Share

Bab III Si Telunjuk Mengagumkan

Aku menyalakan playlist lagu dari aplikasi ponsel dan kusambungkan ke tape mobil. Sebelum aku menancap gas, aku sempat mendapatkan beberapa notifikasi sosial media dan membukanya. Aku sekilas melihat Jasmine baru saja men-upload video singkat yang menunjukkan dia sedang mendengarkan lagu-lagu penuh cinta. Dia tambahkan caption: ‘Thinking about you’. Lalu, aku refleks memberikan komentar, “Who?

Perasaan cinta Jasmine yang kutangkap begitu meletup-meletup tak kuanggap memberikan refleksi bagi hatiku. Aku justru merasa energi itu begitu mengancamku. Dalam waktu dekat, mungkin aku harus menjaga jarak dengannya. Tarik ulur adalah seni menjaga rasa.

Aku kembali mendapati notifikasi. Kali ini dari aplikasi chat. Kunamakan dia ‘Si Telunjuk 1’.

Si Telunjuk 1: 15 minutes…..

“Ah, damn!” membaca chat-nya yang singkat, aku tahu jika dia alias ‘Si Telunjuk’ itu marah. Dia mengabarkan jika dia sudah berada di ruang meeting selama lima belas menit. Saking lamanya melepas Si Jempol Jasmine, aku sampai lelet seperti ini. Aku harus segera melaju menuju kantor.

‘I love you’

Baru saja aku menancap gas, aku melihat notifikasi aplikasi social media muncul di beranda layar ponselku. Ucapan cinta itu dari Jasmine. Rasanya, perasaan senangku karena tadi dia mengecupku tertinggal di rumah. Dalam perjalanan menuju kantor ini, aku malah kesal karena Jasmine-lah yang membuatku kini terancam datang ke kantor dalam keadaan terlambat.

Aku menarik rem tangan karena mobil sedan automatic-ku kini berada di depan lampu merah. Aku baru sadar jika mentari begitu terik. Aku segera mengenakan sunglasses merek Gucci yang kutaruh di laci dashboard mobil. Aku jadi rindu dengan ‘Si Telunjuk Imel’. Dialah yang membelikanku sunglasses ini sewaktu jalan-jalan ke Itali.

Namun, bukan Imel yang akan kutemui hari ini. Notaris itu sedang punya pacar baru selama tiga bulan ini. Sejak saat itu, dia jadi jarang mengajakku ngopi, apalagi dibelikan oleh-oleh dari perjalanan keliling dunianya. Tak masalah. Aku malah senang jika wanita-wanita di sekitarku memiliki kekasih. Aku juga merasa senang dan bangga karena sempat mengisi kekosongan hati wanita-wanita mengagumkan ini. Aku namakan wanita-wanita seperti ini dengan ‘Si Telunjuk’.

“Sebelum sampai kantor, kayaknya gue mampir ke tempat ngopi favoritnya Mandy buat beliin quiche, deh,” batinku dalam hati. Mandy adalah nama asli dari ‘Si Telunjuk ‘, wanita cantik, tinggi semampai, pernah menjadi cover majalah Forbes sebagai wanita yang sukses sebelum usia 30 tahun, dan cerdas yang akan kutemui hari ini. Di antara para wanita yang kuanggap ke dalam kategori ‘Telunjuk’, Mandy adalah wanita terlama yang menjalani hubungan denganku.

Makna dari ‘hubungan’ itu sendiri bukanlah hubungan serius yang kujalani seperti bersama Jasmine atau wanita-wanita ‘Si Jempol sempurna’ lainnya. Tipe hubungan yang kujalani bersama ‘Si Telunjuk’ adalah Hubungan Tanpa Status, Teman Tapi Mesra, atau Kakak-Adek. Uniknya, dalam hal ini, posisiku bukan sebagai ‘kakak’nya, melainkan ‘adik’nya. Si Telunjuk rata-rata adalah sosok wanita cantik, sukses, pintar, mandiri, tetapi sedang tak menjalani hubungan dengan pria manapun. Banyak di antara mereka sebenarnya kesepian dan memerlukan sosok yang membuat hari-harinya berwarna. Di sinilah, aku menawarkan warna itu. Hanya mengagumi dan mengikuti obrolan cerdasnya, mereka akan memberikan hadiah yang menunjang penampilanku sebagai seorang laki-laki menawan. Tak hanya berupa fashion item yang menempel di fisik, tetapi juga saran menjadi seorang pria dewasa yang dikagumi banyak wanita.

