Share

Bab 5 - Persetujuan

“Mama! Ngapain Mama kesini?”

“Mama nggak bisa tidur mikirin kamu ...” sahut Mama yang hanya mengenakan gaun tidurnya yang terbalut cardigan warna hitam.

 Aku langsung membawa Mama masuk dan duduk di ruang tengah. Kuambilkan segelas air hangat untuk Mama. Sementara aku sengaja tidak membangunkan Dina karena takut mengganggu tidurnya.

“Ya ampun, Ma! Mama naik apa ke sini?” tanyaku khawatir.

“Tadi Mama naik ojek online. Mama kepikiran kamu terus jadi Mama nyusulin kamu aja ke sini.”

“Ma, maafin Hulya ya. Karena udah bikin Mama khawatir.” Aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Mama balas memelukku.

“Kamu nggak biasanya seperti ini. Kalo ada apa apa biasanya kamu bilang sama Mama, hiks ...” Mama mulai terisak, mendengar itu sungguh melukai hatiku.

“Mama jangan nangis, Hulya nggak kenapa-napa kok, Ma!”

“Besok, kita ke makam Papa ya nak ya? Hiks ...”

Aku hanya bisa mengangguk menjawab ajakan Mama. Malam itu kami tidur di kosan Dina. Tepatnya di ruang tamu, karena waktu sudah pukul dua malam. Sehingga tak memungkinkan bagi kami untuk pulang begitu saja tanpa diketahui sang pemilik rumah.

***

Sore ini kami sudah berada di makam Papa. Aku meletakkan seikat bunga pada pusara Papa. Mama sudah berjongkok sambil menatap nisan Papa, aku mengikuti Mama melakukan hal yang sama.

“Mas Ardi, ini Santi sama Hulya, Mas,” ucap Mama yang mulai berkaca-kaca.

“Mas, Santi minta ijin yah sama Mas. Santi akan menikah lagi dengan orang lain, hiks ...” Mama meneteskan air matanya, aku hanya bisa tertunduk mendengarnya.

“Santi nggak pernah lupain Mas kok, Mas itu selalu ada di hati Santi. Mas, Santi itu sayang banget sama Mas. Santi Cuma ingin kehidupan Hulya terjamin kalo Santi udah nggak ada nanti.”

Aku tertegun mendengar perkataan Mama dan langsung menghambur memeluknya dan menangis bersama Mama.

“Ma, udah Ma jangan ngomong lagi. Hati Hulya sakit dengernya, huhu ...” isakku.

“Kamu mau kasih restu buat Mama menikah dengan Om Harun, kan?”

“Iya Ma, Hulya ijinin Mama menikah lagi. Tapi Mama janji, jangan nangis lagi, Ma!” sahutku.

“Makasih sayang, Mama janji Om Harun itu orang yang baik dan bertanggung jawab.”

“Iya, Ma ...”

Usai dari makam Papa, aku mengajak Mama berbelanja apa pun yang Mama mau. Karena ini adalah momen langka aku memiliki waktu berdua saja dengan Mama. Maklum saja, bekerja di perusahaan ritel sangat jarang memiliki hari libur. Sekalipun aku memiliki libur, aku habiskan hanya untuk rebahan di kamar saja. Karena aku ini orangnya malas bepergian jika bukan untuk hal penting.

Setelah berbelanja dan makan, kami memutuskan untuk pulang. Mama terlihat sangat bahagia, belum pernah aku melihat Mama sebahagia ini sejak meninggalnya Papa. Ah, aku harap Mama akan selalu tersenyum seperti ini.

Mama langsung memberitahukan Om Harun perihal aku yang telah menyetujui pernikahan mereka. Om Harun langsung menentukan tanggal dan membooking sebuah wedding organizer. Setelah itu aku diminta olehnya untuk mengantar Mama fitting pakaian pengantin. Dengan senang hati aku menurutinya.

Esoknya kami pergi ke butik dengan di antar sopir pribadi Om Harun. Sesampainya di butik designer terkenal itu, aku langsung di sambut oleh karyawan di sana. Mereka langsung membawa kami menuju ruang fitting. Ternyata di sana sudah ada Om Harun dan keempat putranya.

Mama langsung di minta untuk memilih kebaya putih yang Mama suka. Mama memang meminta agar Om Harun tidak merayakan pernikahan itu secara berlebihan, karena mama merasa sudah berumur dan tidak pantas jika harus berlebihan seperti itu. Aku mengerti perasaan Mama.

