Share

Bab 6 - Pernikahan

Om Harun langsung menghentikan tangannya ketika melihatku menghalangi tubuh Carel.

“Hulya, ngapain kamu di sini?” tanya Om Harun dengan raut wajah terkejut.

“Lo nggak usah ikut campur urusan keluarga ini, deh!” bisik Carel yang berada tepat di belakangku, namun tak kuhiraukan perkataannya.

“Nggak, Om, please! Jangan pukul Kak Carel lagi. Dia tadi nggak salah, dia yang belain Hulya dari Edgar, Om!” seruku, dengan jantung berdegup. Antara takut dan kasihan melihat Carel. Berharap hal itu dapat membuat Om Harun sedikit tenang.

Om Harun menatap datar ke arahku. Kemudian berkata, “Sebaiknya kamu cepat ke dalam dan temani Mamamu, Hulya.”

Baru saja aku ingin menjawab perkataan Om Harun, Carel sudah mendorongku pelan hingga posisi tubuhku sedikit bergeser. Kemudian, ia berjalan perlahan ke arah Papanya itu.

“Carel nggak akan pernah lupain kejadian itu, Pa. Bagi Carel, Edgar tetap penyebab Mama meninggal.” Carel mengucapkan itu dengan penuh penekanan. Kemudian ia melengos pergi meninggalkan kami yang terpaku.

Aku menghampiri Om Harun dan menyentuh pundaknya. “Om ...”

“Hulya, kamu harus bisa buat mereka akur, ya. Om harap dengan kehadiran kamu di keluarga kami, bisa membawa sedikit keceriaan untuk mereka,” pinta Om Harun penuh harap. Sedangkan, aku hanya terdiam memikirkan perkataannya. K-kenapa harus aku?

***

Tak terasa, sebulan telah berlalu. Hari-hariku tak luput dari pertengkaran dengan Edgar selama persiapan pernikahan Mama dan Om Harun. Seperti biasa, Edgar yang selalu memulai pertengkaran itu. Dia selalu saja membuatku jengkel dan kesal. Tiada hari tanpa ulahnya, sungguh kekanakan!

Dan, tanpa terasa, hari ini adalah hari pernikahan Mama dan Om Harun. Sepertinya, mulai hari ini, aku harus membiasakan diri untuk memanggilnya dengan sebutan Papa. Karena Mama dan Om Harun sudah resmi menjadi suami-istri. Ah, akan kucoba sebisaku.

Acara pernikahan berlangsung khidmat, walau hanya dihadiri keluarga besar dan kerabat dari kedua mempelai. Namun, acara tetap berlangsung meriah.

Pernikahan sederhana ini digelar di halaman belakang rumah yang terdapat kolam renang dan didekorasi dengan nuansa serba putih.

Kulihat Mama dan Om Harun, tidak, maksudku Papa, tersenyum cerah di atas pelaminan. Rona kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya. Melihat hal itu, membuatku ikut merasakan kebahagiaan mereka.

Aku hanya bisa berharap Mama dan Papa selalu bahagia. Dan juga, semoga kehidupanku bersama keempat Kakak sambungku berjalan lancar. Kuharap, mereka dapat menerima aku dan Mama sebagai bagian dari keluarga mereka. Karena, aku tidak ingin terus menerus hidup dalam pertengkaran.

Zayn dan Edgar datang dengan pasangan mereka masing-masing, aku memperhatikan wanita yang ada di sebelah Edgar. Wanita itu, bukanlah yang aku lihat ketika di kosan Dina. Ah, aku mengerti sekarang. Sepertinya ada yang sedang bermain api di sini!

Tiba-tiba, terlintas sebuah rencana di kepalaku untuk membalas si mesum itu.

Kuambil segelas sirup yang ditawarkan pelayan. Lalu, aku berpura-pura berjalan ke arah Edgar yang sedang mengobrol dengan kekasihnya. Dan, dengan sengaja aku menyenggol wanita itu hingga gaun birunya terkena tumpahan sirup.

“Aduh! Sorry, gue nggak sengaja!”

Kuambil selembar tisu dalam tasku, lalu kugosokkan di gaun wanitu itu. Edgar tampak emosi melihatku melakukan itu. Ia menarik lenganku dari gaun kekasihnya.

“Liat-liat, dong, kalo jalan!” bentaknya dengan nada tinggi.

Sorry, gue agak belom terbiasa dengan suasana ini. Oh, iya, Mba, maaf banget ya kemaren di kosan udah teriak-teriakin pacar Mba!” ucapku dengan sengaja. Aku ingin tahu, bagaimana reaksi Edgar setelah aku mengatakan hal itu.

Kulihat Edgar membelalakkan matanya, Ia menatapku tajam. Sementara, aku hanya tersenyum miring melihat reaksinya. Aha! Dugaanku benar! Kartumu ada padaku, Edgar Mahendra.

