Share

Lingerie Untuk Siapa?
Lingerie Untuk Siapa?
Author: Dwi Mei Rahayu

Bab 1

Lingerie Untuk Siapa? 

Part 1

"Dapet kado apa dari suamimu?" tanya Teh Yuyun, tetangga sebelah rumah, saat kami sama-sama pulang berbelanja sayuran.

Aku cuma tersenyum, tiga tahun menikah, belum pernah suamiku memberikan kado di hari ulang tahunku. Baik yang biasa atau pun spesial. Bahkan, sekadar ucapan juga kadang ia lupa tak memberikan. Boro-boro kejutan seperti yang di tivi-tivi. Lebay, unfaedah, katanya. Hal seperti itu, menurutnya tak perlu. Yang penting dia bertanggung jawab atas semua kebutuhanku. Sejak pertama mengenalnya, suamiku memang bukan tipe cowok yang romantis. Jadi, mau apalagi? 

Akan tetapi, tak mungkin aku mengatakan hal ini pada orang lain. Bahkan, sahabat, saudara atau orang tua sekali pun. Biarlah kekurangan suamiku, menjadi rahasia rumah tangga kami. 

"Hei, ditanya malah bengong!" Teh Yuyun menepuk bahuku. 

"Eh, iya, Teh. Belum tau, mungkin kejutan  Teh. Mas Harisnya juga, kan, baru mau pulang hari ini," jawabku sambil berusaha tersenyum. 

Aku tidak bohong, Mas Haris suamiku, memang rencananya akan pulang hari ini. Tiga hari yang lalu, dia berangkat ke Jogja, urusan kantor katanya. Aku percaya saja, karena bukan sekali ini dia pergi ke luar kota. Awal-awal menikah, aku sering diajak. Akan tetapi, aku sering merasa bosan, jadi akhir-akhir ini, aku memilih tak ikut. Toh, hampir semua teman kerja Mas Haris aku kenal baik. Jadi, aku pun tak pernah berpikir macam-macam. 

"Teteh, tau dari mana, kalo saya ulang tahun?" tanyaku penasaran, seingatku, aku tak pernah bercerita tentang tanggal lahirku. 

"Haduh, Wulan! Kan, kemarin kita ngumpulin kartu keluarga bareng ke rumah pak rt. Teteh sempet baca kartu keluarga kamu, ingat?" 

Aku tersenyum malu. Teh Yuyun benar, kemarin pak rt meminta warga mengumpulkan fotokopi kartu keluarga. Katanya, data yang lama terhapus, jadi, terpaksa mendata ulang. 

"Udah, Teteh duluan ah. Mau masak. Kamu juga, gra masak, mandi, dandan cantik dan wangi. Kalo suami pulang itu, pake baju yang seksi. Jangan pake daster butut begitu!" omel Teh Yuyun dengan logat sunda yang kental. 

Aku mengangguk sambil mengacungkan ibu jari. Kemudian masuk rumah. Betul kata Teh Yuyun, aku harus menyambut kepulangan Mas Haris. 

***

"Mau dibelikan makanan apa?" Sebuah pesan dari kontak bernama My Hubby masuk.

Aku tersenyum, Mas Haris tak pernah berubah. Walaupun tidak romantis, tapi dia selalu menanyakan hal remeh seperti itu. Saat bepergian pun selalu mengirim kabar. Sudah mau masuk pesawat, turun dari pesawat, sudah sampai hotel, sedang makan, mau tidur  dan lain-lain. Karena itulah, aku tak berani mengganggu saat ia tak mengirim kabar, karena itu artinya, dia sedang sibuk. 

"Ngga usah, Mas. Aku masak makanan kesukaanmu. Hati-hati di jalan, ya." Aku mengirim balasan. 

Tak lama kemudian, pesan balasan dari Mas Haris masuk, "Oh,  oke."

Aku menyimpan ponsel di atas meja rias, kemudian bergegas mandi. Gerah rasanya sehabis bertempur di dapur. Menyiapkan makanan kesukaan Mas Haris. Aku harus cantik dan wangi saat suamiku datang. 

Gurame dan tempe goreng, tumis kangkung, sambal, lalap, dan sayur asem. Semua itu sudah terhidang cantik di meja makan. Aku tersenyum membayangkan Mas Haris makan dengan lahap hingga berkeringat. 

Suara salam terdengar dari pintu depan. Bergegas aku membuka pintu. Tampak Mas Haris dengan wajah lelahnya tersenyum di depanku. Segera kuraih tangan kanannya lalu menciumnya seperti biasa. 

"Mau langsung makan, atau mau mandi dulu, Mas?" 

"Mandi dulu, gerah."

Mas Haris segera masuk kamar, lalu terdengar suara air. Sementara aku segera menyimpan tas Mas Haris ke ruang kerjanya. Belum sempat aku menyusul, terdengar suara ketukan dari pintu depan. Segera aku membukanya. Tampak seorang pria berdiri di depan pintu. 

"Maaf, Bu. Saya sopir taksi yang tadi antar suami ibu. Ini, ada yang ketinggalan. Permisi." Pria yang mengaku sopir taksi itu berlalu, setelah aku mengucapkan terima kasih. 

Sebuah paper bag warna coklat bermotif batik, dengan nama butik tertera cantik di bagian luarnya. Karena penasaran, aku melihat isinya. Dua buah lingerie. Satu berwarna hitam, satunya lagi berwarna merah marun. 

