Ritu, craving love, found herself exploring new options right at her doorstep. Everything seemed perfect until she encountered an unexpected obstacle. She had no idea that betrayal could result in such a terrible act as murder. Is it possible for anyone to recover from such a situation? Can anyone evade the consequences of their actions? As the wife of a wealthy pastor, one might assume she possesses everything one could desire. However, when it comes to true love and affection, wealth suddenly feels insignificant. To make matters more severe, when politics and business interests enter into the equation. Can Ritu change partners as easily as changing clothes, believing love is merely an illusion, until someone from the high echelons of power and influence crosses her path? Another businesswoman, Rachna, unexpectedly reforms her. How will she react when she realises that money cannot buy everything, including intense human emotions?
View More"Ugh!" Suara lenguhan panjang terdengar memenuhi ruang kamar saat Andi menyelesaikan permainannya.
"Enak," ucap Andi, merasakan nikmat yang tiada tara. Namun berbeda dengan Febby yang tidak merasakan klimaks sama sekali. Wajahnya menyiratkan kekecewaan mendalam. "Sudah keluar Mas? Kok cepet banget, ngga sampai satu menit. Perasaan baru masuk." Febby mengeluh sambil menghela napas panjang. Sudah sering dia mengatakan kalau dia tidak pernah puas dengan permainan suaminya. Dia juga tidak pernah merasa ada yang keluar dari bagian inti tubuh, yang menandakan dia belum mencapai puncak. Namun Andi seolah masa bodo. Yang penting nafsunya tersalurkan. "Aku lelah. Tadi itu aku udah berusaha untuk lama, tapi malah keluarnya cepet." Selesai melampiaskan hasrat, Andi berbaring di sebelah istrinya tanpa merasa bersalah sama sekali. Raut kesal dan kecewa terlihat jelas di wajah Febby, yang selama dua tahun menjadi istri sah Andi. Selama dua tahun itu dia tidak pernah merasakan klimaks saat berhubungan dengan suaminya. Kenikmatan hanya dirasakan oleh Andi, bahkan Andi tidak pernah membuatnya nyaman di atas ranjang. Andi juga kurang perhatian, hanya memikirkan diri sendiri. Pernikahan dua tahun terasa semakin hambar bagi Febby. Namun tidak ada yang bisa dilakukan. Toh Febby yang memilih laki-laki itu menjadi suaminya dan mereka sedang menjalani program kehamilan. Ya, Andi dan Febby sudah didesak oleh kedua orang tua mereka agar secepatnya memiliki anak, tetapi sampai detik ini tidak ada tanda-tanda Febby mengandung buah cinta mereka. "Kamu mau langsung tidur Mas?" tanya Febby pada suaminya yang baru saja pulang kerja dan meminta dilayani. Selesai dilayani, Andi berbaring di ranjang sambil memejamkan mata. "Iya, aku ngantuk. Kamu masak makan malam aja dulu. Kalau udah mateng semua, bangunin." Febby menghela napas panjang, turun dari ranjang lalu memakai pakaian satu per satu. Matanya melirik Andi yang terlelap, padahal baru saja kepala suaminya itu bersandar ke atas bantal. Tidak ada ucapan terima kasih. I love you. Atau gombalan yang keluar dari mulut Andi, membuat Febby merasa tidak dicintai sama sekali. "Mandi dulu dong Mas, masa langsung tidur." "Hem," sahut Andi datar. Selesai memakai pakaian, Febby melangkah mendekati pintu lalu keluar. Sedangkan Andi sudah jauh mengarungi mimpi. Langkah kaki Febby dihentikan oleh ibu mertua di ambang pintu dapur. Wanita paruh baya itu menatap wajah menantunya yang lesu sambil mengerutkan kening. "Kamu kenapa, Feb?" "Ngga apa-apa Bu," jawab Febby, pelan, melanjutkan langkah kakinya mendekati kulkas. Ratih mengikuti Febby ke dapur, membantu menantunya menyiapkan bahan makanan. Sejak kemarin wanita paruh baya itu menginap di rumah kontrakan dua kamar tersebut. Satu bangunan rumah yang baru dua bulan ditempati itu berada di komplek perumahan Melati. Rencananya Andi ingin mencicil rumah yang mereka tempati sekarang agar tidak bayar kontrakan lagi. "Suami kamu mana, Feb?" tanya Ratih. "Mas Andi tidur Bu. Katanya capek," jawab Febby seraya mengeluarkan bahan makanan dari dalam kulkas dua pintu. Beberapa jenis sayur dan ikan segar dia letakan di dekat wastafel untuk dibersihkan. "Kamu udah konsultasi lagi ke Dokter Kandungan?" tanya Ratih pada menantunya. "Udah Bu, katanya aku sama Mas Andi harus sering minum vitamin biar subur. Aku udah dikasih resep vitamin itu. Semoga aja ada kabar baik bulan depan." "Amin," ucap Ratih. "Selain berkonsultasi ke Dokter, kamu juga harus pergi ke Dukun beranak. Atau ke mana kek. Biar