“Kapan ya, Kak? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Wanita berambut keriting gantung itu menatapku penuh tanya. Ia sepertinya tertarik dengan perkataanku barusan.

“Ah, masa? Apa gue salah lihat, ya?” sahutku sambil pura-pura berpikir.

Tanpa basa-basi, Edgar langsung menarikku menjauh meninggalkan kekasihnya. Ia membawaku ke pojok, di sini sepi dan jauh dari tamu.

“Lepasin! Sakit tau!” berontakku sambil melepas tangan Edgar yang mencengkramku dengan kasar. Lalu kuusap pergelang tanganku yang memerah.

“Lo sengaja ngomong gitu di depan Tiara? Sumpah ya, mulut lo tuh ember banget!” gerutunya. Aku tersenyum mendengar ocehannya. Wah, ada yang kebakaran jenggot rupanya!

“Makanya, jangan macem-macem lo sama gue!” Kusilangkan kedua tangan di depan dada sambil menatapnya sengit. Ia balas menatap tajam ke arahku.

“Jadi gini cara lo? Oke, lo yang ngibarin bendera perang duluan!” Setelah mengatakan itu, Edgar berjalan meninggalkanku. Kutatap kepergiannya dengan rasa puas.

Rasanya menyenangkan bisa memberikan satu sentilan kecil pada si mesum ini. Ini masih belum ada apa-apanya. Kalau sampai ia berani kasar lagi padaku, aku akan membuka kartunya di depan kekasihnya!

***

Aku duduk melamun di kursi yang berada tepat di sebelah pelaminan. Tiba-tiba, seseorang membuyarkan lamunanku.

“Hoi, ngapain bengong aja?!”

Kudongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang berdiri dihadapanku kini.

“Eh, Kak Daffa ngagetin aja!”

Tanpa kusadari, senyumku mengembang kala melihat pria gondrong itu.

Daffa lalu duduk disebelahku, ia menyilangkan kaki panjangnya. "Lagian, bukannya gabung sama Kakak lo, ini malah sendirian aja."

“Gue malu, Kak. Kalo gabung sama kalian.” Kutatap Daffa yang terlihat menawan dengan setelan jas berwarna hitam ini.

“Yaelah, sama Kakak sendiri malu? Inget ya, kita tuh udah jadi saudara!” peringat Daffa sambil menyentil jidatku. Namun tidak terasa sakit sama sekali dan malah membuatku terkekeh.

“Hehe, ya maaf, ngomong-ngomong, lo dateng sendirian aja kak? Cewek lo nggak diajak?” tanyaku, karena melihatnya datang seorang diri.

“Cewek gue jauh, Hul. Dia tinggal di Bogor!”

“Oh jadi LDR’an nih ceritanya?”

“Ya begitulah," sahutnya santai.

Tiba-tiba, panggilan Mama dari atas pelaminan mengusik perbincangan kami.

“Hulya, Daffa! Ayo, waktunya foto keluarga!"

Lantas, kami langsung berdiri dan menaiki pelaminan.

Kulangkahkan kakiku dengan hati-hati. Karena, aku mengenakan sepatu hak tinggi dengan ukuran tujuh sentimeter. Cukup tinggi, bukan? Tentu saja! Aku tak ingin terlihat jomplang di samping keempat saudara sambungku yang menjulang tinggi itu.

Hari ini, aku mengenakan dress berwarna lilac dengan rambut dikuncir setengah dengan sebuah pita warna senada. Orang-orang bilang, aku sangat cantik dan mirip sekali dengan Mama. Tentu saja mirip, karena aku anak kandungnya!

Aku berdiri di sebelah Papa, lalu fotografer meminta Edgar dan Carel berdiri di sampingku karena tinggi mereka hampir sejajar. Sedangkan, Zayn dan Daffa di samping Mama.

“Oke, tahan ya! Semuanya senyum! Satu, dua, tiga ...”

Kami menuruti arahan fotografer dan tersenyum ke arah kamera.

CKREK!

Setelah mengambil beberapa foto, aku turun dari atas pelaminan. Namun, baru saja aku melangkah, kakiku dijegal oleh seseorang. Hingga membuatku kehilangan keseimbangan.

Bruk!

Aku jatuh tersungkur ke depan, kudengar Mama menjerit tepat ketika aku terjatuh.

Aku hanya bisa menunduk malu. Kurasakan semua mata tertuju padaku sekarang. Bayangkan saja, aku jatuh dari atas pelaminan dengan posisi kepala yang mendarat terlebih dahulu, sedangkan kakiku masih tersangkut di atas pelaminan. Sepertinya, aku tahu siapa yang sudah menjegal kakiku.

Kurasakan seseorang mengangkat tubuhku dan menggendongku ala bridal. Mataku membulat sempurna ketika melihat sosok dihadapanku kini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status