Share

Bab 5 - Persetujuan

Penulis: Fantazia
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-21 23:34:45

“Mama! Ngapain Mama kesini?”

“Mama nggak bisa tidur mikirin kamu ...” sahut Mama yang hanya mengenakan gaun tidurnya yang terbalut cardigan warna hitam.

 Aku langsung membawa Mama masuk dan duduk di ruang tengah. Kuambilkan segelas air hangat untuk Mama. Sementara aku sengaja tidak membangunkan Dina karena takut mengganggu tidurnya.

“Ya ampun, Ma! Mama naik apa ke sini?” tanyaku khawatir.

“Tadi Mama naik ojek online. Mama kepikiran kamu terus jadi Mama nyusulin kamu aja ke sini.”

“Ma, maafin Hulya ya. Karena udah bikin Mama khawatir.” Aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Mama balas memelukku.

“Kamu nggak biasanya seperti ini. Kalo ada apa apa biasanya kamu bilang sama Mama, hiks ...” Mama mulai terisak, mendengar itu sungguh melukai hatiku.

“Mama jangan nangis, Hulya nggak kenapa-napa kok, Ma!”

“Besok, kita ke makam Papa ya nak ya? Hiks ...”

Aku hanya bisa mengangguk menjawab ajakan Mama. Malam itu kami tidur di kosan Dina. Tepatnya di ruang tamu, karena waktu sudah pukul dua malam. Sehingga tak memungkinkan bagi kami untuk pulang begitu saja tanpa diketahui sang pemilik rumah.

***

Sore ini kami sudah berada di makam Papa. Aku meletakkan seikat bunga pada pusara Papa. Mama sudah berjongkok sambil menatap nisan Papa, aku mengikuti Mama melakukan hal yang sama.

“Mas Ardi, ini Santi sama Hulya, Mas,” ucap Mama yang mulai berkaca-kaca.

“Mas, Santi minta ijin yah sama Mas. Santi akan menikah lagi dengan orang lain, hiks ...” Mama meneteskan air matanya, aku hanya bisa tertunduk mendengarnya.

“Santi nggak pernah lupain Mas kok, Mas itu selalu ada di hati Santi. Mas, Santi itu sayang banget sama Mas. Santi Cuma ingin kehidupan Hulya terjamin kalo Santi udah nggak ada nanti.”

Aku tertegun mendengar perkataan Mama dan langsung menghambur memeluknya dan menangis bersama Mama.

“Ma, udah Ma jangan ngomong lagi. Hati Hulya sakit dengernya, huhu ...” isakku.

“Kamu mau kasih restu buat Mama menikah dengan Om Harun, kan?”

“Iya Ma, Hulya ijinin Mama menikah lagi. Tapi Mama janji, jangan nangis lagi, Ma!” sahutku.

“Makasih sayang, Mama janji Om Harun itu orang yang baik dan bertanggung jawab.”

“Iya, Ma ...”

Usai dari makam Papa, aku mengajak Mama berbelanja apa pun yang Mama mau. Karena ini adalah momen langka aku memiliki waktu berdua saja dengan Mama. Maklum saja, bekerja di perusahaan ritel sangat jarang memiliki hari libur. Sekalipun aku memiliki libur, aku habiskan hanya untuk rebahan di kamar saja. Karena aku ini orangnya malas bepergian jika bukan untuk hal penting.

Setelah berbelanja dan makan, kami memutuskan untuk pulang. Mama terlihat sangat bahagia, belum pernah aku melihat Mama sebahagia ini sejak meninggalnya Papa. Ah, aku harap Mama akan selalu tersenyum seperti ini.

Mama langsung memberitahukan Om Harun perihal aku yang telah menyetujui pernikahan mereka. Om Harun langsung menentukan tanggal dan membooking sebuah wedding organizer. Setelah itu aku diminta olehnya untuk mengantar Mama fitting pakaian pengantin. Dengan senang hati aku menurutinya.

