Home / Romansa / Live With 4 Stepbrothers / Bab 4 - Dia main ke kosan cewek?

Share

Bab 4 - Dia main ke kosan cewek?

Author: Fantazia
last update Last Updated: 2021-09-21 23:28:41

“Eh, sorry Mba!” ucapnya santai.

Entah sengaja atau tidak, orang ini benar-benar sangat tidak sopan! Ah, andai aku sedang tidak bekerja sekarang. Pasti sudah kumaki-maki orang ini!

Kuambil kopi itu dan mencoba untuk tersenyum ramah, namun seketika kutarik kembali senyumku kala melihat pria yang berdiri dihadapanku kini. Dia adalah Edgar Mahendra, si pria mesum dengan mulut kotor!

“Heh, cowok mesum! Bisa nggak sih lo sopan dikit sama orang?!” teriakku hingga membuat Hendra yang sedang menghitung stok menghampiri kami.

“Siapa sih manajer di sini? Punya karyawan kok nggak sopan banget? Mau gue laporin ke manajer lo, terus lo dipecat?”

“Gue nggak takut, tuh! Karena lo yang salah bukan gue!” sahutku berani.

“Ada apa sih, Hul?” tanya Hendra.

“Ini Mas, ada orang nggak sopan lempar-lempar barang ke aku,” sahutku sambil menunjuk-nunjuk Edgar.

“Mas, tolong bilangin ya sama teman lo yang satu ini. Sopan sedikit sama pembeli, bisa-bisa nanti pembeli malah kabur lagi kasirnya galak begini!” teriak Edgar.

Sementara Hendra memintaku untuk mengalah saja daripada urusan ini menjadi panjang. Akhirnya dengan terpaksa aku menuruti perkataan Hendra.

“Udah lo mendingan diem terus cepet pergi dari sini! Nih, belanjaan lo. Totalnya dua belas ribu!”

Kuberikan botol kopi itu pada Edgar. Edgar langsung menyambarnya dari tanganku. Dia mengulurkan selembar uang lima puluh ribu padaku. Baru saja aku akan meraihnya, Edgar malah menarik kembali uang itu. Ia lalu meremas-remas uang itu dan menjatuhkannya di lantai.

“Nih uangnya, kembaliannya ambil aja.” Dengan santai ia melenggang keluar.

Aku sudah tidak tahan lagi! Kupungut uang yang sudah berbentuk seperti bola itu. Dan kukejar pria mesum itu sampai keluar toko.

“Heh, cowok nggak punya attitude!” teriakku.

Edgar menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Aku melangkahkan kakiku ke arahnya. Ketika tepat berada di depannya, kutempelkan uang kucel itu ke mulutnya dengan keras hingga membuat kepalanya sempat terjengkang kebelakang sedikit.

“Nih, lo makan uang lo! Gue nggak butuh uang lo!” ucapku sambil berlari masuk kembali ke dalam toko.

Mati gue, mati gue!’ gumam ku sambil berlari memasuki toko. Hingga membuat Dina menatap heran ke arahku ketika aku sampai di meja kasir.

“Kenapa lo?” tanya Dina.

Aku tak menggubris perkataan Dina, karena mataku sibuk melihat ke arah luar. Takut kalau Edgar akan kembali ke sini dan marah-marah. Kulihat Edgar mengambil uang itu dan berjalan memasuki mobilnya yang terparkir.

“Fyuh! Syukurlah!” desahku.

“Ada apa sih, Hul?”

“Ah, nggak kok, Din.”

***

Seusai bekerja, aku sengaja tidak pulang ke rumah. Karena aku tidak ingin bertemu Mama. Aku bilang, aku butuh waktu untuk sendiri, kan? Kurasa ini saat yang tepat untukku menyendiri.

Aku berencana untuk menginap di kosan Dina malam ini. Namun kuminta Dina untuk pergi duluan dan aku akan menyusul. Aku berencana untuk makan dulu di warung pecel lele yang tak jauh dari kosan Dina. Setelah makan, aku melajukan motorku menuju kosan Dina.

