Om Harun langsung menghentikan tangannya ketika melihatku menghalangi tubuh Carel.
“Hulya, ngapain kamu di sini?” tanya Om Harun dengan raut wajah terkejut.
“Lo nggak usah ikut campur urusan keluarga ini, deh!” bisik Carel yang berada tepat di belakangku, namun tak kuhiraukan perkataannya.
“Nggak, Om, please! Jangan pukul Kak Carel lagi. Dia tadi nggak salah, dia yang belain Hulya dari Edgar, Om!” seruku, dengan jantung berdegup. Antara takut dan kasihan melihat Carel. Berharap hal itu dapat membuat Om Harun sedikit tenang.
Om Harun menatap datar ke arahku. Kemudian berkata, “Sebaiknya kamu cepat ke dalam dan temani Mamamu, Hulya.”
Baru saja aku ingin menjawab perkataan Om Harun, Carel sudah mendorongku pelan hingga posisi tubuhku sedikit bergeser. Kemudian, ia berjalan perlahan ke arah Papanya itu.
“Carel nggak akan pernah lupain kejadian itu, Pa. Bagi Carel, Edgar tetap penyebab Mama meninggal.” Carel mengucapkan itu dengan penuh penekanan. Kemudian ia melengos pergi meninggalkan kami yang terpaku.
Aku menghampiri Om Harun dan menyentuh pundaknya. “Om ...”
“Hulya, kamu harus bisa buat mereka akur, ya. Om harap dengan kehadiran kamu di keluarga kami, bisa membawa sedikit keceriaan untuk mereka,” pinta Om Harun penuh harap. Sedangkan, aku hanya terdiam memikirkan perkataannya. K-kenapa harus aku?
***
Tak terasa, sebulan telah berlalu. Hari-hariku tak luput dari pertengkaran dengan Edgar selama persiapan pernikahan Mama dan Om Harun. Seperti biasa, Edgar yang selalu memulai pertengkaran itu. Dia selalu saja membuatku jengkel dan kesal. Tiada hari tanpa ulahnya, sungguh kekanakan!
Dan, tanpa terasa, hari ini adalah hari pernikahan Mama dan Om Harun. Sepertinya, mulai hari ini, aku harus membiasakan diri untuk memanggilnya dengan sebutan Papa. Karena Mama dan Om Harun sudah resmi menjadi suami-istri. Ah, akan kucoba sebisaku.
Acara pernikahan berlangsung khidmat, walau hanya dihadiri keluarga besar dan kerabat dari kedua mempelai. Namun, acara tetap berlangsung meriah.
Pernikahan sederhana ini digelar di halaman belakang rumah yang terdapat kolam renang dan didekorasi dengan nuansa serba putih.
Kulihat Mama dan Om Harun, tidak, maksudku Papa, tersenyum cerah di atas pelaminan. Rona kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya. Melihat hal itu, membuatku ikut merasakan kebahagiaan mereka.
Aku hanya bisa berharap Mama dan Papa selalu bahagia. Dan juga, semoga kehidupanku bersama keempat Kakak sambungku berjalan lancar. Kuharap, mereka dapat menerima aku dan Mama sebagai bagian dari keluarga mereka. Karena, aku tidak ingin terus menerus hidup dalam pertengkaran.
Zayn dan Edgar datang dengan pasangan mereka masing-masing, aku memperhatikan wanita yang ada di sebelah Edgar. Wanita itu, bukanlah yang aku lihat ketika di kosan Dina. Ah, aku mengerti sekarang. Sepertinya ada yang sedang bermain api di sini!
Tiba-tiba, terlintas sebuah rencana di kepalaku untuk membalas si mesum itu.
Kuambil segelas sirup yang ditawarkan pelayan. Lalu, aku berpura-pura berjalan ke arah Edgar yang sedang mengobrol dengan kekasihnya. Dan, dengan sengaja aku menyenggol wanita itu hingga gaun birunya terkena tumpahan sirup.
“Aduh! Sorry, gue nggak sengaja!”
Kuambil selembar tisu dalam tasku, lalu kugosokkan di gaun wanitu itu. Edgar tampak emosi melihatku melakukan itu. Ia menarik lenganku dari gaun kekasihnya.