Aku tersenyum, mungkin ini oleh-oleh atau kado untukku. Aku mengambil salah satu lingerie yang berwarna merah marun. Lalu menempelkan di tubuhku. Manis.

"Wulan, baju itu … ." Mas Haris keluar dari kamar mandi, dan tampak terkejut melihat aku sedang memegang lingerie darinya. 

"Makasih, ya, Mas. Aku suka. Tadi, sopir taksi yang nganter, katanya ketinggalan di taksi, untung Pak Sopirnya jujur. Jarang orang seperti itu, Mas," terangku. 

"Oh, iya. Ka … kamu suka?" 

Aku mengangguk, "kirain, kamu lupa kalo hari ini aku ulang tahun. Makasih, ya, Mas." Aku mengecup pipi Mas Haris. Wangi sabun dan sampo menyapa lembut indra penciumanku. Lalu, entah siapa yang memulai. Tahu-tahu kami berdua sudah terbaring kelelahan di tempat tidur. Rasa kangen karena tiga hari tak bertemu, membuatku tak kuasa menolak saat Mas Haris meminta haknya. Toh, aku juga menginginkannya. 

***

Mas Haris menyantap semua masakanku dengan lahap. Titik keringat bermunculan di dahinya. Aku tersenyum, melihat suamiku menyukai hasil masakanku. Bahkan, sampai dua kali nambah. 

Setelah kami selesai makan, aku membereskan bekas makan kami. Mencuci piring dan mengelap meja makan. Aku memang termasuk perempuan yang merasa risih jika melihat tumpukan cucian piring kotor. Juga tak betah saat lantai dan perabot terlihat kotor. 

Sedangkan Mas Haris masuk ke ruang kerjanya. Mungkin ada yang harus ia kerjakan.

Setelah semuanya selesai, aku mengupas dan memotong buah mangga. Buah kesukaan Mas Haris.  Dibanding teh, kopi dan kue, Mas Haris lebih suka ngemil buah. Saat aku mengantarkan buah yang sudah dikupas, ia terlihat serius dengan laptop di depannya. Dia Hanya mengangguk saat aku meletakan piring di mejanya. 

Tak mau mengganggu, aku memilih duduk di ruang keluarga. Menonton televisi. Sedang asyik menonton talk show, tampak ponsel Mas Haris menyala. Mungkin Mas Haris lupa membawanya ke ruang kerja. 

"Mas, hapenya bunyi!"teriakku tanpa melihat siapa yang menelepon. Belum sempat aku mengambilnya, panggilan terhenti. 

Mas Haris tergopoh-gopoh menghampiriku. Namun, aku salah, bukan aku yang dituju. Ia mengambil ponselnya dan mengabaikanku. Kemudian kembali ke ruang kerjanya, meninggalkanku sendiri. 

***

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih. Berarti aku cukup lama ketiduran di depan televisi. Aku duduk sebentar agar rasa pegal akibat posisi tidur yang salah, sedikit berkurang. Aku memutuskan untuk pindah ke kamar. Dalam hati aku menggerutu, kenapa Mas Haris tidak membangunkanku. 

Saat akan menuju kamar, kulihat lampu ruang kerja Mas Haris masih menyala. Dari pintu yang sedikit terbuka, kulihat Mas Haris tertidur dengan posisi duduk. Kedua tangannya menjadi tumpuan. 

Kasihan, pasti dia banyak sekali pekerjaan. Hingga tertidur saat mengecek pekerjaan. Pelan, nyaris tanpa suara, aku memasuki ruang kerja Mas Haris. Ponsel tergeletak begitu saja di dekat laptop. Saat aku akan membangunkan Mas Haris, tampak ponsel itu berkedip. Rupanya Mas Haris memakai mode senyap. Sebuah pesan masuk, dari nomor tak dikenal. 

Karena penasaran, aku mengusap layar yang ternyata tak dikunci itu. Jantungku hampir lepas dari tempatnya, saat membaca pesan yang baru masuk. Juga pesan-pesan sebelumnya. 

"Maaf, lingerie yang aku beli untukmu, dipakai oleh istriku. Dia menyangka, itu kado untuknya. Karena hari ini dia berulang tahun."

"Ih, kok bisa? Mas teledor deh. Gimana kalo ketahuan?"

"Ngga dong. Wulan itu ngga pernah mikir macem-macem. Aku bilang aja, itu emang buat dia. Beres."

"Oh, ya udah. Nggak apa-apa, Mas. Tapi, besok janji, beliin aku yang lebih bagus lagi."

"Siap, Sayang. Apa, sih yang enggak buatmu. Jangankan cuma lingerie, yang lain juga aku kasih, kan?" 

Aku menelan ludah, untuk membasahi kerongkongan yang tiba-tiba terasa kering. Masih ada beberapa pesan yang membuatku ingin muntah. Sakit, perih, sesak, dan entah apalagi. Tak percaya rasanya, kalau suamiku tega bermain belakang dengan perempuan lain. Dari pesan yang kubaca, sepertinya mereka sudah lama menjalin kedekatan. 

"Loh, kamu, belum tidur?" Mas Haris terbangun, dan tampak terkejut melihatku di sini. Apalagi dia melihat aku tengah memegang ponselnya.

"Mas, jujur, lingerie tadi, untuk siapa?" 

Mas Haris tampak terkejut, "i … itu." 

"Jahat kamu, Mas!"

Aku melemparkan ponsel milik Mas Haris ke atas meja. Kemudian berlari, meninggalkan pria yang tak kusangka telah tega menghadiahiku dengan sebuah kebohongan. 

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status