Lingerie Untuk Siapa?
Part 2
Wulan
Entah jam berapa mataku terpejam. Akibatnya, pagi ini aku bangun agak kesiangan dengan kondisi tubuh tidak segar. Kepala terasa sedikit berat. Aku berniat untuk menunaikan shalat Subuh, mumpung masih setengah enam pagi. Pelan kubuka pintu yang dikunci dari dalam. Tampak Mas Haris tidur di sofa depan TV. Padahal kamar tamu juga kosong. Ah, apa peduliku. Cepat-cepat aku menuju kamar mandi yang menyatu dengan dapur.
Setelah membersihkan diri, aku menunaikan kewajiban sebagai seorang muslimah. Dalam doa, aku meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa, agar diberikan jalan keluar dari masalah yang tengah menghampiri. Saat aku tengah melipat mukena, terdengar langkah mendekat.
"Lan, aku bisa jelasin semuanya."
Ada yang terasa mengiris hati mendengar kalimat Mas Haris. Air mata yang sudah kutahan akhirnya jatuh lagi. Perlahan kuambil dua buah lingerie yang urung kupakai semalam.
Kulempar kedua benda itu pada Mas Haris, "kembalikan itu pada pemiliknya. Aku ngga sudi memakai sesuatu yang bukan milikku."
Tanpa menoleh aku meninggalkan kamar yang terasa sesak. Menuju dapur, bermaksud menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Sementara Mas Haris hanya diam mematung.
Aku bekerja dalam diam. Nasi goreng plus telur mata sapi dan kerupuk telah terhidang di meja makan. Kemudian, beralih ke mesin cuci. Memasukan baju-baju kotor Mas Haris. Seperti biasanya, sebelum memasukan baju ke dalam mesin cuci, aku akan memeriksa satu persatu baju-baju kotor itu. Takutnya ada kertas atau pulpen yang tertinggal.
Aroma parfum yang aku tahu itu bukan milik Mas Haris masih menempel di hampir semua kemeja suamiku itu. Nyeri, perih, kembali menusuk hati. Rasanya ingin kubuang semua pakaian kotor Mas Haris itu. Aku jijik. Tak sanggup rasanya membayangkan, selama di luar kota kemarin, perempuan itu selalu menempel pada Mas Haris. Bahkan mungkin, lebih dari itu, siapa yang tahu. Tak terasa air mata kembali menetes.
Semua baju kotor masuk ke dalam mesin cuci, kuberi cairan detergen dan pewangi, kemudian menekan tombol on. Setelah mesin cuci berputar, aku mengambil lap, sapu, dan kain pel. Sambil menunggu cucian selesai, aku berniat membersihkan rumah. Tampak Mas Haris keluar kamar sambil membawa handuk. Mungkin dia akan mandi. Aku cuek saja, memilih melanjutkan pekerjaan.
Saat selesai membersihkan rumah dan sekitarnya, mesin cuci juga sudah selesai berputar. Bergegas aku mengambil semua baju yang sudah bersih itu untuk dijemur di halaman samping.
Mas Haris tengah duduk di kursi ruang makan. Ia mengenakan baju santai. Wajahnya terlihat kuyu, walaupun sudah mandi. Nasi goreng buatanku juga terlihat utuh. Tanpa menawarinya, aku mengisi piring kosong untukku sendiri. Lalu melahap nasi goreng dan kawan-kawannya. Aneh, rasa nasi goreng ini terasa hambar. Padahal aku menggunakan takaran bumbu yang sama seperti biasa. Apa mungkin perasaan yang sedang tak menentu berpengaruh pada indera perasa?
Mas Haris menatapku lekat. "Apa kamu ngga akan mau mendengar penjelasanku, Lan?"
Aku berhenti mengunyah, lalu meneguk air mineral di depanku. "Mau jelasin apa? Mau minta maaf? Mau bilang kalo kalian khilaf? Atau lebih parah lagi?"
"Bu-bukan begitu."
"Pernikahan kita bukan karena dijodohkan, setahuku, aku juga nggak merebut kamu dari siapa-siapa. Begitu pun aku, sedang tidak menjalin hubungan dengan siapapun saat menikah denganmu. Lalu, kamu membawa orang lain masuk ke dalam rumah tangga kita, kalo aku yang begitu, apa reaksimu? Hm?"
Mas Haris diam, tatapannya terlihat sendu.
"Aku sudah pernah bilang, jika salah satu dari kita membawa orang ketiga dalam hubungan ini, berarti salah satu dari kita harus pergi. Dan, ternyata, kamu yang membawa orang lain itu. Itu artinya, aku sudah nggak ada artinya di hatimu, Mas. Aku mohon, jangan minta aku untuk mengerti dan bertahan. Pulangkan aku."
