Menatapi batu nisan di hadapannya, Liara tak mampu berkata-kata. Perempuan itu merasa kepalanya seketika kosong.
Demi membuktikan kebenaran ucapan Max, sedikit memaksa, perempuan itu minta diantar ke tempat ini. Lokasi peristirahatan terakhir Redrick.
Max ternyata tidak berbohong. Itu memang makan Redrick. Nama adik tiri Hagan itu tertulis di keramik hitam itu. Tanahnya masih basah dan masih terdapat bunga tabur yang kelihatan baru.
"Kenapa bisa?" Liara bertanya lirih. Perempuan yang masih mengenakan pakaian rumah sakit itu mengusap nisan di sana. Wajahnya muram.
Berjongkok di samping Liara, Max ikut-ikutan memasang ekspresi berduka. "Entah dari siapa, dia tahu di mana kau dan Hagan disekap. Dia sedang dalam perjalanan ke sana juga saat memberitahu aku dan Biru."
Asumsi Max, mungkin, karena sagat kalut, Redrick mengemudikan mobilnya secepat yang dibisa dan karena kondisi emosinya itulah ia mengalami hilang kendali hing
"Kau sungguh akan melakukan ini?" Orlando penuh kemarahan sekarang. Laki-laki dewasa yang tertunduk di hadapan benar-benar membuatnya ingin meledak.Hanya karena takut Liara kembali menjadi sasaran orang-orang yang mengincar harta Arsenio, anaknya itu menceraikan Liara. Sudah sah, sebab saat ini Hagan sudah memegang surat pengesahan dari pengadilan."Aku tidak habis pikir kau bisa sedungu ini, Hagan! Apa yang kau dapatkan bila berpisah dari Liara?" Orlando tak peduli beberapa pasien atau perawat yang lewat melempar tatapan aneh pada mereka. Pria itu hanya ingin fokus pada Hagan, menyadarkan anaknya itu."Aku tahu seberapa besar kau membutuhkannya. Dan apa? Kau melepasnya? Sungguh bodoh! Jika kau tak ingin ia celaka oleh orang-orang yang mengincarmu, maka jaga dia. Tetap di sisinya."Orang yang ia ajak biara diam saja bagai patung, Orlando mengambil langah besar menuju ruangan Liara. Mungkin, ia bisa membujuk menantunya itu.
Waktu tak pernah berhenti. Ia tak akan memberi jeda dan menunggumu pulih dari duka, sedalam apa pun luka yang kau miliki.Liara berusaha meyakini itu. Pagi ini, ia memulai pekerjaannya di salah satu toko kelontong. Liara diterima bekerja di sana sejak kemarin.Sudah pindah dari rumah Hagan, putus hubungan kerja sama dengan pria itu, artinya Liara harus mencari penghasilan untuk menutupi biaya hidup selanjutnya. Walau tabungan masih ada, ia juga tak boleh berleha-leha hingga uang itu habis.Di luar prediksi juga, keinginan Liara untuk mengakhiri hidup perlahan tak terlalu terasa lagi. Perempuan itu sudah lebih pasrah. Seperti kata Red, semua orang sudah punya jadwal masing-masing untuk mati.Liara berubah? Sebenarnya tidak banyak yang berubah, Kecuali, celah kecil di hati. Perempuan itu mendadak merasa seolah kehilangan sesuatu sejak meninggalkan rumah Hagan seminggu yang lalu.Hal lucunya, beberapa hari lalu, Liara yan
Itu dini hari saat Hagan yang tak dapat tidur memutuskan pergi ke gazebo di belakang. Pria itu duduk di sana. Menghela napas beberapa kali, kemudian menatapi kolam renang.Rasanya menyesakkan dan hampa. Itu baru seminggu dan Hagan sudah merasa tak sanggup melewati hari esok. Ia lelah. Rindu untuk Liara tak habis-habis, malah semakin banyak.Pria itu kesepian. Kamarnya tak lagi hangat. Rumah tak lagi nyaman. Semua hal tak lagi menarik usai perempuan itu pergi dari sisi.Orlando benar. Hagan benar-benar kalah setelah Liara pergi darinya.Menoleh ke sisi kiri Gazebo, Hagan tersenyum pahit. Itu posisi yang selalu Liara tempati. Perempuan itu selalu duduk di sana, tiap ke gazebo ini."Hagan! Keluar dari ruang kerjamu sekarang juga! Kau mau aku seret?"Sebuah kenangan muncul di kepala. Kala itu Hagan yang sudah menghuni ruang kerja selama berjam-jam dipaksa Liara keluar.Awalnya menolak, tetapi teri
