Share

Bab 4 - Dia main ke kosan cewek?

“Eh, sorry Mba!” ucapnya santai.

Entah sengaja atau tidak, orang ini benar-benar sangat tidak sopan! Ah, andai aku sedang tidak bekerja sekarang. Pasti sudah kumaki-maki orang ini!

Kuambil kopi itu dan mencoba untuk tersenyum ramah, namun seketika kutarik kembali senyumku kala melihat pria yang berdiri dihadapanku kini. Dia adalah Edgar Mahendra, si pria mesum dengan mulut kotor!

“Heh, cowok mesum! Bisa nggak sih lo sopan dikit sama orang?!” teriakku hingga membuat Hendra yang sedang menghitung stok menghampiri kami.

“Siapa sih manajer di sini? Punya karyawan kok nggak sopan banget? Mau gue laporin ke manajer lo, terus lo dipecat?”

“Gue nggak takut, tuh! Karena lo yang salah bukan gue!” sahutku berani.

“Ada apa sih, Hul?” tanya Hendra.

“Ini Mas, ada orang nggak sopan lempar-lempar barang ke aku,” sahutku sambil menunjuk-nunjuk Edgar.

“Mas, tolong bilangin ya sama teman lo yang satu ini. Sopan sedikit sama pembeli, bisa-bisa nanti pembeli malah kabur lagi kasirnya galak begini!” teriak Edgar.

Sementara Hendra memintaku untuk mengalah saja daripada urusan ini menjadi panjang. Akhirnya dengan terpaksa aku menuruti perkataan Hendra.

“Udah lo mendingan diem terus cepet pergi dari sini! Nih, belanjaan lo. Totalnya dua belas ribu!”

Kuberikan botol kopi itu pada Edgar. Edgar langsung menyambarnya dari tanganku. Dia mengulurkan selembar uang lima puluh ribu padaku. Baru saja aku akan meraihnya, Edgar malah menarik kembali uang itu. Ia lalu meremas-remas uang itu dan menjatuhkannya di lantai.

“Nih uangnya, kembaliannya ambil aja.” Dengan santai ia melenggang keluar.

Aku sudah tidak tahan lagi! Kupungut uang yang sudah berbentuk seperti bola itu. Dan kukejar pria mesum itu sampai keluar toko.

“Heh, cowok nggak punya attitude!” teriakku.

Edgar menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Aku melangkahkan kakiku ke arahnya. Ketika tepat berada di depannya, kutempelkan uang kucel itu ke mulutnya dengan keras hingga membuat kepalanya sempat terjengkang kebelakang sedikit.

“Nih, lo makan uang lo! Gue nggak butuh uang lo!” ucapku sambil berlari masuk kembali ke dalam toko.

Mati gue, mati gue!’ gumam ku sambil berlari memasuki toko. Hingga membuat Dina menatap heran ke arahku ketika aku sampai di meja kasir.

“Kenapa lo?” tanya Dina.

Aku tak menggubris perkataan Dina, karena mataku sibuk melihat ke arah luar. Takut kalau Edgar akan kembali ke sini dan marah-marah. Kulihat Edgar mengambil uang itu dan berjalan memasuki mobilnya yang terparkir.

“Fyuh! Syukurlah!” desahku.

“Ada apa sih, Hul?”

“Ah, nggak kok, Din.”

***

Seusai bekerja, aku sengaja tidak pulang ke rumah. Karena aku tidak ingin bertemu Mama. Aku bilang, aku butuh waktu untuk sendiri, kan? Kurasa ini saat yang tepat untukku menyendiri.

Aku berencana untuk menginap di kosan Dina malam ini. Namun kuminta Dina untuk pergi duluan dan aku akan menyusul. Aku berencana untuk makan dulu di warung pecel lele yang tak jauh dari kosan Dina. Setelah makan, aku melajukan motorku menuju kosan Dina.

Tepat di depan gedung yang mirip rumah susun itu terparkir sebuah mobil. Aku baru tahu kalau salah satu penghuni kos di sana memiliki mobil. Setelah memarkirkan motor, aku segera menaiki tangga menuju kamar Dina yang tepat berada di lantai dua. Tepat ketika aku akan melangkah menaiki tangga, sepasang pria dan wanita keluar dari dalam mobil itu dan memasuki gedung ini. Mereka menaiki tangga mendahuluiku. Aku terkejut ketika melihat Edgar bersama wanita cantik. Langsung saja kukejar mereka.

