PENOLAKAN yang ia terima dari Evan tidak lantas membuat Kenanga menyerah begitu saja. Ada yang bilang, "Cinta bisa datang karena terbiasa", maka dia akan berusaha membuat Evan terbiasa dengan kehadirannya.
Satu-satunya cara adalah dengan dia tinggal bersama pria itu. Kuncinya sederhana, dia hanya tinggal menemui Lilya dan mengatakan kenyataan yang sebenarnya, dan adiknya yang bodoh itu akan mengemis pada Evan untuk membiarkan Kenanga tinggal bersama mereka.
Berkali-kali Kenanga berusaha, mendatangi sekolah Lilya, tapi bagaikan ada sebuah tembok besar yang menghalangi, dia tidak bisa menemui adiknya.
Hingga suatu hari ia bertanya pada anak-anak SMA yang baru keluar dari gerbang sekolah dengan serempak itu. "Itu, kalian sedang ujian?" tanyanya, pada salah seorang siswa yang ia hentikan langkahnya.
"Iya, Kak."
"Em, kapan kalian menerima raport? Apakah orang tua atau wali yang akan mengambil r
Cerita ini berkaitan dengan dua ceritaku yang lain; Dia Calon Suamiku dan terutama "Dikejar Aktor Gila".
LILYA menatap lembar kertas berisi undangan ke orang tua atau wali murid itu dengan senyuman getir. Dulu, setiap kali menerima rapor, dia selalu gembira dan dengan semangat memberikannya pada Mawar ataupun menunjukkannya pada Kaisar.Namun, tidak ada respon apa pun yang ia dapatkan.Mereka beralasan sibuk dan tidak bisa mengambil buku rapor untuknya. Lilya selalu menjadi siswi terakhir yang menerima buku rapornya sendiri. Ditanyai macam-macam oleh wali kelas perihal orang tuanya yang tidak pernah datang untuk mengambilkan rapornya, dan masih banyak soal lain yang hanya Lilya diamkan.Lambat laun, Lilya tidak lagi menunjukkan undangan itu pada siapa pun. Karena nasibnya selalu sama. Tidak akan ada yang mau mengambil rapornya.Lilya melipat kertas itu dengan rapi, sampai kecil, lalu menyimpannya ke dalam tas. Dia tidak sadar jika apa yang ia lakukan sedang diperhatikan oleh teman sekelasnya yang
HARI pengambilan rapor tiba. Lilya tidak berharap banyak Evan akan datang untuk mengambil rapornya. Namun, saat ia melihat pria itu berjalan ke arahnya memakai setelan formal dengan jas hitam mahal, Lilya tak kuasa menahan senyuman lebar yang kini menghiasi bibirnya.Evan berhenti di hadapan Lilya yang menunggu di luar kelas. Karena orang tua atau wali murid akan menempati kelas, maka siswa dan siswi terpaksa menunggu di luar sekalian menantikan kedatangan wali murid masing-masing.Evan menunduk, menatap lurus istrinya yang sedang menatapnya dengan mata berbinar-binar dan senyuman lebar. Pria itu tak kuasa tersenyum, dia membelai puncak kepala Lilya, cenderung menepuknya dengan perlahan."Aku sudah bilang akan datang, kan?" kata Evan dengan nada ringan. "Kamu tidak percaya padaku?"Lilya menggeleng dengan wajah polos. "Kukira, Kakak akan sibuk.""Aku tidak sesibuk pikiranmu——"
"AKU tidak menyangka, Kakak menyembunyikan kabar itu dariku. Apa salahnya Kakak memberitahuku tentang kondisi mereka? Ibuku sakit, Kak, beliau——"Lilya menutup mulutnya begitu Evan menaruh jari telunjuknya di bibirnya sendiri. "Nanti aku jelaskan, jangan bertengkar di sini."Evan melangkah lebih dulu. Dia sudah menghubungi Chris untuk mengumpulkan data-data terbaru tentang keluarga Atmawijaya dan memintanya ke rumah nanti. Dia juga sudah menghapus nomor ponselnya, sebelum membiarkan Lilya menyerahkan ponsel yang baru ia beli itu pada Kenanga.Evan tidak akan memberikan satu kesempatan pun untuk Kenanga masuk. Dia sudah bersyukur Lilya tidak bodoh dan main iya-iya saja, jangan sampai dia kecolongan dan membuat Kenanga merusak rumah tangga yang sedang ia bangun dengan istrinya."Tunggu!"Evan tak kuasa mengabaikan. Terlebih Lilya menghentikan langkah yang otomatis membuat Evan ik