Hujan menampakkan diri malam ini. Menunda Liara untuk bisa segera pulang dan tahu apakah Naura sudah pergi dari rumahnya atau belum.Kemarin, usai sama-sama menangis banyak, naura limbung dan hampir pingsan. jadi, Liara menyarankan wanita itu menginap dulu. Tidak seperti sebelumnya, hari itu Naura datang sendirian tanpa supir.Liara sudah menitipkan kunci, jadi sepertinya Naura memang sudah pulang. Untuk apa juga ia tetap di sana?Berdiri di depan toko yang sudah tutup, Ayu yang melewatinya hanya melirik sekilas. Liara menatap minta pada payung yang wanita bawa. Berharap Ayu mengerti dan mau meminjmakn agar ia bisa berjalan ke depan untuk mengambil taksi atau bus. Namun, Ayu hanya pergi begitu saja.Cukup lama berdiri di sana, hawa dingin mulai mengsuik. Liara yang hanya mengenakan kaus polos memeluk dirinya sendiri. Tak ada tan hujan akan reda. Bulir yang menghantam tanah masih saja rapat dan deras.Tak lama, seorang
"Tunggu sebentar, Ibu akan bersiap sebentar."Melihat Naura pergi ke kamar, Liara hanya mengangguk dan menghela napas. Perempuan itu mengernyit, merasa aneh dengan dirinya sendiri.Ia berusaha bersikap dewasa. Naura sudah memulai, maka harusnya Liara tidak keras hati. Tawaran sang ibu kandung untuk tinggal bersama ia turuti.Sudah dua hari Liara hidup satu atap dengan Naura. Di sebuah rumah yang cukup mewah, tetapi berada di pinggir kota.Aneh. Sebab beberapa hari ini Liara merasa sangat gelisah. Bukannya senang, bahagia, karena akhirnya punya sosok seorang ibu yang bersedia mengurusi semua keperluannya, walau sedang sakit. Liara malah merasa kosong dan resah.Hari ini saja, ia sangat tak bersemangat ketika diajak berbelanja. Ia bersedia ikut hanya agar Naura tidak merasa kecewa.Liara kasihan. Beberapa kali ia melihat sang ibu nyaris pingsan. Mungkin, sakitnya makin parah.Ternyata tidak seen
Silau. Saat pertama kali terjaga, Liara cukup terganggu dengan sinar yang mengenai mata. Perempuan itu mengerjap, lalu membawa tubuh untuk duduk.Ini di mana? Pertanyaan pertama yang muncul di benak. Namun, tak lama jawaban atas tanya itu segera terjawab.Ini rumah Hagan, kamar di mana ia dan si lelaki pernah tidur.Bersandar di kepala ranjang, Liara merajut memori. Hal terakhir yang diingat adalah ia menangis karena mengetahui siapa Anjani sebenarnya dan rencana buruk wanita itu. Lalu, Liara kabur dari rumah ibu kandungnya, berlari sejauh mungkin dan tanpa sadar datang ke rumah Hagan.Hal terakhir yang Liara lakukan adalah memeluk Hagan. Setelahnya tidak lagi ia ingat, termasuk bagaimana dirinya bisa sampai ada di kamar ini sekarang."Kau sudah bangun?" Hagan terlihat melewati pintu. Membawa langkah masuk dan akhirnya duduk di tepian ranjang. Ia memeriksa suhu tubuh si mantan istri. "Ada yang sakit? Sebena
Tak banyak yang Tatiana ketahui soal kebenaran pernikahannya dengan Hagan. Maka saat ia bertemu sang adik hari ini, Liara sebisa mungkin menjelaskan secara sederhana.Mereka sudah berpisah. Alasannya, karena sudah merasa kurang nyaman dan tak sepaham lagi mengenai beberapa hal.Mengernyit, bingung dan tak percaya. Demikianlah reaksi yang Tatiana berikan. Berulang kali ia juga menghela napas."Padahal, kalian terlihat serasi saat bersama." Tatiana berusaha menerima. Ia menatapi wajah kakaknya lekat. "Kau juga terlihat bahagia bersamanya."Liara menyipitkan mata. "Benarkah?"Si adik mengangguk. "Dia baik. Aku masih ingat percakapan terakhir kami."Ah, itu. Liara masih tak mendapat ide apa-apa soal apa yang Tatiana dan Hagan bicarakan saat itu. "Sebenarnya, apa yang kalian bicarakan waktu itu?""Dia minta maaf. Katanya, aku tak boleh marah padamu karena merahasiakan pernikahan kalian." Tati
Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m