Suaraku semakin serak karena menahan tangis. Bahkan rasanya aku tak sanggup menyelesaikan sarapan ini. Aku beranjak dari kursi sambil membawa piring yang masih berisi nasi goreng. Akan tetapi, Mas Haris lebih gesit bangun dari kursinya, lalu berusaha mencegahku pergi.
"Tunggu dulu, bisa kita bicara baik-baik? Kumohon, jangan seperti ini."
"Bicara baik-baik? Saat semuanya sudah tidak baik-baik saja?"
"Iya, aku ngaku salah. Tapi, kumohon, tarik lagi ucapanmu tentang perpisahan itu. Tidak akan ada yang pergi dari sini."
"Egois! Kamu minta aku bertahan dalam situasi begini? Kalo aku nggak memergoki chat menjijikkan itu, mungkin selamanya aku menjadi wanita bodoh yang terus terusan kamu bohongi, iya, kan?"
Mas Haris mempererat genggaman tangannya pada lenganku.
"Lepas! Aku tak sudi disentuh oleh tangan yang sudah dipakai untuk menyentuh kulit wanita lain!"
Aku berusaha melepaskan cekalan Mas Haris. Hingga piring dan gelas di tanganku jatuh dan pecah berantakan. Masa bodoh jika suara pecahan itu terdengar sampai ke rumah tetangga.
Belum sempat Mas Haris berkata, suara ponsel dari atas meja, memaksanya melepaskan tanganku. Tak kusia-siakan kesempatan itu untuk pergi, masuk ke kamar dan menguncinya. Samar kudengar Mas Haris menerima panggilan telepon dari seseorang. Di dalam kamar, kutumpahkan lagi air mata. Aku ingin menangis sepuasnya.
Apa salahku? Kenapa Mas Haris setega ini? Apakah belum hadirnya momongan menjadi masalah? Bukankah, selama ini Mas Haris selalu berkata itu bukan masalah? Hubungan kami juga selama ini baik-baik saja. Ada banyak pertanyaan dalam hati yang aku sendiri tidak tahu jawabannya.
Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu kamar.
"Lan, Mas pergi dulu sebentar. Mas mohon, kamu jangan ke mana-mana. Belingnya juga udah Mas bersihin. Tolong, kamu jangan nekat. Mas pergi sebentar, ya."
Aku membisu, walau pun ingin tahu ia akan ke mana, tapi aku tak berniat bertanya. Aku juga tak menjawab kalimat Mas Haris. Menit berikutnya terdengar suara mobil Mas Haris menjauhi pekarangan rumah kami.
Perlahan aku keluar dari kamar. Tenggorokan rasanya kering, mungkin karena terlalu banyak menangis. Saat aku mengambil air minum, dapur terlihat bersih. Pecahan piring dan gelas yang tadi tercecer sudah tidak ada lagi.
Sebenarnya, Mas Haris suami yang baik. Sesekali ia membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Ia juga tak pernah memperlakukan aku dengan buruk. Masalah makan pun tidak rewel. Entah apa yang tengah merasukinya, hingga tega berbuat begitu.
Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. Terdengar suara mesin mobil memasuki halaman rumah. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan dari pintu depan.
"Assalamualaikum." Itu suara Mas Haris.
Meskipun malas, aku beranjak untuk membukakan pintu. Di depan pintu tampak Mas Haris berdiri dengan seseorang di sampingnya. Dalam hati agak dongkol karena kami sedang bersitegang, Mas Haris malah membawa seseorang datang ke rumah ini.