“Liat-liat, dong, kalo jalan!” bentaknya dengan nada tinggi.
“Sorry, gue agak belom terbiasa dengan suasana ini. Oh, iya, Mba, maaf banget ya kemaren di kosan udah teriak-teriakin pacar Mba!” ucapku dengan sengaja. Aku ingin tahu, bagaimana reaksi Edgar setelah aku mengatakan hal itu.
Kulihat Edgar membelalakkan matanya, Ia menatapku tajam. Sementara, aku hanya tersenyum miring melihat reaksinya. Aha! Dugaanku benar! Kartumu ada padaku, Edgar Mahendra.
“Kapan ya, Kak? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Wanita berambut keriting gantung itu menatapku penuh tanya. Ia sepertinya tertarik dengan perkataanku barusan.
“Ah, masa? Apa gue salah lihat, ya?” sahutku sambil pura-pura berpikir.
Tanpa basa-basi, Edgar langsung menarikku menjauh meninggalkan kekasihnya. Ia membawaku ke pojok, di sini sepi dan jauh dari tamu.
“Lepasin! Sakit tau!” berontakku sambil melepas tangan Edgar yang mencengkramku dengan kasar. Lalu kuusap pergelang tanganku yang memerah.
“Lo sengaja ngomong gitu di depan Tiara? Sumpah ya, mulut lo tuh ember banget!” gerutunya. Aku tersenyum mendengar ocehannya. Wah, ada yang kebakaran jenggot rupanya!
“Makanya, jangan macem-macem lo sama gue!” Kusilangkan kedua tangan di depan dada sambil menatapnya sengit. Ia balas menatap tajam ke arahku.
“Jadi gini cara lo? Oke, lo yang ngibarin bendera perang duluan!” Setelah mengatakan itu, Edgar berjalan meninggalkanku. Kutatap kepergiannya dengan rasa puas.
Rasanya menyenangkan bisa memberikan satu sentilan kecil pada si mesum ini. Ini masih belum ada apa-apanya. Kalau sampai ia berani kasar lagi padaku, aku akan membuka kartunya di depan kekasihnya!
***
Aku duduk melamun di kursi yang berada tepat di sebelah pelaminan. Tiba-tiba, seseorang membuyarkan lamunanku.
“Hoi, ngapain bengong aja?!”
Kudongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang berdiri dihadapanku kini.
“Eh, Kak Daffa ngagetin aja!”
Tanpa kusadari, senyumku mengembang kala melihat pria gondrong itu.
Daffa lalu duduk disebelahku, ia menyilangkan kaki panjangnya. "Lagian, bukannya gabung sama Kakak lo, ini malah sendirian aja."
“Gue malu, Kak. Kalo gabung sama kalian.” Kutatap Daffa yang terlihat menawan dengan setelan jas berwarna hitam ini.
“Yaelah, sama Kakak sendiri malu? Inget ya, kita tuh udah jadi saudara!” peringat Daffa sambil menyentil jidatku. Namun tidak terasa sakit sama sekali dan malah membuatku terkekeh.
“Hehe, ya maaf, ngomong-ngomong, lo dateng sendirian aja kak? Cewek lo nggak diajak?” tanyaku, karena melihatnya datang seorang diri.
“Cewek gue jauh, Hul. Dia tinggal di Bogor!”
“Oh jadi LDR’an nih ceritanya?”
“Ya begitulah," sahutnya santai.
Tiba-tiba, panggilan Mama dari atas pelaminan mengusik perbincangan kami.
“Hulya, Daffa! Ayo, waktunya foto keluarga!"
Lantas, kami langsung berdiri dan menaiki pelaminan.
Kulangkahkan kakiku dengan hati-hati. Karena, aku mengenakan sepatu hak tinggi dengan ukuran tujuh sentimeter. Cukup tinggi, bukan? Tentu saja! Aku tak ingin terlihat jomplang di samping keempat saudara sambungku yang menjulang tinggi itu.
Hari ini, aku mengenakan dress berwarna lilac dengan rambut dikuncir setengah dengan sebuah pita warna senada. Orang-orang bilang, aku sangat cantik dan mirip sekali dengan Mama. Tentu saja mirip, karena aku anak kandungnya!