kamu cepet isi." "Udah Bu, tapi emang dasarnya belum dikasih aja. Kalau memang belum rejekinya, ya mau gimana lagi." "Kalau gitu, coba kamu konsultasi ke Dokter lain. Misalnya ke Dokter Dirga. Dia sepupunya Andi. Siapa tahu dia bisa bantu kalian. Kasih saran apa untuk membantu mempercepat kehamilan kamu." Febby terdiam. Sebenarnya sudah beberapa kali mereka gonta-ganti dokter, tetapi tidak ada perubahan sama sekali. Beberapa dokter juga menyarankan untuk memeriksa kesuburan satu sama lain, namun Andi selalu menolak dan mengatakan kalau dia sehat. Sementara, selama berhubungan Febby tidak pernah merasa puas. Bahkan durasinya hanya sebentar, tidak sampai tiga menit langsung crott. "Lebih baik kamu coba dulu saran Ibu," ucap Ratih yang selalu mendesak Febby agar cepat hamil. Andai kehamilan bisa dibeli, Febby akan membelinya agar bisa secepatnya memberi gelar ayah pada sang suami. "Kalau kamu ragu, mending komunikasikan dulu sama Andi. Biar kalian lebih yakin. Ibu sih percaya sama Dokter Dirga. Banyak kok pasien dia yang berhasil hamil." Febby menghela napas panjang. "Nanti aku coba bicarakan sama Mas Andi. Kalau dia mau, besok aku dan Mas Andi ke tempat praktek Dokter itu." Ratih tersenyum, "Nanti alamatnya Ibu kasih ke kamu. Kamu dan Andi langsung ke sana aja. Nanti Ibu bikin janji biar kalian ngga antri." "Iya Bu, makasih." Saat sedang berbincang, Andi datang mendekati kedua wanita di dapur. Pria yang memiliki tinggi 170cm itu duduk di depan meja makan dengan lesu. "Bikinin aku kopi," katanya memerintah Febby. "Tunggu sebentar Mas. Aku lagi masak." "Ck! Aku maunya sekarang!" Andi mengeraskan suaranya, membuat Febby terhenyak kaget. Ratih dan Febby saling tatap, Ibu mertuanya itu memutar bola mata meminta Febby menurut saja. "Biasa aja dong Mas, jangan marah begitu," sahut Febby kesal. "Kamu ini. Suami minta kopi malah nanti-nanti. Utamakan melayani suami dulu, baru yang lain! Gimana sih!" cecar Andi memarahi Febby. Ratih hanya diam, tak membela menantunya ataupun menasehati Andi. Baginya pemandangan seperti itu sudah biasa terjadi. Dia pun mengalami di rumah. "Sabar Mas." Terpaksa Febby menunda masakannya dan membuat kopi untuk Andi yang sudah tidak sabar. Dengan perasaan kesal, Febby meletakkan kopi hitam pesanan suaminya ke atas meja. "Mau apa lagi Mas? Sekalian aja, aku mau masak." Andi melotot, menatap istrinya seperti ingin menelan hidup-hidup. "Kamu ngga iklhas?" "Bukan ngga ikhlas Mas, aku kan cuma nanya sama kamu. Kamu mau apa lagi? Biar aku ambilin sekalian." "Ngga ada, aku cuma mau kopi." "Ya udah," sahut Febby pelan. Ia kembali melanjutkan memasak makan malam, meski perasaannya kesal. Sikap dingin Andi sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Tanpa alasan yang jelas, Andi tiba-tiba jadi kasar dan bahasanya tidak pernah lembut seperti dulu. Febby curiga suaminya memiliki wanita idaman lain di luar sana, namun ia tidak pernah mendapatkan bukti apapun perselingkuhan itu. Suasana hening. Di ruang dapur yang tidak luas itu hanya terdengar suara dentingan sendok dan panci. "Mumpung ada Andi di sini. Ibu ngomong aja langsung sama kalian berdua." Ratih membuka pembicaraan di ruang sunyi itu. Andi mendongak, "Ngomong apa Bu?" tanyanya datar. "Ibu mau ngasih saran, gimana kalau kamu dan Febby konsultasi aja ke Dokter Dirga. Sepupu kamu itu. Dia kan Dokter kandungan terkenal. Kebetulan dia buka praktek di Jakarta. Kalian bisa ke sana. Kalau kamu mau, nanti Ibu bikin janji sama dia. Biar kalian ngga antri panjang. Maklum, pasien dia kan banyak." Andi manggut-manggut. "Oke, aku setuju. Aku dan Febby akan ke sana." Ratih tersenyum. Ia tatap menantunya yang tengah sibuk mengaduk sayur di dalam panci. "Kamu dengar kan. Suami kamu setuju. Kamu juga setuju kan?" tanya Ratih pada menantunya itu. "Iya Bu, aku setuju," jawab Febby.Desire and Deceit: Nadia’s story of love, revenge, and unexpected turns.Sonu's heart raced at the thought of seeing Sonia again, filled with excitement and trepidation. He was unsure of what the future held for them, a future that seemed both impossibly close and tantalisingly distant. He wanted to reach out, to bridge the gap, but an unfamiliar hesitancy held him back.Nadia squeezed his groin teasingly and whispered, "Why are you so afraid? You have already screwed her when you sneaked with her to the secluded poolside during the party. Today, you are together again. You never know what might happen."Sonu's mind raced back to that hot and steamy night by the pool. He could still feel the heat of her trembling form pressed against him, her breasts, the taste of her lips on his, and the way she moaned when he erupted deep inside her. But this was different. He glanced over at Sonia, trying to maintain a calm exterior despite the butterflies in his stomach. Nadia, with an uncanny a