Esoknya kami pergi ke butik dengan di antar sopir pribadi Om Harun. Sesampainya di butik designer terkenal itu, aku langsung di sambut oleh karyawan di sana. Mereka langsung membawa kami menuju ruang fitting. Ternyata di sana sudah ada Om Harun dan keempat putranya.

Mama langsung di minta untuk memilih kebaya putih yang Mama suka. Mama memang meminta agar Om Harun tidak merayakan pernikahan itu secara berlebihan, karena mama merasa sudah berumur dan tidak pantas jika harus berlebihan seperti itu. Aku mengerti perasaan Mama.

Di tengah-tengah memilih kebaya, Edgar langsung menarikku keluar. Sesampainya di luar aku langsung melepaskan tangannya dengan kasar. Dan menatap sengit ke arahnya.

“Apaan sih lo!”

“Jadi lo sekarang udah setuju dengan pernikahan ini? Oh iya, lo pasti pengen ngerasain jadi orang tajir juga, ya?” cibir Edgar.

Aku hanya bisa menghela nafas mendengar ucapannya yang sangat menusuk hati itu. Sudah dituduh seperti itu sekalian saja aku kabulkan tuduhannya itu.

“Iya, gue dan Mama emang ngincer harta bokap lo doang. Nanti kita akan keruk semua harta bokap lo. Jadi gue bisa nendang lo dari rumah itu, puas?!” ucapku penuh penekanan namun tetap bersikap santai.

Edgar melotot mendengar jawabanku yang mungkin di luar dugaannya.

“Eh anjir! Berani-beraninya ya lo!”

Edgar mendorong tubuhku hingga tersungkur ke tanah. Carel yang sedang merokok di luar dan melihatku didorong Edgar langsung menghampiri kami. Ia membantuku berdiri.

“Bro! Apa-apaan nih dorong-dorong cewek?!” tanya Carel.

Carel menarik kerah baju Edgar. Matanya melotot menatap adiknya itu.

“Diem lo manusia nggak guna! Nggak usah ikut campur urusan gue!” Edgar melepas tangan Carel dengan kasar.

Aku yang berada di tengah-tengah hanya bisa berharap mereka tidak berkelahi. Tak lama Daffa keluar, ia terkejut melihat Carel dan Edgar yang sedang bersitegang. Ia langsung menarik Edgar menjauh dari Carel.

“Sebrengsek-brengseknya gue jadi cowok, gue nggak pernah main kasar sama cewek! Nggak kayak lo yang udah bikin Mama meninggal!” teriak Carel.

Perkataan Carel membuat Edgar naik pitam. Ia langsung berlari ke arahnya dan melayangkan bogem mentahnya di perut pria bertato itu. Hingga membuatnya tersungkur ke tanah.

Bugh!

Aku menjerit ketika Edgar melakukan itu. Hal itu membuat om Harun, kak Zayn dan Mama keluar dari butik dan menghampiri kami. Om Harun langsung menyeret Carel ke belakang butik. Sementara Daffa dan Kak Zayn mencoba menenangkan Edgar yang masih terengah-engah menahan emosinya.

“Tenang Edgar. Jangan kepancing emosi,” ucap Kak Zayn sambil menepuk-nepuk pundak Edgar.

Mama yang masih terbalut kebaya putih menghampiriku dengan wajah khawatir.

“Kamu nggak apa-apa?”

“Nggak, Ma. Udah Mama lanjutin fitting aja,” perintahku sambil meninggalkan Mama.

Aku berjalan ke belakang karena penasaran apa yang sedang dilakukan Om Harun pada Carel. Ketika aku mengintip dibalik tembok, kulihat Om Harun sedang menunjuk-nunjuk Carel dengan penuh emosi.

“Dasar anak nggak berguna! Kerjanya bikin malu orangtua aja! Udah sukanya mabuk-mabukan nggak jelas! Sekarang kamu mau berantem di tempat umum dengan adikmu sendiri, Hah?!” teriak Om Harun yang membuatku membelalakkan mata mendengar perkataannya.