Aku berdiri di sebelah Papa, lalu fotografer meminta Edgar dan Carel berdiri di sampingku karena tinggi mereka hampir sejajar. Sedangkan, Zayn dan Daffa di samping Mama.
“Oke, tahan ya! Semuanya senyum! Satu, dua, tiga ...”
Kami menuruti arahan fotografer dan tersenyum ke arah kamera.
CKREK!
Setelah mengambil beberapa foto, aku turun dari atas pelaminan. Namun, baru saja aku melangkah, kakiku dijegal oleh seseorang. Hingga membuatku kehilangan keseimbangan.
Bruk!
Aku jatuh tersungkur ke depan, kudengar Mama menjerit tepat ketika aku terjatuh.
Aku hanya bisa menunduk malu. Kurasakan semua mata tertuju padaku sekarang. Bayangkan saja, aku jatuh dari atas pelaminan dengan posisi kepala yang mendarat terlebih dahulu, sedangkan kakiku masih tersangkut di atas pelaminan. Sepertinya, aku tahu siapa yang sudah menjegal kakiku.
Kurasakan seseorang mengangkat tubuhku dan menggendongku ala bridal. Mataku membulat sempurna ketika melihat sosok dihadapanku kini.
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah seharian penuh beraktivitas di kampus, aku kembali ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar kubiarkan redup, hanya cahaya dari layar laptop dan ponsel yang menerangi ruangan.Namun sepi ini justru menggemakan suara dalam kepalaku sendiri—dan nama itu, terus mengalir dalam pikiranku.Hulya.Nama yang selalu membuat dadaku sesak. Saudara tiriku. Orang yang seharusnya kuanggap sebagai keluarga... tapi hatiku menolak menyebutnya begitu. Dia selalu ada di sampingku, dan seiring waktu, kehadirannya menjelma jadi lebih dari sekadar "adik".Aku menatap layar ponsel. Jempolku ragu-ragu mengetuk nama yang sudah tersimpan lama di daftar kontak: Hulya.Jam di layar menunjukkan pukul 10 malam di sini. Di Jakarta berarti sekitar pukul 7 malam. Tidak terlalu malam... tapi apakah dia sedang sibuk?Aku mendesah pelan, lalu akhirnya memberanikan diri menekan tombo
Sepanjang perjalanan menuju fakultas kedokteran, Alexa tak berhenti mengajakku ngobrol. Topiknya ringan, tapi cukup membuatku sedikit canggung. Aku masih belum terbiasa diperlakukan seakrab itu oleh perempuan yang baru saja kutemui.“Kalau kamu ambil jurusan kedokteran, berarti kamu pintar, dong?” godanya lagi sambil melirikku dengan senyum menggoda.Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Enggak juga, cuma... memang dari dulu udah tertarik sama dunia medis.”“Terus cita-citanya jadi dokter?” tanyanya lagi.Aku mengangguk. “Iya, pengen jadi dokter anak.”Alexa menoleh dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Aww... sweet banget! Kamu pasti suka anak-anak, ya?”Aku tersenyum. “Lumayan. Mereka jujur. Dan polos.”Alexa hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikanku lekat-lekat. Tatapannya membuatku sedikit gelisah. Aku sudah lama tak berada dalam percakapan hangat seperti ini dengan perempuan selain Hulya.Akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas kedokteran.“Ini dia, kampus k
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi. Sontak aku langsung membalikkan tubuh, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi itu, hingga akhirnya kudengar suara seorang perempuan dari arah kamar mandi. "How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!" hardiknya galak. Perlahan, aku membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang sedang memarahiku. Saat pandangan kami bertemu, aku terkejut. Seorang wanita seusiaku berdiri di hadapanku, hanya mengenakan piyama mandi. Rambutnya yang blonde masih basah meneteskan air. "Lo siapa?" tanyaku heran. "Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa?" sahutnya dengan logat kebarat-baratan. "Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl, anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?" tanyaku, terkejut bukan main. Dia melotot. "Iya, gue Sheryl! Kenapa?" Aku terkekeh. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga, dia sudah sebesar ini sekarang. Dulu kami sering main bareng waktu kec
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu