Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul
“Hulya, awas!” teriak Dina. Sontak aku menoleh ke belakang, dan kulihat ada orang yang sedang membawa panci besar berisi kuah panas berjalan tepat di belakangku. Orang itu hampir kehilangan keseimbangannya dan oleng ke arahku. Namun, dengan cepat aku menyurut mundur, dan berbalik badan membelakangi orang itu. Aku tak menyadari ada orang yang berdiri di belakangku. Kutak dapat menahan gerak tubuhku karena jarak di antara kami terlalu dekat. Hingga akhirnya aku menubruk tubuhnya dan jatuh menindihnya. BRUKKK! Chuuu~~ Kurasakan benda yang lembut dan basah menempel di bibirku. Tunggu dulu, benda apa ini yang menempel di bibirku?! Kubuka mataku yang sedari tadi terpejam, dan seketika aku terkejut ketika melihat sepasang mata tepat berada di bawah mataku. Dan yang lebih membuatku syok adalah, bibir kami yang saling menempel satu sama lain! “Kyaaa! First kiss gue!” teriakku. Dengan cepat aku bangun dan menjauhkan diriku dari
Aku menatap Mama tak percaya kala mendengar perkataan Om Harun. Sementara Mama hanya tersenyum sambil matanya terus memandangi Om Harun. “Pa! Kenapa Papa ngerencanain ini tanpa diskusi dulu sama Zayn, Daffa, Carel dan Edgar!” teriak pria yang paling tua. Hal itu membuat aku dan Mama terkesiap karena mendengar suara keras pria yang berwajah mirip seperti CEO di novel yang selalu kubayangkan. “Zayn! Pelankan suaramu! Percuma Papa diskusi dulu sama kalian, kalian pasti akan menentang itu. Sudah, nanti saja kita bicarakan ini,” sahut om Harun marah. Pria bernama Zayn itu mendengus kesal dan menaiki tangga ke lantai atas dan meninggalkan kami. Sedangkan kami hanya terdiam tak berani berkata apa-apa. “Silahkan di makan dulu! Jangan hiraukan Zayn, dia memang seperti itu." Om Harun mempersilahkan kami makan. Namun keadaan sudah menjadi canggung. Sehingga membuat kami hanya terdiam. Terlebih, aku benar benar syok ketika mendengar pernyataan om
Kulayangkan tamparan tepat di pipi putihnya. Bekas merah tercetak di sana, ia meringis sambil mengusap pipinya sendiri. “Dasar cewek sialan! Berani beraninya lo nampar gue, hah!” teriaknya. Edgar sudah mengangkat tangannya hendak membalas tamparanku. Sementara aku sudah siap menghindar. Namun tiba tiba seseorang keluar dari kamar yang tepat berada di samping kamar Edgar. Ia berteriak ketika melihat posisi tangan Edgar yang melayang di udara. “Edgar! Mau ngapain lo!” Ternyata itu Daffa. Ia berjalan dengan cepat dan menghalau tangan Edgar. “Heh, lo mau jadi pecundang dengan mukul cewek?” tanya Daffa. Edgar menepis tangan Daffa yang sedari tadi memeganginya. Dan tanpa berkata apa-apa, dia memasuki kamarnya dan membanting pintu. Daffa menoleh ke arahku yang tengah ketar-ketir melihat Edgar hendak memukulku. Lalu ia tersenyum kepadaku hingga membuat lesung pipinya mengintip keluar. Wajahnya mirip sekali dengan Papanya. “Maafin Edgar
