dia mencoba untuk baik-baik saja.Kening Dimas bertaut, masih merasa khawatir bahkan jika Aina berkata bahwa dia baik-baik saja. "Kamu sudah periksa ke rumah sakit?" tanya Dimas lagi."Saya cuma masuk angin, enggak perlu ke rumah sakit.""Kamu terlalu keras kepala, Na. Jangan sepelekan penyakit bahkan kalau pun itu hanya masuk angin. Saya antar kamu ke rumah sakit sekarang!" ujar Dimas dengan nada sedikit memaksa.Aina enggan, mereka masih berada di tempat kerja dan beberapa karyawan memperhatikannya. Dia takut jika Dimas mengantarnya ke rumah sakit di tengah jam kerja, pria itu akan terseret gosip karenanya. Karena Aina tahu betul jika beberapa karyawan sering memperhatikan dia dan bergosip secara diam-diam."Engg
Aina sedang duduk di atas tempat tidur saat bel pintu apartemen berdering. Aina yang sedang cemas menunggu kepulangan Gavin langsung berdiri, bergegas keluar dari kamar untuk membuka pintu.Ketika pintu apartemen dibuka, Aina melihat Gavin yang sedang di papah oleh seorang wanita yang Aina tahu dia berjama Celine."Gavin kenapa?" tanya Aina, sedikit panik melihat Gavin yang tampak tidak sadarkan diri."Gavin Mabuk, tolong minggir dulu, biar gue yang antar dia ke kamarnya!" Celine mendorong Aina ke samping, lalu dia bergegas masuk dengan susah payah. "Di mana kamar Gavin?" tanya Celine."Dudukkan di sofa aja," ujar Aina.Celine mendudukkan Gavin yang mabuk di atas sofa, wanita itu membuka jaket yang Gavin kenalan dan menyuruh Aina yang sedari tadi hanya berdiri dan menatap dari samping, "Buatin air hangat pake madu dan jeruk!"Meski hatinya merasa tidak nyaman melihat Celine yang begitu merawat Gavin, tapi dia tetap sigap melakukan hal yang Celine minta. Dia bergegas pergi ke dapur, me
Aina pulang ke apartemen. Saat dia membuka pintu dan masuk, Aina meletakan barang-barang yang dia beli, dia bahkan tidak sempat membereskan semua itu karena Aina langsung pergi ke dalam kamar mandi dan muntah lagi.Hoek, hoek, hoek.Terengah-engah, Aina menopang tubuhnya pada pinggiran wastafel. Dia berkumur, mencuci mulut dan wajahnya agar terlihat segar. Aina lalu mendongak, menatap wajah pucat nya di cermin. Pantulan dirinya di cermin terlihat sangat kuyu dengan wajah yang basah oleh air dan rambut acak-acakan.Menghela nafas, Aina keluar dari kamar mandi, dia mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana pendek sebelum akhirnya berbaring di tempat tidur untuk menenangkan rasa mual di perutnya. Aina berharap bahwa setelah dia bangun nanti, rasa mual itu akan menghilang.***Gavin kembali ke apartemennya setelah menginap di rumah usai ulang tahun bunga, adiknya yang terakhir. Dia menekan serangkaian kata sandi, dan ketika pintu dibuka, Gavin masuk ke dalam apartemen.Suasana hening mem
Aina berdiri di trotoar, menunggu kendaraan umum yang lewat. Wanita itu celingak-celinguk, menunggu dengan cemas. Hari sudah menunjukan pukul tujuh malam, namun dia belum juga mendapati kendaraan yang lewat karena memang hujan deras baru yang diiringi oleh suara petir saja mereda. "Na, kamu mau bareng aja sama saya?" Dimas yang menghampiri Aina bertanya pada wanita itu."Enggak usah, pak. Saya bisa nunggu sebentar lagi, kok." Aina menggeleng, menolak sambil tersenyum."Kalau begitu saya temenin kamu nunggu, ini udah malem, enggak baik perempuan di pinggir jalan kaya gini." Dimas menawarkan diri."Tapi-" Aina ingin menolak, dia merasa tidak enak pada Dimas. Bagaimanapun pria itu juga pasti punya kesibukan setelah ini."Jangan nolak. Saya enggak terima penolakan." Dimas bersikukuh untuk menemani Aina.Pada akhirnya Aina dengan pasrah membiarkan Dimas menemaninya. Wanita itu sedari tadi mengguncang ponsel yang ada dalam genggamannya, menghubungi Gavin berulang kali untuk meminta jemput.
"Kamu pulang?" sapa Aina ketika dia melihat Gavin yang masuk ke dalam apartemen.Gavin mengangguk, dia membuka jaket yang dia kenakan, melemparnya ke atas sofa dengan sembarangan. "Gue lapar, ada makanan?" tanya Gavin.Aina bangkit berdiri dari sofa, dia berjalan ke arah dapur sambil menjawab, "Ada, makan sekarang apa mandi dulu?" tanya Aina."Makan sekarang," jawab Gavin.Mengangguk, Aina mengambil piring dan menyiapkan makanan untuk Gavin. Pria itu duduk di atas meja makan sambil menunggu Aina selesai menyiapkan makanan. Setelah makanan tersaji di hadapannya, Gavin mulai melahap makanannya."Perempuan yang sama kamu tadi siapa?" tanya Aina, dia bertanya dengan hati-hati agar Gavin tidak marah."Temen, kenapa?" Gavin balik bertanya tanpa menatap Aina."Enggak, keliatannya akrab banget sama kamu. Tadi kamu nelepon aku pake nomor dia?"Mengangguk, Gavin mendongak menatap wanita itu. "Kenapa, sih?" tanya Gavin.Kepala Aina menggeleng, dia menuangkan air putih ke dalam gelas dan menaruhn
"Vin...ugh." Aina melenguh saat Gavin mengecupi di sepanjang lehernya hingga akhirnya pria itu berhenti pada dadanya yang ranum.Rasa geli menyebar ke seluruh tubuh Aina, apalagi saat bibir Gavin dengan rakus mengisap pucuk dadanya bergantian. Aina mengelus rambut kepala Gavin, membuat pria wajah pria itu terbenam di sana.Tubuh keduanya sama-sama bugil, saling mengerat satu sama lain. Keringat mereka membanjiri tubuh, ac yang tergantung di dinding sama sekali tidak mempengaruhi suhu panas di antara keduanya."Baring!" titah Gavin pada Aina.Mengangguk, Aina berbaring di atas tempat tidur sambil membuka ke dua kakinya. Nafas Gavin memberat melihat wanita itu menatapnya dari bawah dengan ekspresi yang begitu provokatif."Emh..." Aina tersentak, Gavin memasuki dirinya secara tiba-tiba.Kegiatan yang biasa mereka lakukan setiap malam jika Gavin memintanya, Aina hanya menurut, bagaimana pun menurutnya Gavin adalah pria yang baik yang banyak membantunya di saat dia kesulitan. Aina sama sek