Baru saja menutup pintu mobil, Hagan menoleh pada istrinya yang memegangi lengan. Sedikit kuat cengkeraman tangan Liara itu.
"Aku perlu ke toilet." Liara menggigit bibir. Satu tangannya memegangi perut yang terasa mulas.
Hagan turun lagi, membatalkan niatnya untuk segera pulang. "Apa makananmu tadi pedas sekali?"
"Sepertinya." Liara melompat dari mobil. Sudah akan berlari masuk ke dalam resto yang beberapa saat lalu ia datangi bersama Hagan, perempuan itu menoleh pada sang suami. "Aku hanya sebentar. Jangan suruh mereka mengikuti." Tunjuknya pada para pengawal yang sudah turun dari mobil satunya.
Perutnya semakin melilit, perempuan itu berlari menuju toilet resto.
Menghela napas saja, Hagan memutuskan tak memberi perintah apa-apa pada tiga pengawal Liara yang sudah siap sedia di samping mobil.
Menunggu selama lima menit di depan resto, Hagan mulai cemas. Berulang kali ia menengok ke arah resto, tetapLiara sedang mengaduk susu hangat buatan Biru saat merasa tubuhnya dibalik. Hagan muncul di depan wajah, perempuan itu lumayan terkejut.Pasalnya, sejak kemarin, tepatnya setelah pertemuan Liara dan Redrick, si pria tak keluar kamar satu kali pun. Menolak makan, tidak pergi bekerja, hanya berbaring dan memeluk dirinya. Baru beranjak jika perlu ke kamar kecil."Kau mau makan sesuatu?" Sudah lewat jam makan siang memang, tetapi Liara tetap ingin berusaha membujuk. Hagan bisa sakit jika terus-terusan begini.Mengangkat tubuh Liara untuk duduk di atas meja bundar di belakang mereka, Hagan menyelipkan diri di antara kaki perempuan itu. Membuat tangan Liara mengalung di leher, ia memeluk pinggang si istri erat."Hagan? Kau sudah melakukan ini sejak kemarin. Apa memelukku bisa membuatmu kenyang?"Berdeham saja, lelaki itu memejam. Wajahnya sudah bersembunyi di bahu Liara."Kau su
"Susu, Liara?" Hagan memasang tersenyum termanis pada sosok perempuan di depannya. Ia hanya dilempari tatapan datar oleh orang itu. Sudah dua hari Liara seperti ini. Terus mendiamkannya, kecuali saat mereka di ranjang. Agaknya, si istri masih marah karena insiden susu dingin kemarin. Hagan sudah melakukan segala cara untuk membuat Liara bicara padanya. Namun, semuanya gagal. Hanya berakhir seperti ini. Liara tidak pura-pura tak melihatnya. Perempuan itu menanggapi ucapan Hagan, tetapi hanya sebatas melirik sebentar. Mengangguk, berdeham atau menggeleng. Paling jauh, menjawab dengan kata 'entah'. Liara hanya bersikap sewajarnya saat Hagan meminta jatah. Dan hal itu membuat si lelaki semakin merasa tak nyaman. Selama ini, perempuan itu memang tak banyak bicara. Namun, tidak seperti ini. Dingin. Liara kerap menatapnya dengan sorot malas dan muak. Dan asa tahu saja, Hagan ti
Mempertemukan Liara dan Biru, artinya menunda kematian Biru. Untuk itu saja, Hagan sudah panas hati bukan main, kekesalannya harus ditambah adegan saat ini juga?Di gudang pengap itu, si lelaki melihat istrinya membantu Biru minum, setelah luka-luka Biru dipaksa untuk diobati oleh Max.Kepalan tangan Hagan sudah tak sabar mencium wajah atau bagian tubuh Biru. Sungguh, ia berjanji akan membuat orang itu tewas. Ia tak bodoh seperti Liara yang bisa dipengaruhi cerita sedih.Katanya, Biru punya adik yang sakit parah. Butuh biaya besar, oleh karena itu sangat tidak mungkin mencelakai Liara.Hah. Mana Hagan percaya. Kalau pun Biru memang punya adik yang sakit keras, bukankah itu menjadi alasan kuat untuk melakukan ini? Redrick pasti membayar sangat mahal untuk nyawa Liara."Sungguh, Nyonya. Aku tidak mungkin melukaimu. Racun itu, bukan aku yang melakukannya." Sungguh Biru menatap Liara dari matanya yang bengkak. Ia memegang
Hagan sudah mengubah posisi tidurnya sebanyak puluhan kali, tetapi mata tak kunjung mau terpejam. Padahal, beberapa jam lagi, pagi sudah akan datang. Duduk di atas ranjang, Hagan mengusap wajah kasar. Ia menengok ke arah Liara yang pulas, rasa kesal itu kembali bercokol di dada. Sudah dua hari sejak pertengkaran kecil mereka di depan Orlando. Sejak itu pula hubungan mereka sedikit tidak baik-baik saja. Liara tidak mendiamkannya. Perempuan itu mengajaknya bicara, tetapi Hagan bisa menangkap keterpaksaan dari setiap kalimat yang dilontarkan. Mungkin, Liara hanya melakukan pekerjaannya. Kompensasi dari bayaran yang tiap minggu Hagan transfer. Sementara Hagan, ia ingin si istri meminta maaf dan yang paling penting mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ia tak ingin perempuan itu terpaksa atas segala hal yang mereka lakukan. Karenanya, Hagan bahkan tak menyentuh perempuan itu sejak dua hari lalu. Uring-uringan, mudah ma