Tak seperti ‘Si Jempol’ yang tampak menunjukkan banyak tuntutan dalam hubungan, aku sendiri tak pernah takut menerima semua pemberian para ‘Si Telunjuk’ ini karena mereka hanya butuh didengar, disanjung, dan ditemani. Aku sendiri bangga bersandar dengan wanita-wanita membanggakan ini. Link-ku soal pekerjaan juga meluas karena peran wanita-wanita ‘lebih’ ini. Mengapa kukatakan ‘lebih’? Karena biasanya, ‘Si Telunjuk’ ini lebih tua, sukses, pintar, kaya, atau lebih populer dibandingkan aku. Untuk beberapa ‘Si Jempol’, termasuk Jasmine tak menaruh cemburu karena aku selalu menyebut para ‘Si Telunjuk’ ini dengan sebutan partner kerjaan. Para ‘Si Telunjuk’ ini juga tak pernah menaruh cemburu kepadaku karena mereka memang tak bermimpi atau mempunyai tujuan untuk menjalani hubungan serius denganku.

Seharusnya begitu.

Seharusnya.

Jika aku menangkap ada sesuatu yang ‘tak biasa’ dari diri ‘Si Telunjuk’, biasanya aku mulai mundur perlahan. Sama halnya dengan ‘Si Jempol’. Aku belum terpikirkan untuk menjalani suatu hubungan yang mengarah ke pernikahan. Jika bersama ‘Si Jempol’, aku merasa dipenuhi rasa cinta di hati, sedangkan bersama ‘Si Telunjuk’, aku merasa lebih percaya diri menjadi seorang laki-laki yang menarik. Karena, bagi wanita-wanita sibuk macam ‘Si Telunjuk’, mereka tentu saja hanya ingin berkawan dengan orang-orang berkualitas dan tak membuang-buang waktu mereka. Apalagi, lawan jenis.

Lampu lalu lintas menyala hijau. Lama juga tadi aku berhenti dan menunggu lampu merah berganti warna hijau. Memang kondisi jalanan di ibukota tak dapat diprediksikan. Aku sendiri saat ini tak langsung sampai ke kantor, tetapi harus mampir ke toko kue dulu untuk membeli quiche. Semoga saja, Mandy tak marah jika aku terlambat sekitar empat puluh menit.

Sehabis perempatan lampu merah, aku langsung membelokkan kemudi mobil ke kiri. Di jalanan kecil itu terdapat sederet pastry, bakery, atau coffee shop. Salah satunya adalah pastry favorit Mandy.

Sedan hitamku segera kumasukkan ke halaman depan toko. Seorang juru parkir mengangkat tangan. Karena sudah berlangganan datang ke sini, aku sudah akrab dengan orang-orang di sekitar sini.

“Tumben Pak Cana sendirian,” sapa si juru parkir.

Kuberikan selembar uang berwarna hijau kepadanya, “Ada yang lagi ngambek dan minta quiche,” ucapku.

“Apa? Kiss?” si juru parkir tentu saja menggodaku.

“Gue tarik lagi nih duitnya,” aku pura-pura batal memberikan selembar hijau yang tentu saja besar sekali nilainya hanya untuk parkir beberapa menit membeli quiche saja.

“Hahaha! Bercanda, Pak!”

“Hahaha!” Aku pun menepuk pundak juru parkir itu dan memberikan lembaran uang itu. “Buat rokok, nih,”

“Wah! Banyak banget Pak Cana! Terima kasih, Pak,”

“Ah! Elo kayak baru pertama kali aja gue kasih segitu,”

“Hahaha! Makasih, ya, Pak!” senyumnya semringah. Senyum yang diberikan juru parkir itu kuanggap sebagai bentuk penghargaan. Berkali-kali aku memberikan ‘uang rokok’ padanya setiap kali mampir ke toko ini. Lalu, berkali-kali pulalah, dia mengucapkan terima kasih banyak. Sepintas, aku merasa dihargai. Jadi, aku tak berhenti memberikan. Ternyata, benar apa kata Mandy. Wanita mengagumkan yang usianya lebih tua empat tahun dariku itu mengatakan bahwa hati akan lebih puas jika seseorang itu memberikan, bukan menerima.

