"Ih! Freya jorok! Bisa-bisanya kamu melempar tisu kotor itu ke arahku!" pekik Celestine setelah menghindari benda yang kulempar ke arahnya.
"Makanya jangan ganggu orang lain kalau tidak mau kena imbasnya sendiri," balasku dengan ketus.
"Selagi aku masih bisa bersabar, enyahlah dari hadapanku," lanjutku sambil memelototi Celestine dan anggota gengnya.
Begitu kuancam begitu, keberanian mereka untuk mengusikku langsung menciut. Satu per satu dari kelima siswi itu bubar dari hadapanku, dimulai dari ketua geng tersebut; Celestine. Setelah mereka semua keluar dari ruangan ini, tinggallah aku seorang diri di dalam kelas.
Kualihkan pandanganku dari pintu yang terbuka lebar di sisi kanan kelas. Aku melirik ke tisu bekas yang tergelatak di atas lantai. Kuputuskan untuk memungut tisu itu dan membuangnya ke dalam tempat sampah.
"Sepertinya aku harus bersikap keras pada mereka supaya mereka jadi segan padaku," gumamku sambil melangkahkan kakiku menuju tong samp
Aku membuka mataku dan kulihat tangan kanan Celestine yang memegangi tip-ex merahku ditahan oleh Victor. Sepertinya siswa yang tempat duduknya berada di depan mejaku baru saja sampai di tempat ini. Dia masih menenteng ransel hitamnya di punggungnya."Eh, Victor?" sapa Celestine yang salah tingkah karena tangannya dipegang oleh orang yang dia sukai.Victor menjauhkan tangan kanan Celestine dari kanvas lukisku lalu melepaskan tangannya. Dia mengalihkan pandangannya dari Celestine ke arahku, lalu mengalihkannya lagi ke lukisan yang berada di atas mejaku."Kamu serius lukisan ini untuk lomba? Padahal lukisannya jelek banget," tanya Celestine kepada siswa yang berdiri di samping kanannya."Iya, kalau tidak percaya, tanya saja pada bu Sinaga. Di samping itu, lukisan ini tidak jelek kok, hanya pewarnaannya saja yang kurang bagus," jawab Victor sambil memandang Celestine dengan wajah datar.Saat mendengar Victor mengatakan kalau lukisanku tidak jelek, aku
Terdengar bunyi sesuatu dipotong, diikuti oleh suara pekikanku yang menggema ke sepenjuru ruangan. Rambutku yang panjangnya sepunggung ini dipotong oleh Celestine. Kurang lebih 10 cm panjang rambut yang dia potong.Kupandang pilu sebagian rambutku yang terjatuh ke permukaan keramik putih di bawah. Rambut yang sudah kupanjangkan selama bertahun-tahun itu dengan mudah dipotong oleh Celestine. Rambut di sebelah kiriku tampak lebih panjang daripada yang di sebelah kanan."Hentikan ... aku akan menjauhi Victor jadi tolong hentikan ...," mohonku dengan suara parau. Suaraku serak dan tenggorokanku terasa sakit karena terlalu banyak berteriak.Mendengar permohonanku, Celestine pun menghentikan aksinya. Dia menjauhkan gunting di tangannya dari rambutku lalu melangkah mundur. Mata hitamnya memperhatikan penampilanku dari atas ke bawah. Sebuah senyuman puas pun tercipta pada bibirnya."Kupegang kata-katamu, tetapi kalau sampai aku lihat kamu mendekati Victor lagi, s
Keesokan harinya, aku turun sekolah sambil membawa payung karena hari ini hujan deras. Kakak berjalan bersebelahan denganku karena kami hanya memiliki satu payung. Kupikir dia tidak bakal mau berjalan beriringan denganku karena selama ini dia selalu menghindariku saat di sekolah.Pemberhentian pertama kami adalah gedung SMA. Kakak melangkah cepat memasuki bangunan tempat murid SMA belajar. Aku pun melangkahkan kakiku menuju gedung SMP yang berada di seberang tempat ini.Begitu memasuki gedung SMP, aku mengibaskan payungku untuk menyingkirkan air yang menempelinya. Setelah itu, aku menutup payung ini lalu melangkah menaiki tangga menuju lantai 2, dimana ruangan kelasku berada.Kulewati ruang guru dan ruang BK sambil melirik ke dalam dua ruangan itu. Ruang guru sudah berisikan oleh beberapa orang dewasa berseragam batik; di dalam ruang BK pun sudah ada pak Yeremia. Sebagian besar para pendidik itu sudah sampai di sekolah walaupun hujan deras begini.Sampail
Sejak kejadian tadi pagi, Celestine dan anggota gengnya tidak mengusikku lagi. Kelima siswi itu kapok karena tertangkap basah oleh pak Yeremia. Ancaman akan mengeluarkan mereka dari sekolah pun sukses membuat siswi-siswi itu jera.Aku memandang kosong papan tulis yang penuh dengan angka dan rumus. Padahal tidak sampai 5 detik aku melamun, tahu-tahu materi yang dijelaskan oleh guru sudah jauh dan tidak kumengerti lagi."Freya," panggil suara yang terdengar berat khas lelaki dewasa.Aku tersentak kaget dan menyahut, "Ya, Pak?"Aku menatap pria bertubuh pendek dan berkulit sawo matang yang berdiri di depan papan tulis. Pak Mulyadi, guru Matematika yang sekarang sedang mengajari kelas kami melemparkan sebuah tatapan tajam ke arahku.Aku menelan ludahku yang kesat. 'Oh, sial ... jangan-jangan Bapak melihatku lagi melamun? Tajam banget dah tuh mata.'"Berapa hasil dari ini?" tanyanya sambil menunjukkan spidol di tangannya ke salah satu rumus dari
Aku menajamkan pendengaranku dan mendengar pak Yeremia membalas sogokan dari orang tua murid itu. "Maaf, Bu. Saya tidak bisa menerimanya."Aku menghela napas lega saat mendengar pak Yeremia menolak sogokan itu. Sudah kuduga pak Yeremia akan menolaknya, dia 'kan orangnya menjunjung kejujuran dan keadilan. Mau disogok berapa pun, pak Yeremia pasti tidak akan menerimanya.Kudengar orang tua murid yang tadi mencoba menyogok pak Yeremia berkata, "Kalau 6 juta, bagaimana menurut Bapak?"Aku kembali gelisah saat mendengar wanita itu masih belum menyerah untuk menyogok sang guru BK, bahkan dia menawarkan jumlah uang yang lebih tinggi daripada sebelumnya. 'Jangan-jangan ibu itu akan terus menaikkan tawarannya sampai diterima oleh pak Yere?'"Sekali lagi saya akan menolaknya," balas pak Yeremia setelah hening sesaat.Helaan napas lega keluar lagi dari mulutku. Meskipun begitu, kegelisahan di dalam hatiku masih belum menghilang. Aku takut pak Yeremia akan men
Keesokan harinya, aku turun ke sekolah dengan tidak semangat. Aku tidak semangat bukan karena malas, tetapi karena belum siap menghadapi apa yang akan terjadi padaku mulai hari ini.Kugenggam erat tali ranselku. 'Kalau pak Yere menerima sogokan itu, kemungkinan besar Celestine dan kawan-kawannya akan kembali merundungku. Terlebih lagi, sekarang mereka bisa bebas melakukan apa saja tanpa takut dihukum.'Sebuah hembusan napas frustrasi keluar dari mulutku. 'Semoga apa yang kupikirkan hanya akan menjadi prasangka saja ... kuharap apa yang kupikirkan tidak akan sampai menjadi kenyataan ....'Sampailah aku di lantai 2 setelah menaiki puluhan anak tangga. Kutelan ludahku dengan gugup karena aku semakin dekat dengan ruangan kelasku, dimana aku akan bertemu dengan Celestine dan anggota gengnya.Kulangkahkan kakiku dengan berat menuju ruangan kelasku yang berada beberapa meter di depanku. Kulalui ruang guru dan ruang BK sambil memandang ke dalam ruangan-ruangan it
Bel berdering, menandakan bahwa jam pelajaran telah berakhir dan digantikan oleh jam istirahat. Kelas yang tadinya hening, kini dipenuhi oleh suara siswa-siswi yang bersorak gembira karena akhirnya bisa mengistirahatkan otaknya yang penat dan mengisi perutnya yang kosong."Pelajaran sampai sini saja, Anak-anak," ujar pak guru yang duduk di mejanya."Oh, ya, saya akan kasih kalian PR," tambahnya yang membuat murid-muridnya mengeluh."Jangan lah, Pak," pinta seorang siswa yang duduk tak jauh dariku.Siswa-siswi yang lain pun ikut-ikutan memohon agar tidak jadi diberikan pekerjaan rumah, yang biasa disebut sebagai PR. Namun, rayuan mereka sia-sia karena guru tersebut tidak mengubah pikirannya dan tetap bersikeras untuk memberikan kami PR.Pria paruh baya itu bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu yang terbuka lebar. "Pokoknya kalian harus kerjakan soal esai di halaman 60. Tidak usah tulis soal dan jangan menyontek jawaban teman kalian."
Hari kemarin pun telah berlalu dan tibalah hari ini; hari Sabtu. Aku melangkah menaiki tangga dengan langkah yang tak begitu cepat untuk menghemat tenaga. Lagi pula, bel masukan masih belum berbunyi jadi aku tidak perlu terburu-buru masuk ke kelas.Tiba-tiba ada yang menarik ranselku dari belakang sehingga aku nyaris saja terjungkal. Aku berpegangan erat dengan pegangan tangga sembari menstabilkan tubuhku. Bunyi detak jantungku yang berdetak dengan sangat cepat terdengar jelas di telingaku."Hei, Freya!" sapa orang yang menarik ranselku tanpa rasa bersalah.Kutarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan panjang. Aku menoleh ke arah orang yang menyapaku; Christina, salah satu anggota gengnya Celestine. Dia adalah gadis tomboy dan memiliki sifat yang usil seperti Stephen."Kamu gila, ya, main narik-narik tas orang di tangga? Bagaimana kalau nanti aku jatuh dan terluka?" tegurku sambil menatap tajam Christina.Christina hanya cengengesan saat