“Eh, sorry Mba!” ucapnya santai. Entah sengaja atau tidak, orang ini benar-benar sangat tidak sopan! Ah, andai aku sedang tidak bekerja sekarang. Pasti sudah kumaki-maki orang ini! Kuambil kopi itu dan mencoba untuk tersenyum ramah, namun seketika kutarik kembali senyumku kala melihat pria yang berdiri dihadapanku kini. Dia adalah Edgar Mahendra, si pria mesum dengan mulut kotor! “Heh, cowok mesum! Bisa nggak sih lo sopan dikit sama orang?!” teriakku hingga membuat Hendra yang sedang menghitung stok menghampiri kami. “Siapa sih manajer di sini? Punya karyawan kok nggak sopan banget? Mau gue laporin ke manajer lo, terus lo dipecat?” “Gue nggak takut, tuh! Karena lo yang salah bukan gue!” sahutku berani. “Ada apa sih, Hul?” tanya Hendra. “Ini Mas, ada orang nggak sopan lempar-lempar barang ke aku,” sahutku sambil menunjuk-nunjuk Edgar. “Mas, tolong bilangin ya sama teman lo yang satu ini. Sopan sedikit sama pembe
“Mama! Ngapain Mama kesini?” “Mama nggak bisa tidur mikirin kamu ...” sahut Mama yang hanya mengenakan gaun tidurnya yang terbalut cardigan warna hitam. Aku langsung membawa Mama masuk dan duduk di ruang tengah. Kuambilkan segelas air hangat untuk Mama. Sementara aku sengaja tidak membangunkan Dina karena takut mengganggu tidurnya. “Ya ampun, Ma! Mama naik apa ke sini?” tanyaku khawatir. “Tadi Mama naik ojek online. Mama kepikiran kamu terus jadi Mama nyusulin kamu aja ke sini.” “Ma, maafin Hulya ya. Karena udah bikin Mama khawatir.” Aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Mama balas memelukku. “Kamu nggak biasanya seperti ini. Kalo ada apa apa biasanya kamu bilang sama Mama, hiks ...” Mama mulai terisak, mendengar itu sungguh melukai hatiku. “Mama jangan nangis, Hulya nggak kenapa-napa kok, Ma!” “Besok, kita ke makam Papa ya nak ya? Hiks ...” Aku hanya bisa mengangguk menjawab ajaka
Om Harun langsung menghentikan tangannya ketika melihatku menghalangi tubuh Carel. “Hulya, ngapain kamu di sini?” tanya Om Harun dengan raut wajah terkejut. “Lo nggak usah ikut campur urusan keluarga ini, deh!” bisik Carel yang berada tepat di belakangku, namun tak kuhiraukan perkataannya. “Nggak, Om, please! Jangan pukul Kak Carel lagi. Dia tadi nggak salah, dia yang belain Hulya dari Edgar, Om!” seruku, dengan jantung berdegup. Antara takut dan kasihan melihat Carel. Berharap hal itu dapat membuat Om Harun sedikit tenang. Om Harun menatap datar ke arahku. Kemudian berkata, “Sebaiknya kamu cepat ke dalam dan temani Mamamu, Hulya.” Baru saja aku ingin menjawab perkataan Om Harun, Carel sudah mendorongku pelan hingga posisi tubuhku sedikit bergeser. Kemudian, ia berjalan perlahan ke arah Papanya itu. “Carel nggak akan pernah lupain kejadian itu, Pa. Bagi Carel, Edgar tetap penyebab Mama meninggal.” Carel mengucapkan itu dengan
“K-kak Daffa ...” Dapat kurasakan semua mata kini tertuju padaku. Sudah terlanjur malu, aku hanya bisa menyembunyikan wajahku di ketiak Daffa. Daffa membawaku ke ruangan yang digunakan untuk Mama dan Papa mengganti kostum . Ia mendudukkanku pada salah satu sofa. Kuperhatikan sekeliling, hanya ada kami di sini. “Lo gapapa, kan?” tanyanya yang duduk di sebelahku. Aku merapikan rambutku yang berantakan, “Sakit sih enggak, cuma malunya itu yang nggak bisa ditahan.” “Anak itu kalo udah iseng sama orang emang keterlaluan!” sahut Daffa dengan wajahnya yang serius. Aku balik menatapnya. “Kak, kayanya Edgar nggak suka banget ya sama Gue?” tanyaku mulai frustasi dengan tingkah Edgar. “Enggak, Hulya. Edgar kalo nggak suka sama orang pasti lebih milih cuek dan nggak akan bertingkah seperti itu," jelas Daffa. “Jadi, Edgar suka sama gue?” Kutatap wajah Daffa serius. Ia terkekeh ketika mendengar pertanyaanku. “Ya, belom tentu juga, si