Lingerie Untuk SiapaPart 3WulanAku mengernyit, mencoba mengenali sosok di samping Mas Haris. Seorang pria dengan wajah mirip Mas Haris, tapi tubuhnya lebih berisi. Kulitnya juga lebih gelap. Sebuah ransel besar tergeletak di dekat kakinya. "Lan, kenalin, ini Mas Heru, kakakku yang tinggal di Kalimantan. Mas, ini Wulan, istriku."Pria bernama Heru itu mengajakku bersalaman, dan aku menyambutnya. Mas Haris memang pernah bercerita tentang satu-satu kakak laki-lakinya ini. Akan tetapi, kami belum pernah bertemu langsung. Sewaktu aku dan Mas Haris menikah, Mas Heru tidak bisa datang. Anak pertamanya sakit, jadi Mas Heru tak tega untuk tetap pergi. "Saya Wulan, Mas. Ayo, silakan masuk," ajakku. "Terima kasih, Dek Wulan. Maaf, aku baru sempat datang menemui kalian.""Ngga apa-apa, Mas. Kami ngerti, kok. Ayo, mari, silakan masuk."Mas Haris dan Mas Heru memasuki ruang tamu. Sementara aku berlalu menuju dapur untuk membuatkan minuman. Setelah selesai, aku mengantarkan dua cangkir teh han
Lingerie Untuk Siapa? Part 4WulanKarena merasa risih dengan kehadiran Mas Heru, aku memilih diam di kamar. Apalagi kakak iparku itu tanpa segan tengah menonton televisi sambil merokok. Tentu saja aku tak suka, lagipula Mas Haris sejak bujangan tidak merokok. Jadi, rumah ini bebas asap rokok. Beberapa teman Mas Haris juga tahu itu. Saat mereka bertamu ke sini, mereka akan merokok di teras. Samar terdengar suara Mas Haris mengucapkan salam. Kemudian kudengar suamiku itu mengobrol dengan kakaknya. Teringat cucian, aku bergegas keluar. Ternyata mesin cuci sudah selesai berputar. Sebelum menjemur pakaian Mas Heru, aku berniat mengangkat jemuran terlebih dulu. "Lan, kata Mas Heru kamu tadi muntah-muntah karena diminta tolong memasukan baju kotornya ke mesin cuci?" Aku menoleh ke arah Mas Haris. "Kalo kamu keberatan, ngomong aja, Lan. Mas Heru tersinggung, loh.""Jadi, aku yang salah?" Mas Haris diam sambil tetap menatapku. "Mas, salahkah aku, jika merasa jijik, saat tak sengaja meny
Lingerie Untuk Siapa?Part 5WulanTerdengar suara ketukan dari pintu depan. Aku yang sudah selesai bersiap untuk pergi bersama Teh Yuyun segera keluar kamar. Terdengar seseorang memanggil namaku. Bergegas kubuka pintu diiringi tatapan penuh tanya dari Teh Yuyun. Tampak Mas Heru berdiri di depan pintu. "Dek, bisa saya minta tolong?" Aku mengerutkan dahi. "Minta tolong apa, Mas? Ayo, masuk dulu."Mas Heru masuk, dan duduk di kursi ruang tamu. "Gini, Dek. Barang-barang untuk kios saya sudah datang, tapi saya masih ada keperluan lain. Bisa minta tolong bantu awasi orang yang bantuin beres-beres di sana? Dan, saya juga nggak begitu pintar menata barang, bisa tolong sekalian kamu yang atur, Dek?"Mendengar permintaan Mas Heru, aku menatap Teh Yuyun, meminta pendapat. Teh Yuyun juga terlihat bingung. "Atau kamu mau ada acara?" tanya Mas Heru. "Eh, nggak kok, Mas. Tapi, aku boleh ajaj Teh Yuyun, ya.""Nggak apa-apa. Ajak, saja. Kalo gitu, saya permisi dulu," pamit Mas Heru. Aku menganggu
Lingerie Untuk SiapaPart 6WulanWaktu terasa berjalan sangat lambat. Dengan perasaan tidak menentu, aku menunggu Mas Haris pulang. Aku ingin menanyakan kebenaran soal janin yang dikandung Sarah. Meskipun ragu, tapi aku juga takut, seandainya apa yang dikatakan perempuan itu benar. Entah apa yang akan terjadi dengan rumah tanggaku nanti. Suara mobil Mas Haris memasuki halaman rumah. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Tubuh ini juga seolah kehilangan daya, bahkan sekedar untuk berdiri menyambut kedatangan suamiku. Mas Haris memasuki rumah, wajahnya terlihat lelah. Melihatnya seperti itu, aku tak tega jika harus menceritakan soal pertemuanku dengan Sarah. Almarhum ibuku pernah mengajari, sebesar apapun masalah yang terjadi, jangan pernah membahasnya saat suami baru pulang dari bekerja atau sedang capek. Hasilnya tidak akan baik. Teringat almarhumah ibu, air mataku merebak. Dada rasanya semakin sesak. Aku menarik napas, berharap sesak ini sedikit berkurang. "Kamu, sakit, Lan?" ta
Lingerie Untuk SiapaPart 7Wulan Dengan perasaan tak karuan, aku menatap dua garis merah pada alat tes kehamilan di tanganku. Apa yang kunanti selama ini, akhirnya datang. Ada yang bersemayam di rahimku. Menurut dokter yang memeriksa tadi, umur janinku baru sepuluh minggu. Harusnya ini menjadi kabar bahagia.Ya, aku bahagia. Entah dengan Mas Haris. Aku takut seandainya apa yang dikatakan Sarah kemarin itu benar. Kemudian Mas Haris memilih untuk menerima Sarah masuk dalam kehidupan kami. Baru membayangkan saja, hatiku sudah berdenyut nyeri. Ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur bergetar. Ada pesan masuk dari Mas Haris. Dia bilang akan pulang cepat. Sengaja aku belum memberitahukan tentang kehamilan ini. Aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menyampaikan kabar gembira ini. Nanti saja, kalau Mas Haris sudah selesai urusannya dengan Sarah.Kulihat jam dinding yang menempel di tembok kamar. Ternyata aku tidur cukup lama. Sepulang dari dokter tadi, Teh Yuyun memaksaku
Lingerie Untuk Siapa? Part 8Wulan Beberapa titik air mulai turun dari langit yang tampak gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Sudah hampir setengah jam berlalu, dan aku masih berjalan kaki sambil menyeret koper. Jujur, aku masih sangat berharap Mas Haris mengejar dan mengajakku pulang.Hujan akhirnya turun, dan aku memutuskan untuk berteduh di depan sebuah kios yang tutup. Sepertinya kios ini sudah lama tak dipakai. Terlihat dari bangunannya yang kotor tak terawat. Untung ada sebuah bangku kosong, hingga aku bisa duduk untuk beristirahat. Aku sebenarnya tidak tahu akan ke mana. Kedua orang tuaku tumbuh besar di panti asuhan. Ayah meninggal saat aku masih SMP, dan ibu menyusul saat aku selesai kuliah. Hingga keduanya meninggal, aku tidak tahu siapa keluarganya. Sahabat? Sejak kecil, aku punya satu teman akrab. Namanya Hani. Dia tetanggaku saat di kampung dulu. Akan tetapi, setelah menikah dengan orang kaya, Hani memboyong keluarganya ke luar kota. Sudah lama kami tidak s
Lingerie Untuk Siapa? Part 9HarisNanar, kutatap kemeja yang robek pada bagian pundak, dua kancing depannya juga lepas seperti ditarik paksa. Mataku terpejam, menyesali apa yang kulakukan. Seharusnya aku mendengarkan dulu penjelasan Wulan, istriku. Akan tetapi, lelaki mana yang tidak marah dan gelap mata, saat melihat istrinya dijamah oleh lelaki lain. Apalagi lelaki itu kakak kandungku sendiri. Amarah tidak bisa lagi ditahan saat aku melihat Wulan diam dengan mata terpejam, seolah menikmati sentuhan Heru, kakakku. Tanpa pikir panjang, aku menghajar Heru dan mengusir mereka berdua. Tak kuperhatikan bekas tamparan di pipi Wulan. Juga raut ketakutan di wajahnya. Air mata yang membasahi wajah ayunya juga tak membuatku iba. Seharusnya baju yang robek dan bekas tamparan di wajah istriku, cukup membuktikan kalau Wulan dipaksa. Mungkin dia juga sudah melakukan perlawanan. Argh! Aku tak menghiraukan saat Wulan benar-benar pergi. Sengaja aku tak mengejar dan menahannya. Akan ke mana dia
Lingerie Untuk Siapa? Part 10Haris"Astagfirullah, Haris! Kenapa bisa ceroboh gitu? Harusnya kamu dengerin dulu penjelasan Wulan. Ya Allah, Wulan, ke mana dia sekarang? Mana dia nggak punya siapa-siapa. Haduh!" omel Teh Yuyun. Wanita yang akrab dengan Wulan itu, menanyakan Wulan. Teh Yuyun khawatir tentang keadaan Wulan dan mengomel saat aku menceritakan semuanya. "Ris, nih, Wulan itu bahkan minta ditemani aku waktu kakak kurang ajarmu itu meminta bantuan buat ngawasin pekerja di kiosnya. Dia emang nggak pernah menceritakan kejelekan Heru, tapi, aku tahu, Wulan nggak nyaman sama kakakmu, itu."Aku menunduk menatap lantai. Semua ucapan Teh Yuyun benar. "Apa, Wulan nggak menghubungi Teh Yuyun?"Teh Yuyun menggeleng."Atau barangkali cerita sesuatu?"Teh Yuyun menggeleng lagi, "Ya sudah, aku pulang dulu. Mudah-mudahan Wulan baik-baik aja. Nanti kalo Wulan menghubungi aku, pasti aku kasih tau kamu.""Terima kasih, Teh.""Sama-sama. Kamu jaga kesehatan, biar kuat cari Wulan. Insyaalla