LIBURAN sekolah membuat Lilya tidak punya kegiatan apa pun selain duduk diam di rumah. Jika dulu, dia bisa menghabiskan waktu dengan membersihkan rumah, kali ini ia tidak yakin bisa melakukannya. Apalagi Evan ada di rumah dan terus mengawasinya. Lilya ragu, Evan akan diam saja melihatnya menjelma jadi sosok pembantu yang berusaha membuang waktu dengan bersih-bersih rumahnya.Lilya mendesah kasar. Dia melirik Evan yang kali ini sedang sibuk menatap ponselnya.Jujur saja, Lilya ingin keluar kalau dia tidak berbuat apa-apa di rumah. Minimal membantu mama mertuanya di restoran, pasti hal itu lebih berguna dan tidak akan membuatnya mati kebosanan."Kak!" Lilya mencoba memanggil dengan takut-takut."Hm.""Aku mau ke restoran Mommy, boleh?"Sebenarnya, lebih enak bertanya dulu pada mama mertuanya, apakah Lilya boleh membantu atau tidak. Namun, Lilya tidak punya ponsel lagi sekara
LILYA menatap puas pada tumpukan buku yang ada di kursi mobil bagian belakang. Dia menoleh ke arah Evan yang sedang mengemudikan mobil dengan kecepatan pelan. Tatapan suaminya fokus ke jalanan."Kakak hari ini baik banget, ya?" pujinya, tulus sekaligus curiga.Evan biasanya tidak pernah mengajaknya keluar rumah, tapi hari ini, selain mengajaknya ke toko buku dan nyaris membuat Lilya tidak bisa bernapas karena malu, dia juga membawa Lilya ke toko pakaian dan membelikan beberapa pasang pakaian tidur dan pakaian santai.Dia tidak tahu maksud suaminya apa sampai membiarkan Lilya menghabiskan uangnya hari ini. Namun ia berharap, Evan tidak akan meminta sesuatu yang belum bisa Lilya beri."Rencananya, aku mau membawamu ke taman bermain," kata-kata Evan membuat Lilya memandangnya horor, "tapi Mommy mau kamu ada di rumah sebelum jam tiga sore, jadi aku harus membawamu ke sana sekarang.""Mommy?" Lilya
LILYA mencoba bertanya tentang apa yang telah terjadi di meja makan pada suaminya. Namun, Evan hanya diam saja. Evan malah menatapnya datar, sebelum memunggungi Lilya dan mulai memejamkan mata, mencoba untuk tidur.Lilya masih merasa tidak nyaman. Tatapan mata pria yang menurut pengakuan tadi adalah tunangan dari adik iparnya itu seperti tatapan seekor ular yang tengah melirik mangsa. Lilya tidak pernah berharap akan dijadikan mangsa oleh ular seperti itu, apalagi oleh ular yang akan menjadi calon adik iparnya juga suatu hari nanti. Bagaimanapun juga, mereka akan bersaudara.Namun, mengapa pria bernama Gavin itu menatapnya sampai demikian?Bak mengerti apa yang sedang dirasakan istrinya. Evan berbalik, dia memeluk Lilya erat sambil mengelus punggungnya naik-turun perlahan-lahan."Tenanglah, ada aku di sini. Dia tidak akan macam-macam," gumamnya, mencoba menenangkan orang lain, ketika dirinya sendiri dipenuhi p
LANGKAH keduanya terhenti saat melihat Evan sedang membawa sepiring nasi goreng dan segelas susu cokelat di atas nampan. Evan pun menghentikan langkahnya, ditatapnya Lilya sekilas, sebelum beralih menatap adiknya."Kalian mau ke mana? Lilya belum sarapan," katanya dengan nada datar."Cie yang baru ngadon berdua, romantis amat, Bang, sampai mau bawain sarapan ke kamar segala?" goda Mika yang kini meninggalkan Lilya dan mendekati kakaknya dengan mata mengedip genit. "Jadi, kapan keponakanku jadinya?" bisik Mika di telinga kakaknya."Kenapa kamu berisik sekali? Tidak perlu terburu-buru, dia masih sekolah." Evan mendengkus kecil. "Apa kamu cemburu, karena belum ada yang melakukan hal manis seperti itu padamu?""Enak aja! Gavin romantis tahu! Kalau cuma bawain sarapan ke kamar mah udah sering, nggak bisa dihitung lagi malahan."Evan langsung mendelik ke arah adiknya. "Kalian melakukannya? Bahkan seb
"SUDAH selesai makannya?"Evan bertanya tanpa memandangi Lilya. Pria itu sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Lilya pikir, Evan sedang bekerja atau sedang berhubungan dengan Chris, jadi ia tidak ingin mengganggu suaminya."Udah, ini mau bawa ke bawah. Kakak mau nitip sesuatu?" tawarnya sebelum keluar kamar."Ambilkan puding di lemari es. Mommy biasanya stok banyak puding kalau aku main ke sini." Evan menatap Lilya yang kini menatapnya dengan tatapan yang menyiratkan pertanyaan 'Serius?' dan Evan membalasnya dengan mengangguk."Baiklah, aku ke bawah sebentar, ya?"Lilya keluar dari kamar itu dan lantas mencari-cari di mana lokasi dapur. Begitu sampai, dia langsung mencuci piring dan gelas yang ia gunakan tadi. Lilya sedang mengelap tangan ketika mendengar suara orang berbincang dan derap langkah kaki yang mengarah ke dapur.Lilya terdiam, berpikir untuk langsung pergi atau tet