Berawal dari sebuah ciuman tak sengaja yang terjadi di antara Hulya dan Edgar. Ciuman itu adalah sebuah ciuman pertama bagi Hulya. Tentu ia tidak terima jika ciuman pertamanya direnggut begitu saja. Dia pun akhirnya menyimpan dendam kepada Edgar. Suatu ketika, sang Mama memperkenalkan sosok laki-laki yang akan menjadi Ayah sambung Hulya. Dan, tahukah kalian? Ternyata laki-laki itu memiliki empat orang anak laki-kaki! Salah satu di antaranya adalah Edgar. Ya, mereka sekarang menjadi saudara sambung. Hari demi hari mereka lalui dengan penuh pertengkaran dan perdebatan. Hingga suatu ketika, sang Papa memutuskan mengirim mereka untuk liburan bersama di kapal pesiar. Bencana besar terjadi, kapal yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Mereka diharuskan untuk bertahan hidup di sebuah pulau terpencil yang jauh dari pusat kota. Bagaimana kisah mereka di pulau itu? Apakah mereka selamat? Akankah cinta tumbuh di antara Hulya dan Edgar?
더 보기“Hulya, awas!” teriak Dina.
Sontak aku menoleh ke belakang, dan kulihat ada orang yang sedang membawa panci besar berisi kuah panas berjalan tepat di belakangku. Orang itu hampir kehilangan keseimbangannya dan oleng ke arahku. Namun, dengan cepat aku menyurut mundur, dan berbalik badan membelakangi orang itu.
Aku tak menyadari ada orang yang berdiri di belakangku. Kutak dapat menahan gerak tubuhku karena jarak di antara kami terlalu dekat. Hingga akhirnya aku menubruk tubuhnya dan jatuh menindihnya.
BRUKKK!
Chuuu~~
Kurasakan benda yang lembut dan basah menempel di bibirku. Tunggu dulu, benda apa ini yang menempel di bibirku?! Kubuka mataku yang sedari tadi terpejam, dan seketika aku terkejut ketika melihat sepasang mata tepat berada di bawah mataku. Dan yang lebih membuatku syok adalah, bibir kami yang saling menempel satu sama lain!
“Kyaaa! First kiss gue!” teriakku.
Dengan cepat aku bangun dan menjauhkan diriku dari tubuhnya. Sedangkan, pria itu berusaha bangkit sambil meringis kesakitan. Sepertinya punggungnya terbentur tanah cukup keras kala aku menubruknya dan menindihnya tadi.
“Sialan! Lo nggak punya mata ya!” teriak pria itu kasar sambil memegangi pinggangnya karena jika memegang punggungnya, tangannya tentu tak akan sampai.
Mendengar perkataan pria itu yang kasar, kupukul perutnya dengan tas yang sedari tadi menggantung di bahuku.
Bugh!
“Kenapa lo mukul gue?” teriaknya.
“Gue yang harusnya marah! Beraninya lo nyium gue!” sungutku.
Tak lama kemudian, Dina datang menghampiri kami. Bukannya menanyakan keadaanku, ia malah membeku sambil matanya menatap pria dihadapanku ini tanpa berkedip!
“Lo kan yang nubruk gue! Ya berarti lo yang salah! Dan soal ciuman itu, lo juga yang nyium gue duluan!” ketusnya.
“Gue nggak mau tau! Lo harus tanggung jawab. Itu first kiss gue, tau!” timpalku.
“Tanggung jawab? Emangnya lo hamil?! Hah? First kiss? Terus gue peduli?”
A-apa katanya? Hamil?
“Hamil?! Lo kira gue hamil?!” Aku mengernyitkan kening.
“Lagian pake tanggung jawab segala! Terus gimana juga cara gue tanggung jawabnya? Nyium lo lagi? Ogah banget!”
Belum sempat aku berkata apa-apa, pria itu melanjutkan, “Punggung gue sakit nih gara-gara lo! Udah lah, gue nggak punya waktu buat ngurusin yang nggak guna!”
Lalu pria itu melengos pergi tanpa menghiraukanku, dan langsung masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di bahu jalan.
“Heh! Tunggu lo! Jangan kabur!” teriakku. Sambil berusaha mengejarnya, namun itu mustahil.
BRUUM!
Pria itu langsung melajukan mobilnya dengan cepat, aku hanya bisa menatap dari kejauhan mobilnya yang perlahan menghilang.
“Sialan! First kiss gue,” lirihku.
Dina menepuk bahuku. Aku menoleh ke arah gadis berambut pendek itu.
“Lo pernah ngelakuin apa sih, di kehidupan sebelumnya?”
“Kenapa emang?” tanyaku heran.
“Lo beruntung banget, bisa ciuman sama cowok ganteng itu!”
Dina heboh sendiri, aku menaikkan alis melihat ekspresi Dina. Ini orang udah nggak waras ya? Pantas saja sedari tadi dia hanya diam bukannya membelaku, rupanya dia terpesona dengan pria mesum itu.
“Lo kayanya harus ke dokter deh, Din.”
“Haha! Lo tuh yang nggak normal, Hul! Itu cowok tuh gantengnya melebihi Oppa Korea kesukaan lo itu! Gue sih lebih suka yang gantengnya lokal kayak tadi,” cibir Dina.
“Heh! Enak aja yang begitu disamain sama Oppa gue! Lagian orang macem begitu juga mana mau sama lo, Din!” sahutku, sambil menoyor kepalanya.
“Sialan lo ya!”
Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan kami menuju foodcourt yang berada tepat di samping minimarket tempat kami bekerja.
***
Sore telah tiba, aku sudah berada di kamar sekarang. Tadinya Dina memintaku untuk menemaninya belanja, tapi aku menolaknya karena memang aku sudah ada acara makan malam dengan teman Mama.
Kutatap diriku di cermin, tiba tiba aku teringat pada kejadian tadi siang. Pandanganku langsung tertuju pada bibirku yang sudah kupoles lipstick berwarna pink ini.
“Di sini, dia nyium gue disini.”
Kusentuh bibirku dan segera kuambil tisu lalu menggosok gosokkannya pada bibirku dengan kasar hingga membuat warna lipstick menghilang.
“First kiss gue diambil sama orang itu. Sialan! Padahal gue hanya akan memberikan itu sama orang yang akan jadi suami gue nanti, hiks!” lirihku.
“Kalo sampai gue nemuin cowok mesum itu, gue berjanji akan membuat hidup dia nggak tenang. Sampai dia merasa menyesal dan bertekuk lutut minta maaf sama gue!” ucapku pada pantulan diriku sendiri di cermin.
Tak berapa lama, Mama memasuki kamarku. Mama sudah berdandan cantik sekali hari ini. Seperti anak muda yang memiliki kencan untuk pertama kali saja. Oh, mungkinkah?
“Ayo, Hulya! Jemputan kita sudah dateng, tuh!”
Setelah mengatakan itu, mama langsung melengos keluar dari kamarku. Aku segera bersiap dengan gaun selutut berwarna biru muda dengan lengan panjang yang sudah Mama siapkan. Acara penting apa sih yang Mama maksud itu sampai membelikan aku baju baru segala?
Satu jam kemudian, kami sudah berdiri di depan sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elit. Aku sampai ternganga melihat rumah yang mirip seperti yang ada di sinetron kesayangan Mama itu.
Begitu memasuki rumah bernuansa emas itu, kami disambut oleh beberapa maid. Salah satu dari mereka membawa kami menuju ruang makan yang ada di bagian belakang rumah ini, sehingga membuat kami harus berjalan agak jauh dan melewati ruang keluarga, dan ruang santai. Lalu kami sampai di ruang makan, di sana terdapat meja makan besar lengkap dengan mini bar di sebelahnya.
Seorang pria paruh baya berkacamata menyambut kami. Ia bersalaman pada Mama dan cipika cipiki dengan Mama. Tunggu dulu, sejak kapan Mama berani seperti itu?
“Kamu pasti Hulya ya? Perkenalkan, saya Harun Mahendra.” Pria itu tersenyum ramah padaku.
“I-iya Om, aku Hulya.”
Aku berusaha ramah juga terhadapnya, selanjutnya aku melayangkan tatapan tajam pada Mama yang dari tadi hanya tersipu malu. Hmm, sepertinya ada yang mencurigakan di sini!
“Nah, kamu pasti bingung ya kenapa diajak Mamamu kesini? Sekarang kamu dan Mama duduk dulu ya,” perintah Om Harun dengan nada suara yang terdengar lembut.
Kami menurut, dan duduk pada salah satu kursi. Sedangkan Om itu duduk di kursi paling ujung.
“Mbok, tolong panggilkan anak anak ya!” perintahnya pada seorang pelayan yang sudah tua. Pelayan itu mengangguk dan langsung menaiki tangga menuju lantai atas.
Tak berapa lama, ketiga orang pria menuruni tangga dan menghampiri Om Harun. Seketika aku terkejut kala melihat salah satu dari mereka. Itu dia! Pria itu yang sudah mengambil first kissku! Dia ada di sana! Aku ingat betul wajahnya yang arogan dan ketus itu!
Aku langsung berdiri dan menunjuknya, “Heh! Lo yang tadi siang, kan?”
“Hulya, sebaiknya kamu jaga sikapmu,” bisik Mama sambil menyentuh lenganku.
Mendengar bisikan dari Mama membuatku kembali mendudukkan tubuhku. Bagaimanapun, ada Mama di sebelahku. Aku tidak ingin membuat Mama malu, jika aku berkelahi dengan pria mesum itu. Aku hanya bisa mendengus kesal ketika pria itu hanya melirikku sekilas tanpa menghiraukanku. Lalu, ia menatap Om Harun dengan wajah kesal.
“Ada apa sih, Pa?!” tanyanya.
Tunggu dulu, Papa? Apa dia anak dari Om Harun? Lalu siapa sih Om Harun ini?
“Anak-anak, kalian duduk dulu ya,” perintah Om Harun.
Ketiga pria itu menurut dan duduk tepat di depan aku dan Mama. Aku sempat melirik pria mesum itu. Ia menatap tajam ke arahku, aku balas mempelototinya.
“Papa akan memberitahukan berita bahagia pada kalian,” ucap Om Harun memulai pembicaraan.
“Berita apa sih, Pa? Nggak usah banyak basa basi, deh!” sahut pria berkemeja putih yang duduk tepat di depan mataku. Terlihat dari wajahnya, pria itu adalah yang paling tua di antara dua yang lainnya.
“Bulan depan Papa akan menikah ...” sambung Om Harun.
“APA?! MENIKAH?!”
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah seharian penuh beraktivitas di kampus, aku kembali ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar kubiarkan redup, hanya cahaya dari layar laptop dan ponsel yang menerangi ruangan.Namun sepi ini justru menggemakan suara dalam kepalaku sendiri—dan nama itu, terus mengalir dalam pikiranku.Hulya.Nama yang selalu membuat dadaku sesak. Saudara tiriku. Orang yang seharusnya kuanggap sebagai keluarga... tapi hatiku menolak menyebutnya begitu. Dia selalu ada di sampingku, dan seiring waktu, kehadirannya menjelma jadi lebih dari sekadar "adik".Aku menatap layar ponsel. Jempolku ragu-ragu mengetuk nama yang sudah tersimpan lama di daftar kontak: Hulya.Jam di layar menunjukkan pukul 10 malam di sini. Di Jakarta berarti sekitar pukul 7 malam. Tidak terlalu malam... tapi apakah dia sedang sibuk?Aku mendesah pelan, lalu akhirnya memberanikan diri menekan tombo
Sepanjang perjalanan menuju fakultas kedokteran, Alexa tak berhenti mengajakku ngobrol. Topiknya ringan, tapi cukup membuatku sedikit canggung. Aku masih belum terbiasa diperlakukan seakrab itu oleh perempuan yang baru saja kutemui.“Kalau kamu ambil jurusan kedokteran, berarti kamu pintar, dong?” godanya lagi sambil melirikku dengan senyum menggoda.Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Enggak juga, cuma... memang dari dulu udah tertarik sama dunia medis.”“Terus cita-citanya jadi dokter?” tanyanya lagi.Aku mengangguk. “Iya, pengen jadi dokter anak.”Alexa menoleh dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Aww... sweet banget! Kamu pasti suka anak-anak, ya?”Aku tersenyum. “Lumayan. Mereka jujur. Dan polos.”Alexa hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikanku lekat-lekat. Tatapannya membuatku sedikit gelisah. Aku sudah lama tak berada dalam percakapan hangat seperti ini dengan perempuan selain Hulya.Akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas kedokteran.“Ini dia, kampus k
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi. Sontak aku langsung membalikkan tubuh, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi itu, hingga akhirnya kudengar suara seorang perempuan dari arah kamar mandi. "How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!" hardiknya galak. Perlahan, aku membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang sedang memarahiku. Saat pandangan kami bertemu, aku terkejut. Seorang wanita seusiaku berdiri di hadapanku, hanya mengenakan piyama mandi. Rambutnya yang blonde masih basah meneteskan air. "Lo siapa?" tanyaku heran. "Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa?" sahutnya dengan logat kebarat-baratan. "Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl, anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?" tanyaku, terkejut bukan main. Dia melotot. "Iya, gue Sheryl! Kenapa?" Aku terkekeh. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga, dia sudah sebesar ini sekarang. Dulu kami sering main bareng waktu kec
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu
Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i
Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan
Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글