Sebentar, aku jadi berpikir, apakah perasaan senang Mandy memberikanku ilmu bisnis sama sifatnya dengan perasaan senangku memberikan uang kepada juru parkir ini? Entahlah! Suatu hal yang pasti adalah, aku senang dekat dengan wanita cantik seperti Mandy. Sekitar lima tahun lalu, dia masuk finalis Putri Cantik Indonesia.

Begitu aku membuka pintu, lonceng klasik yang tergantung pada pintu toko terguncang dan mengeluarkan bunyi.

Welcome to the Appetit,” Nama toko yang baru kumasuki ini adalah Appetit. Menu favorit di sini adalah spinach quiche, lemon pie, blueberry puff, tuna croissant, dan red velvet union. Aku sendiri pernah mencicipi semuanya. Awalnya, Mandy yang memperkenalkannya.

“Welcome..,” aku membalas senyum seorang pelayan toko.

“Tumben sendiri, Mas?” tanya si mbak pelayan. Rupanya, kehadiranku ke sini memang begitu identik dengan Mandy. Bahkan mungkin, pelayan sampai juru parkir di sini berpikir bahwa aku dan Mandy adalah sepasang kekasih.

“Iya, nih,” aku mengangkat alis, “malah sekarang mau beliin buat dia,”

“Oh, spinach quiche, ya, Mas?” tampaknya si pelayan sudah tahu apa yang akan kupesan untuk Mandy.

Aku menganggukan kepala, “Lima, ya, Mbak. Sama lemon pie, blueberry puff, tuna croissant, dan red velvet union-nya satu.”

“Baik, Mas. Mau sekalian menu baru?” tanya si pelayan. “Hmm, ada diskon untuk total pembelian kalau mas beli menu barunya,”

“Apa menu barunya?” aku memiringkan kepalaku.

Si pelayan perempuan itu tersipu malu. Aku tak mengerti mengapa. Apakah karena aku memiringkan kepalaku? Aku sama sekali tak bermaksud menggodanya. “Salmon en Croute, mas,” jawabnya sembari menatap mataku.

“Bo..leh. Diskon berapa persen?”

“Dua puluh persen, Mas,”

“Oh, kirain dua empat puluh persen,” aku menaikkan alis dan menunjukkan ekspresi wajah konyol.

“Ah…eng…gak, Mas. Hihihi,” si pelayan pun menahan tawa, dan pada akhirnya cekikikan dan masih tersipu malu. Padahal, jika aku datang ke toko ini bersama Mandy, seingatku pelayan ini tak menunjukkan ekspresi apa-apa.

Biarlah! Kelihatannya pelayan ini lebih muda dariku. Namanya berdiri di depan kue-kue berjam-jam. Wajar jika seseorang bosan dan membutuhkan hiburan atau interaksi atraktif dengan para pembelinya. Salah satunya, mungkin aku.

Aku sengaja membeli beberapa kue untuk dimakan pada saat meeting. Mandy yang tadinya kesal mungkin akan luluh dengan beberapa hidangan kecil kesukaannya. Ditambah permohonan maaf dan senyuman manis dariku, aku yakin dia akan semangat kembali melanjutkan meeting.

“Totalnya setelah dipotong dua puluh persen jadi tiga ratus enam belas ribu rupiah, Mas,” ucap si pelayan seraya memencet tombol mesin kasir.

Aku pun memberikan uang tunai sebanyak tiga ratus lima puluh ribu rupiah, “Kembaliannya ambil aja,”

Pelayan itu membelalakkan mata, “Hah?”

“Udah ambil aja,” tanpa menunggu apa-apa lagi, aku meraih kantong kresek daur ulang berisi kotak kue. Lalu, aku menyunggingkan senyum dan berbalik.

“Te…rima kasih, Mas Ca…na,” meski ragu, pelayan itu menyebutkan namaku. Seingatku, aku sendiri tak pernah memperkenalkan diri. Ah, mungkin dia pernah mendengar Mandy memanggilku.