A Journey Through the Skies and Memories of Love, Engineering, and Expertise.Amid the quiet hum of the Gulfstream G700, a moment passed as they flew from Brazil to Seattle. In an executive row, Nadia nudged Sonu. Her eyes sparkled with mischief, and her smile hinted at curiosity. "Hey, I know exactly what you're thinking," she whispered, her gaze warm and challenging.Sonu grinned. "Pure luxury," he said, tuning into Sonia's sweet voice.Nadia chuckled, fondness in her eyes. She nodded as she glanced at the greenery, river, and wildlife below. Awe struck her, a contrast to the cities left behind. “Yes,” she said softly. “It’s special, knowing Vipin is flying. He was my trainee; I was his instructor. I confessed to you that we had a brie
Uncovering Nature's Majesty and the Challenges of Conservation.The G700 soared through the clouds. Rachna sipped her champagne, Gloria admired the stunning views from the panoramic windows, and Lawrence caught up on some work on his laptop, utilising the available in-flight online services. The luxurious amenities and impeccable service on the private jet made them feel like royalty, setting the perfect tone for the adventures that lay ahead.In a bustling aircraft, where the roar of engines provided a constant backdrop, Ratna and Anju, the air hostesses, glided through the aisle with effortless grace. Their radiant smiles and warm demeanour put the passengers at ease. Attentive to every detail, Ratna and Anju ensured that each passenger’s journey was as comfortable as possible. They distributed pillows and blankets, offered
Empowering Intimacy and New Beginnings Above the Clouds.Isabella felt a sense of fulfilment and purpose as she listened to Rachna's story. She had always believed in the power of intimate apparel to enhance relationships and boost confidence, but hearing firsthand how her creations were making a real difference was incredibly gratifying. She continued to chat with Rachna."Such is the effect of your lingerie," Rachna said with a smile, "that he feels the fabric first over my panties and then brings his fingers inside me."Isabella beamed with pride, knowing that her designs were not just pieces of fabric but tools for connection and empowerment. "Oh, that sounds similar," Isabella chuckled. "My husband also does the same thing. He is crazy about my butt, and he caresses my ass over the
Preparing for a Memorable Charter Adventure with Rachna and Bong.Gloria and Lawrence had followed Rachna's directions, coordinated with Bong, and confirmed their arrival plans with them. Isabella and Samson, too, were excited to offer their Gulfstream G700 for Rachna's charter booking. Vipin was licensed to fly it, and he could take Balram as his co-pilot. Seeing Vipin take the command to fly Rachna's air charter, the Gulfstream G700, Sonia also agreed to go along as the chief flight attendant. As the sun bathed the city in a warm glow, Vipin and Sonia gathered in a cosy corner of their favourite café to discuss an exciting opportunity that had come their way. Their faces, usually adorned with serene smiles, radiated with a mixture of thrill and anticipation."Can you believe it, Vipin? We have been chosen to fly the majestic Gulfstream G700 for Rachna's charter booking to Seattle!" Sonia exclaimed, her eyes sparkling with excitement. Her words seemed to dance in the air, carryi
A Journey of Growth and Collaboration in the Corporate World.Everyone in the room chuckled at Nadia's clever planning. "That's dedication right there," Diana remarked with a smile. "She's definitely someone we can rely on to get the job done."Richard agreed: "I think she has a bright future ahead of her in your company."Rachna added, "I have no doubt she will excel at whatever she pursues. I'm eager to see what she contributes to this project.""I am convinced, Rachna," Richard emphasised. "You will have a memorable trip this time, different from your previous ones."Rachna smiled. "Let's see. We need to invest in our team members and help them reach their fu
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments