"Assalamu'alikum," salam Uci sedetik setelah mengetok pintu Mytha."W*'alaikumsalam. Eh, Nak Uci.""Mytha-nya ada, Tante?"Bu Tari menunjuk kamar Mytha sebagai jawaban dan menyuruh Uci untuk menemui saja langsung di kamar.Mytha yang sedang duduk termenung, menarik ujung bibirnya memandang takjub seekor burung yang tengah mondar-mandir mengambil beberapa rerumputan kering. Rerumputan yang terkumpul bakal dibuatnya menjadi sarang untuk buah hatinya."Hei, ngelamun aja. Temein gue jalan-jalan, yuk? Suntuk neh, mana belum dapet kerjaan lagi," keluh Uci."Maaf, Ci. Gue belum nemu lowongan kerja yang cocok buat lo.""Gue juga ngerti, Myth. Perekonomian belum stabil, gue maklum ko. Dah, nyante aja."Uci menggandeng tangan Mytha, suruh cepat bergegas berapi diri untuk menemaninya jalan. "Mau kemana kita?" tanya Uci asal."Nah lo yang ngajak malah tanya, dah ah gak jadi. Gue lagi gak mood kemana-mana.""Ih, jangan gitu dong. Otak gue berasa mau njebluk neh. Nyokap gue nanyain kerja mulu. Katan
"Rese lo, Myth." Uci memukul Mytha dengan guling."Aww, apa'an se? Tiba-tiba dateng maen nimpuk aja.""Ey, gue gk nyelonong yah. Nyokap lo ndiri yang nyuruh gue masuk aja ke kamar lo," bela Uci."Lagian loh yah, ngasih nomor gue ke Rio," kesal Uci. "Gue kan jadi malu," lanjutnya lirih."Malu apa mau neh?" kekeh Mytha.Uci memukul bahu maupun punggung Mytha lagi karena merasa diledek. "Ampun, ampun," ucap Mytha."Udah, Ci. Ampun." Mytha langsung memeluk Uci agar tangan Uci tak memukulinya lagi, walaupun tak sakit karena cuman memakai guling."Sini gue kasih tau, gue gak ngasih nomor lo kalau dia gak minta," lirih Mytha masih memeluk Uci."Masa? Pak Rio yang minta sendiri kah?" tanya Uci tak percaya dan dijawab oleh anggukan Mytha.Flash back on"Uciiii," seru Bu Darmi memanggil putrinya."Bentar doang, Bu. Mo ketemu temen, penting," jawab Uci sambil memutar kunci kontak maticnya."Eh, dasar. Kerjaan b
Pagi itu, tak biasanya Uci bangun lebih awal, sangat awal hingga jago sang penguasa fajar pun dikalahkannya. Walau semalam juga Uci tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan esok akan bekerja di tempat yang baru dan tentunya yang paling membuat pikirannya tak berhenti berfikir adalah Rio. Ya, Rio sang pujaan hati, rela mencarikan dia pekerjaan serta hendak mengantarnya pula. Itu sebabnya Uci pagi buta sudah mengacak-acak lemari bajunya, memilih pakaian mana yang akan ia kenakkan hari ini. Yang membuat Uci bingung bukan tentang pakaian formal untuk bekerja, dirinya tentu sudah terbiasa. Namun. Kali ini karena sang pujaan hati hingga dirinya ingin terlihat perfect di hadapannya. "Duh, mo nglamar kerja kaya mo ngedate aja ne bingnungnya gue," ucap Uci memilah baju dari lemarinya. Baju berserakan di tempat tidur uci, sudah hampir setengah jam dirinya memilih beberapa pakaian tuk dicobanya, ingin tampil beda bertemu sang pujaan hati walau hanya mengantarnya
Akhirnya Rio maupun Uci sampai juga ketempat tujuan, gudang plastik milik pamannya. Gedung itu tak terlalu tinggi, hanya berlantai dua namun areanya cukup luas. Manik mata Uci menelusuri bagian dalam gedung, pandangannya luas sembari menghitung beberapa petak ruangan dalam gedung di lantai dasar itu. Hanya tampak lima ruangan, tiga diantaranya sebagai tempat transit beberapa barang sebelum didistribusikan ke toko."Mas Doni," ucap Rio sembari menepuk punggung pamannya yang sedang menghitung beberapa barang yang tengah masuk, barang itu dicek disalah satu ruangan di lantai dasar. Rio seakan sudah hafal betul aktifitas pamannya itu, sebab Rio pun pernah ikut membantu pamannya saat awal ia merantau."Eh, kamu Ri.""Ne, anak yang Rio ceritakan tempo kemarin Mas Doni.""Nama saya Uci, Oom," sapa Uci tersenyum manis sembari mengulurkan tangannya.Doni meraih uluran tangan Uci, menatap Uci tiada henti seakan terkesima oleh penampilannya. Jabatan tangan Uc
"Dari mana aja lo? Mau dipecat hah!" ucap Devan tatkala Rio memasuki ruangan presdir. "Sorry, Boss. Kan tadi dah ijin bentar. Nemenin Uci, mantan karyawan sini. Kasihan dia belum dapet kerjaan." "Hmm...."ucap Devan denga lirih. Devan pun menundukan kepalanya sebagai kode pada Rio bahwa dirinya memahami dan tak mempermasalahkan, toh Rio juga sudah ijin akan masuk agak terlambat. Kini Rio pun mulai dengan pekerjaannya, membantu Devan dalam perusahaan Suryadiningrat. Seharian Rio tidak konsentrasi akan kerjaannya, memikirkan Uci karena sikap pamannya yang menurut Rio ada hati kepada Uci. Dirinya tak ingin Uci dipermainkan pamannya itu, yang notabennya dahulu seorang casanova. "Duh, kenapa aku tak memikirkan sejauh itu?" pikir Rio dalam hati, bersikap gegabah dalam mencari pekerjaan buat Uci. Disamping rasa bersalahnya, karena pemecatan sebagian karyawan di perusahaan Suryadiningrat adalah gagasan darinya. Tak lama, ta
Tak biasanya Uci pagi ini sudah bangun, tengah memilih baju tuk berangkat kerja sambil bersenandung. Dirinya kegirangan karena Rio akan menjemputnya. "Pake baju apa yah?" ucap Uci sambil sibuk memilih baju, dirinya ingin terlihat menarik di mata Rio. Sedang diluar kamar Bu Darmi berteriak memanggil Uci. Namun, Uci tak menghiraukan dan masih tetap sibuk memilih baju. "Ci, bangun! Dasar keb...." Bu Darmi tak melanjutkan kalimatnya dan kaget melihat Uci tengah berdandan rapi. "Tumben, anak ibu dah cantik. Biasanya masih molor," sindir Bu Darmi sambil mendekat pada Uci. "Nah gitu, anak perawan kudu bangun gasik," lanjut Bu Darmi. "Dah cakep belum, Bu?" Bu Darmi hanya tersenyum dan memamerkan jempolnya sebagai jawaban dari pertanyaan Uci. "Ayo, sarapan! Ibu tunggu di ruang makan," ucap Bu Darmi sambil berlalu dari kamar Uci. Tak lama bel berbunyi, Uci yang mendengar bel rumahnya berbunyi pun mulai mempercepat bersiap diri. Mengerti bahwa ya
Seperti biasa setiap pagi ada oederan barang dari ke tiga toko melalui sambungan telepon. Uci mencatat semua pesanan dari toko-toko tersebut di buku tulis sebelum disalinnya ke dalam buku nota, setelahnya dibantu oleh Mas Asep menyiapkan barang pesananan itu sebelum Pak Pono datang.Pak Pono selaku supir mobil pick-up pengangkut barang pun datang, mengangkut pesanan ke tiga toko tersebut. Terkadang jikalau pesanan membludak, Pak Pono akan dua kali kembali gudang untuk mengambilnya.Uci mencentang barang satu persatu yang telah pindah ke badan pick-up, setelah selesai tak lupa Uci memberikan lembar nota pesanan barang toko tersebut pada Pak Pono.Tin... Tinn...Sebuah sedan berwarna merah pun berhenti dan terparkir disamping mobil pick-up pengangkut barang yang akan dibawa Pak Pono."Pagi Pak," ucap Pak Pono setelah berpapasan dengan Pak Doni, dibalas dengan anggukan dan sekilas senyum. Pak Doni tetap melangkah masuk menuju gudang."Pagi, Ci?"
"Gue ingin senja ini tak berakhir, walaupun itu tidak mungkin. Ah... paling tidak gue sudah menikmati moment bersama seseorang yang ku puja dalam hatiku, meski hanya sekejap," ucap Uci dalam hati, masih bersender di pundak Rio menikmati jingganya senja di pantai.Kini senja seakan tersapu oleh malam, bintang dan bulan menggantikan keindahan langit. Dua insan itu pun beranjak pulang, bergandengan tangan menapaki pasir putihnya pantai.Sesampainya di depan rumah Uci,"Terima kasih, Mas. Hari ini begitu spesial buatku." Tangan Uci menggenggam tangan Rio dan satu kecupan dilayangakan bibir Uci menuju bibir Rio. Rona wajah Uci mulai memerah karena malu akan kelakuannya, langsung membuka pintu mobil dan berpamitan tanpa melihat wajah Rio karena saking groginya.Rio hanya terpaku akan sekilas kecupan Uci padanya. Antara senang dan bingung karena baru kali pertamanya Rio bersentuhan bibir dengan seorang gadis. Rio masih memandangi punggung gadis yang menjadi cium