Setelah melangkah keluar dari toko kue, aku menyalakan alarm mobil dan membuka pintu. Begitu aku menyalakan mesin mobil, aku lihat dari spion kanan jika juru parkir berlari ke arahku. Karena sudah memberikan ‘uang rokok’ di awal pertemuan, juru parkir hanya mengaba-aba mobilku keluar parkiran, lalu aku pun memberi klakson sebagai ungkapan terima kasih.

Dalam perjalanan menuju kantor, aku bersyukur karena kemacetan tak separah yang kubayangkan. Sesampainya di gedung kantor, aku segera meminta tolong salah satu anak buahku untuk memarkirkan mobil. Perusahaan kami terletak di lantai enam, selantai dengan stasiun Metropolitan FM yang salah satu penyiar wanitanya pernah terang-terangan menyebutkan namaku di siarannya. Dia mengatakan ingin menitip salam dan mengirimkan lagu kepadaku. Bukan suatu hal yang patut dibanggakan, tetapi dia memberikanku lagu Britney Spears yang berjudul Womanizer. Sebenarnya lagu itu sudah lama sekali. Entah mengapa dia mengirimkannya kepadaku? Apakah aku identik dengan lagu itu?

Setelah menempelkan kartu ID di dinding sensor lift, pintu lift pun terbuka. Tak ada orang. Aku pun memasuki lift dan memencet tombol lima belas.

Pintu lift tertutup. Hanya sendirian di lift jadi aku manfaatkan untuk bercermin. Tak ada yang perlu dirapikan dari diriku. Sudah sempurna menurutku.

Pintu lift terbuka dan tak kuduga jika aku berpapasan dengan Mandy.

“CANA! KAMU INI KE MANA DARI TADI?!” begitu menyadari kehadiranku, Mandy tak ragu untuk berteriak.

“Sssst!” aku menempelkan jemariku di bibir, malu dengan beberapa orang yang berdiri di belakang Mandy dan hendak memasuki lift. “Kamu mau ke mana?” aku melangkah ke luar, menghalanginya untuk memasuki lift.

“Yaaa, mau beli cemilan aja di bawah,” ucapnya.

Aku mengangkat kantong kresek berisi kotak kue favoritnya, “Lihat, aku bawa apa? Maafin aku datang terlambat, ya. Tadi pagi kepalaku pusing. Jadi, aku bangun terlambat,”

“Kamu nih….,” aku tahu jika Mandy sebenarnya masih kesal, tetapi dia tahu jika dirinya melanjutkan amarahnya, dia akan kehilangan momen untuk menikmati quiche yang kubawa. Kemudian, dia berbalik, “Ya udah, kita meeting cepet, deh,”

“Maafin aku, ya,” aku mengerlingkan mata dan merangkulnya.

“Heeeey,” Mandy seketika mencermatiku dari ujung kaki ke ujung kepala, “hari ini kok kamu lebih ganteng?” malah dia yang menggodaku duluan. Aku tak perlu capek-capek membuat kekesalannya berakhir.

Aku mengerlingkan mata dan berbalik menggodanya. Suaraku yang nge-bass sengaja aku pelankan dan sedikit mendesah, “Soalnya, mau ketemu Mandy,”

“Hahahaaaa!” tawa serak khasnya menghiasi pendengaranku kembali. Mungkin ini refleks dari suara lirihku yang mendalam barusan. Begitu seksi respons yang dia berikan. “Katanya, kalau proyek ini goal, kita bakal bikin beberapa event lagi di Bali. Kita kan bisa sekalian liburan bareng,”

“Hooo, makanya kamu pengin banget kita nggak kelepasan projek ini, ya?” aku memincingkan mata, masih menggodanya.

Tanpa terasa, aku dan Mandy sudah sampai di depan pintu meeting. Dia siap mendorong knop pintu dan mengibaskan rambut bergelombang cokelatnya. Kemudian, dia berkata, “Aku kangen ngobrol-ngobrol tuker pikiran sama kamu sambil jalan kaki sepanjang sanur,”

“Terus kalau kaki kamu pegel, jadi bisa minta tolong seseorang gendong kamu, kan?”