“Carel selalu aja salah di mata Papa. Kapan sih Carel dianggap ada sama Papa?! Kenapa Papa selalu belain Edgar?! Udah jelas-jelas karena anak itu Mama meninggal, Pa!” teriak Carel tanpa takut sedikit pun.

Sedangkan aku yang hanya menyaksikan itu mulai ketar-ketir takut sesuatu yang lebih parah akan terjadi.

Plak!

Kulihat Om Harun melayangkan sebuah tamparan keras di pipi Carel. Tidak, aku harus menghentikan ini! Baru saja ia akan menampar Carel lagi, aku langsung berlari menghalanginya. Dengan berani aku berdiri dihadapan om Harun hingga membuat Carel terhalang tubuhku. Kusingkirkan semua rasa takutku, karena jujur saja aku tidak tega melihat Carel dipukuli oleh Om Harun, ayahnya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 66 - Rasa Rindu

    Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah seharian penuh beraktivitas di kampus, aku kembali ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar kubiarkan redup, hanya cahaya dari layar laptop dan ponsel yang menerangi ruangan.Namun sepi ini justru menggemakan suara dalam kepalaku sendiri—dan nama itu, terus mengalir dalam pikiranku.Hulya.Nama yang selalu membuat dadaku sesak. Saudara tiriku. Orang yang seharusnya kuanggap sebagai keluarga... tapi hatiku menolak menyebutnya begitu. Dia selalu ada di sampingku, dan seiring waktu, kehadirannya menjelma jadi lebih dari sekadar "adik".Aku menatap layar ponsel. Jempolku ragu-ragu mengetuk nama yang sudah tersimpan lama di daftar kontak: Hulya.Jam di layar menunjukkan pukul 10 malam di sini. Di Jakarta berarti sekitar pukul 7 malam. Tidak terlalu malam... tapi apakah dia sedang sibuk?Aku mendesah pelan, lalu akhirnya memberanikan diri menekan tombo

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 65 - Alexa Mulai Bergerak!

    Sepanjang perjalanan menuju fakultas kedokteran, Alexa tak berhenti mengajakku ngobrol. Topiknya ringan, tapi cukup membuatku sedikit canggung. Aku masih belum terbiasa diperlakukan seakrab itu oleh perempuan yang baru saja kutemui.“Kalau kamu ambil jurusan kedokteran, berarti kamu pintar, dong?” godanya lagi sambil melirikku dengan senyum menggoda.Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Enggak juga, cuma... memang dari dulu udah tertarik sama dunia medis.”“Terus cita-citanya jadi dokter?” tanyanya lagi.Aku mengangguk. “Iya, pengen jadi dokter anak.”Alexa menoleh dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Aww... sweet banget! Kamu pasti suka anak-anak, ya?”Aku tersenyum. “Lumayan. Mereka jujur. Dan polos.”Alexa hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikanku lekat-lekat. Tatapannya membuatku sedikit gelisah. Aku sudah lama tak berada dalam percakapan hangat seperti ini dengan perempuan selain Hulya.Akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas kedokteran.“Ini dia, kampus k

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 64 - Digoda Bule Cantik

    Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi. Sontak aku langsung membalikkan tubuh, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi itu, hingga akhirnya kudengar suara seorang perempuan dari arah kamar mandi. "How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!" hardiknya galak. Perlahan, aku membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang sedang memarahiku. Saat pandangan kami bertemu, aku terkejut. Seorang wanita seusiaku berdiri di hadapanku, hanya mengenakan piyama mandi. Rambutnya yang blonde masih basah meneteskan air. "Lo siapa?" tanyaku heran. "Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa?" sahutnya dengan logat kebarat-baratan. "Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl, anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?" tanyaku, terkejut bukan main. Dia melotot. "Iya, gue Sheryl! Kenapa?" Aku terkekeh. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga, dia sudah sebesar ini sekarang. Dulu kami sering main bareng waktu kec

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 63 - Kedatanganku

    Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 62 - Suara Hati Edgar

    POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 61 - Pergi

    “Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 60 - Tak ada waktu

    Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 59 - Berita Mengejutkan

    Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 58 - Hujan dan mati listrik

    Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status