“Woi cowok mesum! Ngapain lo di sini malem-malem?!” teriakku.

Edgar yang tengah merangkul seorang wanita menoleh ke arahku. Ia tersenyum sinis ketika melihatku.

“Lo lagi, lo lagi. Bisa nggak sih lo nggak usah ngikutin gue? Lo ngefans sama gue?!” sungutnya.

Sementara wanita di sampingnya menatap tidak suka ke arahku.

“Ngefans sama lo? Cih!” sahutku sambil meludah ke arahnya. Ia meloto menatapku.

Aku berjalan mendahuluinya, ketika diriku tepat di sampingnya sengaja kutubrukkan bahuku dengan bahunya dengan keras hingga membuat ia meringis.

Tepat sebelum ia mengeluarkan kata-kata kasarnya, aku langsung mempercepat langkahku menaiki tangga dan berbelok, lalu aku langsung masuk ke kamar Dina yang kebetulan tidak terkunci. Dina yang sedang maskeran bingung melihatku yang terengah-engah.

“Kenapa lo?” tanyanya.

“Din, lo tau nggak siapa cewek cantik yang tinggal di kosan ini?” tanyaku sambil mengatur nafasku.

“Ya gue, lah!” sahutnya pede.

 Kutoyor kepala Dina hingga membuatnya meringis, “Gue serius, di kosan ini ada seorang mahasiswi gitu nggak yang tinggal?”

Dina nampak berpikir. lalu sedetik kemudian ia menjawab, “Ah iya ada, si Clara kalo nggak salah namanya. Kenapa sih?!”

“Dia suka bawa cowok ya ke kosan?”

“Duh kalo itu sih sering, secara dia tuh cakep banget. Tapi cowoknya gonta-ganti” Dina sedikit berbisik ketika mengatakan itu. Aku tersenyum mendengarnya.

“Oh, begitu. Oke deh Din." kutinggalkan Dina yang masih kebingungan mendengar pertanyaanku.

Bukannya aku ingin tahu urusan orang, aku hanya penasaran siapa wanita yang tadi bersama Edgar. Karena kurasa informasi ini akan berguna sewaktu-waktu untuk menjatuhkannya.

Aku segera mandi dan bergabung dengan Dina yang sedang menonton sinetron kesayangannya. Dina ini sama saja dengan Mama sukanya nonton sinetron yang episodenya bisa ribuan itu. Apa sih serunya?

Tak lama ponselku berdering, ternyata itu panggilan dari Mama. Awalnya aku ingin menolak panggilan itu, namun aku juga takut Mama kepikiran denganku yang tidak pulang.

“Halo Ma!”

“Iya, Hulya nginep di kosan Dina.”

“Hulya udah makan kok ma, iya besok Hulya pulang. Hulya libur besok.”

“Iya.”

Kututup sambungan telepon dari Mama. Dari nada bicaranya, Mama terdengar sangat khawatir padaku. Jujur, aku tidak ingin seperti ini karena aku juga tidak ingin membuat Mama khawatir. Tapi aku juga butuh waktu untuk menerima rencana Mama yang menurutku cukup gila itu.

Akhirnya tepat pukul satu, Dina sudah terlelap. Aku tak bisa tidur karena memikirkan Mama, karena memang jarang sekali aku pergi dari rumah seperti ini. Dulu, saat aku masih duduk di bangku SMA, mama sangat melarangku untuk menginap di rumah teman. Sekalipun itu teman dekatku. Mama bilang, anak perawan tidak baik menginap di luar. Aku selalu mengingat pesan itu hingga kini, dan aku juga akan menerapkannya pada anakku nanti.

Mungkin Mama juga melarangku karena takut kesepian. Wajar saja, karena kami ditinggal Papa ketika aku baru berumur sebelas tahun. Mama adalah orang yang paling bersedih sejak meninggalnya Papa.

Bulan-bulan awal Papa meninggal, aku selalu mendengar Mama menangis sambil memeluk foto Papa. Ah, mengingat kejadian itu membuatku merindukan Mama dan Papa. Sedang apa ya sekarang Mama di rumah? Dan Papa, apa Papa bahagia di sana jika Mama menikah dengan orang lain?

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba kudengar suara pintu diketuk. Siapa sih malam-malam seperti ini yang bertamu ke rumah orang? Dengan malas aku beranjak dari kasur dan berjalan menuju pintu. Seketika aku terkejut kala melihat siapa yang ada dibalik pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status