“Yang penting aku nggak mabok,” bisiknya.

“Padahal, aku nunggu kamu mabok,” aku pura-pura melihat langit-langit.

“Hahaha!” Mandy menampar kecil pipiku. Aku yakin jika dia sudah tahu bahwa aku hanya bercanda, tak berniat sama sekali menggodanya. Memang inilah menyenangkannya berkawan dengan ‘Si Telunjuk’. Hasrat ingin merayuku tersalurkan, tetapi tak Mandy telan bulat-bulat rayuanku itu. Biarlah gombalanku itu menguar di udara, tetapi membuat kami berdua semakin akrab dan percaya diri.

Pintu kayu tebal ruang meeting itu dibuka oleh Mandy. Tampak beberapa lelaki berpakaian rapi menoleh ke arah pintu.

“Maaf, ya, anak buah saya terlambat,” ucap Mandy seraya menunjukku. Sial, apanya yang anak buah? Bukannya aku selaku pemilik usaha dan Mandy yang menjadi pencari klien memiliki posisi yang setara? Bisa-bisanya dia mengatakan bahwa aku adalah anak buahnya, tetapi menariknya, adrenalinku terasa memuncak. Kuakui hal ini mungkin kekuranganku. Aku merasa tertantang sekaligus senang jika diremehkan oleh Mandy. Tunggu saja suatu hari nanti! Aku akan membuatnya terpukau. “Perkenalkan, ini Cana, CEO perusahaan The Chain of Sound. Cana ini yang akan menyulap pulau Dewata nanti jadi semarak dengan sound system dan lighting yang bombastis,”

“Maaf guys, saya terlambat,” aku turuti permainan peran Mandy sebagai anak buahnya. Aku merunduk dan mengeluarkan kotak kue dari kantong kresek, “Silakan, untuk menemani teh dan kopi mas-mas semua di sini,” kuhitung beberapa orang yang ada di hadapanku. Semuanya ada enam orang.

“Tapi, sisakan dua spinach quiche-nya buat saya, ya,” mandy menepuk bahuku.

“Tentu, boss,” aku mengerlingkan mata, “apa perlu saya pisahkan quiche punya boss di piring kecil?”

“Ah, tidak perlu,” Mandy menarik kursi dan siap untuk duduk di salah satu kursi, “saya rasa semua orang sudah mendengar untuk menyisakan dua spinach quiche,”

“Banyak juga anda makan. Satu quiche saja sudah membuat kenyang,” selak salah satu peserta meeting.

“Saya kan tak bilang kalau dua-duanya untuk saya,” Mandy melirikku.

Ehem,” sekelabat bayangan memakan quiche di Appetit muncul di benakku. Setiap kali duduk-duduk berdua dengan Mandy di sana, kami memang memesan dua spinach quiche dalam satu piring. Sebenarnya, awalnya adalah ideku untuk menghemat piring. Nyatanya, Mandy menyukainya.

Aku jadi ingin meeting selesai cepat-cepat. Pasti nanti, aku dan Mandy akan banyak berbincang sampai larut di ruangan ini. Tenang saja, tak ada hal apapun yang kami lakukan. Jendela kaca yang menyuguhkan pemandangan langit metropolitan tetap kami buka. Biasanya, topik obrolan akan lebih menarik kala langit ibukota beringsut jingga dan senja pun menghilang di ufuk barat.

“Bisa kita mulai rapatnya?” Mandy menyalakan infocus dan seorang lelaki berpakaian kaos hitam bertuliskan ‘Glow in the dark’ segera berdiri. Kelihatannya, dia akan memulai presentasi.

“Silakan,” anggukku.

Seorang berjam apple sport berdiri di samping layar proyektor. Aku baru menyadari bahwa aku belum mengetahui nama mereka satu per satu. Mungkin karena aku terlambat. Tak masalah, aku akan memperbaikinya nanti.

“Perkenalkan, saya Hans, saya perwakilan dari Galaxy Music Event,” lelaki itu melirik ke arahku. Bisa saja iseng atau karena aku satu-satunya orang yang tak tahu namanya atau bisa juga karena aku yang paling menarik di ruangan ini.