Bukan Biru. Orangnya Redrick adalah Fredica. Tukang cuci yang tempo hari sempat Liara selamatkan agar tidak dipecat. Fredica adalah seorang ibu tunggal yang memang bekerja pada Redrick dulunya. Beberapa minggu lalu anaknya meninggal karena kecelakaan, jadi wanita malang itu hilang arah, setuju saja disuruh membunuh Hagan. "Aku tidak punya alasan untuk hidup lagi. Bunuh saja aku." Fredica tertawa pada Biru di depannya. Meski tangan dan kakinya diikat ke sandaran kursi, ekspresi wajah wanita itu sama sekali tidak menunjukkan rasa takut atau penyesalan. Fredica dengan senang hati melaksanakan tugas dari Redrick untuk menghabisi Hagan atau Liara. Karena itu, kemarin subuh, ia yang terbangun dan melihat Hagan dan Liara ada di kolam renang langsung mengambil pisau dapur. Wanita itu sudah berhasil membuat kehadirannya tidak diketahui pada awalnya. Namun, Liara malah memergoki. Jadi, ia berlari, sudah siap ingin menusuk punggung Hagan,
"Terima kasih, Pak Rayi." Mengucapkan terima kasih pada sang supir karena sudah diantar seharian penuh ke sana-kemari, Hagan menanggalkan blazer abu-abunya seraya berjalan masuk ke rumah. Beberapa pelayan menyambut pria itu dengan anggukkan sopan. Hagan hanya melewati dan bertanya di mana keberadaan istrinya. "Di uang baca, Tuan. Sejak tadi siang." Mendengar laporan tersebut, langkahnya berhenti sejenak. Liara baru pulang dari rumah sakit tiga hari lalu. Masih perlu istirahat untuk pemulihan. Di ruang baca, sejak siang? "Dia tidak melakukan hal lain? Tidka makan? Obatnya?" Getar dari saku sedikit menyita atensi. Ia periksa, ternyata satu lagi panggilan dari Redrick. Hagan menyeringai, memilih menggeser tombol merah di layar, lalu menyimpan lagi benda pipih tersebut di saku. Hari ini, tampaknya rencana si lelaki berhasil. Sejak pagi, Redrick dan Anjani terus berusaha menghubunginya. Bahkan, sang ibu tiri ne
"Itu pasti buku yang kemarin kubeli, Biru." Liara bangkit dari sofa, menghampiri Biru yang sedang memegang kotak coklat muda. Biru menjauhkan kotak tadi dari jangkauan Liara. "Biar aku periksa dulu, Nyonya." Laki-laki itu berjalan ke arah depan rumah. Di halaman, Biru berjongkok dan mulai membuka kotak tadi dengan pisau. Meski kotak itu datang diantar oleh kurir yang biasa membawakan pesanan buku Liara, tetap saja ia harus waspada. Setelah kotak terbuka dan tak terjadi apa-apa, ledakan misalnya, Liara terdengar mendengkus. "Aku sudah bilang." Perempuan itu memungut kotak tadi dari hadapan Biru. "Berlebihan, sama seperti bosmu," gerutunya pada sang pengawal pribadi. "Aku hanya tidak ingin gagal lagi menjalankan tugas, Nyonya." Biru mensejajari langkah Liara menuju ruang santai lagi. Pria berusia 27 tahun itu tersenyum kala Liara melempar sorot malas, seperti biasa. "Adikmu sudah baik-baik saja?" tanya
Liara menggeliat dalam tidur. Ingin sekali bergerak lebih leluasa, meregangkan beberapa otot, tetapi merasa tak bisa melakukannya karena dua tangan seperti diikat. Perlahan membuka mata, perempuan itu mendapati satu sosok sudah ada di samping. Berbaring sama sepertinya, memeluk tubuhnya erat. Jadi, Hagan yang membuatnya tak bisa bergerak? "Kapan kau datang?" Liara bertanya asal, tak menyangka akan dijawab, karena mata pria di sebelahnya masih tertutup. "Satu jam lalu." Perempuan itu terkesiap. Sedikit mendongak dan menyaksikan Hagan membuka mata. "Kenapa tidur di sini? Sempit." Liara mendorong bahu pria itu. Tiba-tiba saja sesuatu yang aneh melingkupinya. Tatapan Hagan beberapa saat tadi membuat dirinya merasa dicecari banyak tuduhan. Hagan menyelipkan satu tangan di bawah kepala Liara. Membawa perempuan itu semakin dekat padanya. "Apa yang kau lakukan itu buruk, Liara." Pria itu berucap pelan di tel