Di tengah-tengah memilih kebaya, Edgar langsung menarikku keluar. Sesampainya di luar aku langsung melepaskan tangannya dengan kasar. Dan menatap sengit ke arahnya.

“Apaan sih lo!”

“Jadi lo sekarang udah setuju dengan pernikahan ini? Oh iya, lo pasti pengen ngerasain jadi orang tajir juga, ya?” cibir Edgar.

Aku hanya bisa menghela nafas mendengar ucapannya yang sangat menusuk hati itu. Sudah dituduh seperti itu sekalian saja aku kabulkan tuduhannya itu.

“Iya, gue dan Mama emang ngincer harta bokap lo doang. Nanti kita akan keruk semua harta bokap lo. Jadi gue bisa nendang lo dari rumah itu, puas?!” ucapku penuh penekanan namun tetap bersikap santai.

Edgar melotot mendengar jawabanku yang mungkin di luar dugaannya.

“Eh anjir! Berani-beraninya ya lo!”

Edgar mendorong tubuhku hingga tersungkur ke tanah. Carel yang sedang merokok di luar dan melihatku didorong Edgar langsung menghampiri kami. Ia membantuku berdiri.

“Bro! Apa-apaan nih dorong-dorong cewek?!” tanya Carel.

Carel menarik kerah baju Edgar. Matanya melotot menatap adiknya itu.

“Diem lo manusia nggak guna! Nggak usah ikut campur urusan gue!” Edgar melepas tangan Carel dengan kasar.

Aku yang berada di tengah-tengah hanya bisa berharap mereka tidak berkelahi. Tak lama Daffa keluar, ia terkejut melihat Carel dan Edgar yang sedang bersitegang. Ia langsung menarik Edgar menjauh dari Carel.

“Sebrengsek-brengseknya gue jadi cowok, gue nggak pernah main kasar sama cewek! Nggak kayak lo yang udah bikin Mama meninggal!” teriak Carel.

Perkataan Carel membuat Edgar naik pitam. Ia langsung berlari ke arahnya dan melayangkan bogem mentahnya di perut pria bertato itu. Hingga membuatnya tersungkur ke tanah.

Bugh!

Aku menjerit ketika Edgar melakukan itu. Hal itu membuat om Harun, kak Zayn dan Mama keluar dari butik dan menghampiri kami. Om Harun langsung menyeret Carel ke belakang butik. Sementara Daffa dan Kak Zayn mencoba menenangkan Edgar yang masih terengah-engah menahan emosinya.

“Tenang Edgar. Jangan kepancing emosi,” ucap Kak Zayn sambil menepuk-nepuk pundak Edgar.

Mama yang masih terbalut kebaya putih menghampiriku dengan wajah khawatir.

“Kamu nggak apa-apa?”

“Nggak, Ma. Udah Mama lanjutin fitting aja,” perintahku sambil meninggalkan Mama.

Aku berjalan ke belakang karena penasaran apa yang sedang dilakukan Om Harun pada Carel. Ketika aku mengintip dibalik tembok, kulihat Om Harun sedang menunjuk-nunjuk Carel dengan penuh emosi.

“Dasar anak nggak berguna! Kerjanya bikin malu orangtua aja! Udah sukanya mabuk-mabukan nggak jelas! Sekarang kamu mau berantem di tempat umum dengan adikmu sendiri, Hah?!” teriak Om Harun yang membuatku membelalakkan mata mendengar perkataannya.

“Carel selalu aja salah di mata Papa. Kapan sih Carel dianggap ada sama Papa?! Kenapa Papa selalu belain Edgar?! Udah jelas-jelas karena anak itu Mama meninggal, Pa!” teriak Carel tanpa takut sedikit pun.

Sedangkan aku yang hanya menyaksikan itu mulai ketar-ketir takut sesuatu yang lebih parah akan terjadi.

Plak!

Kulihat Om Harun melayangkan sebuah tamparan keras di pipi Carel. Tidak, aku harus menghentikan ini! Baru saja ia akan menampar Carel lagi, aku langsung berlari menghalanginya. Dengan berani aku berdiri dihadapan om Harun hingga membuat Carel terhalang tubuhku. Kusingkirkan semua rasa takutku, karena jujur saja aku tidak tega melihat Carel dipukuli oleh Om Harun, ayahnya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status