Tepat di depan gedung yang mirip rumah susun itu terparkir sebuah mobil. Aku baru tahu kalau salah satu penghuni kos di sana memiliki mobil. Setelah memarkirkan motor, aku segera menaiki tangga menuju kamar Dina yang tepat berada di lantai dua. Tepat ketika aku akan melangkah menaiki tangga, sepasang pria dan wanita keluar dari dalam mobil itu dan memasuki gedung ini. Mereka menaiki tangga mendahuluiku. Aku terkejut ketika melihat Edgar bersama wanita cantik. Langsung saja kukejar mereka.

“Woi cowok mesum! Ngapain lo di sini malem-malem?!” teriakku.

Edgar yang tengah merangkul seorang wanita menoleh ke arahku. Ia tersenyum sinis ketika melihatku.

“Lo lagi, lo lagi. Bisa nggak sih lo nggak usah ngikutin gue? Lo ngefans sama gue?!” sungutnya.

Sementara wanita di sampingnya menatap tidak suka ke arahku.

“Ngefans sama lo? Cih!” sahutku sambil meludah ke arahnya. Ia meloto menatapku.

Aku berjalan mendahuluinya, ketika diriku tepat di sampingnya sengaja kutubrukkan bahuku dengan bahunya dengan keras hingga membuat ia meringis.

Tepat sebelum ia mengeluarkan kata-kata kasarnya, aku langsung mempercepat langkahku menaiki tangga dan berbelok, lalu aku langsung masuk ke kamar Dina yang kebetulan tidak terkunci. Dina yang sedang maskeran bingung melihatku yang terengah-engah.

“Kenapa lo?” tanyanya.

“Din, lo tau nggak siapa cewek cantik yang tinggal di kosan ini?” tanyaku sambil mengatur nafasku.

“Ya gue, lah!” sahutnya pede.

 Kutoyor kepala Dina hingga membuatnya meringis, “Gue serius, di kosan ini ada seorang mahasiswi gitu nggak yang tinggal?”

Dina nampak berpikir. lalu sedetik kemudian ia menjawab, “Ah iya ada, si Clara kalo nggak salah namanya. Kenapa sih?!”

“Dia suka bawa cowok ya ke kosan?”

“Duh kalo itu sih sering, secara dia tuh cakep banget. Tapi cowoknya gonta-ganti” Dina sedikit berbisik ketika mengatakan itu. Aku tersenyum mendengarnya.

“Oh, begitu. Oke deh Din." kutinggalkan Dina yang masih kebingungan mendengar pertanyaanku.

Bukannya aku ingin tahu urusan orang, aku hanya penasaran siapa wanita yang tadi bersama Edgar. Karena kurasa informasi ini akan berguna sewaktu-waktu untuk menjatuhkannya.

Aku segera mandi dan bergabung dengan Dina yang sedang menonton sinetron kesayangannya. Dina ini sama saja dengan Mama sukanya nonton sinetron yang episodenya bisa ribuan itu. Apa sih serunya?

Tak lama ponselku berdering, ternyata itu panggilan dari Mama. Awalnya aku ingin menolak panggilan itu, namun aku juga takut Mama kepikiran denganku yang tidak pulang.

“Halo Ma!”

“Iya, Hulya nginep di kosan Dina.”

“Hulya udah makan kok ma, iya besok Hulya pulang. Hulya libur besok.”

“Iya.”

Kututup sambungan telepon dari Mama. Dari nada bicaranya, Mama terdengar sangat khawatir padaku. Jujur, aku tidak ingin seperti ini karena aku juga tidak ingin membuat Mama khawatir. Tapi aku juga butuh waktu untuk menerima rencana Mama yang menurutku cukup gila itu.

Akhirnya tepat pukul satu, Dina sudah terlelap. Aku tak bisa tidur karena memikirkan Mama, karena memang jarang sekali aku pergi dari rumah seperti ini. Dulu, saat aku masih duduk di bangku SMA, mama sangat melarangku untuk menginap di rumah teman. Sekalipun itu teman dekatku. Mama bilang, anak perawan tidak baik menginap di luar. Aku selalu mengingat pesan itu hingga kini, dan aku juga akan menerapkannya pada anakku nanti.

Mungkin Mama juga melarangku karena takut kesepian. Wajar saja, karena kami ditinggal Papa ketika aku baru berumur sebelas tahun. Mama adalah orang yang paling bersedih sejak meninggalnya Papa.

Bulan-bulan awal Papa meninggal, aku selalu mendengar Mama menangis sambil memeluk foto Papa. Ah, mengingat kejadian itu membuatku merindukan Mama dan Papa. Sedang apa ya sekarang Mama di rumah? Dan Papa, apa Papa bahagia di sana jika Mama menikah dengan orang lain?

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba kudengar suara pintu diketuk. Siapa sih malam-malam seperti ini yang bertamu ke rumah orang? Dengan malas aku beranjak dari kasur dan berjalan menuju pintu. Seketika aku terkejut kala melihat siapa yang ada dibalik pintu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 66 - Rasa Rindu

    Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah seharian penuh beraktivitas di kampus, aku kembali ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar kubiarkan redup, hanya cahaya dari layar laptop dan ponsel yang menerangi ruangan.Namun sepi ini justru menggemakan suara dalam kepalaku sendiri—dan nama itu, terus mengalir dalam pikiranku.Hulya.Nama yang selalu membuat dadaku sesak. Saudara tiriku. Orang yang seharusnya kuanggap sebagai keluarga... tapi hatiku menolak menyebutnya begitu. Dia selalu ada di sampingku, dan seiring waktu, kehadirannya menjelma jadi lebih dari sekadar "adik".Aku menatap layar ponsel. Jempolku ragu-ragu mengetuk nama yang sudah tersimpan lama di daftar kontak: Hulya.Jam di layar menunjukkan pukul 10 malam di sini. Di Jakarta berarti sekitar pukul 7 malam. Tidak terlalu malam... tapi apakah dia sedang sibuk?Aku mendesah pelan, lalu akhirnya memberanikan diri menekan tombo

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 65 - Alexa Mulai Bergerak!

    Sepanjang perjalanan menuju fakultas kedokteran, Alexa tak berhenti mengajakku ngobrol. Topiknya ringan, tapi cukup membuatku sedikit canggung. Aku masih belum terbiasa diperlakukan seakrab itu oleh perempuan yang baru saja kutemui.“Kalau kamu ambil jurusan kedokteran, berarti kamu pintar, dong?” godanya lagi sambil melirikku dengan senyum menggoda.Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Enggak juga, cuma... memang dari dulu udah tertarik sama dunia medis.”“Terus cita-citanya jadi dokter?” tanyanya lagi.Aku mengangguk. “Iya, pengen jadi dokter anak.”Alexa menoleh dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Aww... sweet banget! Kamu pasti suka anak-anak, ya?”Aku tersenyum. “Lumayan. Mereka jujur. Dan polos.”Alexa hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikanku lekat-lekat. Tatapannya membuatku sedikit gelisah. Aku sudah lama tak berada dalam percakapan hangat seperti ini dengan perempuan selain Hulya.Akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas kedokteran.“Ini dia, kampus k

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 64 - Digoda Bule Cantik

    Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi. Sontak aku langsung membalikkan tubuh, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi itu, hingga akhirnya kudengar suara seorang perempuan dari arah kamar mandi. "How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!" hardiknya galak. Perlahan, aku membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang sedang memarahiku. Saat pandangan kami bertemu, aku terkejut. Seorang wanita seusiaku berdiri di hadapanku, hanya mengenakan piyama mandi. Rambutnya yang blonde masih basah meneteskan air. "Lo siapa?" tanyaku heran. "Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa?" sahutnya dengan logat kebarat-baratan. "Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl, anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?" tanyaku, terkejut bukan main. Dia melotot. "Iya, gue Sheryl! Kenapa?" Aku terkekeh. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga, dia sudah sebesar ini sekarang. Dulu kami sering main bareng waktu kec

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 63 - Kedatanganku

    Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 62 - Suara Hati Edgar

    POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 61 - Pergi

    “Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status