“Silakan, Mas Hans,” Mandy mempersilahkan Hans untuk memaparkan penjelasannya.

Semilir angin AC beraroma apel hijau membuat suasana rapat menjadi segar dan bersemangat. Lelaki bernama Hans ini menjelaskan bahwa tahun ini perusahaannya akan mengadakan lima event musik dan film di Pulau Dewata. Tentu saja dalam event itu memerlukan sound effect dan lighting yang super megah. Oleh karena itu, mereka meminta Mandy selaku EO memintaku untuk bekerja sama dalam soal penata suara dan visual. Menariknya, lima event tersebut memiliki tipe yang berbeda. Event musik yang pertama adalah jazz, lalu EDM, Rock, tradisional, dan Festival Musik klasik dalam bagian Festival Film Asia Tenggara. Lalu, jika tak ada halangan dan rintangan, dia mengatakan bahwa akan mengadakan event untuk para Youtuber dan Tiktokers di pulau yang sama. Jika dua event ini jadi, maka total event yang akan dikerjakan sekitar tujuh.

“Kebetulan, salah satu adik saya adalah penari Bali yang akan mengisi event kami yang keempat, yaitu traditional dance festival,” ucap Hans.

Sorry, Hans, tapi, apakah kamu yakin jika kita dapat mengerjakan tujuh event tahun ini?” Mandy bertanya kepada Hans, tetapi mata lentik berlensa kontak cokelatnya melirikku.

“Anda yakin?” Hans malah melempar pertanyaan Mandy kepadaku.

“Hah? Aku?” aku menunjuk diriku sendiri.

“Kalau Cana, pasti yakin,” Mandy mengerlingkan mata kepadaku.

Tanpa menimang-nimang lagi, aku menganggukan kepala. Sekali lagi, mungkin inilah salah satu kekuranganku di hadapan si Telunjuk Mandy. Aku lebih sering memercayai perkataannya dibandingkan mengintropeksi kepada diri sendiri. Contohnya seperti sekarang ini. Aku malah main menganggukan kepala.

Namun, biarlah, nyatanya aku memang percaya pada diriku sendiri.

***

“Aku excited dengan event-event kita di Pulau Dewata,” selepas meeting, sudah dapat ditebak. Tinggal aku dan Mandy yang masih berada di ruang rapat. Kami berdua menikmati sisa kue sambil menyeruput teh. Tentu saja, sepiring berdua dengan kedua mata terkadang memandangi matahari terbenam dari jendela. “Aku sendiri tak masalah kalau sambil menunggu jarak event satu dengan event lainnya, kita berdua menghabiskan waktu di Pulau Dewata,”

Air mukaku seketika agak berubah. Sepintas, aku memikirkan Jasmine kembali. Rasanya tak mungkin jika aku harus berbulan-bulan berada di Pulau Dewata. Jasmine pasti akan mengecekku terus-terusan, atau bahkan pergi ke Pulau Dewata.

“Sepertinya, aku tak bisa jika harus berbulan-bulan hidup di Pulau Dewata,” sergahku seketika.

“Loh? Kenapa?” Mandy yang hendak menyendokkan spinach quiche ke dalam mulutnya segera meletakkan garpu kecilnya lagi.

Aku memilih untuk menunduk, tanpa meledek lagi.

“Banyak yang harus kulakukan di ibukota,”

“Apakah salah satunya menemui kekasihmu?” selak Mandy yang membuatku hampir tersedak

“Aku tak punya kekasih,” tentu saja aku lagi-lagi berbohong.

“Aku tak percaya, Bohong!”

“Yah, terserah kau,” aku kembali menusukkan quiche dengan garpu kecil yang kugenggam, “Buka mulutnya dulu! Aku suapin kamu, nih,” dia masih begitu curiga dengan jawabanku. Dia memincingkan mata, menyelidiku.

“Jawab dulu, siapa pacarmu?” Mandy berpangku tangan di atas meja.

“Kamu!” kujawab saja begini sembari melahap potongan quiche yang tadi hampir kusendokkan kepadanya. Aku sekalian ingin menguji, apakah ‘Si Telunjuk’ mudah takluk lantaran gombalan tak berartiku barusan?

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
metrohydra
waduh... crystal clear elaboration of 5 fingers.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status